Anda di halaman 1dari 34

FARMAKOTERAPI

PENYAKIT JANTUNG KORONER

MAKALAH

ANITA PUTRI PRATAMA (260112160564)

BRYAN JUNIVAN SIAGIAN (260112160512)

FENADYA RAHAYU AGUSTRIONO (260112160588)

ROSITA IRIANTI DEHI (260112160594)

WINA ANGELLINA (260112160534)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2017
I. Definisi
Penyakit jantung koroner dalam suatu keadaan akibat terjadinya
penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyakit
jantung koroner diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah
koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.
Penyakit jantung adalah penyakit yang mengganggu sistem pembuluh
darah atau lebih tepatnya menyerang jantung dan urat-urat darah. Penyakit jantung
adalah sebuah kondisi yang menyebabkan jantung tidak dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik. Penyakit jantung koroner merupakan gabungan dari
beberapa sindrom klinis yang berhubungan dengan iskemia miokard yang
berakibat kurangnya asupan oksigen ke jantung. Penyebab utama dari penyakit
jantung koroner adalah pembentukan plak arterosklerosis yang terbentuk dari
lemak darah (Wells et al., 2009).

II. Patofisiologi
Penyakit jantung koroner terjadi bila ada timbunan (PLAK) yang
mengandung lipoprotein, kolesterol, sisa-sisa jaringan dan terbentuknya kalsium
pada intima, atau permukaan bagian dalam pembuluh darah. Plak ini membuat
intima menjadi kasar, jaringan akan kekurangan oksigen dan zat gizi sehingga
menimbulkan infark.
Salah satu penyebab penyakit jantung koroner adalah kebiasaan makan
makanan berlemak tinggi terutama lemak jenuh. Penumpukan tersebut dapat
menyebabkan (artherosklerosis) atau penebalan pada pembuluh nadi koroner
(arterikoronoria). Kondisi ini menyebabkan kelenturan pembuluh nadi menjadi
berkurang, serangan jantung koroner akan lebih mudah terjadi ketika pembuluh
nadi mengalami penyumbatan ketika itu pula darah yang membawa oksigen ke
jaringan dinding jantung pun terhenti.
Kolesterol serum dibawa oleh beberapa lipoprotein yang diklasifikasikan
menurut densitasnya. Lipoprotein dalam urutan densitas yang meningkat adalah
kilomikron, VLDL (Very Low Density Lopoprotein), LDL (low Density
Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein) membawa hamper seluruh
kolesterol dan merupakan yang paling aterojenik. HDL menurunkan resiko
penyakit jantung ke hati, tempat kolesterol di metabolism dan di ekskresikan.
Orang dewasa dapat diklasifikasikan sebagai beresiko penyakit jantung koroner
berdasarkan jumlah total dan kadar kolesterol LDL-nya (Anonim).
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami
kerusakan oleh adanya factor resiko antara lain: factor hemodinamik seperti
hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok,
diet aterogenik, peningkatan kadar gula darah, dan oksidasidari LDL-C. Di antara
faktor-faktor resiko PJK (lihat tabel 1), diabetes melitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, obesitas, rokok, dan kepribadian merupakan faktor-faktor
penting yang harus diketahui (Abdul Majid, 2007). Kerusakan ini menyebabkan
sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule sepertisitokin (interleukin-1, (IL-
1); tumor nekrosisfaktoralfa, (TNF- alpha)), kemokin (monocytechemoattractant
factor 1, (MCP-1; IL-8), dan growth factor (platelet derived growth factor,
(PDGF); basic fibroblas growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit dan
T-Limfosit masuk ke perlukaan endotel dan migrasi dari endotel iumke sub
endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil
LDL teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik dibanding LDL. Makrofag ini
kemudian membentuk sel busa (Abdul Majid, 2007).
LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan
respons inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang
menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan
melibatkan platelet dan faktor koagulasi (Abdul Majid, 2007).
Akibat kerusakan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibro
fatty dan fibrous, plak atherosklerosis, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang
terjadi dapat menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga
terjadi Sindroma Koroner Akut (SKA) (Abdul Majid, 2007).
(Abdul Majid, 2007)

III. Manifestasi Klinik


Penyakit jantung koroner sering ditandai dengan rasa tidak nyaman atau
sesak di dada, gejala seperti ini hanya dirasakan oleh sepertiga penderita. Rasa
nyeri terasa pada dada bagian tengah, lalu menyebar ke leher, dagu dan tangan.
Rasa tersebut akan beberapa menit kemudian. Rasa nyeri muncul karena jantung
kekurangan darah dan supplay oksigen. Gejala ini lain menyertai jantung koroner
akibat penyempitan pembuluh nadi jantung adalah rasa tercekik (angina pektoris).
Kondisi ini timbul secara tidak terduga dan hanya timbul jika jantung dipaksa
bekerja keras. Misal fisik dipaksa bekerja keras atau mengalami tekanan
emosional. Pada usia lanjut gejala serangan jantung sering tidak disertai keluhan
apapun, sebagian hanya merasa tidak enak badan.
Gejala penyakit jantung koroner pada umumnya tidak spesifik untuk
didiagnosa seperti angina pectoris (masa tercekik). Biasanya diperoleh riwayat
penyakit orang bersangkutan, sedangkan pemeriksaan fisik kurang menunjukkan
data yang akurat. Riwayat angina pectoris tidak stabil lebih sulit dikendalikan
karena terjadi secara tidak terduga, kasus ini menjadi mudah terdeteksi jika
disertai dengan nyeri sangat hebat di dada, disertai dengan gejala mual, takut dan
merasa sangat tidak sehat.
Berbeda dengan kasus infark miokardia pada kelainan jantung yang satu ini
dapat diketahui melalui irama jantung saat pemeriksaan melalui elektro
kardiografi dan dengan peningkatan kadar enzim jantung dalam darah, juga dalam
perkembangan penyakit jantung koroner biasanya disertai kelainan kadar lemak
dan trombosit darah penderita yang diikuti oleh kerusakan endoterium dinding
pembuluh nadi (Anonim, 2016).

IV. Diagnosa
Seorang dokter harus mengetahui dulu penyakit/diagnosis pasiennya
sebelum memberi pengobatan. Dokter harus mengumpulkan sebanyak mungkin
keterangan baik subjektif maupun objektif untuk kemudian mengambil
kesimpulan. Pilihan pengobatan ditentu berdasarkan jenis penyakit dan derajatnya
(Idham, 2007).
Untuk mengetahui penyakit tersebut maka dilakukan pemeriksaan di
antaranya sebagai berikut : wawancara, pemeriksaan fisik dengan alat. Wawancara
ini merupakan langkah awal atau pendahuluan. Tes-tes lebih lanjut kemudian
dikerjakan untuk mempertegas diagnosis atau mengevaluasi tingkat parahnya
penyakit. Pemeriksaan penunjang pada PJK dibagi menjadi tes non-invasif dan
invasif. Tes non-invasive yaitu melakukan tes tanpa memasukkan alat ke dalam
tubuh atau melukai tubuh, seperti tes tekanan darah, mendengarkan laju, irama
jantung dan suara nafas, pemeriksaan dan tes darah, EKG, Penggunaan alat
Hotler, stres test dan treadmill, sinar X dada, pemeriksaan dengan isotop
radioaktif, pemeriksaan dengan kardiografi Gema-Doppler, MRI, dan PET.
Berbeda dengan tes invasif yaitu dengan cara penetrasi kedalam tubuh, contohnya
kateterisasi jantung (AHA, 2014).

a) Anamnesa
Keluhan utama yaitu apakah ada gangguan sistem kardiovaskuler seperti
nyeri dada, berdebar-debar dan sesak napas. Keluhan tambahan seperti perasaan
cepat lelah, kemampuan fisik menurun, terasa lemas, berkeringat dingin, dan
perasaan tidak enak pada perut bagian atas. Riwayat penyakit sebelumnya dan
riwayat dalam keluarga (Braunwald,2008).
Keluhan yang terpenting adalah nyeri dada. Biasanya ditanya apakah
pasien itu terasa nyeri pada dada atau tidak, nyerinya, kapan dirasakan, berapa
lama, di dada sebelah mana, apakah menjalar. Nyeri dada yang dirasakan seperti
ditindih beban berat, ditusuk-tusuk, diremas, rasa terbakar adalah yang paling
sering dilaporkan.Biasanya nyeri dirasakan di dada kiri dan menjalar ke lengan
kiri. Selain itu akan ditanya juga semua faktor risiko PJK, antara lain: apakah
pasien itu merokok, menderita darah tinggiatau penyakit gula (diabetes),
pernahkah memeriksakan kadar kolesterol dalam darah, dan adakah anggota
keluarga yang menderita PJK dan faktor resikonya? (Idham, 2007).

b) Elektrokardiogram (EKG)
Rekaman potensial listrik yang timbul sebagai aktivitas jantung sinyal
elektrik yang melintas atrium jantung dan ventrikel jantung dan memacu denyut
jantung dapat tercatat (Bloomfield, 2006 ).
Biasanya dokter jantung akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill. Alat treadmill ini digunakan untuk menegakkan diagnosis PJK.
Treadmill ini dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Jadi, ini akan
merekam aktivitas fisik jantung seseorang itu saat melakukan latihan (Idham,
2007). Kalau seseorang itu mengalami kesakitan saat latihan, pemeriksaan ini
dapat membantu mengidentifikasikan apakah kesakitan tersebut disebabkan oleh
angina yang biasanya terdapat pada pasien PJK (NHS Choices, 2012).
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial.
(Kulick, 2014).
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan
diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat
mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk
evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan kategori:
1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak
dijumpai gelombang Q 2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi
gelombang T dalam.
2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.
(Kulick, 2014).
c) Foto Rontgen Dada
Gambaran jantung secara keseluruhan dari ukuran dan untuk mendeteksi
bendungan di paru-paru. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang
penderita sudah berada pada PJK lanjut. Jantung terlihat membesar ( Braunwald,
2008). Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal
jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).

d) Ekokardiografi
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambar jantung.Dengan pemeriksaan ini, dokter dapat menentukan apakah semua
bagian jantung berfungsi normal atau tidak. Kalau didapati hasil yang
menunjukkan bagian jantung yang berfungsi secara lemah, itu menandakan
kemungkinan terjadinya kerusakan pada bagian tersebut akibat dari serangan
jantung atau kekurangan suplai oksigen (NHS Choices, 2012).
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambar jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian
dari dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian
yang bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima
terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo
Clinic, 2012).

e) Uji Latih Jantung


Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak
digunakan untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung,
irama jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner
mengalami penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen
depresi ST pada hasil rekaman (Kulick, 2014). Dilakukan dengan alat treadmill
atau sepeda ergometer yang dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG
sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal (Ladapo, 2013).

f) Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk mengetahui kenaikan enzim jantung pada infark
miokardium akut. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolestrol, HDL, LDL,
dan kadar trigliserida prlu dilakukan untuk menemukan faktor resikonya.
Pemeriksaan kadar gula darah adalah untuk menemukan apakah ada diabetes
melitus yaitu faktor resiko terjadinya PJK (Adems, 2004).

g) Kateterasi Jantung
Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal
dengan memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke
pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut
kateterisasi jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini
dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk
mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu
kelainan (Mayo Clinic, 2012).
Pemeriksaan yang lebih invasif yaitu dengan memasukkan kateter ke
dalam ventrikel jantung melalui pembuluh darah di lipat paha/siku dengan
pembiusan lokal, yang ujungnya didorong ke dalam ventrikel jantung dan
dipantau lewat layor monitor untuk memeriksa anatomi dan fungsi jantung
(Baim,2008).

h) CT Scan (Computerized tomography Coronary angiogram)


Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner
adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu
memvisualisasikan arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan
melalui intravena selama CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri
jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi
kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah
besar kalsium ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinic,
2012).

i) Magnetic resonance angiography (MRA)


Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan
penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya
penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas
pemeriksaan kateterisasi jantung (Mayo Clinic, 2012).

j) Pemeriksaan Biokimia Jantung (Profil Jantung)


Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT)
mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI
dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari
Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan
TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko
kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar
serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari
nekrosis miokard, risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST
namun mengalami peningkatan nilai CKMB (Depkes, 2006).
V. Hasil Yang Diinginkan
1. Memperbaiki prognosis dengan cara mencegah infark miokard dan kematian.
Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi terjadinya trombotik akut
dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat diicapai dengan modifikasi gaya
hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan mengurangi progresif plak,
menstabilkan plak dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi
endotel dan akhirnya mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau
pecahnya plak. Obat yang digunakan yaitu obat antitrombotik (aspirin dosis
rendah), antagonis reseptor ADP (thienopyridin), ACE-Inhibitor, Beta bloker,
Calcium channel blockers (CCBs).
2. Untuk memperbaiki simtom dan iskemi, obat yang digunakan yaitu nitrat kerja
jangka pendek dan jangka panjang, Beta bloker, Calcium channel blockers
(CCBs).
(Majid, 2007).

VI. Terapi Farmakologi


a. Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan mencegah
terjadinya kemungkinan yang lebih buruk, seperti infark miokard atau
kematian. Pada keadaan ini, obat-obat anti iskemik mulai diberikan
bersamaan sambil merencanakan strategi pengobatan difinitif. Terapi anti
iskemik termasuk; penderita dirawat dengan tirah baring dengan monitoring
EKG kontinu untuk iskemik yang masih berlanjut dan direksi aritmia bagi
pasien-pasien dengan risiko tinggi. Oksigen harus diberikan pada semua
pasien untuk mempertahankan saturasi O2> 90% (DFAK Depkes, 2006).
1) Nitrat
Nitrat padaumumnya disarankan karena nitrat memiliki efek
vasodilatasi arteriol koroner dan vena, yang merupakan dasar dari
upaya mengurangi gejala-gejala angina dan penururan preload
(Montalescot & Sechtem, 2013). Nitrat mengurangi kebutuhan
oksigen dan menigkatkan suplai oksigen. Nitrat I.V harus diberikan
pada pasien: yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian 3
tablet nitrat sublingual (bila tidak ada kontra indikasi seperti
penggunaan sildenafil dalam 24 jam terakhir) EKG menunjukan
iskemia miokard (menderita gagal jantung) (DFAK Depkes, 2006).
Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai
mekanisme (DFAK Depkes, 2006):
1. Menurut kebutuhan oksigen miokard karena penurunan preload dan
afterload
2. Efek vasodilatasi sedang
3. Meningkatkan aliran darah kolateral
4. Menurunkan kecendrungan vasospasme
5. Potensial dapat menghambat agregasi trombosit
Dosis yang direkomendasikan dari golongan anti-iskemik dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel Dosis yang direkomendasikan dari golongan anti-iskemik


(Dipiro, et al, 2009; DFAK Depkes, 2006)

2) -blocker
Penyekat- secara kompetitif menghambat efek katekolamin
pada reseptor beta. Penyekat beta mengurangi konsumsi oksigen
miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung
(laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Bila tidak ada
kontraindikasi, pemberian penyekat beta harus dimulai segera.
Penyekat beta tanpa aktivitas simpatomimetik lebih disukai, seperti
metoprolol, atenolol, esmolol atau bisoprolol. Kontraindikasi penyekat
beta adalah blok AV derajat 2 atau 3, asma, gagal jantung yang dalam
keadaan dekompensasi dan penyakit arteri perifer yang berat. Terapi
oral ditujukan untuk mencapai target denyut jantung 50-60/ menit
(DFAK Depkes, 2006).
Dosis yang direkomendasikan dari golongan beta blocker dapat
dilihat pada tabel berikut(DFAK Depkes, 2006):

Tabel Dosis yang direkomendasikan dari golongan beta blocker


3) AntagonisKalsium
Antagonis kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui
membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos
pembuluh darah, melambatkan konduksi AV dan depresi nodus SA.
Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresi nodus SA. Efek
vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresiasi nodus SA bervariasi
pada antagonis kalsium yang berbeda. Penggunaan dihidropiridin
yang lepas cepat dan kerja singkat (seperti nifedipine) berkaitan
dengan peningkatan risiko pada pasien tanpa penghambatan beta yang
adekuat dan harus dihindari. Dosis yang direkomendasikan dari
golongan antagonis kalsium dapat dilihat pada tabel dibawah (DFAK
Depkes, 2006).

Tabel Dosis yang direkomendasikan dari golongan antagonis


kalsium

4) Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai
efek hemodinamik. Diperlukan monitoring tekanan darah yang
seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan keluhan
menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.Dosis
yang direkomendasikan dari obat morfin dapat dilihat pada tabel
dibawah.

Tabel Dosis yang direkomendasikan dari obat morfin


Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan
kekuranga cairan, mual, muntah dan depresi pernafasan kadang-
kadang terjadi. Naloxone (0.4 2 mg IV) dapat diberikan sebagai
antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan
dan/ atau sirkulasi (DFAK Depkes, 2006).

b. Antitrombotik
Terapi antitrombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan
menurunkan risiko kematian, IMA atau IMA berulang. Saat ini kombinasi
dari ASA, klopidogrel, unfractionated heparin (UFH) atau Low Molecular
Weight Heparin (LMWH) dan antagonis reseptor GP IIb/IIIa merupakan
terapi yang paling efektif.
1) ObatPenghambatSiklo-oksigenase (COX)
Aspirin/AsamAsetilSalisilat (ASA)
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan
tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase di
dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel.
Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur
tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan
ASA dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang
dapat mengurangi ruptur plak. Dosis awal 160 mg, lalu
dilanjutkan dengan dosis 80 mg sampai 325 mg untuk
seterusnya. Dosis yang lebih tinggi lebih sering menyebabkan
efek samping gastrointestinal. Aspirin tidak menyebabkan
hambatan total agregasi trombosit karena aspirin tidak sempurna
menghambat aktivitas trombosit yang dirangsang oleh ADP,
kolagen, serta trombin dalam konsentrasi rendah dan aspirin
tidak menghambat adhesi trombosit (DFAK Depkes, 2006).
2) AntagonisReseptorAdenosinDiphospat
Obat ini bekerja berbeda dari jalur ASA-tromboksan A2 dengan
menghambat adenosin diphospat (ADP), menghasilkan penghambatan
agregasi trombosit. Ticlopidin dan Klopidogrel dua obat dari jenis
Thienopyridines telah diakui dan disetujui sebagai antitrombotik oral
(DFAK Depkes, 2006).
Tiklopidin
Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin. Obat ini
bekerja dengan menghambat ADP sehingga karenanya agregasi
trombosit dan perubahan reseptor fibrinogen trombosit menjadi
bentuk yang mempunyai afinitas kuat juga dihambat. Tiklopidin
dapat dipakai pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas
atau gangguan gastrointestinal akibat aspirin. Efek samping
terpenting adalah trombositopenia dan granulositopenia sebesar
2.4% umumnya reversibel setelah pemberian obat dihentikan
(DFAK Depkes, 2006).
Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang lebih
baru bekerja dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein
IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara
efektif. Klopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit dari
tiklopidin. Klopidogrel dapat dipakai pada pasien yang tidak
tahan dengan aspirin dan dalam jangka pendek dapat
dikombinasi dengan aspirin untuk pasien yang menjalani
pemasangan stent. Dosis yang direkomendasikan dapat dilihat
pada tabel berikut (DFAK Depkes, 2006).:

Tabel Dosis yang direkomendasikan


c. Antikoagulan
1) Unfactionated Heparin
Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai UFH)
merupakan glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai polisakarida
dengan berat molekul antara 3000-30.000. rantai polisakarida ini akan
mengikat antitrombin III dan mempercepat proses hambatan
antitrombin II terhadap trombin dan faktor Xa (DFAK Depkes, 2006).
2) Heparin denganberatmolekulrendah (LMWH)
LMWH mempunyai efek farmakokinetik yang lebih dapat
diramalkan, bioavaliabilitasnya lebih baik, waktu paruhnya lebih
lama, serta pemberian lebih mudah. Dibandingkan dengan UFH,
LMWH mempunyai efek antifaktor Xa yang lebih tinggi
dibandingkan efek antifaktor IIa (antitrombin). Selain itu LMH kurang
peka terhadap faktor 4 trombosit. LMWH lebih jarang menyebabkan
trombositopenia. Berbagai jenis LMWH dengan rantai fragmen
berikatan pendek (<18 sakarida) telah diformulasikan, dan masing-
masing mempunyai efek berbeda terhadap rasio antifaktor Xa
antifaktor IIa. Rasio antifaktor Xa antifaktor IIa yang lebih tinggi
menunjukan efek inhibisi pembentukan trombin yang lebih besar dan
efek hambatan terhadap aktivitas trombin juga lebih besar. Dosis yang
direkomendasikan dapat dilihat pada tabel berikut (DFAK Depkes,
2006).:

Tabel Dosis yang direkomendasikan


3) Antitrombindirek
Berbeda dengan obat antitrombin indirek (seperti UFH atau
LMWH) yang bekerja dengan cara menghambat faktor IIa dan faktor
Xa, antitrombin direk langsung menghambat pembentukan trombin
tanpa berpengaruh terhadap aktivitas antitrombin III dan terutama
menekan aktivitas trombin. Termasuk dalam golongan ini misalnya
hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran (DFAK Depkes,
2006).
4) Antikoagulan Oral
Terapi antikoagulan oral monoterapi (misalnya warfarin) pasca-
infark jantung paling tidak sama efektifnya dengan aspirin dalam
mencegah serangan infark jantung berulang dan kematian. Pada
penyelidikan Antithrombotic Therapy In Acute Coronary Syndromes
terapi kombinasi aspirin dan antikoagulan (heparin diikuti oleh
warfarin, dengan target INR 2.0-3.0 selama 12 minggu) dijumpai
penurunan primary end points angina berulang dengan perubahan
EKG, infark jantung, kematian atau ketiganya dalam 14 hari,
dibandingkan dengan terapi aspirin saja. Setelah 3 bulan kejadian
iskemik turun 50% dan kecenderungan pendarahan hanya sedikit lebih
tinggi pada terapi kombinasi dibandingkan dengan terapi aspirin
tunggal. Walaupun demikian pada penyelidikan coumadin aspirin
reinfarction study tidak dijumpai manfaat lebih besar terapi kombinasi
aspirin dan warfarin dengan dosis tetap (1 atau 3 mg, tanpa
disesuaikan dengan INR) dibandingkan dengan aspirin saja. Pada
penyelidikan lain, terapi kombinasi dengan target INR 2.0-2.5 selama
10 minggu setelah terjadinya APTS memberikan hasil baik secara
klinik dan angiografik dibandingkan monoterapi aspirin tanpa disertai
kecenderungan pendarahan yang meningkat (DFAK Depkes, 2006;
Neal, 2006).

d. Trombolitik/Fibrinolitik
Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan
plasminogen yang selanjutnya akan membentuk plasmin. Dengan adanya
fibrinolitik ini, degradasi fibrin dan pemecahan trombus akan terjadi. Obat
yang berfungsi sebagai fibrinolitik antara lain alteplase dan streptokinase.
Alteplase merupakan aktivator plasminogen tipe jaringan yang
dihasilkan dari teknologi DNA rekombinan. Alteplase tidak menuebabkan
reaksi alergi dan dapat digunakan pada pasien dimana infeksi streptokokus
yang beru terjadi atau penggunakan streptokinase terakhir yang
menyebabkan kontraindikasi penggunaan streptokinase (Neal, 2006). Dosis
yang dapat digunakan yaitu 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) diberikan
melalui IV infus selama 1 jam setelah pemberian 10% dari dosis total yang
diberikan selama 1 menit (Dipiro,et al, 2009)
Obat-obat trombolitik digunakan untuk melarutkan gumpalan darah
(trombi). Gumpalan darah dapat terbentuk pada semua pembuluh darah,
namun ketika terbentuk di pembuluh darah koroner, serebral atau pulmonal,
akan mengancam hidup, trombi koroner dapat menyebabkan infark
miokard, trombi pembuluh darah serebral dapat menyebabkan stroke,
tromboemboli pulmoner dapat menyebabkan gagal jantung dan gagal napas.
Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis cepat dan menangani
gumpalan darah.

Obat Thrombolitik Spesifik


1) Aktivator Plasminogen Jaringan
Kelompok obat trombolitik digunakan pada infark miokardial
akut, stroke thrombotik serebrovaskular dan embolisme pulmoner.
Untuk infark miokardial akut, aktivator plasminogen jaringan secara
umum lebih disukai dari streptokinase.
2) Streptokinase
Streptokinase dan anistreplase digunakan pada infark miokardial
akut, thrombosis vena dan aterial, dan embolisme paru. Ikatan ini
antigenik karena diturunkan dari bakteri streptokokus. Streptokinase
alami (SK) bekerja kurang spesifik sehingga kurang diminati sebagai
obat trombolitik daripada tPA karena menyebabkan banyak
fibrigenolisis. Anistreplase (Eminase) adalah kompleks SK dan
plasminogen. Anistreplase lebih memiliki spesifitas bekerja pada
fibrin dan aktivitas yang lebih lama daripada SK alami. Namun,
menyebabkan fibrigenolisis.
3) Urokinase
Urokinase (Abbokinase; UK) aktivator plasminogen tipe urine
(uPA) karena dibentuk di ginjal dan ditemukan di urine. Urokinase
jarang digunakan karena seperti SK, UK menyebabkan fibrigenolisis.
Satu kelebihan UK dari SK adalah nonantigenik. (DFAK Depkes,
2006)

Efek samping dan Kontraindikasi


Efek samping dari semua obat trombolitik adalah komplikasi
perdarahan yang disebabkan fibrigenolisis sistemik dan lisis sumbatan
hemostatik normal. Perdarahan sering terjadi pada tempat kateterisasi,
meskipun perdarahan gastrointestinal dan otak pun dapat terjadi. Oleh
karena itu, pasien yang pernah mengalami trauma atau yang memiliki
riwayat stroke perdarahan serebral biasanya tidak diberi trombolitik.
Retrombolisis biasanya terjadi mengikuti trombolisis dan oleh karena itu
antikoagulan seperti heparin biasanya diberikan bersamaan dan dilanjutkan
setelah trombolitik untuk beberapa waktu (DFAK Depkes, 2006)

e. ACE Inhibitor
ACE-I menghambatsintesis Angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang ada dalam sirkulasi dan
penghambatan sintesisnya pada pasien menyebabkan penurunan resistensi
perifer dan tekanan darah. Efek yang tidak diinginkan adalah batuk kering
yang disebabkan karena peningkatan bradikinin (Neal, 2006).

Tabel Obat golongan ACE-I


(Dipiro, et al, 2009)

f. Antihiperlipidemia
Pada sebagian besar penderita hiperlipidemia dapat dikontrol dengan
diet dan olahraga. Namun, bisa juga dengan bantuan obat penurun kadar
lipid darah atau antihiperlipidemia. Saat ini obat antihiperlipid golongan
statin mengalami kemajuan yang sangat menakjubkan dalam mengurangi
kejadian kardiovaskular, karena relative efektif dan sedikit efek samping
serta merupakan obat pilihan pertama. Obat golongan ini dikenal juga
dengan obat penghambat HMG CoA reduktase. HMG CoA reduktase adalah
suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan
dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar
LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma.

Tabel 7. Obat golongan statin


(Dipiro, et al, 2009)

VII. Terapi Non Farmakologi


a. Terapi revaskularisasi
- Operasicoronary artery bypass
Yaitu operasi pembuatan/pemasangan jalur arteri baru di jantung
secara by pass dengan menggunakan arteri dari jaringan tubuh lain.
Hal ini dilakukan agar bagian jantung yang mana arterinya sudah
tersumbat, dipasang arteri baru sebagai saluran sumber oksigen dan
energi.
- Angioplastikoroner
- Percutaneous transluminal coronary angioplasty
- Pemasangan Intra-aortic ballon pump
Pemasangan intra-aortic ballon pump dilakukan bila ditemukan
iskemia berat yang menetap atau berulang walaupun telah diberikan
terapi medic atau bila terdapat in stabilitas hemodinamik berat
- Pemasangan stent

b. Rehabilitasi Medik
- Terevaluasi dengan treadmill atau esrocycle test
- Pelaksanaan fisioterapi
- Pelaksanaan monitoring telemetri
- Program rehabilitasi
c. Modifikasi faktor resiko
1) Berhenti merokok
Merokok menyebabkan pembentukan homosistein, faktor
pencetus aterosklerosis.berhenti merokok berpotensi paling efektif
dari semua tindakan pencegahan, dikaitkan dengan penurunan
mortalitas 36% setelah IM. Dokter yang mengobati pasien PJK
menekankan bahwa risiko kejadian PJK di masa depan dapat
dikurangi dengan berhenti merokok.
2) Mencapai/mempertahankan berat badan optimal
Asupan energy harus dibatasi sesuai jumlah energi yang
dibutuhkan tubuh sehingga dapat mempertahankan (atau
mendapatkan) berat badan yang optimal yaitu, BMI<25 kg/m2.
3) Latihan dan aktivitas fisik yang disesuaikan
Aktivitas fisik secara teratur dikaitkan dengan penurunan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien PJK. Aktivitas
fisik harus dimasukkan ke dalam kegiatan sehari-hari. Latihan aerobic
harus dianjurkan kepada pasien PJK, biasanya sebagai bagian dari
program rehabilitasi jantung terstruktur. Pasien dengan IM akut,
CABG, intervensi koroner perkutan (PCI), angina pectoris stabil atau
gagal jantung kronis stabil harus menjalani intensitas latihan aerobic
sedang sampai kuat 3 kali seminggu dan selama 30 menit per sesi.
4) Diet makanan disesuaikan serta rendah kolesterol
Secara umum, tidak ada suplemen diet yang diperlukan untuk
aturan diet sehat, Konsumsi N-3 polyunsaturatedfattyacid (PUFA),
terutama dari minyak ikan mempunyai manfaat menguntungkan pada
faktor-faktor risiko jantung, terutama pada penurunan trigliserida.
5) Mengontrol tekanan darah
6) Pada pasien DM, mengontrol kadar gula darah,
menghindari terjadi hiperglikemia
Tingginya kadar gula dalam darah dapat memicu terjadinya lesi-
lesi aterosklerosis yang berujung dengan pembentukan thrombus-
trombus di pembuluh darah. Penderita PJK dengan riwayat DM, perlu
mengontrol kadar gula darah, untuk menghindari kemungkinan
terjadinya serangan jantung koroner.
7) Psikoterapi
Peningkatan semangat hidup serta pengurangan tingkat depresi,
stress serta kegelisahan pasien dapat membantu terapi penyakit
jantung koroner.

Perhatian khusus:
1. Pasien dengan tekanan darah rendah
Utamakan penggunaan obat-obat yang efek sampingnya tidak
(atau sedikit) menurunkan tekanan darah.
Jika obat yang digunakan berefek samping menurunkan
tekanan darah, gunakan dengan dosis awal rendah.
2. Pasien dengan denyut jantung rendah
Penurunan denyut jantung hingga <60 b.p.m merupakan
salah satu tujuan dalam terapi sindrom koroner akut. Akan tetapi
pasien yang sudah memiliki denyut jantung rendah perlu
penanganan khusus. Hindari penggunaan obat-obat yang berefek
menurunkan denyut jantung seperti -blocker, ivabradine,
calsium channel blocker.

Beberapa hubungan efek samping, kontraindikasi, interaksi obat-obat


jantung koroner
VIII. Evaluasi Terapi
Perbaikan simptom/gejala dari angina, peningkatan kinerja jantung serta
perbaikan dalam faktor risiko dapat digunakan untuk menilai hasil dari
pengobatan IHD dan angina. Perbaikan simptom/gejala dalam kapasitas latihan
(durasi yang lebih lama) atau simptom/gejala yang lebih sedikit pada tingkatan
yang sama dari latihan merupakan bukti subjektif bahwa terapi bekerja. Setelah
pasien telah mendapatkan terapi medis yang optimal, maka simptom/gejala
seharusnya mengalami perbaikan sekitar 2 sampai 4 minggu dan tetap stabil
sampai penyembuhan penyakitnya mengalami kemajuan. Ada beberapa alat
(misalnya, Seattle angina kuesioner, skalaaktivitas spesifik, sistem klasifikasi
Kanada) yang dapat digunakan memperbaiki reproduksibilitas dari penilaian
simptom/gejala. Jika pasien melakukan dengan baik, maka tidak ada penilaian
lainnya mungkin diperlukan. Penilaian secara obyektif diperoleh melalui
peningkatan durasi latihan pada ETT dan tidak adanya perubahan iskemik pada
EKG atau perubahan hemodinamik yang merugikan.

Kriteria penentuan aktivitas spesifik skala kelas fungsional


Sistem klasifikasiKanada

(Dipiro, et al, 2009)

Echocardiography dan pencitraan jantung juga dapat digunakan, namun


karena faktor biaya, metode tersebut hanya digunakan jika pasien tidak
melaksanakan pengobatan dengan baik guna menentukan revaskularisasi atau
langkah-langkah lain harus dilakukan. Angiografi koroner juga dapat digunakan
untuk menilai sejauh mana stenosis atau re-stenosis setelah angioplasti atau
CABG. Tabel 17-12 menguraikan pengukuran kinerja yang telah ditetapkan
direkomendasikan oleh ACC / AHA.

IX. Kasus
Seorang pasien Tn. B (42 tahun), berat badan 65 kg dan tinggi badan 160 cm,
mendatangi rumah sakit karena mengalami keluhan lelah, sesak nafas dan nyeri
pada bagian dada setelah mengikuti olahraga pagi yang dilakukan rutin bersama-
sama teman kantornya setiap jumat pagi. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata
didapatkan bahwa suhu tubuh 36oC, tekanan darah 165/100 mmHg, detak jantung
60/menit, glukosa darah 3 jam setelah makan 225 mg/dL, kolesterol total 250
mg/dL, HDL= 35 mg/dL, LDL= 130 mg/dL. Dia seorang vegetarian, tidak
mempunyai alergi obat tapi mempunyai kebiasaan merokok minimal 1 bungkus
per hari. Riwayat keluarga Tn. B diketahui bahwa ayahnya meninggal saat
berumur 50 tahun karena serangan jantung. Dia tahu bahwa kolesterol ayahnya
tinggi, overweight, mengkonsumsi makanan berlemak, dan juga tidak pernah
melakukan olahraga. Hasil diagnosis Dokter bahwa pasien Tn. B mengalami
angina pektoris. Dokter meresepkan beberapa obat yaitu nitrogliserin diberikan 3
kali sehari dengan dosis 2,5 mg untuk pengobatan angina, digoxin diberikan 1 kali
sehari dengan dosis 0,125 mg untuk pengobatan aritmia, propranolol diberikan 2
kali sehari dengan dosis 40 mg untuk pengobatan hipertensi, isosorbide dinitrate
(Isordil) diberikan 3 kali sehari dengan dosis 10 mg untuk pengobatan angina.

Penyelesaian :
1. Subjektif
a. Nama : Tn. B
b. Umur : 42 tahun
c. Jenis Kelamin : Pria
d. Keluhan : nyeri pada bagian dada, lelah, sesak nafas
e. Kebiasaan : Merokok minimal 1 bungkus/hari
f. Riwayat Keluarga : Overweihgt, penyakit jantung.
g. Riwayat Pengobatan :-

2. Objektif
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI = Berat badan (kg)/ (Tinggi Badan (m))2
BMI = 65 kg/ 2,56 m2 = 25
No Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
1. Suhu tubuh 360C 36 370C Normal
Denyut nadi 60 100
2. 60 x/menit Normal
(Jantung) x/menit
165/100 120/80
3. Tekanan darah > Normal
mmHg mmHg
Glukosa darah 3 jam
4. 225 mg/dL 80-180 mg/dL > Normal
setelah makan
5. Kolestrol 250 mg/dl <200 mg/dl > Normal
6. HDL 35 mg/dL 40-60 mg/dl < Normal
7. LDL 130 mg/dL < 100 mg/dl > Normal

3. Assesment
Dari kasus tersebut, berdasarkan data-data yang diperoleh Tn. B memiliki
penyakit :
- Angina Pektoris, dilihat dari gejala yang dirasakan nyeri dada, sesak
nafas, terasa nyeri bila beraktivitas (contoh olahraga).
- Hiperlipidemia dilihat dari nilai LDL, kadar kolesterol yang melebihi
kadar normal.
- Diabetes mellitus
- Hipertensi

Obat yang diresepkan dokter :


Nitrogliserin 2,5 mg, 3 kali sehari (pengobatan angina)
Digoxin 0,125 mg, 1 kali sehari (aritmia)
Propanolol 40 mg, 2 kali sehari (Hipertensi)
ISDN (isosorbid dinitrat) 10 mg, 3 kali sehari (angina)
Berdasarkan pengamatan pada kasus ini, ditemukan ada beberapa Drug Related
Problems (DRP) yang terjadi pada obat yang diresepkan dokter, yaitu :
Indikasi tanpa obat
Pasien Tn. B mengalami diabetes dan hiperlipidemia namun tidak
diberi obat.
Kesalahan pemberian obat
Terjadinya polifarmasi antara isosorbide dinitrate dan nitrogliserin,
karena kedua obat tersebut berada pada 1 golongan dengan indikasi yang
sama.Sebaiknya pengobatan angina dipilih salah satu dari kedua obat
tersebut.
Obat tanpa indikasi
Digoxin digunakan untuk tahap infark miokard akut, namun pada
pasien Tn. B tidak mengalami infark miokard, jadi termasuk pemberian
obat tanpa indikasi.
Adverse Drug Reactions (ADR)
Pemberian obat golongan -blocker (propranolol) dapat
menyebabkan hipoglikemi. Pemberian ISDN dapat menyebabkan
hipotensi postural.
Interaksi Obat
a. Digoxin >< Propanolol : konsentrasi serum Digoxin akan bertambah
ketika diberikan bersama dengan propranolol. Sebaiknya dilakukan
monitoring terhadap denyut jantung, konsentrasi serum digoxin dan
kemungkinan toksisitas digoxin yang terjadi pada penggunaan bersama
dengan propranolol (Tatro, 2009).
b. ISDN, Nitrogliserin >< Propanolol : efek Hipotensi Bertambah.
Rekomendasi : Dilakukan penyesuaian jam minum obat, penyesuaian
dosis. Penyesuain gerak tubuh setelah minum obat untuk
meminimalkan hipotensi postural (tekanan darah naik bila adanya
perubahan gerak dari duduk/ berbaring menjadi posisi berdiri).

4. Plan
Tujuan Terapi yang diinginkan adalah menurunkan tekanan darah, glukosa
darah, kadar kolesterol, kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL.

Berdasarkan Drug Related Problem (DRP) yang terjadi pada pasien, maka
dapat disarankan pengobatan, yaitu :

Terapi Farmakologi
Terapi untuk diabetes mellitus
Untuk pengobatan diabetes mellitus pada pasien Tn. B diberikan
glibenklamid. Berdasarkan DIH, 2008, untuk pasien diabetes mellitus
namun tidak obesitas dapat digunakan obat golongan sulfonylurea, dalam
terapi obat sebaiknya dilakukan pemantauan kadar gula pasien. Dosis obat
yang diberikan yaitu glibenklamid 5 mg satu kali sehari, sesudah makan
pagi.
Terapi hyperlipidemia
Pengobatan hyperlipidemia untuk pasien Tn. B, diberikan obat
golongan statin yaitu simvastatin. Dosis awal pengobatan dianjurkan
simvastatin 5-10 mg satu kali sehari pada malam hari.
Terapi hipertensi
Pengobatan hipertensi untuk pasien Tn. B diberikan propranolol.
Dipilih propranolol dibandingkan obat antihipertensi golongan lain
dikarenakan propranolol dapat menurunkan kebutuhan oksigen jantung
dengan cara mengurangi laju kerja jantung (Siswanto et al., 2015).

Terapi Farmakologi yang di sarankan Apoteker:


ISDN 10 mg, 3 kali sehari (sublingual)
Propanolol 40 mg, 2 kali sehari (pagi dan malam hari, sebelum makan)
Glibenklamid 5 mg satu kali sehari, sesudah makan pagi.
Simvastatin 10 mg, satu kali sehari pada malam hari

Terapi non farnakologi :


Menghentikan kebiasaan merokok
Tidak minum minuman beralkohol
Olahraga ringan yang dilakukan secara teratur
Mengelola stress
Diet rendah lemak dan kaya serat untuk hiperlipidemia
Mengurangi asupan natrium
Mengurangi makanan yang terlalu manis
Cukup istirahat
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan


Pengobatan Terkini. www.08E00124.pdf. Diakses 09 Maret 2016
Adems, J.A. 2004. New Blood Tests for Detecting Heart Disease. United State:
Medical Centre Cardiologist Research Foundation.
American Heart Association (AHA). 2014. Medications for Arrhythmia. Tersedia
online di http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/Arrhythmia/
[diakses pada tanggal 6 Maret 2017].
Anonim. Penyakit Jantung Koroner. www.jtptunimus-gdl-sholekhag0-5270-3-
bab2.pdf. Diakses 09 Maret 2016
Baim, D.S. 2008. Diagnostic Cardiac Catherization and Angiography. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition. Mc Graw Hill.
Bloomfield, P. 2006. Investigation Coronary Heart Disease, Cardiovascular
Disease. Dalam: Davidsons Principles and Practice of Medicine, 20th
Edition. Elsvier Limited.
Braunwald, E. 2008. Approach to the Patient with Possible Cardiovascular
Disease. Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition.
Mc Graw Hill.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Obesitas, Gendut yang Enggak
Lucu Lagi. Department Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, Joseph, Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara
G., Posey, L. Michael. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach. Seventh Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. 2006.
Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
Idham, I. 2007. Diagnosis Dan Pengobatan Jantung Koroner (PJK ). Tersedia
online di http://www.pjnhk.go.id/index2.php?option=comcontent&do
pdf=1&id=205. [diakses pada tanggal 6 Maret 2017].
Ladopo, J.A. 2013. Clinical Implications Of Referal Bias in the Diagnostic
Performance Of Exercise Testing for Coronary Heart Disease. United
State: Journal of American Heart Association.
Majid, A. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan
Pengobatan Terkini. Medan: USU e-Repository.
Mayo Clinic. 2012. Coronary Artery Disease :Tests and Diagnosis. Tersedia
online di http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/coronary-artery-
disease/basics/tests-diagnosis/con-20032038. [diakses pada tanggal 6
Maret 2017].
Neal, M.J. 2006. At a Glance: Farmakologi Medis. Edisi Ke-5. Jakarta: Erlangga
Medical Series.
NHS Choices. 2012. Coronary Heart Disease: Diagnosis. Tersedia online di
http://www.nhs.uk/Conditions/coronary-heart-disease/Pages/diagnosis.asp
x. [diakses pada tanggal 6 Maret 2017].
Siswanto et al., 2015. Pedoman tata laksana gagal jantung: Ed Pertama.
Perhimpuna Dokter Spesialis Kardiovascular Indonesia: Jakarta.
Tatro, David. 2009. Drug Interaction Fact. Wolter Kluwer Health: California.
Wells, G. Barbara, Joseph T. Dipiro, Terry L.Schwinghammer, Cecily V. Dipiro.
2009. Pharmacotherapy Handbook 7th. Edition. United States : McGraw-
Hill Companies-Inc

Anda mungkin juga menyukai