Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Diperkirakan satu dari

empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1

milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini

mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler.

(Murray, 2002). Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan

bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan

deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur.

Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah

sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai

TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan

pada populasi bukan kulit putih. (JNC7, 2003; Yao, 2003).

Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat

terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor

terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. (Morgan,

2006). Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi

terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal,

penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.

(Anderson, 2007). Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang

rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan

selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan

1
selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam

sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada

saat pemulihan dari pengaruh anestesia. (Kuwajerwala, 2008)

Dalam ajaran Islam, penyakit yang diderita seseorang memiliki beberapa

makna, yaitu sebagai akibat pola hidup, sebagai musibah, sebagai cobaan atau

ujian, sebagai teguran Allah Swt, sebagai hukuman Allah Swt, sebagai penghapus

dosa, sebagai sarana menaikkan derajat kemuliaan, dan sebagai bentuk kasih

sayang Allah Swt. Tetapi sebelum penyakit itu timbul, Islam mengajarkan

umatnya untuk selalu berikhtiar, dalam hal ini ikhtiar menjaga kesehatan.

Hipertensi merupakan penyakit yang dapat dikontrol untuk mencegah terjadinya

komplikasi seperti penyakit jantung, ginjal, serebral dan vaskuler. Upaya

mengontrolnya merupakan salah satu bentuk ikhtiar dalam menjaga kesehatan.

(Soenarwo, 2009). Namun konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi

yang rutin dalam upaya mengontrol hipertensi, mempunyai potensi terjadinya

interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Tingginya angka

penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat

hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman anestesia dalam manajemen

selama periode perioperatif.

I.2. Permasalahan

1. Bagaimana epidemiologi, etiologi, dan patofisiologi hipertensi?

2. Bagaimana cara diagnosis dan klasifikasi hipertensi?

3. Bagaimana penatalaksaan anestesi pada pasien hipertensi?

2
4. Bagaimana pandangan Islam mengenai anestesi pada pasien

hipertensi?

I.3. Tujuan Penulisan

I.3.1. Tujuan Umum

Memaparkan informasi mengenai pemilihan obat anestesi pada pasien

hipertensi ditinjau dari kedokteran dan Islam.

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui epidemiologi, etiologi, dan patofisiologi hipertensi.

2. Mengetahui cara diagnosis dan klasifikasi hipertensi.

3. Mengetahui penatalaksanaan anestesi pada pasien hipertensi.

4. Mengetahui pandangan Islam tentang anestesi pada pasien hipertensi.

I.4. Manfaat Penulisan

1. Bagi Universitas YARSI

Diharapkan skripsi ini dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan bagi civitas akademika Universitas YARSI. Dapat menjadi

tambahan kepustakaan selain buku pedoman ilmu kedokteran yang lain

mengenai anestesi pada pasien hipertensi, dan dapat bermanfaat sebagai

referensi bagi penyusunan skripsi yang akan datang.

2. Bagi Masyarakat

3
Diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi dan menambah

pengetahuan masyarakat mengenai anestesi pada pasien hipertensi dari

segi kedokteran dan Islam.

3. Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengetahuan dan lebih memahami

seputar anestesi pada pasien hipertensi, serta menemukan titik temu antara

pandangan Islam dengan ilmu kedokteran mengenai topik yang dibahas.

4
BAB II

PEMILIHAN OBAT ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI DITINJAU

DARI SUDUT KEDOKTERAN

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi

Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk

postur, waktu siang atau malam, kondisi emosional, kejadian terkini, pemberian

obat-obatan dan peralatan serta teknik yang digunakan. Diagnosis hipertensi tidak

dapat dilakukan dengan pembacaan tunggal tapi juga memerlukan informasi

riwayat kenaikan tekanan darah sebelumnya. Walaupun kecemasan saat

preoperatif atau nyeri sering menghasilkan beberapa derajat hipertensi bahkan

pada pasien normal, pasien dengan riwayat hipertensi umumnya menunjukkan

peningkatan tekanan darah yang lebih besar saat preoperatif. (Morgan, 2006).

Definisi hipertensi sistemik sering berubah-ubah tetapi hipertensi

umumnya dianggap sebagai tekanan darah tinggi secara konsisten yaitu tekanan

sistolik lebih besar dari 140-160 mmHg dan tekanan diastol lebih besar dari 90-95

mmHg. (Morgan, 2006).

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan diastolik


(mmHg)
Normal < 130 < 85
High normal 130 85 89
Hipertensi
Derajat 1 / Ringan 140 159 90 99
Derajat 2 / Sedang 160 179 100 109
Derajat 3 / Berat 180 209 110 119

5
Derajat 4/ Sangat >210 >120
berat
2.1.2. Epidemiologi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi

gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit

jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit

ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di

Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya

populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar

juga akan bertambah. (Kusmana, 2009).

Hipertensi umumnya dimulai pada usia muda, sekitar 5 sampai 10% pada

20 - 30 tahun. Bagi pasien yang berusia antara 40 70 tahun, setiap peningkatan

tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10

mmHg akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Berdasarkan kriteria

baru, prevalensi hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga kecamatan daerah Jakarta

Selatan pada tahun 2007 mencapai angka 40,1% pada lelaki dan 44,4% pada

wanita. Di Amerika Serikat insiden hipertensi lebih tinggi di kalangan orang-

orang Asia dibandingkan dengan kelompok Eropa, penyebabnya atau dasarnya

tidak diketahui. (Anggraini, 2009).

2.1.3. Etiologi

Beberapa faktor yang pernah dikemukakan relevan terhadap mekanisme

penyebab hipertensi adalah sebagai berikut: (Sherwood, 2001)

Genetik

6
Dibandingkan dengan orang kulit putih, orang kulit hitam di negara

barat lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya

dan lebih besar tingkat morbiditas dan mortalitasnya, sehingga diperkirakan

ada kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik.


Geografi dan lingkungan
Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi

kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa

Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak

meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibandingkan masyarakat barat.


Janin
Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah

tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali

karena lebih sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan

mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir rendah.


Jenis kelamin
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada wanita pra-menoupause

dibanding pria yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.


Natrium
Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya

hipertensi. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mengeluarkan natrium

secara efisien baik diturunkan maupun didapat. Berdasarkan studi

populasi, seperti Studi INTERSALT pada tahun 1988 diperoleh korelasi

antara asupan natrium rerata dengan tekanan darah dan penurunan tekanan

darah dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam.


Sistem renin-angiotensin
Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron

yaitu zat yang memicu natrium dan mengakibatkan terjadinya retensi.


Hiperaktivitas simpatik

7
Hal ini dapat terlihat pada hipertensi usia muda. Katekolamin akan

memacu produksi rennin, menyebabkan kontriksi arteriol dan vena dan

meningkatkan curah jantung.


Resistensi insulin atau hiperinsulinemia
Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui

sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan

reabsorpsi natrium.
Disfungsi sel endotel
Penderita hipertensi mengalami penurunan respon vasodilatasi

terhadap nitrat oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti

endotelin-I, meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas.

2.1.4. Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan

adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang

diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa : 140/90 mmHg


Dewasa muda (remaja) : 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah : 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) : 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan mengenai

Pencegahan, Deteksi, Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003,

klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat

Tabel 2).

8
Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7

Kategori Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)

Normal 120 < 80


120-139
Pre hipertensi 80-90
140-159
Hipertensi tahap 1 90-99
Hipertensi tahap 2 160
100

Klasifikasi di atas untuk dewasa usia 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran

tekanan darah (TD) dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu

pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik

pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran

TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.

(Morgan, 2006). Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai

progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara

130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi

dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. Disamping itu

klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab

dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Hipertensi primer

Hipertensi primer disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik dan

merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil

curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika

curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer bertambah atau keduanya.

9
Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan

perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya

diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai. Pada saat

tersebut, beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah dimulai

sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui

dengan jelas. (Sherwood, 2001; Sylvia, 2006).

Pada hipertensi yang baru dimulai, curah jantung biasanya normal atau

sedikit meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut,

curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya

hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin

sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular

dan vasokonstriksi, sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadinya

kenaikan darah. (Sherwood, 2001; Sylvia, 2006).

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder terjadi akibat masalah primer lain. Penyebab

hipertensi sekunder dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu: (Sherwood,

2001; Sylvia, 2006)

a Hipertensi kardiovaskular, biasanya berkaitan dengan peningkatan

kronik resistensi perifer total yang disebabkan oleh aterosklerosis.


b Hipertensi renal dapat terjadi akibat dua defek ginjal, yaitu oklusi

parsial arteri renalis atau penyakit jaringan ginjal itu sendiri.


c Hipertensi endokrin terjadi akibat gangguan endokrin seperti

feokromositoma dan Sindrom Conn.


d Hipertensi neurogenik yang terjadi akibat lesi saraf.

10
2.1.5. Patofisiologi

Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial) atau yang jarang terjadi dapat

bersifat sekunder yang diakibatkan oleh kondisi medis lain seperti penyakit ginjal,

hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan, atau terapi

estrogen. Hipertensi primer terjadi pada 80-95% kasus dan mungkin disebabkan

oleh hasil kerja jantung yang abnormal, resistensi vaskuler sistemik (SVR), atau

keduanya. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah.

Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan

kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah

jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan

payah jantung. Jantung menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya

aterosklerosis koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen

miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi

akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya

menyebabkan angina atau infark miokardium. (Morgan, 2006).

2.1.6. Terapi Jangka Panjang

Terapi obat telah terbukti mengurangi penyakit hipertensi, mencegah

terjadinya stroke, gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, dan kerusakan

ginjal. (Morgan, 2006).

11
Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan hanya membutuhkan terapi

obat tunggal, yang dapat terdiri dari beta-bloker, angiotensin-converting enzyme

(ACE) inhibitor, calcium channel blockers, atau diuretik. Penyakit yang muncul

bersamaan yang mempengaruhi pemilihan obat termasuk penyakit paru-paru

bronchospastik, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, diabetes, dan

hiperlipidemia, ACE inhibitor dan beta blocker adrenergik umumnya kurang

efektif pada pasien kulit hitam. Selain itu, pengobatan dengan beta bloker

adrenergik saja mungkin juga kurang efektif pada pasien usia lanjut. (Morgan,

2006).

Pasien dengan hipertensi sedang sampai berat sering membutuhkan obat

kedua atau ketiga. Diuretik kurang sering digunakan sebagai pilihan pertama

karena alasan efek samping elektrolit dan metabolik serta meningkatkan kejadian

aritmia. Agen ini sering digunakan untuk melengkapi beta bloker adrenergik dan

ACE inhibitor hanya jika terapi obat tidak efektif. ACE inhibitor telah terbukti

dapat memperpanjang usia hidup pada pasien dengan gagal jantung atau disfungsi

ventrikel kiri. Selain itu, ACE inhibitor dapat mempertahankan fungsi ginjal pada

pasien dengan diabetes dan pasien dengan insufisiensi ginjal. Keakraban dengan

nama dan mekanisme kerja agen antihipertensi yang umum digunakan adalah

wajib untuk anestesi. (Morgan, 2006).

Tabel 3. Agen antihipertensi oral

Kategori Golongan Obat


Diuretik Thiazide-type Chlorothiazide
Chlorthalidone
Hydrochlorothiazide
Indapamide

12
Metolazone

Potassium-sparing Spironolactone
Triamterene
Amiloride
Loop Bumetanide
Asam ethacrynic
Furosemide
Torasemide
Symphatolytics Beta blockers Acebutolol
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Carteolol
Metoprolol
Nadolol
Penbutolol
Timolol
Alpha blockers 1
Doxazosin
Terazosin
1+2
Phenoxybenzamine
Alpha dan beta blockers Labetalol
Carvedilol
Central 2-agonists Clonidine
Guanabenz
Guanfacine
Methyldopa
Postganglionic blocker Guanethidine
Reserpine
Vasodilators Calcium channel blockers Diltiazem
Benzothiazepine
Phenylalkylamines Verapamil
Dihydropyridines Amlodipine
Felodipine
Isradipine
Nicardipine

13
Nifedipine
Nisoldipine

ACE inhibitors Benazepril


Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Moexipril
Perindropil
Quinapril
Ramipril
Trandropil
Angiotensin-reseptor antagonists Candesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Telmisartan
Valsartan
Direct vasodilators Hydralazine
Minoxidil
.

2.2. Anestesi pada Pasien Hipertensi

2.2.1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi

Sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam praktek anestesi adalah

derajat hipertensi preoperasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan

untuk operasi elektif. Kecuali untuk pasien yang dikontrol secara optimal,

kebanyakan pasien hipertensi masuk ke ruang operasi dengan beberapa derajat

hipertensi. Meskipun pada saat preoperatif pasien memiliki hipertensi sedang

(tekanan < diastolik 90-110 mm Hg) namun hal ini tidak menutup kemungkinan

terjadinya komplikasi pasca operasi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa

pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol lebih cenderung untuk

14
mengalami episode iskemia intraoperatif infark, aritmia, atau hipertensi, dan

hipotensi. Penyesuaian intrabedah selama anestesi serta penggunaan obat

vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi postoperasi yang

disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol hipertensi. (Morgan,

2006).

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,

yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah

terjadi

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,

untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat

perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur

diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut

apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu

hipovolemia relatif (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).

Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia

dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya

aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan rontgen toraks akan sangat membantu.

Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat

15
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,

urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan

seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal

kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan

adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah

mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit

arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. (Morgan, 2006).

Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya

bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak

selalu layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.

Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral.

Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi

bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah

sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau

komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan

besar yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang

diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena

ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit

pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter

mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena

hubungannya dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor

diketahui dapat mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu

16
mencukupi kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan

tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada pasien

yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus

ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari. (Morgan,

2006).

2.2.2. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia

dengan tujuan untuk:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestesi

Mengurangi mual-muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat

dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah

sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam. pemberian

antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan

dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa dokter

17
melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat mencegah

menurunkan tekanan darah intraoperatif. Pemberian 2 adrenergik agonis sentral

dapat dijadikan sebagai tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita

hipertensi, pemberian sedasi tambahan klonidine dosis 0,2 mg dapat mengurangi

penggunaan obat anestesi intraoperatif dan mengurangi terjadinya hipertensi

perioperative. Sayangnya, pemerian klonidine selama selain dapat menimbulkan

hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya bradikardi selama operatisi. (Morgan,

2006).

2.3. Manajemen Intraoperatif

2.3.1. Objektif

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah

menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat

diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau

pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan

autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi

mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien

dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit

arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang

berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan

takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan

keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat

pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih

18
dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas

normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg. (Morgan, 2006).

2.3.2. Pemantauan

Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan

intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan

pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur

pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai

dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan

untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau

melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani

tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan

hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering

berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel. (Morgan, 2006).

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan

anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu

tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif

adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode

preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan

mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan

darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat

antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke

19
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa acuan

yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: (Morgan, 2006)

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal

yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala

hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian

stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama

dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi

dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia

dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang

(balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total

intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat

dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional

sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada

pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-

obatan yang diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti

phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. (Morgan, 2006).

2.3.3. Induksi Anestesi

20
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun

saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi

perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga

pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia

sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi

sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang

sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor

blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena

laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan

iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi

endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat

membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik

dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk

menghindari terjadinya hipertensi. (Morgan, 2006)

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama

5-10 menit.

Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil

0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.

Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

21
Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

2.3.4. Pemilihan obat anestesi

A. Obat induksi

Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum

jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan

tekanan darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi

dibandingkan dengan pasien normotensi. Barbiturat, benzodiazepin, propofol,

dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien

hipertensi. Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan

operasi karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat

dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya,

terutama benzodiazepin atau propofol. (Morgan, 2006).

B. Rumatan

Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau

dengan oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous +

relaksan otot), atau sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik

pengobatan primer, penambahan agen volatile atau vasodilator intravena

umumnya memungkinkan kontrol lebih memuaskan tekanan darah

intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif cepat dan

reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruh terhadap

tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa dokter percaya bahwa

22
pemberian opioid dan sufentanil dapat menekan saraf otonom serta

mengontrol tekanan darah. (Morgan, 2006).

C. Pelumpuh otot

Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh

otot dapat digunakan secara rutin. Pankuronium memiliki efek memblokade

syaraf vagal dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk

keadaan pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Ketika pankuronium

diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan terjadi peningkatan

detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna utnuk

mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh manipulasi

opioid atau bedah. Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine, merocurine,

acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan untuk pasien

hipertensi. (Morgan, 2006).

D. Vasopressors

Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk

kedua ranjau-catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan

agonis simpatik eksogen diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk

mengobati hipotensi berlebihan, dosis kecil agen langsung penuaan seperti

fenilefrin (25-50 g) mungkin lebih baik untuk agen langsung.Namun

demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal.

Kesabaran sympatholytics diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan

respon jatuh ke vasopressors, terutama efedrin. (Morgan, 2006).

23
2.4. Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi intraoperatif yang tidak menanggapi peningkatan kedalaman

anestesi (terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen

parenteral menyebabkan reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak

memadai, hipoksemia, atau hypercapnia harus selalu dikecualikan sebelum

memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada

ketajaman, keparahan, dan menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel,

tingkat hem, dan adanya penyakit paru-paru bronchospastic -adrenergik blokade

sendiri atau sebagai dukungan-plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien

dengan fungsi ventrikel yang baik dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi

pada pasien dengan penyakit bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik

untuk pasien dengan penyakit bronchospastic. Reflex tachycardia berikut

nifedipin sublingual telah associted dengan infark ischernia. Nitroprusside tetap

menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan intraoperarive

hipertensi sedang sampai parah. Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga

berguna dalam mengobati atau mencegah iskemia miokard. Fenoldopam juga

merupakan agen yang berguna dan dapat meningkatkan atau mempertahankan

fungsi ginjal. Hydralazine berkelanjutan menyediakan kontrol tekanan darah

namun memiliki onset tertunda dan sering dikaitkan dengan takikardi refleks.

Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena kombinasi blockade dan

adrenergik. (Morgan, 2006).

2.5. Manajemen Postoperatif

24
Hipertensi pascaoperasi harus diantisipasi terutama pada pasien dengan

hipertensi kurang terkontrol. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan

baik di ruang pemulihan dan periode pasca operasi dini. Iskemia miokard dan

gagal jantung kongestif dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah

sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan gangguan pembuluh darah.

(Morgan, 2006).

Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan

dengan gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung

kemih. Masalah tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi

parenteral dapat dilakukan jika perlu. Pemberian nicardipine melalui intravena

berguna dalam mengontrol tekanan darah terutama jika dicurigai iskemia miokard

dan bronkospasme. Ketika pasien kembali mendapatkan asupan oral, maka

pengobatan preoperatif harus ulang diulang kembali. (Morgan, 2006).

BAB III

PEMILIHAN OBAT ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI DITINJAU

DARI SUDUT ISLAM

3.1. Hipertensi Dari Sudut Pandang Islam

25
Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat dalam sebagian

besar masyarakat barat dan kelainan yang paling umum terjadi pada pasien

sebelum operasi pembedahan dengan prevalensi keseluruhan 20-25%. Hipertensi

tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya aterosklerosis

dan kerusakan organ. Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk penyakit

jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah. (Morgan, 2006).

Penyakit yang ada di dunia ini dibagi menjadi penyakit menular dan

penyakit tidak menular. Hipertensi termasuk dalam penyakit tidak menular.

Semua jenis penyakit yang ada, baik menular ataupun tidak menular, tidak lepas

dari kekuasaan Allah Swt sebagai yang Maha Pencipta. Seluruh yang terjadi di

muka bumi dan alam semesta ini menunjukkan tanda-tanda adanya kebesaran dan

kekuasaan Allah Swt, sesuai dalam firman-Nya :

Artinya :
Itulah Allah, Rabb kalian; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu,
maka sembahlah Dia; Dialah Pemelihara segala sesuatu. (Q.S Al-Anam (6) :
102)

Pada ayat lain Allah Swt berfirman :

26
Artinya :
Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berakal. (Q.S Al-Imran (3) : 189-190)

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi

gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit

jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Terapi

obat telah terbukti mengurangi penyakit hipertensi, mencegah terjadinya stroke,

gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, dan kerusakan ginjal. Selain itu

diperlukan juga modifikasi gaya hidup, seperti rutin berolahraga, pola makan yang

sehat, berhenti merokok dan hindari stress. (Morgan, 2006).

Tindakan terapi obat dan modifikasi gaya hidup pada penderita hipertensi

merupakan suatu usaha dalam mengobati dan mencegah terjadinya komplikasi

yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu anjuran untuk selalu berikhtiar, termasuk

berikhtiar dalam menjaga kesehatan. Anjuran berikhtiar dalam Al-Quran

sebagaimana tersirat dalam firman Allah Swt :

Artinya :

27
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya). (Q.S An-Najm (53) : 39-40)

Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan

masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia.

Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi

kemungkinan besar juga akan bertambah. (Kusmana, 2009).

Usia tua merupakan risiko yang tidak dapat dihindari, karena sel-sel tubuh

setiap manusia akan mengalami proses degeneratif. Faktor risiko yang lain,

misalnya riwayat keluarga atau faktor genetik. Faktor genetik yang sudah dibawa

oleh seseorang tidak akan muncul apabila tidak didukung oleh faktor yang lain,

misalnya pola makan yang banyak mengandung lemak, merokok, tidak

berolahraga, dan lain-lain. Bila membicarakan mengenai faktor genetik, tidak

lepas dari masalah takdir yang ditentukan oleh Allah Swt, sehingga setiap

penderita hendaknya bisa menerima ujian tersebut dan menyikapinya dengan baik,

yaitu dengan tetap melakukan ikhtiar melalui pengobatan yang sesuai dengan

ajaran Islam (Zuhroni, 2010). Di dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw

menjelaskan mengenai anjuran untuk berobat dan ketuaan, yaitu :

Artinya :

28
Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah Swt
tidak sekali-kali membuat penyakit melainkan Dia membuat pula obatnya, kecuali
satu penyakit, yaitu penyakit tua. (HR. Imam Ahmad)

Suatu ikhtiar harus disertai dengan sikap tawakal, karena tetap Allah Swt yang

Maha Menentukan segala sesuatu, sebagaimana dalam firman-Nya :

Artinya :
....dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu. (Q.S Ath-Thalaaq (63) : 3)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi hipertensi adalah obesitas, faktor ini

secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya hipertensi. Obesitas atau

overweight merupakan suatu kondisi yang erat kaitannya dengan perilaku makan

yang berlebihan. (Kusmana, 2009). Sedangkan dalam ajaran Islam menekankan

untuk makan dan minum yang halal, jumlah dan kadar yang sesuai serta tidak

berlebihan, seperti ditegaskan dalam firman Allah Swt :

Artinya :
....dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (Q.S Al-ARaf (7) : 31)

29
Artinya :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S Al-Baqarah (2) :
168)

Islam juga mengajarkan pola hidup Islami dalam hal makan dan minum,

seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu mencuci tangan

sebelum dan setelah makan; berdoa sebelum dan setelah makan; menghormati

makanan, dengan cara tidak mencela makanan dan selalu bersyukur terdapat

makanan yang ada di hadapan kita; tidak memaksa diri makan sebelum lapar;

tenang dan tidak tergesa-gesa saat makan; menggunakan tangan kanan;

menggunakan tiga jari; tidak ekspansif dan berlebih-lebihan; minum tiga kali

tegukan tanpa membuang napas; tidak makan makanan yang terlalu panas atau

terlalu dingin; duduk saat makan; membersihkan mulut setelah makan.

(Soenarwo, 2009).

Merokok juga merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya hipertensi. Banyak penyakit yang dapat timbul akibat zat nikotin

yang terkandung dalam rokok. Oleh karena itu rokok sangat membahayakan diri

sendiri dan juga merugikan orang lain di sekitarnya. Ajaran Islam sangat melarang

tindakan tersebut. Sebagaimana Rasullullah Saw bersabada :

30
Artinya :
Orang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya
terhadapnya dan tidak boleh pula menyerahkannya (kepada musuh), barang
siapa mengusahakan keperluan saudaranya, maka Allah selalu berada dalam
keperluannya. Dan barang siapa menolong orang muslim dari suatu bencana,
maka Allah menolongnya dari suatu bencana besar kelak di hari kiamat. Dan
barang siapa menutupi seorang muslim, maka niscaya Allah akan menutupinya
kelak di hari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Perilaku menjaga diri sendiri dari hal-hal yang tidak baik merupakan sikap yang

disukai oleh Allah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya :

Artinya :
...dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-Baqarah
(2) : 195)

3.2. Anestesi pada Pasien Hipertensi dari Sudut Pandang Islam

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit saat melakukan pembedahan dan berbagai prosedur

lainnya pada tubuh. Ratusan tahun yang lalu para dokter Muslim terkemuka,

31
seperti Ibnu Sina, Al-Zahrawi, Ibnu Zuhr, dan Ibnu Al-Nafis telah sukses

melakukan operasi pembedahan. Dokter Muslim di era keemasan sudah

menguasai ilmu bedah. Mereka sudah terbiasa melakukan operasi besar, seperti

amputasi, operasi tumor, pengobatan tulang patah, dan beragam operasi lainnya.

Sebuah pencapaian gemilang yang belum pernah dilakukan peradaban

sebelumnya. (Jasser, 2009).

Peradaban sebelum Islam dan kebudayaan lain yang sezaman dengan

dunia Islam memandang, penderitaan kerena rasa sakit merupakan harga yang

harus dibayar seorang manusia atas dosa yang diperbuat. Namun, para dokter

Islam menolak konsep yang menyatakan rasa sakit sebagai hukuman dari Tuhan.

Itulah yang mendorong para dokter Muslim mengembangkan bidang anestesi.

Untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani operasi atau

pembedahan, para dokter Muslim di era kekhalifahan menggunakan obat

penenang dan campuran analgesik. (Jasser, 2009).

Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk menggunakan obat dengan

bahan yang tidak diharamkan, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut :

Artinya :
Dari Abu Darda ra. Dari Nabi Muhammad Saw sabdanya : Sesungguhnya Allah
telah menurunkan penyakit dan obat dan Dia menjadikan setiap penyakit ada
obatnya, karena itu berobatlah kalian, akan tetapi janganlah berobat dengan
sesuatu yang diharamkan. (HR. Abu Daud).

32
Nabi juga menyatakan :

Artinya :
Allah tidak menjadikan penyembuhan dengan apa yang diharamkan atas
kamu. (HR. Al-Baihaqi).

Ulama menyatakan yang dimaksud dengan al-muharram, sebagaimana

dinyatakan dalam hadits nabi di atas, bukan hanya khamr tetapi juga menyangkut

segala sesuatu yang membahayakan kepala, otak dan menghilangkan ingatan baik

dari bahan tumbuh-tumbuhan atau obat-obatan yang membahayakan, zat adiktif

lain yang meliputi penggunaan obat bius (al-mukhaddirat) seperti ganja, kokain,

heroin dan sebagainya. Diharamkan karena unsur zat itu memabukkan, akan

merusak fungsi otak, melalaikan dzikir kepada Allah dan membahayakan tubuh,

ulama sepakat mengharamkannya (Zuhroni, 2010).

Dari uraian di atas, sudah jelas ditegaskan bahwa dalam upaya

pengobatan, Islam melarang menggunakan sesuatu yang diharamkan walaupun

hanya sedikit, akan tetapi bila satu-satunya obat yang tersedia untuk

menyembuhkan suatu penyakit ternyata haram menurut Islam, maka situasi

demikian disebut darurat, berdasarkan kaidah hukum Islam berikut ini :

(Soenarwo, 2009).

Artinya :

33
Sesungguhnya yang dipandang darurat (tidak dapat dielakkan) membolehkan
sesuatu yang dilarang.

Artinya :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu bangkai, darah,
daging babi, dan apa-apa yang disembelih dengan nama selain Allah. Maka
barang siapa yang terpaksa tidak karena keinginan dan tidak pula melampaui
batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang. (Q.S An-
Nahl (16) : 115).

Dari ayat dan hadits di atas, para pakar ulama fiqih menemukan dasar

bahwa dalam keadaan darurat seseorang dibebaskan dari berbagai larangan.

Keadaan darurat ditetapkan sekedar sesuai dengan kepentingannya dan akan

berubah atau menjadi gugur bila keadaan itu telah berubah. Tetapi penggunaan

obat-obat haram bagi penderita penyakit, para ulama fiqih tersebut masih

berselisih pendapat. Walaupun demikian membolehkan penggunaan obat-obat

haram itu dengan dua syarat, yaitu : (Soenarwo, 2009).

1. Dokter yang menangani pengobatan itu haruslah seseorang yang ahli,

yang dapat dipercaya dan memegang amanah.

2. Tidak ada obat-obat lain kecuali haram itu sendiri, digunakan dengan

takaran yang tidak melampaui batas, harus sesuai dengan

kebutuhannya saja.

Penggunaan anestesi pada pasien dalam operasi tidaklah melanggar hukum

jika operasi tersebut dibutuhkan dan tidak melanggar syariat agama. Bahkan

34
penggunaan anestesi dan sedatif pada pasien dalam operasi sangat penting untuk

mempermudah jalannya operasi bagi dokter, dan menghilangkan rasa sakit bagi

pasien. Kepentingan ini membuat penggunaan obat yang terlarang menjadi

diperbolehkan. Imam Al Nawawi mengatakan : "Dan jika ada kebutuhan

untuk memotong tangan seseorang yang sakit, maka sah untuk menggunakan

sesuatu yang membuatnya kehilangan kesadarannya." Ulama Malikite lain

mengatakan : Jelas bahwa memberi beberapa obat penidur agar dapat memotong

organ yang memburuk adalah sah. Imam Alaadin Al Hambali mengatakan :

Mengkonsumsi sesuatu yang dapat menyebabkan ketidaksadaran untuk

keperluan yang tidak legal, adalah sama dengan mengkonsumsi alkohol.

(Islamweb, 2001).

Pengobatan dalam hal ini dengan metode operasi adalah suatu kepentingan

yang dibutuhkan bagi kesehatan pasien. Maka, penggunaan anestesi dengan niat

yang baik untuk tujuan pengobatan tidak diharamkan. Karena dalam Islam segala

amal perbuatan itu tergantung dari niatnya. Bila niatnya baik, maka baiklah amal

perbuatannya namun bila niatnya buruk, maka buruklah amalnya. Seperti yang

diterangkan dalam hadits berikut :

Artinya :
Sesungguhnya amal-amal itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang
itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu
Daud dan At-Tirmidzy) (Qudamah, 1998).

35
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita

yang cukup tinggi.Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa

menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral,

ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang

bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para

ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen

perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan

sampai periode pascabedah. (Morgan, 2006).

Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting

dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama

intraoperatif maupun yang terjadi pada pascapembedahan. Goncangan

hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi,

yangbisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi, dan komplikasi yang

paling tidak diinginkan adalah kematian. Hal ini harus diantisipasi dengan

perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan

perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-

obatan antihipertensi maupun obat-obatan anestesia. (Morgan, 2006). Namun

bagaimanapun juga, kematian tetaplah merupakan rahasia Allah Swt, oleh karena

itu dalam kondisi apapun manusia harus selalu berikhtiar dan beribadah di jalan-

Nya. Allah Swt berfirman :

36
Artinya :
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (Q.S Az-Zumar (39) : 42)

3.3. Ikhtiar Menjaga Kesehatan dari Sudut Pandang Islam

Makna sakit dan penyakit yang merupakan suatu cobaan atau ujian,

artinya manusia akan dinaikkan derajatnya di hadapan Allah Swt, karena sakit dan

penyakit merupakan suatu ujian kesabaran, berbaik sangka kepada Allah Swt dan

berupaya untuk mendapatkan penyembuhan. Allah Swt menguji seluruh umatnya

dengan semua tingkatan keimanan. (Soenarwo, 2009). Allah berfirman dalam Al-

Quran :

Artinya :
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S Al-Ankabut (29) : 2)

Pada ayat yang lain Allah Swt berfirman :

Artinya :
..... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.
(Q.S Al-Anbiya (21) :35)

37
Islam adalah agama penyempurnaan agama-agama sebelumnya, yang

diturunkan melalui rasuk akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Kesempurnaan

agama Islam dapat diketahui melalui Al-Quran dan Hadits, yang menjelaskan

semua aspek kehidupan. Dalam ikhtiar menjaga kesehatan, Imam Hakim dan

Baihaqi telah meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, dijelaskan tentang

menjaga lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya, beliau bersabda

sebagai berikut : (Soenarwo, 2009)

Artinya :
Gunakanlah lima perkara sebelum lima perkara lainnya, yaitu : hidupmu
sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, senggangmu sebelum sibukmu,
mudamu sebelum tuamu, kayamu sebelum miskinmu. (HR. Hakim dan Baihaqi)

Ada tiga hal yang disampaikan dalam hadits di atas yang berhubungan

dengan ikhtiar menjaga kesehatan, yaitu jaga sehat sebelum datang waktu sakit,

jaga masa muda sebelum datang masa tua, dan jaga masa hidup sebelum

datangnya maut. (Soenarwo, 2009)

Nikmat sehat baru dapat dirasakan apabila seseorang terbaring tidak

berdata di tempat tidur karena sakit. Nabi Muhammad Saw mengingatkan agar

manusia memanfaatkan saat-saat sehat untuk melakukan aktivitas yang positif dan

produktif. Jadi sangat jelas bahwa Islam sangat preventif dalam masalah

kesehatan. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi Muhammad

Saw bersabada :

38
Artinya :
Ada dua nikmat yang selalu memperdaya kebanyakan manusia, yaitu sehat dan
waktu senggang. (HR. Bukhari)

Orang yang dapat menjaga kesehatan adalah orang yang pandai

menggunakan kesempatan di waktu hidup, karena badan atau tubuh adalah

amanah dari Allah Swt yang harus dijaga agar jangan sampai rusak, misalnya

rusak karena penyakit. Salah satu sifat manusia yang tercela adalah merusak,

namun Allah Swt adalah Maha Pelindung umat-Nya. Sifat Allah yang Maha

Pelindung tersurat pada Al-Quran :

Artinya :
Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia
ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan
Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju
besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).
(Q.S An-Nahl (16) : 81)

Di antara upaya menjaga kesehatan adalah melalui upaya preventif agar

individu atau masyarakat jangan tertimpa penyakit, yaitu dengan cara

39
memperhatikan kesehatan lingkungan, membasmi atau menghindari berbagai

penyakit menular, dan memberikan penerangan serta pengetahuan kesehatan

kepada masyarakat. Fatwa Nabi terhadap kesehatan masyarakat juga dapat dilihat

dalam sejumlah hadits yang menganjurkan agar menjauhkan diri dari pengaruh

berbagai penyakit menular, menjauhkan diri dari zona yang sedang terjangkit

wabah virus dan penyakit berbahaya. (Zuhroni, 2010). Seperti anjuran di dalam

hadits Rasulullah Saw tentang etika menjenguk orang yang sakit :

Artinya :
Pahala yang paling utama dalam menjenguk orang yang sakit ialah cepat
berpamitan dari sisi orang yang sakit. (HR. Ad-Dailami melalui Jabir r.a)

Agar terhindar dari penyakit-penyakit berat, seperti al-Thaun, al-Barash,

al-Waba, al-Bala, al-Judzam, dan sejenisnya, Nabi berdoa untuk dijauhkan dari

penyakit-penyakit berat tersebut :

Artinya :
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit al-Barash, gila, al-Judzam,
dan buruknya penyakit. (HR. Al-thabarani, Ibnu Hibban, Abu Dawud, dan
Ahmad dari Anas bin Malik).

40
BAB IV

KAITAN PANDANGAN KEDOKTERAN DAN ISLAM TENTANG

PEMILIHAN OBAT ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita

yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa

menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral,

ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang

41
bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para

ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen

perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan

sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan

penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi,

baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada

pascapembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa

hipertensi maupun berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai

komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya pemahaman tentang teknik

anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi

obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan antihipertensi maupun obatobatan

anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat. Dengan manajemen

perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita hipertensi yang akan

menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau meminimalkan angka

morbiditas maupun mortalitas.

Menurut Islam, keberadaan hipertensi yang termasuk ke dalam penyakit

tidak menular ini tidak lepas dari ketentuan dan kekuasaan Allah Swt sebagai

Maha Pencipta. Hipertensi dapat tidak menimbulkan keluhan, maka terkadang

individu-individu yang terkena hipertensi tidak menyadarinya. Oleh karena itu

pemeriksaan kesehatan untuk menskrining hipertensi diperlukan sebagai

pendeteksian dini agar upaya pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan

kesehatan dan upaya pencegahan dalam ajaran Islam merupakan suatu ikhtiar

untuk menjaga kesehatan. Terjadinya hipertensi didukung oleh beberapa faktor

42
yang dimiliki penderita, antara lain adalah pola makan yang tidak sehat, terutama

yang berlebihan. Dalam ajaran Islam menekankan bahwa makan dan minum harus

halal, diatur kadar dan takarannya, serta tidak berlebihan.

Anestesi telah dikembangkan dalam kedokteran Islam semenjak ratusan

tahun yang lalu. Para dokter Muslim di era kekhalifahan menggunakan obat

penenang dan campuran analgesik dalam pembedahan. Ajaran Islam

menganjurkan umatnya untuk menggunakan obat dengan bahan yang tidak

diharamkan. Bahan-bahan yang diharamkan bukan hanya khamr, tetapi juga

menyangkut segala sesuatu yang membahayakan kepala, otak dan menghilangkan

ingatan baik dari bahan tumbuhan atau obat yang berbahaya, zat adiktif lain yang

meliputi penggunaan obat bius (al-mukhaddirat) seperti ganja, kokain, heroin dan

sebagainya. Akan tetapi dalam keadaan darurat membolehkan penggunaan obat-

obat dengan bahan haram dengan syarat dokter yang menangani haruslah yang

ahli, dapat dipercaya dan memegang amanah serta obat tersebut digunakan

dengan takaran yang tidak melampaui batas, sesuai dengan kebutuhannya saja.

Penggunaan anestesi pada pasien dalam operasi tidaklah melanggar hukum jika

operasi tersebut dibutuhkan dengan tujuan yang baik dan tidak melanggar syariat

agama. Bahkan penggunaan anestesi dan sedatif pada pasien dalam operasi sangat

penting untuk mempermudah jalannya operasi bagi dokter dan menghilangkan

rasa sakit bagi pasien.

43
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat dalam sebagian

besar masyarakat barat dan kelainan yang paling umum terjadi pada pasien

sebelum operasi pembedahan dengan prevalensi keseluruhan 20-25%.

Hipertensi tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat

44
terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ. Hipertensi merupakan

faktor resiko utama untuk penyakit jantung, otak, ginjal dan pembuluh

darah. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien

dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Beberapa

faktor yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain adalah genetik,

geografi dan lingkungan, janin, natrium, sistem renin-angiotensin,

hiperaktivitas simpatik, resistensi insulin atau hiperinsulinemia, dan

disfungsi sel endotel.


2. Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan

adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Menurut The Joint National

Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan mengenai Pencegahan, Deteksi,

Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003, klasifikasi hipertensi

dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.


3. Anestesi pada pasien hipertensi dilakukan dengan penilaian preoperatif

terlebih dahulu yaitu mengenai jenis pendekatan medikal yang diterapkan,

ada tidaknya kerusakan target organ, status volume cairan tubuh, dan

kelayakan penderita untuk dilakukan teknik hipotensi. Pada intraoperatif

yang terpenting adalah mempertahankan kestabilan hemodinamik.

Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di ruang pemulihan

dan periode pasca operasi dini. Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk

pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien.


4. Dalam pemilihan obat anestesi bagi pasien hipertensi, barbiturat,

benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah induksi anestesi yang

paling aman. Anestesi rumatannya adalah pemberian opiopd dan sufentanil

45
yang dapat menekan saraf otonom serta mengontrol tekanan darah.

Sebagai pelumpuh otot, pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine,

merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan

untuk pasien hipertensi.


5. Di dalam ajaran Islam, ikhtiar dalam menjaga kesehatan sangat

diutamakan, terutama mengenai mengontrol tekanan darah. Karena

tekanan darah yang tinggi dan tidak terkontrol dapat mengakibatkan

berbagai komplikasi dan kerusakan target organ. Tindakan pencegahan

hipertensi yaitu ikhtiar dalam menerapkan pola hidup Islami dan

melakukan pemeriksaan tekanan darah teratur. Ikhtiar yang dilakukan

harus disertai dengan tawakal, karena ketentuan dan ketetapan atau takdir

merupakan kuasa Allah Swt, sesuai dengan rukun iman ke enam, yaitu

mengimani qada dan qadar.


6. Penggunaan anestesi pada pasien dalam operasi tidaklah melanggar hukum

jika operasi tersebut dibutuhkan dengan tujuan yang baik dan tidak

melanggar syariat agama. Bahkan penggunaan anestesi dan sedatif pada

pasien dalam operasi sangat penting untuk mempermudah jalannya operasi

bagi dokter dan menghilangkan rasa sakit bagi pasien.

5.2. Saran
1. Untuk Tenaga Ahli : perlu pengkajian yang lebih mendalam dan memberi

ketetapan mengenai penatalaksanaan anestesi dan pemilihan obat anestesi

bagi pasien hipertensi.


2. Untuk Tenaga Medis : memberikan penyuluhan dan penerangan tentang

hipertensi, manfaat dan cara mengontrol tekanan darah yang tinggi, serta

komplikasi dari hipertensi.

46
3. Untuk Majelis Ulama Indonesia : agar mengeluarkan fatwa mengenai jenis

obat-obatan anestesi yang digunakan dalam operasi.


4. Untuk Masyarakat : membiasakan hidup sehat yang Islami, makan

makanan bergizi baik, tidak merokok, rutin berolahraga, serta menghindari

faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hipertensi. Sehingga dapat

mengurangi angka morbiditas dan mortalitas komplikasi dari hipertensi

seperti penyakit jantung koroner atau stroke.

47

Anda mungkin juga menyukai