Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ascaris lumbricoides adalah nematode yang paling besar dan paling sering
menyebabkan ascariasis pada manusia. Tiga puluh tiga persen populasi dunia
diperkirakan diinfestasi oleh cacing ini. Penemuan ilmiah pertama dari genus ascaris
dikemukakan oleh Linnaeus pada tahun 1758, diikuti oleh Epstan and Grassi pada
abad berikutnya yang mengemukakan bahwa infeksi terjadi akibat telur ascaris yang
tertelan.
Distribusi ascaris lumbricoide yang luas mengakibatkan 1,4 miliar penduduk
dunia terinfeksi dan daerah Asia tenggara merupakan daerah yang paling endemis.
Penyebaran yang luas ini dipicu juga oleh kebiasaan orang yang sering bepergian atau
berwisata ke daerah tropis. Daerah tropis mempunyai kondisi tanah yang lembab dan
curah hujan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan cacing. Pada Negara tropis
70% anak-anak terinfeksi cacing. Asia Tenggara dan China menunjukkan prevalensi
41-92%, di daerah tertentu di Afrika prevalensinya mencapai 95%. (Das, 2014)
Askariasis hepatobilier dan askariasis pankreatik (HPA) adalah satu tipe ascariasis
pada manusia, pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di India. Ascariasis bilier
disebabkan oleh bermigrasinya nematode Ascaris lumbricoides ke dalam traktus
bilier. Pasien akan mengalami gejala sumbatan bilier berupa nyeri kolik, kolangitis,
kolesistitis, abses hepar, dan pankreatitis akut. Ascaris melintang di dalam kandung
empedu secara tranversal kemudian terjebak dan mati. Proses ini kemudian akan
mengarah ke pathogenesis hepatolitiasis. Ascariasis bilier cenderung terjadi di Negara
atau daerah yang endemis. HPA merupakan 36.7% penyebab penyakit bilier, 23%
pankretitis akut, 14.5% abses hepar dan 12.5% batu kandung empedu. Diagnosis pasti
ascariasis bilier adalah ultrasonografi. Modalitas terapi yang digunakan adalah
antihelminth dan pembedahan pada kasus batu atau obstruksi berat. (Khuroo dkk,
2016)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Askariasis
Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides
atau yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang (Onggowaluyo, 2002).
Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies cacing yang termasuk ke dalam
Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Rhabditia, Famili Ascarididae dan
Genus Ascaris. Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar
pada manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding infeksi
cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam
jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang panas
(Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.2. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan), terutama di
daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi (Soedartono, 2008).
Berdasarkan survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, prevalensi
infeksi cacing gelang ini mencapai sekitar 60-90% dan merupakan prevalensi
terbesar dibandingkan infeksi cacing lainnya (Ismid et al., 2008). Di dunia lebih
dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis cacing. Jumlah orang yang terinfeksi
Ascaris lumbricoides di Asia, Afrika dan Latin Amerika adalah 1,2 sampai 1,4
miliar dengan rata-rata 1,8 sampai 10,5 juta per hari. Angka kematian akibat cacing
ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2012). Hasil survei kecacingan
oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8% siswa-siswi SD menderita
kecacingan.
Prevalensi ascariasis berbanding langsung dengan kepadatan jumlah penduduk
pada suatu daerah, status sanitasi lingkungan, tingkat pendidikan, pola makan dan
personal hygiene misalnya memakan makanan yang belum dicuci dan kebiasaan
mencuci tangan, penggunaan saluran air yang kotor. Tigapuluh persen diderita oleh
rang dewasa dan 60-70% pada anak-anak pada daerah endemis. Pada umumnya

2
peningkatan status ekonomi menurunkan jumlah orang yang terinfeksi, misalnya
jepang pada tahun 1945 hampir 80% menderita ascariasis, namun pada tahun 1992
prevalensinya turun menjadi 0,04%. Di satu sisi Amerika latin pada periode yang
sama tidak menunjukan perubahan prevalensi ascariasis, oleh karena itu
peningkatan kualitas hidup menjadi strategi kontrol infeksi yang penting. Perilaku
yang dapat menyuburkan penularan telur ascaris adalah berak di tanah khususnya
yang dilakukan oleh anak-anak, sehingga hal tersebut harus dihentikan.
Ascariasis hepatobilier sebelumnya ditemukan secara tidak sengaja pada
prosedur pembedahan dan autopsi. Terkadang jumlahnya menjadi dibawah
estimasi karena cacing dapat leluasa keluar masuk ke dalam duktus bilier dan
duodenum secara bebas sehingga menjadi sulit dideteksi. Pada awal tahun 80an
dan 90an peningkatan jumlah kasus ascariasis bilier yang dilaporkan kian
meningkat sehingga dunia menjadi waspada dan menaruh perhatian karena
menjadi penyebab obstruksi dan striktur CBD (common bile duct). Pada penelitian
yang dilakukan di India, ascaris menjadi penyebab penyakit bilier dan pankreatik
sebnyak 36,7% dari 109 orang yang dijadikan sampel. Di Filipina ascaris menjadi
penyebab 20% penyakit bilier (Das, 2014)

2.3. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem/ merah
muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40cm. Ukuran cacing betina
20-35cm, diameter 3-6mm dan cacing jantan 15-31cm dan diameter 2,4mm. Mulut
cacing ini memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di
bagian dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat
rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan mempunyai ujung posterior tajam
agak melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule
panjangnya 2mm yang muncul dari orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat
sejumlah papillae. Cacing betina mempunyai ujung posterior tidak melengkung
ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina juga mempunyai vulva yang sangat
kecil terletak di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh
dan mempunyai tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur

3
(oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan (Ideham
dan Pusarawati, 2007).
Telur Ascaris lumbricoides ditemukan dalam dua bentuk, yang dibuahi
(fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized). Telur cacing ini memerlukan waktu
inkubasi sebelum menjadi infektif. Perkembangan telur menjadi infektif tergantung
pada kondisi lingkungan, misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan, dan
tanah liat. Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar
matahari langsung, dan pemanasan 70oC. Telur yang dibuahi berbentuk bulat
lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur yang
dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan dalam dari bahan
lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen,
lapisan paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi, berwarna coklat
keemasan berasal dari warna pigmen empedu). Kadang-kadang telur yang
dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur
yang dibuahi ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan
granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi mempunyai panjang 88 94
mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur unfertile dikeluarkan oleh cacing betina yang
belum mengalami fertilisasi atau pada periode awal pelepasan telur oleh cacing
betina fertil (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Gambar 2.1. Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides


Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html

4
Gambar 2.2. Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi (unfertilized)
Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html

Gambar 2.3. Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi (fertilized)


Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html

2.4. Siklus Hidup


Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam
tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif
yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang
infektif ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang
mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas, dinding telur
akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus
halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar
menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam
alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing

5
berpindah ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring,
esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit,
larva cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva
cacing dalam darah tersebut disebut lung migration. Dua bulan sejak infeksi
(masuknya telur infektif per oral) terjadi, seekor cacing betina mampu mulai
bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari
(Soedarto, 2008).

Gambar: Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides


Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Ascariasis.html

Keterangan gambar:
Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus. Cacing betina menghasilkan telur
sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan bersama tinja. Telur yang tidak
dibuahi (unfertilized) bisa saja tertelan tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi
(fertilized) yang mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai
beberapa minggu, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan (tempat yang
lembap, hangat dan teduh). Setelah telur yang berkembang menjadi infektif
tertelan oleh hospes, larva akan menetas, menginvasi mukosa usus, selanjutnya

6
terbawa aliran darah portal kemudian melalui aliran darah sistemik ke paru-paru.
Larva yang matang menuju ke paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada dinding
alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan, dan selanjutnya tertelan. Setelah
mencapai usus, berkembang menjadi cacing dewasa.

Gambar; Siklus hidup ascaris lumbricoides,


Sumber : Khuroo MS et al . Biliary ascariasis, 2016

2.5. Cara Infeksi atau Penularan


Penularan umumnya dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur
infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar,
melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup
melalui udara bersama debu (Soedartono, 2008). Infeksi sering terjadi pada anak
daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan
dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris lumbricoides.

7
Diperoleh juga laporan bahwa dengan adanya usaha untuk meningkatkan
kesuburan tanaman sayuran dengan mempergunakan feses manusia menyebabkan
sayuran merupakan sumber infeksi dari cacing ini (Irianto, 2009).
Intensitas infeksi dan Reinfeksi
Intensitas dipengaruhi oleh genetic, perilaku dan tergantung tempat untuk
mendapat infeksi yang lebih berat disbanding orang lainnya. Status imunitas
menjadi penentu berat ringannya penyakit secara natural mengontrol infeksi
walaupun tidak sepenuhnya mengeradikasi cacing. Pada daerah endemis anak-anak
lebih banyak menderita infeksi berat (70%) dibanding orang dewasa (49%), dan
diantara anak- anak ini 80% mengalami reinfeksi dalam 6 bulan

2.6. Patogenesis
Habitat alamiah dari Ascaris adalah di jejunum. HPA diawali dengan
pergerakan proksimal cacing dewasa ke duodenum (duodenal ascariasis). Jumlah
cacing dewasa yang sangat banyak memudahkan cacing menembus orificium
duodenum, kemudian dia akan menuju orificium ampulla of Vater. Cacing dewasa
kemudian memblokade orificium ampulla of Vater dan mengobstruksi saluran bilier
dan saluran pankreas. Di sisi lain pergerakan cacing membuat terjadinya spasme
dan dismotilitas spincter segingga menyebabkan nyeri kolik empedu. Pasien yang
mengalami askariasis duodenal mengalami kolik empedu yang berat. Beberapa
pasien akan mengalami pankreatitis akut. Ascaris masuk ke dalam duktus bilier dan
melintang sepanjang lumen saluran empedu (askariasis koledokal). Ascaris
menyumbat orifisium saluran empedu sehingga cairan empedu tidak dapat keluar,
mengakibatkan kolesistitis obstruktif. Ascarias juga dapat memasuki duktus
intrahepatik (hepatik askariasis). Duktus yang kiri lebih sering terkena dibanding
duktus yang kanan sesuai dengan jarak terdekat dengan duodenum. Saat cacing
dewasa sudah memasuki duktus intrahepatic maka akan terjadi kolangitis, beberapa
pasien mengalami supuratif kolangitis, septikemia, syok sepsis dan membutuhkan
perawatan intensif dan menejemen pembedahan untuk mengurangi tekanan saluran
empedu.

8
Pada kasus hepatobiliari ascariasis sering dijumpai sludge sehingga terjadi
akalkulus kolesistitis akut. Sludge bilier tersebut terdiri dari kolesterol, mucin dan
kalsium granul bilirubin. Komposisi ini ke depannya dapat menjadi batu empedu.
Cacing dewasa, telur dan larva dapat menginisiasi pembentukan batu empedu.
Material cacing dewasa yang mati dapat berkembang menjadi nidus pada pasien
HBA yang diikuti beberapa tahun kemudian dan batu ini tersusun atas kalsium
bilirubinat. Dari jumlah yang mengalami batu empedu oleh karena HBA ternyata
masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan batu empedu yang disebabkan oleh
infeksi bakteri.
Hubungan epidemologis yang kuat didapatkan antara ascariasis dengan RPC
(recurrent pyogenic cholangitis), pertama kali dikemukakan di Hong Kong tahun
1945 yang disebutAsiatic or Oriental cholangio-hepatitis karena sering dijumpai
di Hong Kong , Taiwan, China selatan, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan
Korea Selatan. Prevelensinya juga meningkat di Negara Barat karena efek migrasi
penduduk oriental ke Negara-negara tersebut. Sepuluh persen Recurrent pyogenic
cholangitis mempunyai riwayat terkena ascariasis. RPC ditandai dengan adanya
sludge bilier, batu duktus bilier intrahepatic dan infeksi sekunder bakteri yang
kronis. Penampakan luar penderita umumnya kurus, muda dan malnutrisi. Tanda-
tanda kekambuhan meliputi nyeri abdomen kanan atas hilang timbul, jaundice
kolestastik dan demam menggigil, frekuensi kekambuhan ini semakin hari semakin
berat intensitasnya. Pada pemeriksaan cholangiogram ditemukan saluran bilier baik
intra maupun ekstrahepatik dipenuhi oleh biliary mud. Radiks bilier mengalami
dilatasi dengan cabang yang single maupun multiple mengalami striktur. RPC dan
ascariasis menunjukkan kesamaan distribusi geografis. Sebanyak 5% HBA
berkembang menjadi RPC setelah 2 tahun atau lebih. Sembilan puluh persen kasus
RPC terdapat batu. Batu pada RPC adalah batu pigmen dengan lapisan bilirubin
terdeposit di lapisan paling atas. Tujuh puluh dua persen nidus pada RPC dibentuk
oleh bagian tubuh atau seluruh tubuh ascaris. Infestasi batu dan kerusakan kandung
empedu menyebabkan terjadinya kolangitis piogenik yang berulang. (Das, 2014)

2.7. Gejala Klinis

9
Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung lokasi penyumbatan oleh cacing
dan seberapa berat tingkat karusakan yang ditimbulkan. Hampir 100% penderita HPA
mengalami nyeri akut abdomen terutama kuadran kanan atas. Jaundice atau ikterus
ditimbulkan oleh karena kadar bilirubin dalam darah yang tinggi akibat tidak dapat
dikeluarkan atau disalurkan ke dalam usus halus. Kolangitis terjadi akibat
penyumbatan duktus koledukus sehingga terjadi proses inflamasi yang dikenal dengan
trias Charcot yaitu demam, kuning dan nyeri akut abdomen.

Tabel 1: Gejala klinis yang berhubungan dengan Ascariasis di daerah Endemis


Klasifikasi Patogenesis Gejala klinis
Penyakit
Ascaris Migrasi larva ke Pneumonia yang sembuh sendiri, status
pneumonia paru-paru asmatikus yang butuh perawatan intensif
Intestinal Ascarides yang Obstruksi usus, infark usus (kematian
ascariasis melakukan jaringan usus), gangren
penggerombolan di
dalam lumen usus
halus
Appendicular Ascaris Nyeri kolik apendiks, apendisitis, gangrene
ascariasis memblokade apendiks,
orifisium usus
buntu
Peritoneal Perforasi usus yang Peritonitis, syok septik
ascariasis diakibatkan oleh
ascarides
Gastric ascariasis Ascarides yang Obstruksi pylorus (ascaris berada di antrum
berada di dalam dan memblokade pylorus) Nocturnal
oesofagus dan chocking (ascaris melintang pada
lambung tenggorokan pada malam hari sehingga
mengakibatkan sesak nafas) gatal pada
retrosternal (ascarides berada pada fundus
dan bagian bawah oesofagus)
Hepatobiliary Ascariasis duodenal Nyeri kolik bilier (duodenal ascariasis)
and pancreatic menginvasi pankreatitis akut (ascariasis duodenal atau
ascariasis orifisium ampula pankreatik ascariasis, ascarides pada duktus
vater pankreatikus dapat menyebabkan nekrosis
pankreatitis) hepatolitiasis ( ascarides yang
mati pada duktus pankreatikus membentuk
nidus sludge atau batu)
kolangitis akut hepatik ascariasis, Merupakan kondisi gawat darurat, gejala
jumlah cacing yang yang muncul diantaranya demam tinggi,

10
massif dapat menggigil, icterus, nyeri abdomen atas.
menyebabkan Pada pemeriksaan fisik didapatkan
septik kolangitis hipotensi, hepatomegali, leukositosis,
dan syok peningkatan bilirubin direk, peningkatan
enzim hati SGOT/SGPT, dapat berkembang
menjadi piogenik kolangitis, pembentukan
pus, yang dapat terlihat dengan bantuan
ERCP pada orifisium ampula vater atau
dapat diaspirasi.
akalkulus Ascariasis Terdapat nyeri hipokondrial kanan, mual,
kolesistitis, akut koledukus atau muntah dan panas. Nyeri dapat menjalar ke
kolesistitis kandung empedu, area interskapula atau ujung bahu kanan.
ascarides pada Teraba masa dan nyeri di daerah
kandung empedu hipokondrial kanan. Dapat sufebris tanpa
dapat menyebabkan gejala syok. Penebalan dinding kandung
gangren empedu, distensi dengan sludge pada
gambaran USG.
abses hepar hepatic ascariasis Abses dapat soliter atau multiple dan berisi
pus. Hepatomegali yang nyeri, demam
tinggi, nyeri intercostal dan edema disertai
nyeri hipokondrial kanan. Abses dapat
disebabkan oleh telur yang mati yang
dihasilakn oleh cacing betina yang
bermigrasi ke atas CBD (common bile duct)
memproduksi reaksi inflamasi
granulomatous yang diikuti oleh infiltrasi
eosinophil. Paling sering terjadi pada anak-
anak
Hemobilia Sangat jarang Merupakan hasil dari ascariasis bilier
terjadi
Keterlamabtan Ascaris dalam -
tumbuh kembang, jumlah yang sangat
disfungsi kognitif, banyak pada anak-
malnutrisi anak

2.8. Diagnosis
a) Mikroskopis: menggunakan teknik Kato-Katz (disarankan WHO) ditemukan
telur ascaris pada sediaan feses
b) Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan neutrofilik leukositosis,
peningkatan bilirubin direk, eosinophil dan serum IgE dan IgM anti ascaris

11
peningkatan ALP (alkali fosfatase), LFT yang abnormal, dan tanda- tanda gangguan
fungsi hati yang lainnya.
c) Radiologi
Ultrasonografi adalah alat diagnostik yang paling direkomendasikan karena
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta tidak infasif. Untuk kasus
yang meragukan atau kecurigaan terhadap kolangitis dan adanya gambaran cacing
dari pemeriksaan USG. Ascariasis pada saluran bilier dapat mempunyai gambaran
pada USG meliputi:
1. Inner-tube sign: cacing dewasa dapat terlihat sebagai garis echoic tebal dengan
sentral, tabung longitudinal anechoic (saluran cerna cacing) pada kandung
empedu atau CBD
2. Cacing menggulung di kandung empedu
3. Strip sign: garis tipis tidak berbayang tanpa tabung di dalam CBD atau kandung
empedu
4. Spaghetti sign: permukaan longitudinal yang bertumpang tindih pada saluran
utama
5. Beberapa garis kalisifikasi yang mungkin merupakan cacing yang telah mati
dan mengalami kalsifikasi yang tertanam di saluran empedu.

Gambar: USG menunjukkan adanya gambaran Ascaris pada CBD, pada gambar ERCP
dapat dilihat ada cacing dewasa Ascaris
Sumber: www.sciencedomain.org
Pada pemeriksaan kolangiogram dapat ditemukan kelainan dilatasi CBD, atau duktus
intrahepatikus, iregularitas atau striktur dinding duktus. Cacing akan terlihat panjang,

12
lurus, kerusakan yang linear, filling defect, kurva dan lengkungan melintang diantara
duktus hepatikus. ERCP dapat mendiagnosis 53-58% ascariasis bilier, namun pada
saat tindakan pembedahan yang dikombinasikan dengan real time sonografi maka
sensitifitasnya mencapai 100%. Dapat dilakukan ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangiography) sekaligus sebagai terapi apabila ditemukan benda asing dan
langsung diekstraksi.
2.9. Terapi
Pasien yang mengalami HBA harus dirawat di rumah sakit tanpa ditunda karena
jumlah cacing yang begitu besar. Obsktruksi mekanik sering dijumpai terutama pada
anak-anak. Prinsip terapi untuk HBA adalah
a) Terapi kolangitis dan kolesistitis secara konservatif
b) Pemberian antihelminth oral dapat melumpuhkan cacing dan mengembalikan
peristaltic usus ke kondisi normal.
c) Tindakan bedah dan endoskopi (ERCP) dapat dipertimbangkan apabila terjadi
piogenik kolangitis atau kolesistitis yang gagal konservatif, cacaing gagal keluar
darai traktus bilier dalam 4 minggu segingga dapat diasumsikan cacing telah mati
dan harus diekstraksi, cacing berada bersama-sama batu empedu, telah terjadi
abses hepar yang perlu dilakukan drainase.
Beberapa obat yang efektif terhadap hepatobilier and pancreatic ascariasis
adalah sebagai berikut:
a) Pirantel pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan dosis
tunggal. Efek samping antara lain gangguan gastrointestinal, sakit kepala, pusing,
kemerahan pada kulit dan demam.
b) Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3 hari. Efek
samping antara lain diare rasa sakit pada abdomen, kadang-kadang leukopenia.
Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil karena dapat membahayakan
janin.
c) Albendazol : dosis tunggal 400 mg, dengan angka kesembuhan 100% pada infeksi
cacing Ascaris
d) Tambahan beberapa jenis antibiotik dapat mencegah terjadinya sepsis misalnya
ceftriaxone intravena dan antispasmodik untuk meringankan gejala kolik. Terapi

13
lain meliputi terapi simptomatis antipiretik bila ada panas dan terapi suportif
seperti cairan parenteral.
e) Selama menjalani pengobatan pasien dirawat di rumah sakit dan tirah baring total.
Tindakan pembedahan dilakukan apabila ditemukan tanda obstruksi usus dan
obstruktif jaundice.
2.10. Pencegahan
Penularan Askaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya
hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya
kontaminasi dari telur-telur askaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan
sebelum makan. Selain hal tersebut, hindari juga mengkonsumsi sayuran mentah
dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang
berterbangan dapat mengontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga
yang membawa telur-telur tersebut. Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran
telur-telur melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan
penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan
kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air
permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-telur Askaris.
Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis pada anak-anak, maka perlu
diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing askaris ini.
Dianjurkan juga untuk membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan,
mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama
diluar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberikan pendidikan dengan cara
peragaan berupa gambar atau video, sehingga dengan cara ini dapat dengan mudah
dimengerti oleh mereka. Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dengan
penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga sebagaimana telah
terjadi program nasional, rehabilitasi sarana perumahan juga merupakan salah satu
perbaikan keadaan sosial-ekonomi yang menjurus kepada perbaikan kebersihan
dan sanitasi. Cara- cara perbaikan tersebut adalah buang air pada jamban dan
menggunakan air untuk membersihkannya, makan makanan yang sudah dicuci dan
dipanaskan serta menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah
infeksi oleh telur cacing. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang

14
lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur. Halaman rumah
selalu dibersihkan (Irianto, 2009).

15
Daftar Pustaka

Anup K Das. 2014


Hepatic and Biliary AscariasisJournal of Global Infectious Diseases Vol-6 /
Issue-2. Department of Medicine and I/C Hepatology Clinic, Assam Medical
College, Dibrugarh, Assam, India
Mohammad S Khuroo, Ajaz A Rather, Naira S Khuroo, Mehnaaz S Khuroo. 2016
Hepatobiliary and pancreatic ascariasis. World J Gastroenterol. Vol: 22(33):
7507-7517
Omar Javed Shah, MS,1 Showkat Ali Zargar, MD, DM,2 Irfan Robbani. 2006
Biliary Ascariasis: A Review. World J Surg. Vol 30: 15001506
Mohammad S. Khuroo, Naira S. Khuroo, Mehnaaz S. Khuroo. 2015
Biliary ascariasis in the etiology of recurrent pyogenic cholangitis in an
endemic area Int J Hepatobiliary Pancreat Dis. Vol;5: 2229
F. M. Sanai, M. A. Al-Karawi. 2007
Biliary Ascariasis: Report of a Complicated Case and Literature Review The
Saudi Journal of Gastroenterology 2007 13(1):25-32
Omar Javed Shah, M.S.,1 Irfan Robanni, M.D.,2 Fayaz Khan. 2005
Management of Biliary Ascariasis in Pregnancy. World J. Surg. 29, 1294
1298
Donboklang Lynser, Akash Handique, Chhunthang Daniala, Pranjal Phukan. 2015
Sonographic images of hepato-pancreatico-biliary and intestinal ascariasis:
A pictorial review. Insights Imaging (2015) 6:641646
Ayodhia Pitaloka Pasaribu, Syahril Pasaribu. 2014
A case report of 4-year-old child with biliary ascariasis successfully treated
with single dose of albendazole Asian Pac J Trop Dis 2014; 4(6): 497-499
Mariam Asif, Khalid Rashid, Aisha Siddiqui, Syed Sagheer Hussain Shah
Biliary Ascariasis- Atypical Infestation of Ascaris Lumbricoides Journal of
Surgery Pakistan (International) 19 (3) July - September 2014
Rosnelifaizur Ramely, Mohd Nizam Mohd Hashim, Wan Zainira Wan Zin. 2014

16
Biliary Ascariasis Pancreatitis. IOSR Journal of Dental and Medical
Sciences. Volume 13, Issue 10. PP 62-64
Poppy H. L. Lamberton, Peter M. Jourdan. 2015
Human Ascariasis: Diagnostics Update. Curr Trop Med Rep. DOI
10.1007/s40475-015-0064-9

17

Anda mungkin juga menyukai