Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir yang sangat besar, baik
hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh
karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di
laut. wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara
dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam kaswadi, 2011).
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, salah satunya adalah hutan mangrove yang
merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air
laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi
ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi
aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara
lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem
mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak,
pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan.
Mangrove di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Giri et. al (2010) menyebutkan
luas mangrove di Indonesia adalah 3.112.989 m 2 atau 22,6% dari luas mangrove yang ada di
dunia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, faktor antropogenik telah memberikan pengaruh
pada ekosistem mangrove ini. Seperti ditulis oleh Choong et. al (1990) dalam Kathiresan dan
Bingham (2001) bahwa sekitar 45% mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi cukup
parah karena aktivitas manusia. Jumlah kerusakan tersebut diperkirakan akan semakin
meningkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pemukiman di kawasan pesisir
(Alongi, 2002).
Pengantar Lingkungan Pesisir
Novita Dewi Afsari
08151029
Tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2000, propinsi Jawa Tengah memiliki
panjang pantai sekitar 656,1 km (atau 0,81% dari keseluruhan panjang pantai Indonesia) yang
terbagi dalam wilayah utara mulai dari pantai Kota Brebes sampai Kota Rembang adalah
sepanjang 453,9 km dan wilayah pantai selatan mulai dari pantai Kota Cilacap menuju Kota
Yogyakarta adalah sepanjang 202,9 km (Ekaputra, 2003: 1). Di ujung timur pesisir utara Jawa
Tengah yaitu Kabupaten Rembang yang luas wilayahnya sekitar 1.014 km 2 dengan panjang
garis pantai 63 km, 35% dari luas wilayahnya merupakan kawasan pesisir, kira-kira seluas
355,95 km2. Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang tidak hanya terbentuk di
kawasan muara sungai namun terutama terbentuk pada lokasi-lokasi tertentu yang terlindung
dari gelombang laut, dimana sedimen dari sungai dan laut terendapkan dan membentuk
dataran lumpur pasang surut (mud flat/tidal flat) (Setyawan dan Winarno, 2006).
Desa Pasar Banggi adalah salah satu desa di Kabupaten Rembang yang berlokasi di
daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan garis Pantai Utara Jawa dengan salah satu
kawasan pesisir berupa hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi tambak ikan dan
udang pada wilayah pesisir Kabupaten Rembang merupakan faktor utama penyebab hilangnya
ekosistem mangrove, tak terkecuali yang terjadi pada Pasar Banggi. Padatnya penduduk di
sekitar Pasar Banggi yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani
tambak ikan, udang, maupun garam menyebabkan tingginya tekanan terhadap kawasan
rehabilitasi mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak menjadi ancaman
berkurangnya luasan hutan mangrove di Pasar Banggi. Pengelolaan tambak ikan dan udang
hingga jauh ke arah daratan menyebabkan kondisi yang tidak lagi produktif akibat perubahan
kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan (Setyawan
dan Winarno, 2006). Permasalahan lain yang terjadi di kawasan mangrove Pasar Banggi
adalah masuknya bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri menyebabkan
tertutupnya akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi mangrove tumbuhan,
yang pada akhirnya akan menyebakan kematian. Menurut Setyawan dkk (2004) pencemaran
logam berat (Fe, Cd, Cr, dan Pb) belum menjadi ancaman serius kawasan mangrove di pesisir
Rembang.
Di pesisir Kabupaten Rembang tidak ada lagi mangrove alami. Ekosistem mangrove
yang ada merupakan ekosistem hasil rehabilitasi yang telah diupayakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan pihak lain yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Pusat Pelestarian
Pengantar Lingkungan Pesisir
Novita Dewi Afsari
08151029
Manggrove oleh Pemerintah Kabupaten Rembang dalam sebuah Peraturan Daerah Nomor 14
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031.
Tujuan kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan adalah untuk menjaga garis pantai dari abrasi
dan badai. Meskipun demikian ekosistem mangrove hasil rehabilitasi di Pasar Banggi sudah
menyerupai hutan alami karena usianya lebih dari 15 tahun, waktu yang diperlukan ekosistem
mangrove yang rusak untuk menyembuhkan diri sebagaimana kondisi asli (Setyawan dan
Winarno, 2006). Ekosistem mangrove di kawasan ini relatif terjaga karena adanya perhatian
serius dari pemerintah kabupaten serta Kelompok Tani Sido Dadi Maju yang memiliki hak untuk
mengelola kawasan mangrove. Rehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pesisir Pasar Banggi
berupa penanaman Rhizophora sp. telah mencapai keberhasilan. Bukan hanya penanaman
Rhizophora sp, sekarang sudah terdapat 5 jenis pohon mnggrove yang sudah tertanam yaitu
Rhizophora apiculate, Avicenia marina, Avicenia alba, Soneratia alba dan Xilocarpus Spp.
Selain vegetasi tama hutan mangrove, di area lahan tambak juga ditumbuhi beberapa vegetasi
yang khas untuk lanskap pesisir yang didominasi oleh kategori semak dan groundcover
menjalar. Bebrapa jenis tanaman pesisir yang ditemui di desa paar banggi antara lain, Lantana
camara, Wedelia biflora, Casuarina equisetifolia, Ipomoea pes-caprae, babandotan (Ageratum
conizoides), Sesuvium portulacastrum, Canavalia maritima dan sejenisnya. Di mangrove desa
pasar banggi ini pun terdapat sejumalah hewan didalamnya jika beruntung menemui atau
melihat hewan tersebut antara lain ular, kepiting mangrove, kadal, ikan gelodok, ikan belanak,
ikan kapasan, burung blekok, burung kuntal putih, elang laut, burung hantu dan biawak.
Sedangkan beberapa fauna yang menjadi komoditas budidaya di lahan tambak warga adalah
jenis udang, tongkol/cakalan dan ikan bandeng.
Daftar Pustaka
Alongi, D.M. 2002. Present State and Future of The Worlds Mangrove Forests. Environmental
Conservation. 29 (3) :331-349.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah
SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.
Bogor, Indonesia.
Lampiran
Gambar 1 : Fasilitas eksisting pendukung kawasan (a) gapura masuk kawasan hutan mangrove
(b) jembatan mangrove, (c) gazebo