Anda di halaman 1dari 7

MANFAAT PERSISTENCE

Persistence memiliki beberapa manfaat yang baik dan secara luas telah diakui, hal ini
dapat dilihat sebagai berikut:

- Pertama dan yang terpenting, persistence dapat meningkatkan peluang seseorang


untuk mencapai cita cita atau goals yang sulit, dalam hal ini tentu kemunduran dan
masalah biasa ditemui sehingga dapat membuat seseorang berkecil hati, akan tetapi
jika seseorang menyerah maka ia tidak akan bisa mencapai tujuan / cita cita / goals
tersebut. persistence ini diperlukan jika ingin mencapai kesuksesan.
- Kedua, persistence dapat meningkatkan kepuasan seseorang terhadap kesuksesan
berikutnya.
- Ketiga, persistence dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan seseorang.
Individu yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan mereka terkadang harus
mengembangkan pendekatan, teknik, atau cara cara baru untuk memecahkan
masalahnya, dan dari hal ini keterampilan atau skill baru yang telah diperoleh dapat
bermanfaat pada usaha berikutnya.
- Keempat, persistence dapat meningkatkan sense of self-efficacy seseorang, yang
dapat menyebabkan kesuksesan akhirnya tercapai. dengan ketekunan dalam
menghadapi rintangan dapat memberikan seseorang meningkatkan dan
menyamaratakan rasa mampu mencapai sesuatu. Self-efficacy melibatkan harapan
untuk bisa mengontrol dan bekerja efektif untuk membawa individu pada hasil yang
diinginkan, dan rasa kepercayaan tersebut dapat ditingkatkan dengan kemenangan
yang dicapai dengan susah payah

Walaupun persistence ini memiliki banyak manfaat namun tidak menutup


kemungkinan dapat menjadi bumerang, hal ini karena ada beberapa usaha yang memang
mustahil untuk dilakukan, sehingga persistence dapat meningkatkan total biaya, waktu dan
sumber daya lain yang dikeluarkan dengan sia-sia. Jadi, singkatnya, ketekunan hanya efektif
bila digunakan dengan bijaksana. Individu (atau kelompok) harus membuat penilaian yang
benar apakah kegigihan dalam menghadapi kegagalan akan menghasilkan kesuksesan
akhirnya atau hanya lebih gagal. Janoff-Bulman dan Brickman (1982) bahwa ketekunan tidak
selalu menguntungkan, dan memang mereka mengusulkan bahwa konsekuensi dari
ketekunan keliru sering lebih negatif daripada konsekuensi menyerah terlalu cepat. Ketika
hasil yang tidak terkendali atau tujuan tidak mungkin untuk mencapai, itu adalah adaptif
untuk menyerah (Wortman & Brehm, 1975). Dengan demikian, kunci sukses adalah tidak
hanya kegigihan tetapi diimbangi dengan kemampuan untuk mengetahui kapan harus
bertahan dan kapan harus berhenti (Janoff-Bulman & Brickman, 1982), dan kemudian
bertahan ketika disarankan.
Development

Tidak diragukan lagi bahwa persistence akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan
seiring dedngan bertambahnya usia, setidaknya sampati tengah dewasa. Sebuah studi tentang
mediator persistence antara anak anak yang dilakukan oleh Masters & Santrock (1976)
menunjukkan bahwa anak cenderung akan lebih bertahan pada tugas-tugas motorik mereka
jika mereka memandang itu sebagai hal yang menyenangkan dari pada tidak menyenangkan,
lebih mudah dari pada sulit. Sebuah penelitian yang dilakukan Mischel, Shoda, & Rodriguez
(1989) menunjukkan bahwa penundaan rasa puas juga relavan dengan persistence, dalam
penelitiannya ia menunjukkan bahwa anak-anak yang mampu menunda rasa puas pada usia 4
tahun, cenderung ditemukan memiliki keterampilan sosial, prestasi akademik dan
kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik pada satu dekade kemudian / pada masa
remaja akhir.
Enabling and Inhibiting Factors

Faktor pendukung dan penghambat

Pemberian Reward
Teori ketekunan belajar menyatakan bahwa individu yang sering mendapat penghargaan
sebagai akibat dari ketekunannya, akan lebih mungkin untuk mengerahkan usaha yang lebih
besar dimasa yang akan datang dibandingkan individu yang mendapat sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa ketekunan dapat ditingkatkan dengan upaya pemberian penghargaan /
imbalan (Eisenberger, 1992).

Dukungan Sosial
Dukungan sosial juga tampaknya berguna untuk mendukung persistence itu sendiri. Gloria,
Kurpius, Hamilton, dan Willson (1999) menemukan bahwa dukungan sosial dapat
menyebabkan peningkatan dalam persistence bagi akademik siswa Afrika Amerika. Zaleski
(1988) menemukan bahwa individu akan lebih mudah untuk diajak persistence dan
mengerahkan usaha lebih jika yang mengajak adalah orang terdekat mereka dibandingkan
dengan yang tidak memiliki hubungan dengan mereka. Vallerand, Fortier, dan Guay (1997),
yang menemukan bahwa ini berhubungan dengan ketetapan hati / kebulatan tekad dari
individu itu sendiri. Dukungan sosial dapat memupuk ketetapan hati / kebulatan tekad untuk
maju, yang pada akhirnya dapat memprediksi hasil yang lebih baik untuk ketekunan tersebut.
(diukur dari hasil seseorang yang menyelesaikan sekolah, daripada yang putus di tengah
jalan), sedangkan penurunan dukungan sosial dapat menyebabkan penurunan ketetapan hati /
kebulatan tekad untuk maju dan kenaikan hasil bagi kemungkinan untuk keluar dari sekolah.

Umpan Balik
Menerima umpan balik yang positif juga memberikan kontribusi untuk ketekunan yang lebih
besar, dan ini juga dapat dihubungkan dengan peningkatan dalam arti ketetapan hati /
kebulatan tekad untuk maju. Kelley, Brownell, dan Campbell (2000) menunjukkan bahwa
ketika Ibu memberikan umpan balik yang positif dan korektif untuk anak mereka di usia 2
tahun, anak-anak ini akan mampu bertahan lebih lama pada tugas yang diberikan kepada
mereka, entah itu yang mudah ataupun yang sulit. Dalam sampel anak perempuan berusia 10
dan 11 tahun, Draper (1981) juga menemukan bahwa umpan balik positif yang diberikan
meskipun mereka gagal, akan membantu meningkatkan ketekunan mereka untuk tugas yang
berbeda. Pada sampel orang dewasa (perguruan tinggi), Deci (1971) menemukan bahwa
memberitahu mereka jika mereka telah melakukan pekerjaannya dengan baik akan membuat
mereka lebih menghabiskan waktu luang untuk mengerjakan tugas-tugas yang sama. Ini
adalah tanda bahwa umpan balik yang positif dapat meningkatkan motivasi intrinsik ( dalam
diri ) serta rasa kompetensi dan kemanjuran (Deci & Ryan, 1992).

Bagaimana pun juga harus diakui bahwa manfaat dari umpan balik yang positif belum
serempak ditemukan. P. B. Paulus dan Konicki (1973) menemukan bahwa evaluasi negatif
dari orang lain dapat menyebabkan lebih besarnya ketekunan yang dimiliki untuk tugas
tersebut, dibandingkan dengan evaluasi yang positif ataupun tidak ada evaluasi. Mueller dan
Dweck (1998) menemukan bahwa anak-anak yang dipuji karena kemampuan intelektual
setelah kegagalan akan menjadi kurang gigih pada tugas berikutnya dan mengurangi rasa
senang mereka saat mengerjakan tugas, dibandingkan dengan anak-anak yang dipuji karena
usaha yang mereka lakukan.

Penghargaan lain (selain pujian atau umpan balik yang positif) menunjukkan pola yang sama
dengan pujian dan umpan balik positif, yang membuktikan bahwa perilaku tekun dapat
ditingkatkan oleh mereka, tetapi beberapa temuan bertentangan juga menunjukkan bahwa
masalah ini bisa dikatakan kompleks. Eisenberger (1992) menyarankan bahwa harus ada
hubungan linear yang sederhana, untuk menguatkan hal tersebut. Akan tetapi, Drucker et al.
(1998) menemukan hubungan lengkung. Penguatan pada tingkat yang menengah dapat
meningkat ketekunan, sedangkan untuk kedua tingkat (tinggi dan rendah) dari penguatan
tersebut dapat memengaruhi / menurunkan ketekunan tersebut. Nation, Cooney, dan Gartrell
(1979) menemukan bahwa ketekunan pada tugas motorik dapat meningkat oleh karena
penguatan parsial, sedangkan penguatan terus menerus malah dapat menyebabkan penurunan
ketekunan. Dalam kasus yang sama, Hantula dan Crowell (1994) menemukan bahwa
penguatan yang tidak teratur dapat membuat orang lebih mungkin untuk melakukan suatu
tindakan yang telah gagal pada awalnya, dibandingkan dengan penguatan terus menerus atau
intermiten. A. Miller dan Hom (1990) menemukan bahwa pemberian penghargaan / imbalan
dalam faktor yang ekstrinsik, akan meningkatkan ketekunan pada tugas-tugas yang sangat
relevan dengan identifikasi diri , tetapi dapat menurunkan ketekunan pada tugas-tugas yang
dipandang tidak relevan dengan diri. Penghargaan / imbalan tidak seharusnya
mengesampingkan kecenderungan umum tersebut untuk mengurangi kegigihan setelah
kegagalan awal yang dialami pada masalah tersebut terpecahkan.

Imbalan ekstrinsik sudah terbukti dapat mengurangi ketekunan, dan yang terutama akan
mampu mengurangi motivasi intrinsik. Orang-orang yang melakukan tugas-tugas untuk uang
(Deci, 1971), hadiah (Harackiewicz, 1979), atau penghargaan (Lepper, Greene, & Nisbett,
1973) akan kehilangan minat dalam melaksanakan tugas untuk kepentingan diri sendiri dan
karenanya akan menjadi kurang bersedia untuk menggunakan waktu luang mereka sendiri
untuk mengerjakan tugas. Efek pembenaran akan paling menonjol ketika penghargaan sudah
diantisipasi di awal. (Lepper et al., 1973) dan sangat menonjol (Ross, 1975). Implikasinya
adalah bahwa hal yang menonjol tersebut, yakni penghargaan yang telah diantisipasi di awal
akan membentuk sebuah pengalaman yaitu dalam pelaksanaaan tugas, orang akan melakukan
tugas hanya demi penghargaan, sehingga ketekunan mungkin akan menurun drastis setelah
penghargaan tersebut sudah tidak tersedia lagi. Sebaliknya, jika penghargaan diberikan atau
terstruktur dengan cara yang berbeda yakni dengan menyampaikan tanggapan positif tentang
kompetensi mereka, hal tersebut akan mampu meningkatkan nilai simbolis pada diri,
meningkatkan motivasi intrinsik, dan juga peningkatan ketekunan itu sendiri (Harackiewicz,
Manderlink, & Sansone, 1984).

Beberapa masalah pribadi dan patologi telah dikaitkan dengan kegigihan/ketekunan yang bisa
menurun pada tugas-tugas yang diberikan. Pola-pola ini menunjukkan bahwa berbagai
masalah dapat menguras pikiran seseorang, termasuk kekuatan dan kepercayaan diri, dan
semua hal tersebut tidak bisa membantu orang untuk bertahan dalam menghadapi kegagalan.
Masalah-masalah ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: Anak-anak dengan
keterbelakangan mental telah terbukti memiliki ketekunan yang lebih kurang jika
dibandingan dengan anak-anak normal pada hal motorik (Kozub, Porretta, & Hodge, 2000).
Anak dengan kondisi cacat juga dinilai oleh guru mereka kurang gigih dan lebih rentan untuk
menyerah dari anak-anak lain seusia mereka. (Ayres, Cooley, & Dunn, 1990). Dalam suatu
studi penelitian, anak-anak kelas empat dan lima dalam kondisi yang cacat akan
menunjukkan kurangnya ketekunan meskipun mereka lebih mungkin untuk membuat atribusi
/ penyebab eksternal untuk kegagalan mereka tersebut. (D. E. Friedman & Medway, 1987).
Sejumlah penelitian juga telah menemukan adanya gangguan ketekunan antara anak-anak
yang didiagnosis dengan attention-deficit / hyperactivity disorder (ADHD; Hoza,
Waschbusch, Owens, Pelham, & Kipp, 2001; Humphries, Swanson, Kinsbourne, & Yiu,
1979; Lufi & Paroki-Plass, 1995 ; Milich & Okazaki, 1991;. Wigal et al, 1998). Ini tidak
mengherankan jika mengingat rentang fokus memperhatikan yang pendek, merupakan salah
satu kriteria diagnostik dan memang mendefinisikan ADHD itu sendiri, tetapi beberapa bukti
menunjukkan bahwa itu diperparah oleh kecenderungan untuk menghubungkan suatu
kesuksesan dengan keberuntungan. (Hoza et al., 2001). Depresi juga telah dikaitkan dengan
penurunan ketekunan dan penurunan kinerja setelah pernah gagal pada sebuah tugas yang
tidak bisa mereka pecahkan. (Brightman, 1990). Bahkan, anak-anak yang sangat muda dari
Ibu yang depresi juga telah terbukti akan kurang gigih pada tugas yang menantang,
dibandingkan dengan keturunan pada Ibu yang tidak depresi (Redding, Harmon, &Morgan,
1990).

Sebelumnya, kami telah menyarankan bahwa pengendalian diri yang baik dapat menjadi
kontribusi yang penting untuk kegigihan. Konsisten dengan hal tersebut, orang-orang dengan
pengendalian diri di area lain telah terbukti kurang persisten / bertahan pada tugas. Dalam uji
penelitian, perokok akan lebih kurang dalam hal pertahanan dibandingkan dengan yang
bukan perokok. (Quinn et al., 1996). Pengguna narkoba mungkin lebih membutuhkan
pelatihan yang lebih jauh untuk belajar mengikuti dorongan hati dan karenanya-lah mereka
dikatakan berketekunan rendah (Quinn et al., 1996). Peminum berat alkohol telah terbukti
berketekunan rendah jika dibandingkan dengan yang bukan peminum ataupun peminum
ringan pada anagram dan diagram (Cynn, 1992). Temuan mengenai ADHD juga dapat
mendukung peran pengendalian diri, sejauh beberapa ahli telah menyimpulkan bahwa
defisit / kekurangan dalam kontrol dan pengaturan diri adalah pusat dari gangguan tersebut
(Barkley, 1997).

Demikian juga, kami mengusulkan bahwa tugas yang ada kaitannya untuk diri sangat
berperan dalam menentukan ketekunan. Kesimpulan ini kemudian didukung oleh bukti
bahwa kesadaran diri dapat memoderasi dampak umpan balik dan faktor yang berhubungan
pada ketekunan. Scheier dan Carver (1982) menemukan bahwa umpan balik dari sebuah
keberhasilan akan mampu meningkatkan ketekunan, tetapi hanya bagi orang orang yang
memiliki fokus yang tinggi pada diri sendiri. Carver et al. (1979) menemukan bahwa manfaat
dari harapan yang baik pada ketekunan itu bisa ditingkatkan dengan perhatian yang juga
tinggi terhadap diri sendiri. Demikian juga, dampak dari menghubung-hubungkan kegagalan
yang telah terjadi di awal untuk sumber eksternal (yang meningkatkan ketekunan) telah
ditemukan terutama di antara orang orang dengan kesadaran diri yang tinggi (Kernis,
Zuckerman, Cohen, & Spadafora, 1982).
Aspek-aspek gender, lintas, dan lintas-budaya

Nygard (1977) menemukan bahwa perempuan cenderung bertahan lebih lama daripada anak
laki-laki pada masalah anagram dan aritmatika. Gadis juga memilki kemungkinan yang kecil
dibandingkan laki-laki untuk putus sekolah (Summers, 2000). Beberapa studi menemukan
bahwa perempuan memiliki pengendalian diri yang agak lebih besar daripada laki-laki
dikedua populasi normal (Bjorklund & Kipp, 1996).

Blinco (1992) menemukan bahwa anak-anak Jepang bertahan lebih lama pada teka-teki
daripada anak-anak Amerika, meskipun perbedaan ditemukan hanya di bawah kondisi yang
tidak kompetitif melakukan itu disertakan secara independen, dalam isolasi dari siswa lain,
dan tanpa bantuan guru.

Penelitian oleh Iyengar dan Lepper (1999) menyimpulkan bahwa hubungan antara budaya
dan ketekunan tergantung pada sejumlah faktor, seperti siswa amerika asli akan bertahan
lama jika mereka memiliki diberikan kebebasan dalam memilih tugas. Sebaliknya, mereka
menunjukkan kurang motivasi intrinsik dan ketekunan kurang jika tugas dipilihkan untuk
mereka. Sebaliknya, anak-anak Amerika - Asia lebih intrinsik termotivasi dan bertahan lebih
lama jika tugas-tugas yang dipilihkan oleh figur otoritas.

Anda mungkin juga menyukai