Anda di halaman 1dari 6

Faktur Pajak Tidak

DIlaporkan: Menyoal
14 (4) UU KUP
By
Mas Ichin
-
September 16, 2016
488

SHARE
Facebook

Twitter
Siang ini, saya sebagai seorang newbi dalam bisang tax audit mendapatkan
sebuah pertanyaan yang cukup menggelikan. Hal seperti ini kok ditanyakan.
Mungkin demikian para master/senior pasti akan mengatakan. Ini berawal
dari seorang Wajib Pajak yang tidak melaporkan Faktur Pajak Keluaran dalam
SPT Masa PPN nya. Kalau FP Masukan mungkin oke saja karena mungkin
saja itu dibiayakan atau karena alasan yang lain. Namun, ini Faktur Pajak
Keluaran. Yang membuat saya agak pelik lagi adalah karena pajak yang
terutang sudah dipungut oleh bendahara pemerintah.

Kita rasanya sudah sama-sama mafhum bahwasannya kewajiban membuat


Faktur Pajak ini dituangkan dalam Pasal 13 ayat (1) UU PPN yang bunyinya:

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap: a)


Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D; b) penyerahan Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c; c) ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g; dan/atau d) ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf h.

Berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak ini, Bapak Untung Sukardji


seorang guru besar dalam bidang PPNmenyimpulkan bahwa Faktur Pajak ini
merupakan sebuah sarana bagi Pengusaha Kena Pajak untuk memungut
Pajak yang terutang. Namun, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak
berhasil memungut Pajak yang terutang, beliau berpendapat sebagai
berikut:

Tidak ada satu pasal pun baik dalam UU PPN 1984 maupun dalam UU KUP
yang mengenakan sanksi dalam hal PKP tidak berhasil memungut pajak yang
seharusnya dipungut. Berbeda keadaannya dalam hal PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau penyerahan JKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak
untuk memungut pajak yang terutang, maka tersedia sanksi dengan tegas
dalam Pasal 14 UU KUP (dalam hal ini Pasal 14 ayat (4)pen). Oleh karena
itu, kewajiban membuat Faktur Pajak merupakan perwujudan dari
pelaksanaan kewajiban memungut pajak yang diatur dalam Pasal 3A ayat
(1). Tanpa kehadiran Pasal 13 ayat (1) , kewajiban yang disebut dalam Pasal
3A ayat (1) tidak dapat dilaksanakan.

Sebelum melangkah pada penguraian kasus, kita simak dulu bunyi Pasal 14
sebagaimana dimaksud oleh Bapak Untung Sukardji:

Pasal 14 ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:


d) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi
tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu; e) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan perubahannya, selain ; f)
Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau g)

Pasal 14 ayat (4)

Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f masing-masing , selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Penjelasan Pasal 14 ayat (4)

Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha
Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak
selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak,
tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama.
Selain pasal-pasal ini, tidak ada lagi pasal lain yang mengatur mengenai
sanksi yang berkaitan dengan Faktur Pajak. Jika disambungkan dengan
kasus di atas, maka kita perlu bertanya beberapa hal sebagai berikut:

1. Adakah PKP telah membuat Faktur Pajak?


2. Jika ya, apakah dibuat tepat waktu?
3. Jika telah dibuat tepat waktu, adakah sudah dilaporkan?
4. Jika tidak dilaporkan, adakah faktur pajak itu dilaporkan di Masa
yang lain?
Jika ternyata Pengusaha Kena Pajak telah membuat faktur pajak,
tetapi hanya tidak melaporkan dalam SPT Masa PPN, maka adakah
Pasal 14 ayat (4) dapat diterapkan?

Jika konsekuensi tidak berhasil memungutadalah sama dengan tidak


melaporkan faktur yang dibuatkarena keduanya akan sama-sama tidak
tercantum dalam SPT Masa, maka sejauh ini, penulis masih berpendapat
bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikenakan sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) UU KUP karena dalam Pasal
tersebut jelas yang dimaksud dengan melaporkan tetapi tidak tepat
waktuhanya untuk Pengusaha Kena Pajak yang melaporkan Faktur Pajaknya
dalam SPT Masa PPN. Ada pun yang tidak melaporkan tidak akan pernah
memenuhi unsur ini.

Walaupun kemudian Account Representative mengimbau Pengusaha Kena


Pajak untuk melakukan pembetulan SPT, bagi penulis, pembetulan tidak akan
membuatnya memenuhi rumusan Pasal 14 ayat (4) karena faktur pajak
dilaporkan dalam Masa Pajak yang sama. Yang cukup pelikbagi aparat pajak
tentunyaadalah ketika telah dilakukan Pemeriksaan. Dalam Pemeriksaan,
Wajib Pajak tidak dapat lagi membetulkan SPT nya. Namun, yang dapat
dilakukan Wajib Pajak adalah mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.
Satu namunlagi, dalam kasus penulis di atas, PPN telah dipungut
oleh bendahara, sehingga jika dilakukan pengungkapan sekali pun,
tetap tidak akan ada kekurangan bayar pajak dan terlebih sanksi.
Di lain Pasal lagi, dapat juga dilarikan ke Pasal 38 atau 39 UU KUP karena
Wajib Pajak menyampaikan SPT yang isinya benar dan/atau tidak lengkap,
tetapi perlu diperhatikan juga bahwa Pasal tersebut menuntut adanya unsur
kerugian pada pendapatan negara. Oleh karena itu, jelas membawanya ke
dalam Pasal ini tentu tidak berguna juga.

Anda mungkin juga menyukai