Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas PadjadjaranRSHS Bandung, ***)Departemen Anestesiologi &
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta***)
Abstrak
Terapi antipiretik merupakan salah satu terapi yang dianjurkan untuk pasien stroke karena peningkatan suhu tubuh
dianggap berhubungan dengan luaran neurologis yang buruk. Namun demikian, belum ada rekomendasi yang
paling tepat untuk kontrol demam baik secara farmakologi maupun mekanik akibat kurangnya temuan klinik.
Saat ini, hipotermi terapeutik dianggap satu-satunya metode neuroprotektif yang sukses dalam meningkatkan
luaran pasien stroke iskemik. Istilah neuroprotektif disini mengacu pada memelihara atau melindungi cedera saraf
yang reversibel agar tidak rusak atau mengalami kematian sel. Metode hipotermi dianggap berpengaruh terhadap
sejumlah jalur patofisiologi stroke. Pada penelitian in vitro, hipotermi mencegah edema serebral dan kerusakan
sawar darah otak. Selain itu, mencegah aktivasi mikroglia, produksi radikal bebas, dan pelepasan neurotransmitter
eksitotoksik serta asam laktat dan piruvat. Selain itu, cerebral metabolic rate (CMR), apoptosis dan respon
inflamasi lokal juga berkurang. Hipotermi otak secara lokal dilaporkan menurunkan ekspresi gen interleukin-1b
dan pembentukan edema vasogenik pada model perdarahan intraserebrial binatang. Hipotermi terapeutik dianggap
lebih efektif bila dimulai lebih awal setelah onset gejala. Durasi hipotermia yang lebih lama juga memiliki
efek neuroprotektif persisten dalam jangka waktu lama. Namun demikian, terapi hipotermia memiliki beberapa
komplikasi terhadap jantung, paru-paru, immunologi, hematologi, dan metabolik. Komplikasi yang paling sering
dilaporkan adalah pneumonia, bradikardi, aritmia, dan trombositopenia. Evaluasi efektivitas hipotermia sulit
dievaluasi pada pasien yang tersedasi karena pemeriksaan neurologis harian seringkali membingungkan.
Abstract
Antipyretic is among one of the suggested therapies for stroke patients. The reason is because increase in body
temperature is considered related to bad neurological outcomes. However, there is no best recommendation
available for controlling the temperature, neither pharmacologically nor mechanically due to less clinical practices
findings available. Currently, therapeutic hypothermia is considered as the one and only successful neuroprotective
in enhancing the ischemic strokes patients outcomes. The term neuroprotective refers to protecting or conserving
various types of reversible neurological injuries from damage or further cell impairment. In vitro studies showed
hypothermia prevent cerebral edema and blood brain barrier damage, as well as successfully proven effective in
preventing microglia activation, free radical production, and release of exotoxic neurotransmitters, lactic acid
and piruvate. In addition, cerebral metabolite rate (CMR), apoptosis, and local inflammatory response are also
decreased. Local brain hypothermia is reported could lowering the 1b-interleukin gen expression and establishment
of vasogenic edema among animal models with intracerebral hemorrhage. Therapeutic hypothermia is considered
highly effective when initiated early in subsequent to the symptom onset. Longer duration of cooling is related
to a more persistent neuroprotective effect in long periode. Despite its effectiveness, therapeutic hypothermia
could generate several complications affecting the heart, lung, immunology, hepatology and metabolic states. The
most common complications are pneumonia, bradicardia, arrhythmia, and thrombocytopenia. Evaluation to the
effectiveness of hypothermia is difficult to measure in sedated patients due to difficulty in defining the patients
neurological states on day to day bases
61
62 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
bahkan lebih terbatas dibanding pendekatan kerusakan BBB. Selain itu, mencegah aktivasi
farmakologi (Tabel 1).9 Beberapa penelitian yang mikroglia, produksi radikal bebas, pelepasan
melakukan pendekatan kombinasi terapi fisik neurotransmitter eksitotoksik asam laktat,
dengan asetaminofen atau antipiretik standar lain piruvat, cerebral metabolic rate (CMR), apoptosis
dalam kasus terapi antipiretik atau terapi fisik dan respon inflamasi lokal juga berkurang.8,16
menunjukkan hasil yang gagal. Akibatnya, hasil Hipotermi lebih efektif bila dimulai lebih awal
tersebut tidak secara eksklusif menunjukkan efek setelah onset gejala. Hipotermi yang dimulai 90
pendinginan fisik, namun adiksi atau super-adiksi 120 menit menunjukkan angka ketahanan hidup
beberapa terapi obat antipiretik.9 yang lebih tinggi dan luaran fungsional yang
lebih baik dibanding normotermi, namun terapi
Dalam satu penelitian, cooling blanket dengan setelah 180 menit menunjukkan efek yang tidak
sirkulasi udara yang dikombinasi dengan adekuat dibanding kontrol. Durasi hipotermia
asetaminofen tidak efektif menurunkan suhu juga berpengaruh. Hipotermia moderat yang
dalam 24 jam pada 113 pasien bila dibandingkan dilakukan selam 5 jam ternyata memiliki efek
asetaminofen tunggal. Sistem sirkulasi air neuroprotektif persisten hingga 5 hari.9
mencapai penurunan demam yang signifikan,
namun tidak ada data dalam hal luaran Secara umum, hipotermi dibagi menjadi
fungsional.11 Dua penelitian lain menggunakan hipotermi berat dengan suhu <28 C, hipotermi
jalur kateter vena sentral untuk kontrol suhu pasien sedang/moderat dengan suhu 2833 C, dan
dengan demam (38.0 C) diikuti pemberian hipotermi ringan dengan suhu 3336C. Saat ini,
asetaminofen, ibuprofen, bahkan petidin dan kebanyakan penelitian menggunakan hipotermi
terapi fisik cooling blanket, iced packed, dan ringan hingga sedang karena efek samping
gastric lavage. Keduanya menunjukkan kontrol hipotermia seperti hipokalemia, gangguan irama
suhu tubuh yang efektif, namun hanya satu dan konduksi jantung, komplikasi infeksi dan
penelitian yang menunjukkan luaran fungsional koagulopati. Selain itu, hipotermi berat juga
setelah 6 bulan, yang sayangnya menunjukkan memerlukan sedasi dan ventilasi mekanik yang
hasil yang tidak efektif.12, 13 justru berhubungan dengan efek samping lain
atau evaluasi defisit neurologis yang tidak tepat.
Pengaruh Induksi Hipotermi pada Stroke Secara khusus, uji klinik membagi induksi
Salah satu tujuan utama penelitian mengenai hipotermia menjadi dua kelompok: kelompok
metode terapi stroke adalah untuk identifikasi dengan pasien yang tersedasi dan menerima
metode neuroprotektif yang dapat diterapkan ventilasi mekanik dan kelompok pasien yang
dalam uji klinik. Istilah neuroprotektif berarti menerima cooling dalam keadaan sadar.9
memelihara atau melindungi cedera saraf yang
reversibel agar tidak rusak atau tidak mengalami Terapi Cooling pada Pasien dengan Ventilasi
kematian sel. Beberapa obat yang diduga bersifat Mekanik
neuroprotektif (114 obat) dalam percobaan Sekitar 100 pasien stroke menerima terapi
binatang14 ternyata tidak terbukti efektif dalam hipotermi moderat selama sedasi dan ventilasi
randomized control trial (RCT) manusia.15 Saat mekanik, semua pasien menerima cooling dengan
ini hipotermi terapeutik dipertimbangkan sebagai target suhu 33 C, yang diukur melalui termistor
kandidat yang menjanjikan untuk stroke. Metode buli-buli. Hipotermi dimulai antara 424 jam
ini dianggap berpengaruh terhadap sejumlah jalur setelah onset gejala, dan dipelihara selama
patofisiologi stroke. Selain itu, hipotermi telah 4872 jam. Angka mortalitas ditemukan sekitar
digunakan untuk meningkatkan luaran neurologis 44% pada awal penelitian, dibandingkan 78%
dan angka ketahanan hidup pasien koma yang pada kelompok terapi standar. Pada penelitian
diterapi dalam 6 jam pasca henti jantung.9 tersebut, cooling efektif dalam mengontrol
tekanan intrakranial (TIK). Namun demikian,
Percobaan binatang (model in vitro) menunjukkan peningkatan TIK sekunder yang kadang-kadang
bahwa hipotermi mencegah edema serebral dan melebihi nilai TIK awal dan memerlukan terapi
Table 1. Penelitian Randomized Trial Prospektif yang Mencakup Terapi Kombinasi Fisik dan Antipiretik.9 64
Referensi, Tahun Intervens N Penyakit Jumlah pusat Suhu tubuh Durasi terapi Pengukuran Prim EP Hasil (Prim
penelitian (C) (hari) EP)
Cooling blanket Cooling blanket 220 I C H , 1 38,3 1 Timpani N o r m o - Negatif, 5,5 vs
(sirkulasi udara) SAH, IS, t e r m i a 44,2% p=0,19
+ asetaminofen TBI, dan selama 24
lain-lain jam
Mayer dkk, 2004 Cooling blanket 47 S A H , 1 38,3 1 Timpani D e m a m Positif, 4,1
(sirkulasi air) + IS, ICH, selama 24 vs 16,1C,
asetaminofen TBI jam p=0,001
Diringer, 2004 Endovascular 296 SAH, IS, 13 38,0 3 Buli-buli D e m a m Positif, 2,87
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
12% lebih dari 72 jam. Efek ketidaktergantungan Komplikasi hipotermi biasanya sulit dievaluasi
fungsional setelah 3 bulan tercapai pada 48% pada pasien yang tersedasi. Pasien yang tersedasi
pasien, namun luaran tidak berbeda antara pasien dan menerima terapi hipotermi seakan-akan tetap
dengan kontrol (tanpa hipotermi). Komplikasi bertahan dalam sistem sehingga membingungkan
infeksi ditemukan sama pada kedua kelompok.19 pemeriksaan dan prognosis neurologis. Ini
Pada penelitian lain, hipotermi otak secara lokal menjadi suatu issue utama pada pasien stroke
dilaporkan menurunkan ekspresi gen interleukin- yang memerlukan pemeriksaan neurologis
1b dan pembentukan edema vasogenik pada harian.19
model perdarahan intraserebral babi.20
Masih dalam Penelitian
Komplikasi Hipotermia 1. Target suhu. Target suhu optimal masih
Induksi hipotermia terapeutik merupakan belum ditentukan. Kebanyakan penelitian
prosedur perawatan intensif yang harus fokus pada suhu 35 atau 33 C.
dilakukan dengan pemantauan kontinyu. Karena 2. Durasi hipotermi. Saat ini, beberapa data
kebanyakan pasien yang menerima terapi adalah menganjurkan 1224 jam durasi terapi
pasien sakit kritis, maka mereka lebih rentan berdasarkan uji klinik cedera otak akut
terhadap komplikasi. Komplikasi ini tampaknya dan henti jantung. Namun demikian,
berkaitan dengan derajat hipotermi. terapi hipotermi sebaiknya diiringi dengan
pemeriksaan parameter kerusakan sel saraf
Secara umum, hipotermi ditoleransi baik, seperti MRI dan biomarker serum.9
namun komplikasi dapat mencakup: 1) jantung: 3. Mode ventilasi selama hipotermia. Terdapat
aritmia, bradikardi, penurunan kontraktilitas dua metode ventilasi yang dilakukan, yaitu
jantung, dan hipotensi; 2) immunologi: -sat atau pH-stat. Keduanya memberikan
immunosupresi; 3) hematologi: trombositopenia efek yang berbeda pada aliran darah otak
dan koagulopati ringan; dan 4) metabolik: (cerebral blood flow/CBF). pH-stat: pH dan
menggigil, hiperglikemia, hipokalemia, ileus, hasil analisis gas darah (AGD) lain diukur
dan diuresis yang diinduksi dingin. Komplikasi berdasarkan suhu aktual pasien, dengan
yang paling sering dilaporkan adalah pneumonia, target memelihara pH 7,4 dan paCO2 5,3
diikuti bradikardi asimtomatik, aritmia jantung, kPa (40 mmHg). -stat (alpha-stat): pH dan
dan trombositopenia. Pneumonia tampaknya hasil AGD lain diukur pada suhu 37 C,
terjadi lebih sering pada pasien terintubasi yang bukan suhu aktual pasien, dengan target yang
menjalani cooling. Cooling endovaskuler dengan sama. TIK ditemukan lebih tinggi pada pH-
selimut hangat untuk mengatasi menggigil stat dibandingkan alpha-stat. pH-stat juga
merupakan alternatif cooling permukaan dan menunjukkan peningkatan CBF dibanding
dapat menurunkan derajat pneumonia. Fase -stat.
paling berbahaya dari hipotermi terapeutik 4. Teknik kontrol suhu. Cooling eksternal atau
adalah pada periode penghangatan. Perhatian internal mewakili pendekatan ini. Sejauh ini,
utama harus ditujukan pada pasien stroke tidak ada metode optimal antara keduanya.
dengan massa intrakranial dan peningkatan TIK. Masih menjadi pertanyaan apakah cooling
Penghangatan yang cepat dapat mengarah ke eksternal dapat ditoleransi baik oleh pasien
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) sadar. Sebaliknya, pendekatan endovaskuler
dengan vasodilatasi sistemik, hipotensi, dan bersifat invasif dan memerlukan penanganan
refleks peningkatan TIK. Karena itu, ditetapkan kompleks pada situasi darurat.
suatu aturan penghangatan pada pasien dengan 5. Terapi antishivering. Pendekatan farmakologi
peningkatan TIK sebaiknya dengan kecepatan seperti petidin tampaknya efektif pada pasien
0,1 C per jam. Kecepatan yang lebih tinggi stroke yang sadar. Namun, opioid memiliki
0,250,33 C per jam dapat ditoleransi pada efek samping seperti sedasi, mual, dan
pasien tanpa masalah TIK. muntah. Hal ini tidak nyaman buat pasien
bahkan bisa meningkatkan risiko aspirasi.
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemorragik 67
6. Infeksi. Satu efek samping utama selama 4. Greer DM, Funk SE, Reaven NL, Ouzounelli
terapi hipotermi yang paling penting adalah M, Uman GC. Impact of fever on outcome
pneumonia. Patogenesis komplikasi ini masih in patients with stroke and neurologic
tidak diketahui pasti. Namun efek samping injury: a comprehensive meta-analysis.
ini selalu dapat diterapi dengan antibiotik Stroke; a journal of cerebral circulation.
yang adekuat.9 2008;39(11):302935.
III. Simpulan 5. van der Worp HB, Sena ES, Donnan GA,
Howells DW, Macleod MR. Hypothermia
Data yang tersedia saat ini belum dapat in animal models of acute ischaemic stroke:
menentukan apakah terapi hipotermi efektif secara a systematic review and meta-analysis.
rutin diterapkan pada pasien stroke, terutama Brain: a journal of neurology. 2007;130(Pt
stroke hemorrrhagik. Teknik cooling yang 12):306374.
efektif sudah ditetapkan dan dapat memelihara
hipotermi yang stabil. Namun, efikasi (manfaat) 6. MacLellan CL, Clark DL, Silasi G, Colbourne
pendekatan ini terhadap luaran fungsional masih F. Use of prolonged hypothermia to treat
harus dikonfirmasi oleh RCT yang besar. ischemic and hemorrhagic stroke. Journal of
neurotrauma. 2009;26(3):31323.
Daftar Pustaka
7. Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley
1. Kolominsky-Rabas PL, Heuschmann D, Kase C, Krieger D, et al. Guidelines for
PU, Marschall D, Emmert M, Baltzer the management of spontaneous intracerebral
N, Neundorfer B, et al. Lifetime cost of hemorrhage in adults: 2007 update: a guideline
ischemic stroke in Germany: results and from the American Heart Association/
national projections from a population-based American Stroke Association Stroke Council,
stroke registry: the Erlangen Stroke Project. High Blood Pressure Research Council,
Stroke; a journal of cerebral circulation. and the Quality of Care and Outcomes in
2006;37(5):117983. Research Interdisciplinary Working Group.
Circulation. 2007;116(16):e391413.
2. Adams HP, Jr., del Zoppo G, Alberts MJ, Bhatt
DL, Brass L, Furlan A, et al. Guidelines for 8. Dietrich WD, Atkins CM, Bramlett HM.
the early management of adults with ischemic Protection in animal models of brain and
stroke: a guideline from the American Heart spinal cord injury with mild to moderate
Association/American Stroke Association hypothermia. Journal of neurotrauma.
Stroke Council, Clinical Cardiology Council, 2009;26(3):30112.
Cardiovascular Radiology and Intervention
Council, and the Atherosclerotic Peripheral 9. Kallmunzer B, Kollmar R. Temperature
Vascular Disease and Quality of Care management in stroke - an unsolved, but
Outcomes in Research Interdisciplinary important topic. Cerebrovascular diseases
Working Groups: The American Academy of (Basel, Switzerland). 2011;31(6):53243.
Neurology affirms the value of this guideline
as an educational tool for neurologists. 10. den Hertog HM, van der Worp HB, van
Circulation. 2007;115(20):e478534. Gemert HM, Algra A, Kappelle LJ, van Gijn
J, et al. The paracetamol (acetaminophen) in
3. Guidelines for management of ischaemic stroke (PAIS) trial: a multicentre, randomised,
stroke and transient ischaemic attack placebo-controlled, phase III trial. The Lancet
2008. Cerebrovascular diseases (Basel, Neurology. 2009;8(5):43440.
Switzerland). 2008;25(5):457507.
11. Mayer SA, Kowalski RG, Presciutti M,
68 Jurnal Neuroanestesi Indonesia