Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN BACAAN

Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan


Karangan Sapardi Djoko Damono

diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Sastra Bandingan


yang dibina oleh Dr. Yasnur Asri, M.Pd.

LIZA HALIMATUL HUMAIRAH


NIM 1205147

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM MAGISTER FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................i


A. PENDAHULUAN.....................................................................................1

B. LAPORAN BAGIAN BUKU...................................................................2


Bagian Satu: Pendahuluan.........................................................................3
Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar...................................................3
Bagian Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan.........................................7
Bagian Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi......................................................8
Bagian Lima: Terjemahan..........................................................................10
Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara .............................................12
Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng ................................................13
Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore................................................15
Bagian Sembilan: Jejak Romantisisme dalam Indonesia .........................16
Bagian Sepuluh: Gatotkoco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan .........17
Bagian Sebelas: Alih Wahana ...................................................................17
Bagian Dua Belas: Penutup.......................................................................18

C. KOMENTAR.............................................................................................20
D. PENUTUP ................................................................................................26
E. DAFTAR RUJUKAN.............................................................................. 28
A. PENDAHULUAN
Buku yang dilaporkan dalam tulisan ini berjudul Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan. Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Prof.
Dr. Sapardi Djoko Damono, Prof.Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta ,
20 maret 1940. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Sapardi bersekolah SD di
Sekolah Dasar Kasatrian. Setelah itu ia melanjutkan ke SMP Negeri 2 Surakarta.
Pada saat itulah kegemarannya terhadap sastra mulai nampak. Sapardi lulus dari
SMA pada tahun 1955. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2
Surakarta. Sapardi menulis puisi sejak duduk di kelas 2 SMA. Karyanya dimuat
pertama kali oleh sebuah suat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya
sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra,
majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Sapardi lulus dari SMA
pada tahun 1958.
Setelah lulus SMA, Sapardi melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra
Barat FS&K di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, selain
menjadi penyair ia juga melaksanakan cita-cita lamanya untuk menjadi dosen. Ia
meraih gelar sarjana sastra tahun 1964. Kemudian Sapardi memperdalam
pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) dan
meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Setelah itu, Sapardi
mengajar di IKIP Malang cabang Madiun selama empat tahun. Kemudian
dilanjutkan di Universitas Diponegoro , Semarang, juga selama empat tahun.
Sejak tahun 1974, Sapardi mengajar di FS UI. Beberapa karyanya yang sudah ada
di tengah masyarakat antara lain DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau dan
Aquarium (1974). Sapardi juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi
Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).
Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan
kematian. Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari
kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh, tulis Jakob Sumardjo
dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984. Sebuah karya besar yang pernah ia
buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh
penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan
yang ditulisnya ketika ia sedang sakit memperoleh Anugerah Puisi Poetra
Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat
memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya
memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada
1986 di Bangkok, Thailand.
Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan
kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi
Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik
(gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi
di dalam tema, belum banyak. Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif
menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra
asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap
pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada
pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra
baru. Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan
melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif
sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI
periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya
Dasar di fakultas sastra.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya,
seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan
perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan
Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Damono ini
diterbitkan pada tahun 2005 oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Beralamat di Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun-Jakarta 13220, dengan
ISBN 979-685-513-5. Ketebalan buku ini secara keseluruhan terdiri atas 127
halaman. Secara rinci, Cover bagian dalam, identitas buku, pendahuluan, tidak
diberi nomor halaman, antara bagian satu dan bagian dua, terdapat satu halaman
kosong tanpa nomor halaman, sedangkan kata pengantar dan daftar isi diberi
nomor halaman menggunakan huruf romawi III sampai V. Selanjutnya, bagian-
bagian pembahasan terdapat 119 halaman, bagian daftar bahan bacaan atau
kepustakaan terdiri dari 2 halaman. Sebagai gambaran, karena keterbatasan
penulis dalam menemukan buku yang asli, penulis terpaksa memakai buku
fotokopi. Penulis juga meminta maaf karena pada sampul buku (cover) terdapat
kesalahan penulisan nama yaitu DARMONO seharusnya DAMONO. Sampul
(cover) luar buku ini berwarna orange. Di tengah atas buku tertulis judul buku;
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, serta di tengah sampul tertulis nama
penulis; Sapardi Djoko Darmono dan tengah bawah nama penerbit, yaitu Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jenis huruf (font) yang digunakan
penulis adalah Times New Roman (TNR) dengan ukuran 10.
Pembahasan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini terbagi atas
dua belas bagian. Bagian pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian
Dasar, ketiga; Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi,
kelima;Terjemahan, keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh;
Membandingkan Dongeng, kedelapan; Dalam Bayangan Tagore, kesembilan;
Jejak Romantisisme Dalam Sastra Indonesia, kesepuluh; Gatotkoco; Kasus
Peminjaman dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir kedua belas;
Penutup.

A. LAPORAN BAGIAN BUKU


Pada bagian ini penulis akan melaporkan bagian isi buku yang berjudul
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
Buku ini terdiri atas dua belas bagian. Setiap bagian berisi pembahasan yang
dijelaskan secara khusus sesuai bagiannya masing-masing. Buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk
melakukan penelitian sastra bandingan nantinya.
Bagian-bagian isi buku ini tidak menggunakan penomoran bab, dan hanya
mencantumkan judul. Setiap bagian tidak ada penanda topik, seperti nomor atau
sub-sub bab yang akan dibahas. Oleh karena itu, dalam laporan bacaan ini, penulis
memberi penomoran dengan angka dan mencantumkan judul sesuai pembagian
pembahasan dalam buku ini. Berikut penjelasan lebih lengkap mengenai laporan
bagian isi buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko
Damono.
Bagian Satu: Pendahuluan
Pada bagian ini, Damono menjelaskan bahwa buku Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan ini merupakan pegangan bagi peneliti untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan. Dalam penelitian
sastra diharuskan menggunakan pendekatan tersebut agar sampai pada
pemahaman suatu masalah karena tidak akan bisa melakukan penelitian
menggunakan pendekatan sastra bandingan tanpa adanya pembanding. Selain
berisikan tentang penggunaan pendekatan sastra bandingan, buku ini juga berisi
tentang penjelasan bahwa sastra bandingan bukanlah yang tertulis saja, tetapi
termasuk juga yang lisan dengan pengertian tersendiri pula. Buku ini diharapkan
dapat bermanfaat, terutama untuk memahami sastra, serta dapat diapresiasikan
pada kebudayaan yang telah ada. Dengan menggunakan pendekatan ini dalam
penelitian karya sastra, maka akan sangat bermanfaat bagi kita dalam memahami
sastra dan mengapresiasi kebudayaan yang telah menghasilkannya.

Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar


Bagian ini berisi mengenai konsep dasar sastra bandingan. Pada bagian ini,
Damono mengupas tuntas mengenai pengertian sastra bandingan, baik
menurutnya maupun dari beberapa ahli. Damono menjelaskan tentang sastra
bandingan yang merupakan pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak
menghasilkan teori sendiri, artinya teori apa saja bisa dimanfaatkan sesuai dengan
objek dan tujuan penelitian. Selain tidak menghasilkan teori sendiri sastra
bandingan merupakan suatu pendekatan yang membandingkan suatu karya sastra
dengan bidang lainnya. Baik itu perbandingan antar geografis, kepercayaan,
sosial, sains, dan lain sebagainya.
Damono juga memberi penjelasan pengertian dasar sastra bandingan, yang
dikutip dari pendapat para ahli, yaitu Remak dan Nada. Menurut Remak, sastra
bandingan adalah membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain
dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan
kehidupan. Pendapat Remak tersebut mengartikan bahwa yang termasuk dalam
kajian sastra bandingan ada dua bagian, yaitu sastra harus dibandingkan dengan
sastra, dan sastra juga bisa dibandingkan dengan bidang ilmu lain, seperti seni dan
disiplin ilmu lain. Sementara Nada, seorang pengamat Sastra Arab, menyatakan
bahwa sastra bandingan adalah suatu studi kajian sastra suatu bangsa yang
mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin
proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil
suatu sastra, dan apa pula yang telah disumbangkannya. Jadi maksudnya bahwa
sastra bisa dibandingkan apabila sastra suatu bangsa ada kaitannya dengan sejarah
sastra bangsa lainnya.
Di bagian ini juga dijelaskan mengenai bahasa sebagai syarat utama dalam
studi sastra bandingan. Damono mengatakan bahwa perbedaan bahasa merupakan
salah satu syarat utama dalam sastra bandingan. Pernyataan Damono ini didukung
oleh pendapat Nada, bahwa kegiatan membandingkan karya sastra Arab meskipun
ditulis oleh dua sastrawan Arab dari negeri yang berbeda, tidak bisa dilakukan,
karena ia menganggap bahasa Arab yang tersebar dimana pun telah menghasilkan
kebudayaan yang sama. Artinya, seseorang tidak bisa dianggap telah melakukan
studi sastra bandingan jika ia mengadakan perbandingan antara sastrawan Arab.
Sastra bandingan dapat dilakukan jika karya sastra Arab itu telah disusun dalam
bahasa lain, misalnya ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Selanjutnya, Nada beranggapan bahwa karya sastra yang ditulis dalam
bahasa yang sama memberikan ciri pemikiran yang sama dan umum pada bangsa-
bangsa yang telah menghasilkannya karena adanya kesamaan pola pikir dan cara
hidup mereka dalam memandang masalah kehidupan, karena pada hakikatnya
tidak ada perbedaan asasi antara karya-karya tersebut. Namun, sangat berbeda
ketika karya sastra suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Misalnya sastra
Inggris dan Amerika yang memiliki hubungan kesejarahan, meskipun sama-sama
menggunakan bahasa Inggris, tetapi dalam sastra pasti terdapat perbedaan yang
mencolok, baik dalam cara pandang/pola pikir, gaya bahasa, dan kekayaan kosa
kata. Berdasarkan hal itu, Damono berkesimpulan bahwa pada dasarnya pendapat
Nada sama dengan Remak, yakni membandingkan dua sastra dari dua negeri yang
berbeda itu sah-sah saja, meskipun keduanya menggunakan bahasa yang sama,
karena pengunaan bahasa yang sama itu justru menunjukkan adanya hubungan
kesejarahan.
Kemudian, dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini juga
membahas tentang sastrawan yang menulis karya sastra dalam berbagai bahasa
yang berbeda, atau lebih dari satu bahasa. Salah satunya sastrawan di Indonesia,
yaitu Ajib Rosidi yang menulis balada Jante Arkidam dalam bahasa Sunda dan
Indonesia, Suparto Brata menulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Rabindranath
Tagore menulis dalam bahasa Inggris dan Bengali, sedangkan Samuel Beckett
yang menulis karyanya dalam bahasa Prancis kemudian menerjemahkan karya-
karyanya sendiri dalam bahasa Inggris. Menurut Damono, contoh-contoh tersebut
dapat dikatakan sebagai sastra bandingan, karena mengacu pada konsep bahasa
sebagai hasil kristalisasi kebudayaan. Tentu, hal ini didasarkan bahwa sastrawan
mampu melakukan perjalanan ulang-alik antara dua kebudayaan dan di dalam
masing-masing bahasa ia menyatakan dirinya di dalam lingkungan kebudayaan
yang berbeda.
Damono menjelaskan mengenai batasan-batasan yang bisa dibandingkan
dalam kajian sastra bandingan. Menurut Guyard, penelitian sastra bandingan
merupakan pendekatan sejarah hubungan-hubungan sastra antarbangsa. Guyard
selanjutnya menjelaskan bahwa sastra bandingan mensurvei pertukaran gagasan,
tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa, di antara dua atau beberapa
sastra. Jadi, selain membandingkan sastra dari dua negara atau bangsa, sastra
bandingan merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra
suatu bangsa saja. Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan negara
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan dan
gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara. Khusus sastra Barat, Cortius
menyatakan bahwa dengan memandang objek kajian sastra-teks, genre, gerakan,
kritik, dalam perspektif antar bangsa, sastra bandingan memberikan sumbangan
terhadap pengetahuan mengenai kesusastraan.
Ada lima pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian sastra
bandingan menurut Clements, yaitu:
1) tema/mitos,
2) genre/bentuk,
3) gerakan/zaman,
4) hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu
lain, dan
5) pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-
menerus bergulir.
Damono juga mengatakan bahwa, dalam kegiatan akademik syarat utama
bagi peneliti sastra bandingan adalah penguasaan bahasa karena karya sastra yang
diteliti harus dibaca dalam bahasa aslinya. Metode dalam sastra bandingan harus
dikaitkan dengan sejarah teori sastra karena teori tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan sastra, sehingga sastra bandingan merupakan humanisme baru
yang berkeyakinan adanya gejala sastra.
Pakar yang juga sepakat bahwa sastra bandingan merupakan kegiatan
akademik yang penting adalah Jost. Jost menyatakan bahwa sastra bandingan
merupakan humanisme baru yang prinsip utamanya adalah keyakinan adanya
keutuhan gejala sastra.
Jost membagi pendekatan sastra bandingan dengan empat bidang, yaitu:
1) pengaruh dan analogi,
2) gerakan dan kecendrungan,
3) genre dan bentuk,
4) motif, tipe, dan tema.
Secara umum, Damono menyatakan bahwa dari keempat pendekatan
tersebut, pendekatan pertama yang paling banyak menghasilkan hasil penelitian,
karena dianggap sebagai sastra bandingan. Ia juga menyatakan bahwa keempat
kategori pendekatan di atas tidak memiliki garis pemisah yang tegas. Hal itu
karena, setiap studi apapun dalam bidang ilmu kemanusiaan dapat menjadi studi
hubungan-hubungan dalam pengertian pengaruh dan analogi. Sarjana sastra bisa
menguraikan suatu gerakan, genre, atau motif dalam memahami hubungan-
hubungan antara berbagai sastra nasional. Peneliti dihadapkan pada karya-karya
tertentu yang semua berisi tema dan motif, yang menjadi bagian dari genre dan
gerakan.
Menurut Damono, studi pengaruh dan analogi dalam sastra bandingan
memusatkan perhatian pada interkasi dan kemiripan antara beberapa sastra, karya,
dan pengarang sastra nasional, atau fungsi tokoh penting yang menjadi perantara
dalam menyebarkan doktrin atau teknik sastra. Ia mengatakan bahwa kemiripan
antara sastra dan bidang seni lain juga bisa disebut sastra bandingan, misalnya
perbandingan antara puisi dan seni lukis, musik dan puisi, bahkan perbandingan
karya sastra dan ilmu lain, seperti sosiologi, agama, filsafat, boleh dianggap sastra
bandingan selama kegiatannya bertujuan memahami karya sastra secara lebih baik
dengan membandingkannya.
Dalam sastra bandingan ada dua metode yang bisa digunakan, yaitu
peneliti menekankan masalahnya dari segi pandangan sastrawan yang
dipengaruhi, dan sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi. Jost menyatakan
bahwa penelitian bisa dilaksanakan dengan metode genetik atau poligenetik, dari
yang menekankan pentingnya hubungan sebab akibat maupun yang tidak.
Kemudian, studi analogi ini dikembangkan untuk melengkapi studi pengaruh
dalam sastra bandingan. Studi analogi mempertimbangkan kemiripan yang ada
pada berbagai unsur dua atau lebih sastra. Analogi bisa menjelaskan hal yang
lebih luas dan hakiki, yakni sikap estetik dan filosofis secara umum.
Pendekatan lain atau terakhir untuk sastra bandingan yang diungkapkan
Damono dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan adalah pendekatan
yang menuntut atau tuntutan mempergunakan bahasa asli karya sastra yang
dibandingkan. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam kegiatan penerjemahan,
yang membandingkan-bandingkan kecenderungan tematik yang ada dalam karya
sastra yang dibandingkan. Jadi, dengan pendekatan ini, hasil penelitian sastra
bandingan yang membanding-bandingkan berbagai karya sastra dari berbagai
bahasa, dengan penerjemahan dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman,
pengetahuan, baik karya sastra maupun terhadap kebudayaan lain melalui karya
sastra.

Bagian Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan


Bagian ini menjelaskan mengenai perkembangan sastra bandingan. Sastra
bandingan mula-mula dilahirkan dan dikembangkan di Eropa, benua yang
menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan, namun yang pada dasarnya bersumber
pada mitologi Yunani dan kitab suci orang Kristen. Dari segi kebahasaan, Eropa
dibagi menjadi beberapa kelompok bahasa, antara lain Roman dan Anglo Sakson.
Rumpun bahasa Roman, misalnya mencangkup tiga bahasa besar yakni Prancis,
Itali dan Spanyol. Bahasa yang mirip satu sama lain itu menghasilkan
kesusastraan yang berbeda-beda, meskipun ada hubungan sejarah diantara
mereka. Sejak ekspansi ke benua-benua lain, bahasa Eropa juga berkembang di
luar benua.
Pada abad 19-20 telah menumbuhkan kegiatan akademik, yakni sastra
bandingan yang memiliki prosedur dan kondisi tersendiri. Kegiatan itu pertama
kalinya dicetuskan oleh Sainte-Beuve dalam artikel yang dimuat di Reve des deux
mondes terbitan tahun 1868. Dalam karangannya menjelaskan cabang studi sastra
bandingan baru berkembang di Prancis awal abad ke 19. Pada abad ke 20
pengukuhan studi sastra bandingan terjadi ketika jurnal Reve literature compare
diterbitkan pertama kali pada tahun 1921. Jurnal tersebut memuat karangan-
karangan mengenai sejarah intelektual, terutama sekali dalam melacak pengaruh
hubungan yang melewati batas-batas kebahasaan.
Pada bangsa Eropa studi sastra bandingan menjadi kegiatan yang wajar,
tidak dicari-cari, berbeda dengan di benua Asia, sastra bandingan yang ditinjau
dari segi linguistik dan budaya, bangsa Asia memiliki ciri-ciri tersendiri, aksara
yang berbeda, tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaan seperti Eropa
serta tidak suka dibanding-bandingkan. Pada abad ke-20, pengukuhan studi sastra
bandingan terjadi ketika jurnal Reve literature compare diterbitkan pertama kali
pada tahun 1921. Jurnal itu memuat karangan-karangan mengenai sejarah
intelektual, terutama sekali dalam melacak pengaruh dan hubungan yang melewati
batas-batas kebahasaan.
Kunst dalam Damono (2005: 17) membagi kebudayaan Asia menjadi tiga
tradisi sastra besar yakni, pertama Timur Tengah yang berkaitan erat dengan
tradisi Eropa dalam hal sejarah, ilmu alam, dan agama. Kedua Asia Selatan, yang
berpusat di India dan menjangkau Teluk Benggala sampai Burma, Thailand, Laos,
Kamboja, Indonesia, dan Malaysia, ke Selatan menjangkau Sri Lanka, dan ke
Utara mencapai Nepal, Tibet, dan Asia Tengah. Tradisi sastra ketiga yaitu Asia
Timur bersumber di Cina menyebar ke Jepang, Korea, Mongolia, dan Vietnam.
Kurt juga menjelaskan bahwa hubungan antara ketiga tradisi sastra Timur Tengah
dan kedua tradisi sastra lainnya. Jadi, sastra klasik juga mendapatkan pengaruh
atau sentuhan dari ketiga tradisi besar Asia. Naskah-naskah klasik yang ditulis
dalam beberapa bahasa daerah menunjukkan pengaruh Parsi, Asia Selatan, dan
yang berasal dari Cina yang biasa dikenal sebagai Timur jauh.
Bagian Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi
Bagian ini berisi penjelasan mengenai perbedaan sastra asli, pinjaman, dan
sastra tradisi. Pada tahap ini, Damono menjelaskan bahwa pada zaman sekarang
hampir tidak mungkin lagi menemukan benda budaya yang sepenuhnya asli,
termasuk pada karya sastra, ini dikarenakan perkembangan teknologi yang
semakin canggih. Misalnya, kisah Mahabharata yang lahir di India dan baru bisa
dinikamati di tanah Jawa setelah ratusan tahun lamanya. Namun, pada zaman
sekarang ini dengan kecanggihan teknologi, memungkinkan sebuah benda,
budaya atau karya sastra dengan mudah bisa mencapai tempat lain dalam waktu
yang singkat.
Teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini, tentunya tidaklah
sulit untuk menikmati berbagai karya sastra diseluruh dunia. Penyebaran karya
sastra dengan mudah inilah memberikan inspirasi bagi sastrawan untuk
melakukan inovasi tematik maupun stalistik. Berbagai bentuk puisi seperti Sonete
dan romance yang berkembang pesat di Eropa dan Prancis dengan cepatnya
menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. Romance itu sendiri merupakan
pinjaman dari dari bentuk naratif yang lain.
Berbagai gerakan, mazhab, dan kecendrungan dengan mudah menular dan
menumbuhkan kegiatan baru di negeri-negeri yang terkena tular. Berbagai bentuk
puisi seperti soneta dengan cepat menyebar di semua negara Eropa dan sampai
akhirnya menyebar ke Indonesia. Penularan itu menjadi alasan utama untuk
mengembangkan sastra bandingan. Penularan dapat berupa pengaruh yang
harus diartikan secara luas yaitu bukan hanya sekedar proses peniruan yang
menimbulkan karya sastra baru berdasarkan hasil tiruan dari karya sastra yang
sudah ada. Dalam hal ini konsep pengaruh diartikan mulai dari pinjaman sampai
ke tradisi. Tak bisa dipungkiri betapa banyaknya karya sastra yang menjadi
tonggak sastra dunia merupakan pinjaman, artinya karya tersebut tidaklah asli lagi
atau pinjaman.
Konsep pengaruh mencakup spektrum yang luas, mulai dari pinjaman
sampai tradisi. Sampai berapa jauh terjemahan bisa dan boleh berbeda dari aslinya
juga merupakan pokok penelitian yang penting, ini menyangkut pula masalah
saduran yang sangat banyak dilakukan dalam perkembangan sastra dunia.
Kegiatan meminjam baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan. Misalnya kisah cinta terlarang
seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya, dalam kebudayaan Barat dikenal
dengan kisah Oedipus, sedangkan kebudayaan Sunda dikenal dengan
Sangkuriang. Dongeng seperti ini ternyata bisa kita temukan diberbagai
kebudayaan di seluruh dunia. Kisah-kisah dalam tradisi lisan pada zaman dahulu
kemudian diangkat dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Jenis kisah lain yang juga sangat populer di kalangan rakyat adalah cinta
yang tidak kesampaian. Dalam budaya barat dikenal kisah Romeo-Juliet. Dalam
khasanah kebudayaan Jawa dikenal kisah Roro Mendut dan Pranacitra, yang
kemudian dalam sastra modern diangkat dalam novel oleh Ajip Rosidi dan
Mangunwijaya. Kisah yang mula-mula merupakan hasil tradisi lisan itu diterima
dan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki makna baru yang sesuai dengan
zaman penciptannya. Dalam kebudayaan Minang juga dikenal kisah Siti Nurbaya.
Perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses saling mencuri
atau saling meminjam. Jika kesusastraan Asia Timur, misalnya, dianggap
mendapat pengaruh dari kesusastraan Eropa, maka bisa dikatakan bahwa yang
sebaliknya juga terjadi. Namun perli diketahui bahwa dalam kesusastraan tidak
meminjam pun bisa saja sebuah karya itu mirip dengan yang telah dihasilkan
orang lain di tempat dan waktu yang berbeda. Salah satu penyebab kemiripan
tersebut adalah situasi geografis.

Bagian Lima: Terjemahan


Bagian ini berisi mengenai sastra terjemahan. Damono menjelaskan bahwa
karya sastra setiap bangsa tidaklah sama, untuk memahaminya maka hal pertama
yang harus dilakukan adalah menerjemahkannya. Menerjemahkan dimulai dengan
menerjemahkan aksaranya, gunanya untuk mempermudah pemahaman terhadap
karya sastra yang ditulis. Sastra tulis yang berkembang di Indonesia tidak terlepas
dari bayang-bayang aksara India, dikarenakan zaman dahulu nenek moyang
bangsa Indonesia mengembangkan aksara yang dipinjam dari India sehingga
meghasilkan aksara Jawa, Sunda, dan Bali. Kitab klasik yang berkaitan dengan
dengan Epos Mahabharata dan Ramayana bermunculan diawal tradisi tulisan
sastra Jawa.
Di awal abad ke-20 sejumlah karya sastra dari Eropa diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu dan beberapa bahasa daerah oleh penerbit pemerintah
waktu itu, Balai Pustaka, dan beberapa penerbit swasta. Dalam perkembangan itu
juga tampak bahwa ternyata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayuy waktu
itu bukan hanya yang berasal dari Barat, tetapi juga dari mana sajatergantung
siapa yang melaksanakan terjemahan tersebut.
Perkembangan berikutnya adalah aksara Arab dengan menciptakan huruf
Jawi kedalam bahasa Melayu dan Pegon dalam bahasa Jawa serta tidak terlepas
dari kebudayaan Timur Tengah yang berkaitan erat dengan agama dan kebudayaan
Islam. Terakhir pada perkembangannya kita memilih aksara Latin yang dipakai
untuk menerjemahkan Sastra Barat kedalam beberapa bahasa diantaranya Melayu
dan beberapa bahasa lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan beberapa
penerbit swasta.
Masyarakat keturunan Cina memberikan sumbangan yang sangat berharga
terhadap perkembangan sastra di Indonesia, terbukti dari pengarang keturunan
Cina yang banyak mendapat perhatian. Cerita silat di Indonesia yang diilhami dari
cerita silat dari Cina banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1920 sampai 1930-an pengaruh romantisme masih sangat
kental di Indonesia, kemudian tahun 1950 sampai 1960-an terjadi kesemerautan
pengaruh asing. Salah satu tokoh yang menerima pengaruh asing adalah Chairil
Anwar. Chairil Anwar merupakan sastrawan yang mampu menciptakan
kesusastraan baru. Karya sastra yang diterjemahkan Chairil yang terkenal adalah
Huesca. Pada hasil terjemahan tersebut Chairil dianggap setia pada
pengulangan bunyi tapi tidak setia pada makna. Pada bab ini juga terdapat
pernyataan seorang tokoh yang menganggap sastra terjemahan tidak lebih dari
reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak, artinya karya sastra terjemahan
tersebut sudah tidak asli lagi dan berbeda dari karya aslinya. Namun, sebenarnya
karya terjemahan tidaklah seburuk yang dibayangkan oleh tokoh tersebut, sangat
mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya.
Dalam penerjemahan karya sastra dipengaruhi oleh kebudayaan sasaran,
artinya penerjemah bisa menjadi pengkhianat kreatif dalam menulis karya
sastranya ini disebabkan penerjemah diikat oleh kebudayaan sendiri. Chairil
Anwar dianggap sebagai pengkhianat kreatif yang menerjemahkan sajak The
Young Dead Soldies menjadi sajak yang berjudul Karawang Bekasi. Chairil
Anwar diikat oleh kebudayaan sendiri, walaupun banyak yang menganggapnya
plagiat terhadap karya MacLeish tersebut.

Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara


Bagian ini menjelaskan tentang sastra bandingan nusantara. Damono
menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negeri yang sangat akan
kebudayaan yang menjadi sumber penelitian sastra bandingan. Misalnya tentang
tradisi lisan dan tulis, bahkan beberapa daerah mengembangkan aksara tersendiri,
seperti pulau Jawa, Sunda, Bali, Bugis dan Batak yang berkaitan satu sama lain.
Berbeda dengan negari-negeri di Eropa yang mengacu pada Mitologi Yunani dan
perjanjian lama Injil.
Sastra dari kebudayaan yang satu dan lainnya sangat berbeda, ini
ditentukan oleh geografi dan dan SDA. Misalnya legenda yang diciptakan oleh
masyarakat Sangihe yang berbasis kehidupan laut, berbeda dengan dongeng yang
muncul dalam kebudayaan Bali yang tumbuh dalam kebudayaan agraris. Karya
sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan daerah akan
mudah dipahami masyarakat seluruh Indonesia, namun jika menggunakan bahasa
daerah misalnya bahasa Jawa maka hanya sekelompok orang saja yang akan
mengerti.
Genre yang berkembang di Indonesia juga dipengaruhi oleh luar. Misalnya
genre wiracarita, dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis
teater rakyat, dan pelipur lara. Dalam sastra bandingan yang terpenting adalah
penggunaan dan penguasaan bahasa asli dari karya tersebut, karena sejatinya
dalam sastra bandingan kendala utama adalah bahasa. Pemaparan yang terdapat
dalam sastra bandingan nusantara, yaitu tentang berbagai macam sastra Indonesia
yang hampir sama dengan sastra diberbagai belahan dunia kemudian dibanding-
bandingkan sehingga dapat dilihat persamaan dan perbedaannya.

Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng


Materi yang dibahas pada bagian ini adalah cara membandingakn
dongeng. Pada bagian ini penjelasan Damono lebih fokus ke dongeng karena
dalam penelitian sastra bandingan, sebuah dongeng dapat dibandingkan dengan
dongeng lain, yang berasal dari berbagai negara, tentunya dongeng yang mirip.
Penelitian ini tidak hanya mengungkapkan keaslian dan pengaruhnya terhadap
yang lain, tetapi lebih kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan
watak suatu masyarakat. Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam
pengertian Barat dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan fabel. Contoh untuk
menunjukkan pendekatan perbandingan mitos dalam dongeng adalah kisah
Oedipus di Yunani Kuno yang telah berkembang selama ribuan tahun di masa
lampau. Tetapi, di dalam akhir cerita kisah Oedipus ini terdapat berbagai versi
yang berbeda, baik versi Homerus maupun versi Sophocles. Perbedaan versi
inilah yang nantinya digunakan dalam membandingan dongeng.
Kisah tentang Oedipus sangat terkenal di berbagai negeri Eropa. Para
sastrawan Eropa, seperti Pierre Corneille, John Dryden, dan Voltaire, berhasil
menggunakan tokoh dalam dongeng itu menjadi sebuah rentetan drama yang
panjang. Pada zaman selanjutnya, kisah ini diungkapkan lagi atas ketertarikan
dikalangan dramawan Perancis menjadi bentuk pertunjukan drama. Pendekatan
yang berbeda dilakukan oleh seorang dramawan Yunani klasik, Sophocles dalam
Oedipus Rex Oedipus Sang Raja ending ceritanya berakhir teragis. Kemudian
drama tersebut dilanjutkkan oleh Sophocles dalam drama Oedipus di Kolonus,
sang raja meninggal dalam pengembaraan.
Uraian ringkas di atas nampak jelas bahwa dalam suatu tradisi kebudayaan
yang sama, kisah mengenai Oedipus ini memiliki versi yang berbeda. Artinya hal
ini menjelaskan bahwa setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan
dan menafsirkan masalah yang sangat hakiki dalam hidup manusia. Tradisi lisan
yang beredar di Yunani Kuno itu ditafsirkan oleh orang Yunani sendiri dan juga
kemudian oleh bangsa-bangsa lain di Eropa yang tentunya mendapat pengaruh
dari kebudayaannya. Salah satu kisah di Indonesia yang bisa dikatakan kisah yang
mendapat pengaruh dari kisah Oedipus adalah kisah Sangkuriang yang berasal
dari Priangan-kebudayaan Sunda, atau kisah Prabu Watu Gunung, dalam kitab
Babad Tanah Jawi, yang dikenal sebagai kebudayaan Jawa Klasik. Tradisi lisan
tentang kisah Sangkuriang ini disesuaikan dengan kondisi geografis asal-muasal
cerita itu, dan dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu.
Dalam perkembangan sastra Indonesia modern, kisah Sangkuriang pernah
dibuat dalam berbagai genre dan versi, yang dilakukan oleh seorang dramawan,
Utuy Tatang Sotani, yang menulis kembali cerita tersebut menjadi sebuah drama
dengan dua versi yang berbeda. Drama-drama yang ditulis itu lebih merupakan
resepsi pengarang atas dongeng itu dan oleh karenanya mengambil serangkaian
peristiwa yang berbeda. Kisah Sangkuriang banyak mengalami perkembangan di
Pariangan dalam berbagai versi. Ditilik dari berbagai segi, perbedaan yang ada
antara versi-versi itu, lisan manupun tertulis, tentu disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu sosial dan budaya. Jadi untuk menemukan dan mengapresiasi makna
yang lebih dalam dapat dilakukan dengan cara penelitian sastra bandingan, baik
penokohan, latar, perlambangan, dan alur, bisa ditelusuri, kemudian menentukan
perbedaan dan persamaannya dalam upaya pemahaman mengenai kebudayaan
penciptaannya.
Kisah yang mirip dalam khasanah sastra Jawa klasik itu juga ditemukan
dalam Babad Tanah Jawi, yaitu sebuah kitab Jawa klasik yang dianggap sebagai
sejarah, mengutip berbagai kisah dari tradisi lisan untuk menentukan asal-usul
suku bangsanya. Di awal buku itu dapat kita temukan alur dan tokoh yang bisa
dibandingkan dengan kisah Oedipus dan Sangkuriang. Kisah Jawa tentang
percintaan dan perkawinan antara anak laki-laki dan ibunya itu sama sekali
berbeda dalam latar, penokohan, dan alur. Sementara dalam kebudayaan Yunani
klasik kisah itu tidak mengaitkan kisahnya dengan penciptaan dunia.
Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung merupakan tokoh utama
dalam kisah yang mirip, yaitu seorang laki-laki yang membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya, hanya saja ketiganya hadir dalam versi yang berbeda. Dalam
hal ini, untuk membandingkannya harus menggunakan pendekatan status sosial
tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain. Sehingga, dengan pendekatan ini dapat
dimuat daftar perbedaan dan persamaan unsur-unsur formal kisah-kisah tersebut.
Selanjutnya, bisa dilakukan penafsiran secara objektif, bahkan bisa juga dikaitkan
dengan faktor sosial, politik, dan budaya yang mendasari penciptaannya.

Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore


Bagian ini menjelaskan tentang Rabindranath Tagore dan karya-karyanya.
Rabindranath Tagore merupakan sastrawan Asia pertama yang menerima hadiah
Nobel untuk bidang kesusasteraan pada tahun 1913. Dua puisi Togore yang
terkenal adalah Gitanjali dan Tukang Kebung. Puisinya yang berjudul Gitanjali
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Tagaroe
mempunyai pengaruh yang kuat, terbukti dari merebaknya minat penyair muda di
Indonesia terhadap karya sastra. Puisinya yang berjudul Gitanjali yang
diterjemahkan oleh Amal Hamzah merebut perhatian banyak remaja pada waktu
itu. Karya Tagore ini memang karya sastra yang tua, namun salah satu
keunggulan karya sastra adalah dapat menerobos pembatas zaman, karya yang
bagus akan tetap dihargai sepanjang zaman. Puisi Tukang Kebun juga
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa melayu. Kedua karya
besarnya tersebut membuat nama Togore dikenal oleh kalangan sastrawan sampai
akhirnya dia mendapatkan sebuah nobel.
Selain puisi, Tagore sang pujangga besar itu juga telah menghasilkan lebih
dari seribu sajak, hampir dua lusin naskah lakon, delapan novel, lebih dari delapan
kumpulan cerpen, lebih dari dua ribu lagu yang lirik dan musiknya dia tulis
sendiri, serta sejumlah besar karangan yang topiknya meliputi berbagai bidang
seperti kesusastraaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan politik. Namun, karya-
karyanya ini tidak begitu dikenal oleh banyak orang. Nama Tagore besar karya
kedua puisinya yang berjudul Gitanjali dan Tukang Kebun sampai akhirnya dia
mendapatkan hadiah nobel karena kedua karya besar tersebut.
Penyair-penyair muda Indonesia banyak dipengaruhi oleh Tagore, seperti
Noto Soeroto, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja serta St.
Alisjahbana. Studi mengenai seorang tokoh dengan menggunakan pendekatan
sastra bandingan bisa menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik,
penerimaan, dan masalah penerjemahan karya-karyanya dan sastra Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan sastra dunia.

Bagian Sembilan: Jejak Romantisisme dalam Sastra Indonesia


Bagian ini berisi penjelasan mengenai perkembangan dan perluasan sastra
romantisme di Indonesia sebelum kemerdekann. Sajak Berikan Aku Belukar
merupakan tema pokok, gaggasan yang ada di benak penyair, ia menghendaki
belukar dan bukan taman. Yang menjadi landasanpembicaraan tersebut adalah
alam. Alam dan perasaan yang liar adalah kuncu mazhab ini, yang di negeri
asalnya di Eropa memang merupakan upaya pemberontakan terhadap segala
sesuatu yang sudah mapan.
Ringkasnya, gerakan romantik di Barat merambat dari satu negeri ke
negeri lain dengan mendukung kebebasan individu untuk berekspresi dan
berimajinasi sesukanya. Dengan demikian romantisme lebih berurusan dengan
emosi ketimbang rasionalitas Individualisme merupakan bagian penting dalam
gerakan Romantik di Eropa. Tokoh yang erat hubungannya dengan gagasan
individualisme adalah Napoleon Bonaparte. Kesusastraan Romantik mulai
berkembang pada abad ke 18, berkiblat pada kebudayaan abad pertengahan yang
lebih percaya pada iman dibandingkan zaman pencerahan yang bersandar pada
logika. Jadi, Romantisme lebih berurusan dengan emosi ketimbang rasionalitas,
lebih menghargai individu daripada masyarakat dan lebih menghargai alam
daripada budaya. Tokoh utama gerakan romantik yaitu William Wordsworth,
menurutnya karya sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang
menggebu-gebu.
Penyair Indonesia yang mengantut aliran Romantisme ini antara lain adalah
Sanusi Pane, dalam sajaknya disebutkan bahwa dalam hidup ini segala yang
bernama kebudayaan, hasil budidaya manusia, tidaklah ada artinya sama sekali
dibandingkan perasaan yang ada di dalam hati sendiri. Pada tahun 1930,
Alisjahbana beserta rekan-rekannya yaitu Ali Hasjmy, Sanusi Pane, dan Rustam
Effendi aktif menulis berbagai puisi dan naskah drama yang tidak terlepas dari
aliran Romantisme namun disesuaikan dengan perkembangan sosial politik pada
zaman itu, antara lain Nasionalisme. Perkembangan Nasionalisme mencapai
puncaknya pada tahun 1928 ketika Sumpah Pemuda dicetuskan.
Ciri-ciri romantisme tampak pada cerita rekaan dan drama yang diterbitkan
pada masa itu. Jika diperhatikan akan dapat diuraikan persamaan dan perbedaan
antara kesusasteraan kita dengan perkembangan kesusastreaan Eropa pada abad ke
17 dan ke 18 tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran dan pemahaman yang
lebih jelas mengenai keduanya.

Bagian Sepuluh: Gatoloco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan


Bagian ini dibahas mengenai kasus peminjaman dan pemanfaatan karya
sastra yang satu dengan karya yang lain. Damono menjelaskan bahwa
kesusastraan modern cenderung meminjam dan memanfaatkan segala sesuatu
yang bersumber khasanah tradisi dan kitab klasik snagat kuat. Sebuah sajak
modern Indonesia karya Goenawan Mohamad, yaitu Gatoloco yang dibandingkan
dengan kitab klasik Jawa dengan judul yang sama.
Sajak yang ditulis pada tahun 1973 ini menggunakan huruf k sebagai
kunci pemahamannya, yang satu formal, yang lain kapital. Sajak ini mengisahkan
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya ada lima jenis
hubungan yang menjadi masalah utama bagi manusia, yaitu hubungan dengan
Tuhan, alam, masyarakat, manusia, dan dirinya sendiri. Kitab Gatoloco ini
dipinjam Goenawan Muhammad kemudian dimanfaatkan untuk mengungkapkan
posisi manusia modern dihadapan Penciptanya.
Jika sajak Goenawan Mohamad dikaitkan dengan kitab tersebut dengan
menggunakan pendekatan sastra bandingan, makna yang tersirat bisa lebih dalam
dipahami tentu dalam kaitannya dengan masalah religionasitas manusia di zaman
modern ini. Penggambaran latar, metafor, lambang dan segala bentuk sesuatu
yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari yang digunakan Goenawan
Mohamad mampu menjelaskan makna yang tersirat dalam kitab Gatoloco tersebut
sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang sajak moderen ini
dan posisi manusia serta hubungan dengan Sang Pencipta.

Bagian Sebelas: Alih Wahana


Bagian ini berisi tentang ahli wahana yaitu perubahan dari satu jenis
kesenian ke jenis kesenian lain. Damono menjelaskan bahwa dalam karya sastra
sering dijumpai perubahan kesatu jenis kesenian ke kesenian lain, misalnya cerita
rekaan yang diubah menjadi tari, drama, atau film. Perubahan inilah yang disebut
alih wahana.
Pada tahun 1950, sebuah grup ketoprak keliling yang berbahasa Jawa
mengadakan pertunjukan tradisional dengan memerankan lakon Romeo dan Juliet
karya Shakespare. Grup ketoprak tidak menggunakan naskah tertulis, semua yang
terjadi merupakan improvisasi dari panggung. Karya Shakespare ini sangat
diterima diberbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Alih wahana dari novel ke film memiliki perbedaan yang mendasar. Jika
dalam novel kita hanya bisa berimajinasi terhadap tokoh-tokoh yang digambarkan
oleh pengarang, namun pada film kita bisa melihat tokoh-tokoh yang
digambarkan oleh pengarang. Tokoh yang digambarkan dalam novel terkadang
sangat jauh berbeda dari film. Selain penggambaran tokoh, dialog merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan. Dilaog dalam sebuah novel biasanya sangat
panjang dan bertele-tele, namun tidak berlaku pada film.
Di Indonesia alih wahana juga terjadi pada film, yaitu film diubah
bentuknya ke novel. Artinya proses perubahan dari bahasa verbal ke bahasa tulis.
Kasus alih wahana yang terjadi pada sastra Jawa merupakan prinsip penting,
karena menyatakan bahwa karya sastra yang telah disadur, statusnya bukan lagi
milik sastra sumber melainkan milik sastra bahasa sasaran.
Karya sastra juga bisa diubah menjadi nyanyian dan lukisan atau sebaliknya.
Di Indonesia kita kenal istilah musikalisasi puisi, yakni usaha untuk mengubah
puisi menjadi musik. Kegiatan semacam itu sudah sejak lama terjadi di mana-
mana, baik yang menyangkut lagu populer maupun klasik. Misalnya saja
Kemuning karya Sanusi Pane, Aku karya Chairil Anwar telah dijadikan lagu
seriosa di tahun 1950-an, sementara sejak tahun 1970-an kegiatan sejenis ini
dilakukan oleh grup musik Bimbo yang menggunakan saja Taufik Ismail.

Bagian Dua Belas: Penutup


Pada bagian penutup ini Damono menguraikan secara ringkas langkah-
langkah dalam melaknasanakan penelitian sastra bandingan. Sesuai prinsip-
prinsip Clements, yang mengatakan bahwa setidaknya ada lima pendekatan yang
dilakukan untuk melakukan penelitian sastra bandingan, yakni tema/mitos,
genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni
atau disiplin ilmu lainnya.
Tema/Mitos: langkah-langkah dalam penelitian ini yiatu, usahakan menggunakan
bahan perbandingan naskah asli, yakni baik ditulis bahasa Inggris atau bahasa
Indonesia, jika membicarakan mengenai stilistika hindari karya terjemahan.
Genre/Bentuk: dalam hal ini bisa pembicaraan yang dikaji bisa apa saja, misalnya
cerita detektif sebagai genre-nya. Hal yang diungkapkan bisa perbedaan dan
persamaan dua karya sastra, atau satu karya dari daerah/bangsa yang berbeda.
Gerakan/Zaman: ini pembicaraannya mengenai Romantisisme modern, yang
berawal dari Eropa. Gerakan mashab lain seperti realisme, eksistensialisme, dan
absurdisme bisa menjadi pokok bandingan yang berharga untuk menyusun sejarah
dan pemahaman sastra.
Sastra dan Bidang Seni serta Disiplin lain: jenis pendekatan ini tentu saja
menuntut adanya penguasaan atas kedua seni yang dibandingkan. Misalnya puisi
dan musik, langkahnya dengan jenis pertanyaan yang sama tetapi berdasarkan
jargon yang berbeda-beda, yang ada kaitannya dengan musik.
Sastra sebagai Bahan Pengembangan Teori: mengkaji teori resepsi dan tanggapan
pembaca, misalnya mengungkapkan bagaimana suatu karya sastra berubah
bentuk, ketika diterima oleh kebudayaan lain, dan perubahan bentuk karya sastra
itu sendiri.
Demikian hasil laporan bacaan buku Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang dilaporkan. Pada bagian
komentar akan diulas dua buah buku lainnya yang masing-masing berjudul
Metodologi Penelitian Sastra karya Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dan buku
Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari, M.Pd. Tujuannya tidak lain adalah untuk
membandingkan dengan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Prof.
Dr. Saparji Djoko Damono.

B. KOMENTAR
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko
Damono ini merupakan buku yang sangat bagus sebagai pedoman sastra untuk
melakukan penelitian sastra bandingan. Di dalam buku ini dijelaskan hakikatnya
sastra bandingan merupakan salah satu studi yang mengkaji dunia sastra dengan
membanding-bandingkan antara karya sastra satu dengan karya sastra lainnya,
yang berada dalam lingkup atau kerangka supranasional. Dalam buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan ini, Damono sudah memberi gambaran cukup jelas
tentang kajian sastra bandingan. Di dalam buku tersebut dijelaskan hampir semua
pengetahuan tentang sastra bandingan. Dimulai dari pengenalan sastra bandingan,
sejarah perkembangan sastra bandingan, sastra yang asli, pinjaman dan tradisi,
sastra terjemahan, sastra bandingan yang ada di Nusantara, cara membandingkan
dongen sampai ke langkah-langkah melakukan penelitian sastra bandingan.
Sebagai penliti sastra bandingan pemula, buku ini sangat cocok untuk dijadikan
pedoman dalam penelitian. Namun, Damono menjelaskan materi di dalam buku
ini dalam umumnya berbentuk karangan. Artinya, Damono tidak membagi atau
menjelaskan poin-poin penting yang terdapat dalam setiap bab dalam buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini. Jadi, jika ingin memahami secara
mendalam tentang isi buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya
Damono ini, kita harus membaca isi buku tersebut secara berulang-ulang. Pada
tulisan ini penulis akan menggunakan satu buah buku sebagai pembanding dari
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono buku
Sastra Bandingan karya Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia

Buku yang penulis gunakan sebagai


pembanding adalah buku Sastra Bandingan
karya Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia. Buku
ini diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan di Jakarta tahun 1966,
dengan ketebalannya 40 mm dan banyak
halaman adalah 73 halaman.
Buku Sastra Bandingan karya
Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia ini
membahas berbagai macam metodologi
penelitian sastra.
Materi Sastra Bandingan karangan Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia
terbagi atas lima bab, yaitu (1) pengertian dan tujuan sastra bandingan (2)
perbandingan puisi modern Indonesia, (3) perbandingan novel-novel Indonesia,
(4) perbandingan novel antar negara, dan (5) perbandingan cerita rakyat antar
daerah di Indonesia dan antar negara. Berikut ini penulis simpulkan materi
tersebut.
1) Pengertian dan tujuan sastra bandingan, bagian ini membicarakan tentang
pengertian sastra bandingan dan tujuan perbandingan sastra. Terdapat tiga
pengertian sastra bandingan. Pertama, sastra bandingan adalah kegiatan untuk
mempelajari sastra lisan, terutama cerita rakyat dan penyebarannya, serta
menyelusuri waktu penulisan sastra lisan menjadi karya yang artistik. Kedua,
sastra bandingan adalah kegiatan sastra yang menghubungkan dua
kesusastraan atau lebih. Ketiga, sastra bandingan membicarakan sastra secara
menyeluruh, sama dengan membicarakan sastra dunia, sastra universal atau
sastra umum. Tujuan sastra bandingan adalah memberikan pada pembaca
pemahaman yang lebih luas mengenai karya sastra sebagai hasil pemikiran
manusia. Selain itu, tujuan perbandingan adalah untuk melihat persamaan
yang menonjol dalam karya sastra yang sejenis. Dengan demikian akan
timbul tafsiran tentang keberadaan karya sastra di dalam masyarakat
pemakainya.
2) Perbandingan puisi modern Indonesia. Puisi yang dibandingkan adalah (a)
puisi Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam Efendi, (b) puisi Berdiri
Aku karya Amir hamzah dan puisi Senja Di Pelabuhan Kecil karya Charil
Anwar, dan (3) puisi Padamu Jua karya Amir hamzah dan puisi Doa
karya Charil Anwar. Rustam Efendi membuat pola puisinya seperti pantun
karena persajakan akhirannya berbunyi a,b,a,b. Akan tetapi, dari
kesinambungan isi setiap larik dan hubungan makna setiap bait, puisi tersebut
lebih mirip bentuk syair. Syair adalah suatu bentuk puisi lama yang makna
setiap baris berhubungan dan begitu juga makna setiap baris.
Puisi Berdiri Aku karya Amir hamzah, dan puisi Senja Di Pelabuhan
Kecil karya Charil Anwar terdapat perbedaan dalam melihat suatu objek
keindahan. Kedua puisi tersebut berkisar tentang suasana pantai pada waktu
senja. Persamaan objek yang digunakan penyair tersebut adalah pantai pada
waktu sore hari. Namun bagi kedua penyair ini suasana pantai menimbulkan
kesan yang berbeda.
Puisi Padamu Jua karya Amir hamzah, dan puisi Doa karya Charil Anwar
memiliki persamaan secara intertekstual. Ada gagasan dan ungkapan Charil
Anwar yang diranut kembali oleh Amir hamzah. Begitu juga idenya
meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan masing-
masing sajak tersebut menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam
menanggapi masalah yang dihadapi. Dalam puisi Padamu Jua karya Amir
hamzah, si aku yang cinta dunianya habis kikis dengan pasti kembali kepada-
Mu, Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa dipermainkan
oleh Engkau. Namun akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau sebagai
dara dibalik tirai, sangat menariknya, menanti si aku seorang diri dengan
setia. Dalam puisi Doa karya Charil Anwar, si aku yang terasing dalam
kebingungannya meskipun awalnya termangu, akhirnya ia dating juga kepada
Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh (maharahman dan maharahim). Tidak
ada tempat lain untuk mengadukan keremukan bentuknya, (wujud hidup)
selain Dia. Maka, setelah alu mengetuk pintu kerahmanan dan kerahimannya,
si aku tidak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kandil (lilin)
kemerlap. Ini ditransformasikan Charil Anwar dalam Doa sifat Tuhan
sebagai kerlip lilin di kelam sunyi.
3) Perbandingan novel-novel Indonesia. Novel-novel Indonesia yang
dibandingkan seperti novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Salah
Asuhan. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka masih
mempersoalkan masalah adat. Novel ini melukiskan jalinan cinta kasih
seorang gadis Minangkabau (Hayati) dengan pemuda Bugis (Zainuddin).
Berdasarkan adat Minangkabau, Hayati tidak boleh kawin, keciali dengan
laki-laki Minang. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis juga mengusung
adat Minangkabau. Novel ini melukiskan Hanafi Kisah cinta mereka penuh
intrik pun konflik sebab pada faktanya Corrie adalah bagian dari keangungan
Eropa, meski ibunya seorang pribumi. Dan Hanafi sendiri adalah pemuda
biasa yang berasal dari Solok. Saat itu, tabu untuk menyatukan seorang Eropa
dan pribumi.
4) Perbandingan novel antar negara. Novel antar negara yang dibandingkan
adalah (a) novel Pulang dan Senja Belum Berakhir dan (2) Madame Bovary
dan Belenggu. Novel Pulang karya Toha Mokhtar dan Senja Belum
Berakhir karya Azizi Haji Abdullah mengemukakan tema atau persoalan
pokok cerita yang sama, yaitu perjuangan seorang petani membebaskan lahan
pertaniannya dari tangan orang lain dan menggarapnya. Hanya saja cara
perjuangan yang ditempuh kedua tokoh utamanya agak berbeda. Tamin dalam
novel Pulang berjuang menebus tanahnya yang digadai sedangkan tokoh
Malawi dalam novel Senja Belum Berakhir berjuang mengambil tanahnya
yang sudah ditebus orang tuanya, tetapi masih diduduki atau digarap orang
lain.
Novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert yang diterjemahkan oleh
Santi Hendrawati dan Belenggu karya Armijn Pane sama-sama melukiskan
kehidupan keluarga dokter yang tidak sejalan dengan isterinya yang akhirnya
menimbulkan kegonjangan dalam rumah tangga.
5) Perbandingan cerita rakyat antar daerah di Indonesia dan antar negara. Cerita
rakyat yang dibandingkan adalah legenda Jaka Tarub dan Hagoromo dari
Jepang, dan Meraksama dan Siraima cerita rakyat dari Irian Jaya dan Jaka
Tarub dari pulau Jawa. Legenda Jaka Tarub dan Hagorom dibandingkan dari
aspek latar cerita (setting) untuk melihat persamaan dan perbedaaan serta
makna simboliknya. Buku Jaka Tarub (dari babat Tanah Jawa) terbitan Balai
Pustaka, Jakarta, 1976 dan Hagoromo (salinan Yoda Yiun Ichi) penerbit Ko
Kodusya, Tokyo, 1984. Kedua dongeng tersebut memiliki motif cerita yang
sama yaitu baju bidadari, yang menyebabkan seorang pemuda berhasil
memperisteri seorang bidadari.
Berbeda dengan buku Sastra Bandingan karangan Sapardi Djoko
Damono. Buku tersebut memiliki dua belas Bab. Bab pertama adalah
pendahuluan. Bab kedua adalah beberapa pengertian dasar. Bab ketiga adalah
perkembangan sastra bandingan. Bab keempat adalah asli, pinjaman, tradisi. Bab
kelima adalah terjemahan. Bab keenam adalah sastra bandingan nusantara. Bab
ketujuh adalah membandingkan dongeng. Bab kedelapan adalah dalam bayangan
Tagore. Bab kesembilan adalah jejak romantisisme dalam sastra Indonesia. Bab
sepuluh adalah Gatotkoco: kasus peminjaman dan pemanfaatan. Bab sebelas
adalah alih wahana. Bab duabelas adalah penutup.
Materi yang ada di dalam buku Damono yang berjudul Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan lebih lengkap dari pada buku Sastra Bandingan oleh
Zulfahnur. Penulis berpendapat demikian karena buku Zulfahnur hanya
memberikan pengertian sastra bandingan, tujuan sastra bandingan, dan
membandingkan karya sastra baik di Nusantara dan maupun di dunia. Akan tetapi,
contoh perbandingan karya sastranya lebih dominan pada karya sastra Nusantara.
Seperti membandingkan puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah yang hanya
meliputi karya sastra Nusantara. Membandingkan novel di Indonesia, yaitu novel
Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan novel Abdoel Muis Salah
Asuhan, novel Idrus Perempuan dan Kebangsaan dengan novel Mochtar Lubis
Jalan Tak Ada Ujung, Membandingkan cerita rakyat di Jawa dan di Irian Jaya
yaitu Jaka Tarub dan Meraksamana dan Siraiman. Di dalam buku Zulfahnur
selain membandingkan karya sastra nusantara juga membandingkan karya sastra
antar negara, seperti novel Indonesia Pulang denang novel Malaysia Senja Belum
Berakhir dan cerita rakyat Indonesia Jaka Tarub dengan cerita rakyat Jepang
Hagomoro.
Dalam buku Damono diberikan beberapa pengertian dasar mengenai sastra
bandingan, perkembangan sastra bandingan, asli, pinjaman, tradisi, terjemahan,
jejak romantisme dalam sastra Indonesia, kasus pinjaman dan pemanfaatan, dan
alih wahana. Materi tersebut tidak terdapat pada buku Sastra Bandingan oleh
Zulfahnur. Damono juga membandingkan karya sastra Nusantara dan dunia. Akan
tetapi ia lebih dominan membandingkan karya sastra antar negara. Seperti
membandingan mitologi Yunani Oedipus dengan kisah di Priangan Sangkuriang
dan sastra Jawa klasik Babad Tanah Jawi.
Dengan demikian, buku Sastra Bandingan karya Zulfahnur yang
membahas penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi
pendukung atau tambahan terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan.
Hal itu bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Akan
tetapi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko
Damono memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra
bandingan jika dibandingkan dengan buku Sastra Bandingan pada bagian
penelitian sastra bandingan. Tentu saja karena buku Damono benar-benar khusus
diciptakan untuk mengkaji tentang sastra perbandingan.

Sejauh hasil perbandingan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar


antara buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko Damono
dan buku Sastra Bandingan karya Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia karena
hakikatnya kedua buku tersebut sama-sama membahas mengenai sastra
bandingan. Perbedaan yang tampak hanyalah fisiknya. Misalnya bentuk sampul,
ketebalan, jenis dan ukuran font yang dipakai, dan hal-hal lain yang serupa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian buku Sastra
Bandingan karya Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia yang sama-sama membahas
penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi pendukung
terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko
Damono. Hal itu bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra
bandingan. Akan tetapi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan
Sapardi Dojoko Damono memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas
mengenai sastra bandingan jika dibandingkan dengan buku pembanding tersebut
pada bagian penelitian sastra bandingan.

C. PENUTUP
Buku yang dilaporkan dalam tulisan ini yaitu Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan hasil karya Sapardi Djoko Damono. Buku ini terdiri atas dua belas
pembahasan. Pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian Dasar, ketiga;
Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi, kelima;
Terjemahan, keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh; Membandingkan
Dongeng, kedelapan; Dalam Bayangan Tagore, kesembilan; Jejak Romantisisme
Dalam Sastra Indonesia, kesepuluh; Gatotkoco; Kasus Peminjaman dan
Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir kedua belas; Penutup.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko
Damono ini dapat dijadikan sebagai pengantar atau pedoman untuk memahami
sastra bandingan secara luas dan mendalam. Jadi, buku Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini bisa dijadikan sebagai
pegangan untuk mengkaji sastra bandingan di Indonesia, sehingga khasanah studi
sastra bandingan di Indonesia nanti semakin mendalam kajiannya. Namun,
Damono menggunakan bahasa yang terlalu tinggi, perlu beberapa kali membaca
untuk dapat memahami apa yang ingin disampaikan penulis. Penggunaan bahasa
yang ringan dan sederhana dirasakan akan lebih mudah dipahami oleh pembaca
karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama dalam memahami isi
bacaan.
Pada dasarnya antara buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan yang
membahas sastra bandingan dan Metodologi Penelitian Sastra yang juga
membahas penelitian sastra bandingan, dari segi isi tidak terlihat adanya
perbedaan. Kedua buku ini sama-sama menjelaskan dan memberikan pengetahuan
tentang sastra bandingan. Hanya dari segi susunan penulisan dan bentuk fisik
buku yang membedakannya. Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya
Sapardi Djoko Damono dianggap sudah mencakup buku pembanding tersebut.
Buku ini banyak memberikan manfaat bagi penelitian sastra bandingan terutama
bagi yang bergelut pada bidang sastra seperti mahasiswa, tenaga pengajar, bahkan
tidak tertutup kemungkinan bagi kalangan umum sekalipun, karena mengandung
isi yang berkualitas, guna membantu mengembangkan wawasan kesastraanya.
Penulis berusaha memaparkan secara rinci permasalahan-permasalahan yang
terdapat dalam bidang kesusastraan, berdasarkan pandangan dari berbagai ahli.
DAFTAR RUJUKAN

Damono, Djoko Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:


Pusat Bahasa.

Zulfahnur Z.F dan Sayuti Kurnia.1966. Sastra Bandingan. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai