PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Computed Assisted Tomografi (CAT) atau Computed Tomografi (CT)
diperkenalkan sejak tahun 1968 oleh Goldfrey Housfield dan di Indonesia
digunakan sejak tahun 1970. CT-Scan merupakan perpaduan antara
teknologi sinar-x, komputer, dan televisi sehingga mampu menampilkan
gambar anatomis tubuh manusia dalam bentuk irisan atau slice. (Rasad,
1992)
Prinsip kerja dari CT-Scan yaitu hanya dapat men-scaning tubuh
dengan irisan melintang tubuh (potongan axial). Namun dengan
memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran axial yang telah
didapatkan dapat diformat kembali hingga didapatkan gambaran coronal,
sagital, oblique, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari objek tersebut.
(Tortorici,1995)
Keunggulan dari teknologi inilah yang dimanfaatkan untuk dapat
memberikan diagnosa yang lebih tepat dibandingkan dengan radiografi
konvensional karena dapat membedakan soft tissue, lemak, udara dan tulang
pada irisan cossectional dan dapat direformat menjadi tiga dimensi sehingga
terlihat jelas tanpa terhalang oleh jaringan. Salah satu manfaatannya yaitu
untuk pemeriksaan CT-Scan kepala.
Untuk melihat kelainan-kelainan yang terjadi dibagian kepala biasanya
dilakukan pemeriksaan radiologi konvensional, angiografi CT-Scan ataupun
MRI. Pemeriksaan radiologi konvensional dilakukan jika peralatan yang
tersedia hanya konvensional atau karena kelainan yang diderita pasien
mudah dideteksi, misalnya karena trauma ringan. Akan tetapi, untuk kasus
trauma kepala yang disertai penurunan kesadaran atau gejala neurologis
lainnya seperti pada kasus cedera kepala sedang (CKS) dianjurkan untuk
dilakukam pemeriksaan penunjang awal dengan CT-Scan.
Pada pemeriksaan CT-Scan diperlukan suatu teknik untuk menentukan
daerah dan luas lapangannn yang akan discanning. Untuk pemeriksaan CT-
Scan kepala teknik yang digunakan adalah dua range. Range pertama
dimulai dari basis cranii sampai pars petrosum, sedangkan range kedua dari
1
pars petrosum sampai vertex. Ketebalan range pertama lebih tipis
dibandingkan dengan range kedua. (Naseth, 2000)
Pada pasien kecelakaan dengan kasus cidera kepala sedang (CKS),
pelaksanaan pemeriksaan CT-Scan di RSUD Tidar Magelang tidak
menggunakan media kontras. Di RSUD Tidar Magelang menggunakan CT-
Scan double slice dengan slice thickness 8 mm, jumlah slice 24 dan
scanogram 1 gambar. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis ingin mengkaji
lebih lanjut mengenai pemeriksaan CT-Scan di RSUD Tidar Magelang dengan
membuat laporan kasus yang berjudul: TEKNIK PEMERIKSAAN CT-SCAN
KEPALA NON KONTRAS DENGAN KASUS CEDERA KEPALA SEDANG
(CKS) DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD TIDAR MAGELANG.
B. Rumusan Masalah
Laporan kasus ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana teknik pemeriksaan CT-Scan Kepala non kontras dengan
kasus Cedera Kepala Sedang (CKS) di Instalasi Radiologi RSUD Tidar
Magelang?
2. Bagaimana nilai informasi diagnos pada pemeriksaan CT-Scan Kepala
non kontras dengan kasus Cedera Kepala Sedang (CKS) di Instalasi
Radiologi RSUD Tidar Magelang?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan laporan kasus ini yaitu:
1. Mengetahui teknik pemeriksaan CT-Scan Kepala dengan kasus Cedera
Kepala Sedang (CKS) di Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang.
2. Mengetahui nilai informasi diagnosa pada pemeriksaan CT-Scan Kepala
non kontras dengan kasus Cedera Kepala Sedang (CKS) di Instalasi
Radiologi RSUD Tidar Magelang.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan kasus ini diharapkan bermanfaat:
1. Bagi penulis dapat mengetahui lebih lanjut tentang prosedur Teknik
pemeriksaan CT-Scan Kepala dengan kasus Cedera Kepala Sedang
(CKS) di Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang.
2. Bagi Akademi sebagai bahan masukan bagi penulis laporan kasus dengan
topic yang sama.
2
3. Bagi Rumah Sakit dapat dijadikan literatur yang dapat membantu dalam
menegakkan diagnosa sesuai dengan teori yang ada.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami isi laporan kasus ini, maka penulis
menyajikan dalam beberapa pokok bahasan yang terdiri:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
a. Gubah tengkorak, yang terdiri atas tulang-tulang:
1) Os Frontal (bagian depan)
2) Os Parietal (bagian tengah)
3) Os Occipital (bagian belakang)
b. Dasar tengkorak, yang terdiri atas tulang-tulang:
1) Os Sphenoidalis, tulang yang terdapat di tengah-tengah dasar
tengkorak dan berbentuk seperti kupu-kupu, dengan tiga
pasang sayap.
2) Os Ethmoidalis, terletak di sebelah depan dari Os Sphenoidalis
di antara lekuk mata.
2) Bagian rahang
a) Os Maksilaris (tulang rahang atas)
b) Os Zygomaticum, tulang pipi yang terdiri dari dua tulang kiri
dan kanan.
c) Os Palatum (tulang langit-langit), terdiri dari dua buah tulang
kiri dan kanan.
d) Os Mandibularis (tulang rahang bawah), terdiri dari dua
bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu
4
dipertengahan dagu. Di bagian depan dari mandibula
terdapat prosesus coracoid, tempat melekatnya otot.
5
Gambar 1. Penampang melintang otak (Syaifudin, 1997)
Keterangan gambar 1:
13.
2) Batang Otak (Truncus Enchepali)
14. Batang otak terdiri dari beberapa bagian.
a) Disenchepalon, bagian batang otak paling atas terdapat
diantara cerebellum dengan mesenchepalon. (Syaifudin,
1997)
15. Fungsi disenchepalon:
- Vase konstruktor, mengecilkan pembuluh darah.
- Respiratory, membantu proses persarafan.
- Mengontrol kegiatan refleks.
- Membantu pekerjaan jantung.
16.
b) Mesenchepalon, atap dari mesenchepalon terdiri dari empat
bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut
corpus kuadrigeminus superior dan dua di sebelah bawah
disebut corpus kuadrigeminus inferior. (Syaifudin, 1997)
17. Fungsi mesenchepalon:
- Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.
- Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
18.
6
c) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan
mesenchepalon dengan pons naroli dan cerebellum terletak
di depan cerebellum diantara otak tengah dan medulla
oblongata, disini terdapat premoktosid yang mengatur
gerakan pernafasan dan refleks. (Syaifudin, 1997)
19. Fungsi pons varoli:
- Penghubung antara kedua bagian cerebellum dan juga
antara medulla oblongata dengan cerebellum atau otak
besar.
- Pusat saraf nervus trigeminus.
20.
d) Medulla oblongata, bagian batang otak paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.
(Syaifudin, 1997)
21. Fungsi medulla oblongata:
- Mengontrol pekerjaan jantung.
- Mengecilkan pembuluh darah (vase konstruktor).
- Pusat pernafasan (respiratory).
- Mengontrol kegiatan refleks.
22.
e) Otak Kecil (Cerebellum)
23. Cerebellum terletak pada bagian paling bawah dan
belakang tengkorak, dipisahkan dengan cerebrum oleh
fisura trans versalis dibelakangi oleh pons varoli dan di atas
medulla oblongata. (Syaifudin, 1997)
24. Fungsi otak kecil:
- Arkhiocerebellum (vestibulocerebellum), untuk
keseimbangan dan rangsangan pendengaran otak.
- Paleacerebellum (spinocerebellum), sebagai pusat
penerima impuls dan nervus vagus kelopak mata rahang
atas, rahang bawah, dan otot pengunyah.
- Neocerebellum (pontocerebellum), korteks cerebellum
menerima informasi tentang gerakan yang sedang dan
yang akan dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
7
25.
8
32.
2) Arakhnoid (lapisan tengah)
33. Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter
dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
(Syaifudin, 1997)
34.
3) Piameter (lapisan sebelah dalam)
35. Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak. Piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trakekel. (Syaifudin,
1997)
36.
c. Ventrikel Otak
37. Ventrikel merupakan rangkaian dari empat rongga dalam
otak yang saling berhubungan dan dibatasi oleh ependima
(semacam sel epitel yang membatasi semua rongga otak dan
medulla spinalis) dan mengandung CSF (Cerebrospinal Fluid).
Ventrikel otak terdiri dari ventrikel lateral, ketiga dan keempat.
(Price Sylvia, 1995)
38.
d. Cairan Serebrospinal
39. Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid
kedalam ventrikel-ventrikel yang ada dalam otak. Cairan tersebut
masuk kedalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga
kedalam ruang subarachnoid melalui celah-celah yang terdapat
pada ventrikel ke empat.
41.
42.
9
B. PATOLOGI CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
1. Definisi
2. Etiologi
- Kecelakaan kerja
- Kejatuhan benda
- Luka tembak
3. Klasifikasi Klinis
10
47.
b. Beratnya Cedera
48. Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai
secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum
dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
1) Cedera Kepala Ringan (CKR)
49. GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran
( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia
retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.
c. Morfologi Cedera
52. Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
1) Fraktur Kranium
53. Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat
pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
54. Tanda-tanda tersebut antara lain :
55. - Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
56. - Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
57. - Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
58. - Parese nervus facialis ( N VII )
2) Lesi Intrakranial
11
59. Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi loKal dan lesi
difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.
60. Termasuk lesi lesi local ;
61. - Perdarahan Epidural
62. - Perdarahan Subdural
63. - Kontusio (perdarahan intra cerebral)
64. Cedera otak difus umumnya menunjukkan
gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis
neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan
lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus
( CAD).
a) Perdarahan Epidural
65. Hematoma epidural terletak diantara dura dan
calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau
temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan
kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval
lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral.
Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa
pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial.
66. Perdarahan epidural difossa posterior dengan
perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput
akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala,
muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri
perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung.
67.
b) Perdarahan subdural
68. Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala
berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-
vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat
12
terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural.
69.
c) Kontusio dan perdarahan intracerebral
70. Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal
dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian
otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio
cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau
jam mengalami evolusi membentuk perdarahan
intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi
penyimpangan neurologist lebih lanjut.
71.
d) Cedera Difus
72. Cedera otak difus merupakan kelanjutan
kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini
merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera
kepala.
73.
4. Pemeriksaan Penunjang
74. - Pemeriksaan laboratorium
75. - X-Ray, foto tengkorak 3 posisi
76. - CT scan
77. - Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervical
78.
5. Komplikasi
a. Perdarahan intra cranial-Epidural
- Subdural
- Sub arachnoid
- Intraventrikuler
79.
b. Malformasi faskuler
- Fistula karotiko-kavernosa
- Fistula cairan cerebrospinal
- Epilepsi
- Parese saraf cranial
- Meningitis atau abses otak
- Sindrom pasca trauma
80.
81.
C. CT-SCAN
1. Definisi CT-Scan
13
82. CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x,
komputer dan televisi sehingga mampu menampilkan gambar
anatomis tubuh manusia dalam bentuk irisan atau slice. (Rasad, 1992)
83. Prinsip kerja CT-Scan hanya dapat men-scanning tubuh
dengan irisan melintang (potongan axial). Namun dengan
memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran axial yang telah
didapatkan dapat diformat kembali sehingga didapatkan gambaran
coronal, sagital, oblique, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari
objek tersebut. (Tortorici, 1995)
84.
2. Perkembangan CT-Scan
85. Godfrey Hounsfield seorang insinyur dari EMI Limited
London dengan James Ambrose seorang teknisi dari Atkinson Morleys
Hospital di London, Inggris pada tahun 1970 memperkenalkan
Computed Tomography Scanning atau CT-Scan. (Ballinger, 1995)
a. Scanner Generasi Pertama
86. Prinsip scanner generasi pertama menggunakan
pancaran sinar-x model pencil yang diterima oleh satu atu dua
detector. Waktu yang dicapai 4,5 menit untuk member informasi
yang cukup pada satu slice dari rotasi tabung dan detector sebesar
180 derajat.
87.
b. Scanner Generasi Kedua
88. Scanner generasi ini mengalami perbaikan besar dan
terbukti pancaran sinar-x model kipas dengan menaikkan jumlah
detector sebanyak 30 buah dengan waktu scanning yang sangat
pendek, yaitu 15 detik per slice atau 10 menit untuk 49 slice.
c. Scanner Generasi Ketiga
89. Scanner generasi ketiga ini dengan kenaikan 960
detektor yang meliputi bagian tepi berhadapan dengan tabung
sinar-x yang saling rotasi memutari pasien dengan membentuk
lingkaran 360 derajat secara sempurna untuk menghasilkan satu
slice data jaringan. Waktu scanning hanya berkisar satu detik.
d. Scanner Generasi Keempat
90. Sekitar tahun 1980 scanner generasi ini diperkenalkan
dengan teknologi fixed-ring yang mempunyai 4800 detektor. Saat
pemeriksaan berlangsung, tabung sinar-x berputar 360 derajat
mengelilingi detector yang diam. (Bontrager, 2000)
14
91. Generasi terakhir dari CT-Scan disebut CT Helical atau
CT spiral. Kelebihan dari tipe ini penggambaran organ akan lebih
cepat dan radiographer dapat mengolah data menjadi gambar tiga
dimensi melalui pengolahan komputer. (PROTEKSI, 1998)
92.
3. Komponen Dasar CT-Scan
93. CT-Scan mempunyai dua komponen utama yaitu scan
unit dan operatir konsul. Scan unit biasanya berada didalam ruang
pemeriksaan sedangkan operator konsul letaknya terpisah dalam
ruang kontrol.
94. Scan unit terdiri dari dua bagian yaitu gentry dan couch
(meja pemeriksaan).
a. Gentry
95. Didalam CT-Scan, pasien berada di atas meja
pemeriksaan dan meja tersebut bergerak menuju gentry. Gentry ini
terdiri dari beberapa perangkat yang keberadaannya sangat
diperlukan untuk menghasilkan suatu gambaran, perangkat keras
tersebut antara lain tabung sinar-x, kolimator dan detector.
1) Tabung Sinar-x
96. Berdasarkan strukturnya, tabung sinar-x sangat
mirip dengan tabung sinar-x konvensional namun perbedaannya
terletak pada kemampuannya untuk menahan panas dan output
yang tinggi.
97.
2) Kolimator
98. Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi
hambur membatasi jumlah sinar-x yang sampai ke tubuh pasien
serta untuk meningkatkan kualitas gambaran. Tidak seperti
pada pesawat radiografi konvensional, CT-Scan menggunakan
dua buah kolimator. Kolimator pertama diletakkan pada rumah
tabung sinar-x yang disebut pre-pasien kolimator. Dan kolimator
kedua diletakkan diantara pasien dan detector yang disebut pre-
detektor kolimator atau post pasien kolimator.
99.
3) Detektor
100. Selama eksposi berkas sinar-x (foton) menembus
pasien dan mengalami perlemahan (atenuasi). Sisa-sisa foton
yang telah ter-atenuasi kemudian ditangkap oleh detector.
15
Detector memiliki dua tipe, yaitu detektor solide state dan
detektor isian gas.
101.
b. Couch (Meja Pemeriksaan)
102. Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk
memposisikan pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon.
Dengan adanya bahan ini maka sinar-x yang menembus pasien
tidak terhalangi jalannya untuk menuju ke detector. Meja ini harus
kuat dan kokoh mengingat fungsinya untuk menopang tubuh pasien
selama meja bergerak kedalam gentry.
103.
a. Sistem Kontrol
105. Pada bagian ini petugas dapat nengontrol parameter-
parameter yang berhubungan dengan beroperasinya CT-Scan
seperti pengaturan kV, mA, waktu scanning, ketebalan irisan (slice
thicknes), dan lain-lain. Juga dilengkapi dengan keyboard untuk
memasukkan data pasien dan pengontrolan fungsi tertentu pada
komputer.
106.
b. Sistem Pencetakan Gambar
107. Setelah gambaran CT-Scan diperoleh, gambaran
tersebut dipindahkan ke dalam bentuk film. Pemindahan ini dengan
menggunakan kamera multiformat. Cara kerjanya yaitu kamera
merekam gambaran di monitor dan memindahkannya ke dalam
film. Tampilan gambar di film dapat mencapai 2-24 gambar
tergantung ukuran filmnya (biasanya 8x10 inchi atau 14x17 inchi).
108.
c. Sistem Perekaman Gambar
16
109. Merupakan bagian penting yang lain dari CT-Scan. Data-
data pasien yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil kembali
dengan cepat.
110.
111. Gambar 2.5 Gantry dan Couch ( Bontrager, 2001 )
112.
4. Parameter CT-Scan
114. Beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output
gambar yang optimal antara lain:
b. Slice thickness
115. Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari
objek yang diperiksa. Nilainya dapat di pilih antara 1mm-10mm
sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan
menghasilkan gambaran dengan detai yang rendah sebakliknya
ukuran yang tipis akan menghasilkan detai yang tinggi. Jika
ketebalan meninggi akan timbul artefak dan bila terlalu tipis akan
terjadi noise.
c. Range
17
116. Range adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa
slice thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan
ketebalan irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.
d. Volume Investigasi
e. Faktor Eksposi
118. Faktor eksposi adalah factor-faktor yang berpengaru
terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung (mA),
dan waktu eksposi (s). Biasanya tegangan tabung bisa dipilih
secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan.
g. Gantry tilt
120. Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang
vertikal dengan gentry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang
penyudutan antara -25 derajat sampai +25 derajat. penyudutan
gentry bertujuan untuk keperluan diagnosa dari masing-masing
kasus yang dihadapi. Disamping itu bertujuan untuk mengurangi
dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif.
h. Rekonstruksi Matriks
121. Rekonstruksi matrikxs adalah deretan baris dari kolom
picture elemen (pixel) dalam pproses perekonstruksian gambar.
Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur elemen
18
dalam lemori komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi
gambar. Pada umumnya matriks berpengaruh terhadap resolusi
gambar. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi
resolusinya.
i. Rekonstruksi Algorithma
122. Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis yang
digunakan dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan
karakteristik dari gambar CT-Scan tergantung pada kuatnya
algorithma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi yang gambar
yang akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran
seperti tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat
dibedakan dengan jelas pada layar monitor.
123.
j. Window Width
124. Window width adalah rentang nilai
computed tomography yang di konversi menjadi gray levels untuk di
tampilkan dalam TV monitor. Setelah komputer menyelesaikan
pengolahan gambar melalui rekonstruksi matriks dan algorithma
maka hasilnya akan di konversi menjadi sekala numerik yang
dikenal dengan nama nilai computed tomography.
k. Window Level
125. Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan
tergantung pada karakteristik pelemahan dari struktur obyek yang
diperiksa. Window level menentukan densitas gambar.
126.
1. Indikasi Pemeriksaan
b. Kejang
19
c. Peredaran darah yang tidak normal
d. Tumor
e. Inflamasi
127.
2. Persiapan pemeriksaan
a. Persiapan Pasien
129.
1) Pesawat CT-Scan
3) Tabung oksigen
4) Selimut
130.
c. Teknik pemeriksaan
20
externus setinggi lampu indikator horisontal.
Kedua lengan pasien diletakkan di atas perut
atau di samping tubuh. Untuk mengurangi
pergerakan, dahi dan tubuh pasien sebaiknya
difiksasi dengan sabuk khusus pada head holder
dan meja pemeriksaan.
133.
d. Scan parameter
137. FOV : 24 cm
139. kV : 120
140. mA : 130
148.
21
e. Indikasi pemeriksaan CT-Scan kepala yaitu:
3) Pendarahan intrakranial
4) Aneurysma
5) Abses
6) Atrofi kepala
7) Posttraumatic abnormalities
9) Cidera kepala
10)Stroke
151.
A. HASIL PENELITIAN
1. Identitas Pasien
153. Umur : 19 Th
159.
2. Riwayat Pasien
22
160. Pada hari Jumat, 04 November 2011 Sdr. Y datang ke
Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang dengan membawa surat
rujukan dari RS Lestari Raharja Magelang untuk dilakukan pemeriksaan
CT-Scan kepala dengan klinis Cedera Kepala Sedang (CKS).
161.
3. Prosedur Pemeriksaan
- Selimut
b. Persiapan Pasien
163.
c. Teknik Pemeriksaan
23
Dengan batas atas pemeriksaan adalah vertex dan batas
bawah basis cranii.
d. Scan Parameter
1) Scanogram
175. kV : 120 kV
176. mA : 30 mA
178.
2) Routine Brain
186. kV : 120 kV
24
187. mAs : 400 mAs/slice
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
e. Hasil Radiograf
197.
198.
f. Hasil Pemeriksaan
25
- Sulci dan cistern dbn
200. Kesan:
201.
B. PEMBAHASAN
26
205. Dengan demikian, teknik pemeriksaan CT-Scan pada kasus
cedera kepala sedang (CKS) di Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang
dengan menggunakan slice thickness 8 mm, 1 range, dan tanpa media
kontras sudah dapat untuk menegakkan diagnosa dengan memperlihatkan
kelainan yang diderita pasien yaitu dalam tampilan bone tampak fraktur linier
os frontal dextra dan pada tampilan brain diketahui adanya pneumocephal
lobus frontal dextra dan ICH frontal bilateral.
206.
207.
208.
209.
210. BAB IV
211. PENUTUP
212.
A. Kesimpulan
213. Dari laporan kasus ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
214.
B. Saran
216.
217.
27
218.
219.
220.
221.
222.
223.
224.
225.
227.
229. Bontranger, K.L. 2001. Text Book of Radiographic Positioning and Related
Anatomy Fifth Edition. St. Louis Missori : The CV Mosby Company.
232. Syaifuddin, B.A.C. 1997. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Edisi ke-2.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
233. Sylvia A, Price, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit,
Edisi IV, Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
235.
236.
237.
28