Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu diagnosis


gastrointestinal yang sering dilaporkan selama kunjungan pasien ke klinik
(Syafruddin, 1998). Di USA, jika dilihat berdasarkan prevalensi atas keluhan
berupa heartburn yang sifatnya kronik maka diperkirakan sebanyak 14% sampai
20% orang dewasa mengalami penyakit GERD (Kahrilas, 2008). Definisi GERD
yang terkini merupakan suatu kondisi dimana refluks isi lambung menyebabkan
berbagai macam gejala - gejala lain (contoh : minimal terjadinya dua episode
heartburn dalam satu minggu) dengan atau tanpa komplikasi - komplikasi lain.
Beberapa manifestasi ekstraesofagus dari penyakit ini dapat diketahui dengan
baik, seperti laryngitis dan batuk (Fisichella, 2009). Penyakit ini juga dapat
menimbulkan keadaan seperti esofagitis, striktur, perubahan epitel skuamosa
pada mukosa menjadi kolumnar yang metaplastik (Barretts esophagus), dan
adenokarsinoma (Mills et al, 2010). Perhatian saat ini ditujukan pada keadaan
bertambahnya insidensi adenokarsinoma esofagus, dimana epidemiologi dari
kasus ini sering dihubungkan dengan bertambahnya insidensi penyakit GERD.
Pada tahun 2004 terdapat sekitar 8000 kasus adenokarsinoma esofagus di Amerika
(Kahrilas, 2008).
Esofagitis terjadi saat bahan refluksat berlebih yang terdiri atas asam dan
pepsin menyebabkan nekrosis pada permukaan lapisan mukosa esofagus yang
disertai erosi dan ulkus (Mills et al, 2010). Gangguan mekanisme bersihan
esofagus dari refluks cairan lambung juga turut serta menyebabkan kerusakan
pada beberapa pasien. Sedangkan beberapa refluks gastroesofagus adalah normal
(ditandai dengan sendawa), beberapa faktor lain mungkin mempredisposisikan
pasien dengan refluks patologis seperti hiatus hernia, lower esophageal sphincter
hypotension, berkurangnya fungsi peristaltik esofagus, obesitas abdominal, hiatus
hernia, keadaan hipersekresi gaster, pengosongan lambung lambat, dan overeating
(Kahrilas, 2008).
2

Gastro Esophageal Reflux Disease tidak memiliki korelasi yang pasti


antara gejala yang didapatkan dengan temuan endoskopi pada penyakit. Penelitian
yang dilakukan secara random terhadap 1000 orang eropa utara yang berdasar atas
temuan endoskopi bahwa prevalensi dari Barretts esophagus didapatkan 1.6 %,
dan esofagitis didapatkan 15.5 %. Bagaimanapun juga hanya 40 % dari subjek
penelitian dengan Barretts esophagus dan sepertiga dari penderita esofagitis yang
dilaporkan mengalami gejala refluks. Sebaliknya, duapertiga dari penderita
dengan gejala refluks tidak didapatkan tanda - tanda esofagitis (Kahrilas, 2008).
Selanjutnya meskipun refluks gastroesofageal merupakan penyebab
tersering dengan heartburn, penyakit - penyakit lain seperti achalasia dan
eosinophilic esophagitis juga mungkin dapat disertai heartburn (Syafruddin,
1998).
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus-Gaster

Esofagus merupakan sebuah saluran dengan diameter 2-3 cm dan panjang


25-30 cm. Dinding esofagus terdiri dari lapisan sel espiteleal, otot sirkular,
myenteric nerve plexus, dan lapisan luar otot longitudinal. Sepertiga bagian
pertama esofagus terdiri dari otot lurik, sepertiga tengah terdiri dari campuran otot
lurik dan otot polos, dan sepertiga bawah terdiri atas otot polos (Mills et al, 2010).
Esofagus dibatasi oleh upper esophageal sphincter (penebalan otot sirkular) dan
lower esophageal sphincter (cincin otot polos berukuran 3-4 cm yang
berkontraksi secara tonik).
Proses menelan terdiri dari dua mekanisme, yaitu voluntary process dan
involuntary process. Selama fase volunter, lidah akan mendorong bolus makanan
ke dalam oropharynx. Fase involunter terdiri dari dua fase, yaitu fase pharyngeal
dan fase esophageal. Pada fase pharyngeal, bolus makanan akan menstimulasi
reseptor raba di pharynx, merangsang pusat menelan di medula dan pons. Impuls
motorik melalui saraf cranial akan menyebabkan palatum mole terangkat
(menutup pharyngeal opening of nasopharynx dan mencegah bolus makanan
masuk ke dalam hidung), lidah menekan palatum durum (menutup oral opening
of the pharynx), glottis tertarik menutupi laryngeal opening, dan cartilago di
sekitar larynx akan tertarik sehingga mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernafasan. Setelah seluruh openings to the pharynx tertutup, gelombang
kontraksi otot mendorong bolus makanan ke dalam esofagus (Mills et al, 2010).
Pada fase esophageal, vagal stretch receptors pada dinding esofagus
mendeteksi distensi esofagus oleh bolus makanan dan merangsang vagovagal
reflex. Vagovagal reflex menyebabkan terjadinya gelombang kontraksi yang
menyebar sepanjang esofagus dengan kecepatan 3-5cm per detik, yang disebut
sebagai peristalsis primer. Distensi esofagus oleh bolus makanan juga akan
4

merangsang terjadinya gelombang kontraksi lain, yang disebut sebagai peristalsis


sekunder. Seringkali gelombang kontraksi berulang dari peristalsis sekunder
diperlukan untuk membersihkan esofagus dari makanan (Mills et al, 2010).

Gambar 2.1 Peristalsis primer esofagus


Sumber : Gastrointestinal Disease, Pathophysiology of Disease: An Introduction
to Clinical Medicine, 2010.

Gaster adalah complex glandular complex yang dibatasi oleh dua


sphincter, yaitu lower esophageal sphincter (LES) dan pyloric sphincter. Gaster
dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan struktur dam fungsinya. Cardia
merupakan bagian kecil di sebelah distal LES yang terdiri dari sel foveolar dan
mucous neck cell yang berfungsi menghasilkan mukus. Corpus merupakan bagian
utama gaster yang terdiri dari sel foveolar, sel parietal dan chief cell. Sel parietal
mensekresikan HCl dan faktor intrinsik, sedangkan chief cell mensekresikan
pepsinogen. Pyloric antrum merupakan bagian distal gaster yang mensekresikan
hormon gastrin dari sel G dan terdiri dari otot-otot yang berfungsi untuk
melumatkan makanan dan meregulasi pengosongan gaster. Seluruh bagian gaster
mensekresikan mukus dan bikarbonat (Mills et al, 2010).
5

Gambar 2.2 Anatomi dan histologi gaster


Sumber : Gastrointestinal Disease, Pathophysiology of Disease: An Introduction
to Clinical Medicine, 2010.

2.1 Definisi

Gastroesophageal reflux merupakan fenomena fisiologis normal yang


dapat dialami oleh kebanyakan orang, terutama setelah makan.
6

GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease) terjadi ketika jumlah dari


asam lambung yang reflux ke esophagus melewati batas normal, menyebabkan
gejala yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan iritasi pada mukosa
esophagus (Fisichella, 2009).

2.2 Epidemiologi

GERD umum ditemukan pada Negara-negara barat, namun dilaporkan


insidensinya relatif lebih rendah pada Negara Asia-Afrika. Heartburn merupakan
gejala utama yang paling sering ditemukan, sekitar 7 % dari populasi Amerika
mengalami gejala tersebut, 20-40 % dari populasi yang mengalami heatburn
menderita GERD, sisanya akibat penyebab lainnya. Sedangkan prevalensi
Heartburn pada Asia lebih rendah yaitu sekitar 1,5 % di China dan 2,7 % di Korea
(Fisichella, 2009).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun
Divisi IPD FK-UI RSCM Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 %
dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia
(Syafruddin, 1998).

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi GERD

Patogenesis GERD bersifat multifaktorial. Refluks patologis terjadi pada


saat bahan-bahan yang dapat menyebabkan jejas seperti asam lambung, garam
empedu, pepsin dan isi duodenum melebihi proteksi normal esofagus barier
antirefluks, seperti esophageal acid clearance dan mucosal resistance.
Mekanisme utama yang mendasari terjadinya refluks adalah adanya defek pada
lower esophageal sphincter (LES) yang menyebabkan meningkatnya volume isi
gaster bersifat asam yang refluks ke dalam esofagus. Peningkatan volume asam
ini akan menyebabkan pergeseran keseimbangan ke arah refluks patologis yang
mengungguli kapasitas normal mukosa esofagus dalam mentoleransi asam
(Kahrilas, 2003).
7

Minoritas pasien dengan GERD (20%) memiliki LES yang inkompeten


akibat penurunan tekanan LES, peningkatan tekanan intra-abdominal, atau LES
yang lebih pendek dari normal (< 2 5 cm). Kebanyakan pasien dengan GERD
justru memiliki tekanan LES yang normal. Pada kelompok dengan tekanan LES
yang normal, frequent transient LES relaxation (TLESR) sering ditemukan
sebagai penyebab yang mendasari terjadi refluks patologis (Kahrilas, 2003).

Gambar 2.3 Patofisiologi GERD


Sumber : Gastrointestinal Disease, Pathophysiology of Disease: An Introduction
to Clinical Medicine, 2010.

2.3.1 Multifaktorial Etiologi

Beberapa derajat gastroesophageal refluks terjadi secara normal pada


kebanyakan individu (Gambar 2.4). GERD terjadi ketika adanya kombinasi
keadaan-keadaan yang menyebabkan peningkatan kejadian refluks asam ke dalam
esofagus menjadi patologis. Mekanisme-mekanisme agresif yang berpotensi
menyebabkan jejas pada esofagus mengatasi mekanisme protektif seperti
esophageal acid clearance dan mucosal resistance, yang secara normal berfungsi
8

untuk membantu mempertahankan keseimbangan fisiologis. Dalam hal ini,


patogenesis GERD mirip dengan penyakit acid-secretory lainnya, seperti ulkus
duodenum dan ulkus gaster (Kahrilas, 2003).

Gambar 2.4 Patofisiologi refluks non-patologis


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Beberapa mekanisme yang berperan dalam terjadinya GERD adalah


penurunan LES resting tone (TLESR), gangguan esophageal acid clearance,
pengosongan gaster yang terlambat, penurunan salivasi, dan gangguan resistensi
jaringan (Gambar 2.5). Defek signifikan pada salah satu faktor tersebut dapat
mengganggu keseimbangan dari keadaan kompensasi menjadi keadaan
dekompensasi. Manifestasi keadaan dekompensasi antara lain gejala klinis dan
komplikasi seperti heartburn dan esofagitis (Kahrilas, 2003).
9

Gambar 2.5 Faktor-faktor etiologi dalam GERD


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Acid refluks yang berlebihan akibat TLESR merupakan mekanisme


penyebab yang tersering (Tabel 2.1). Penurunan tonus istirahat LES lebih sering
terjadi pada pasien dengan GER berat, terutama dengan striktur esofagus atau
Barretts esophagus.

Tabel 2.1 Mekanisme GERD pada orang normal dan GERD


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
10

Abnormalitas motilitas esofagus (gangguan peristaltis) sering berhubungan


dengan esofagitis berat. Di antara individu normal dan dengan GERD, distensi
gaster berperan dalam peningkatan refluks dengan meningkatkan kejadian TLESR
secara signifikan, sehingga distensi gaster merupakan faktor pencetus terjadinya
TLESR (Kahrilas, 2003).

Gambar 2.6 Presentase abnormalitas motilias esofagus


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
11

Gambar 2.7 Hubungan distensi gaster, episode refluks dan mekanisme refluks
Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Penyebab sekunder GERD adalah refluks yang disebabkan oleh keadaan


hipersekresi asam seperti Zollinger-Ellison syndrome; kelainan jaringan ikat
seperti scleroderma; obstruksi gaster seperti yang disebabkan oleh ulserasi dan
striktur; serta pengosongan gaster yang terlambat akibat gastric stasis, penyakit
neuromuskular, idiopathic gastroparesis, disfungsi pylorus, dismotilitas
duodenum, atau duodenogastroesophageal bile reflux.
Peningkatan tekanan intragaster yang berhubungan dapat terjadinya
GERD, disebabkan oleh obesitas, kehamilan, atau gangguan normal receptive
relaxation gaster yang diikuti dengan peningkatan volume gaster. Kebanyakan
pasien dengan complicated GERD memiliki hiatal hernia yang menurukan
tekanan LES dan mengganggu acid clearance dengan displacing the LES segment
of the distal esophagus (Richter, 1999).
12

Pada saat refluks terjadi, gangguan acid clearance akan memperlama


paparan mukosa esofagus terhadap efek kerusakan akibat refluks itu sendiri.
Gangguan peristaltic clearance terdapat pada hampir 50% pasien dengan GERD
yang berat. Acid clearance juga terganggu pada pasien dengan hiatal hernia
(Kahrilas, 2003).

2.3.2 Disfungsi lower esophageal sphincter (LES)

Pola dominan disfungsi LES pada pasien dengan GERD ringan adalah
peningkatan proporsi TLESR disertai dengan refluks. Pasien dengan GERD yang
lebih berat biasanya memiliki gangguan LES resting tone, yang berhubungan
dengan sphincter yang lemah atau faktor-faktor lain yang mendasari terjadinya
penurunan tekanan LES persisten (Kahrilas, 2003).

2.3.2.1 Fungsi normal LES

LES merupakan segmen otot polos berukuran 3 4 cm yang berkontraksi


secara tonik dan terletak di gastroesophageal junction. LES juga merupakan salah
satu dari dua katup muskular yang terletak di akhir esofagus lainnya yang
berfungsi untuk melindungi saluran nafas dari refluks isi gaster yang berbahaya.
LES terdiri dari dua komponen, yaitu true LES di distal esofagus dan crural
portion dari diafragma. Baik LES dan diafragma berperan dalam kompetensi
gastroesophageal sphincter. LES harus bersifat dinamis untuk melindungi
esofagus terhadap refluks yang dapat terjadi pada beragam situasi, termasuk
menelan, berbaring, dan abdominal straining (Kahrilas, 2003).
Pada pencernaan normal, relaksasi LES sesaat sebelum kontraksi esofagus
menyebabkan makanan dapat masuk ke dalam gaster. Konstriksi LES mencegah
regurgitasi isi gaster (makanan dan asam lambung) ke dalam esofagus. Kontraksi
tonik LES terjadi akibat adanya otot polos dan extrinsic innervation. Mekanisme
myogenik dan neurogenik berperan dalam mempertahankan LES resting tone.
Tonus LES dipertahankan atau ditingkatkan oleh pelepasan acetylcholine.
13

Relaksasi LES terjadi akibat respon terhadap pelepasan nitric oxide, seperti yang
terjadi pada respon terhadap proses menelan (Kahrilas, 2003).
Pada keadaan istirahat, LES mempertahankan zona tekanan tinggi yaitu
antara 15 30 mmHg lebih tinggi dari tekanan intragaster, tergantung pada variasi
individu. Tekanan LES normal bervariasi, berhubungan dengan bernafas, posisi
tubuh, dan pergerakan, sebagai respon terhadap tekanan intra-abdomen dan
distensi gaster. Diafragma crural dapat menyesuaikan tekanan LES untuk
membantu mencegah refluks selama inspirasi, ketika tekanan intratorakal
menurun. Tekanan LES juga memperlihatkan variasi diurnal yang signifikan,
yaitu tekanan terendah pada saat siang hari dan selama periode postprandial,
tertinggi pada saat malam hari. Tekanan LES juga dipengaruhi oleh obat-obatan,
makanan dan hormon (Mills et al, 2010).
14

Tabel 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan LES


Sumber : Gastrointestinal Disease, Pathophysiology of Disease: An Introduction
to Clinical Medicine, 2010.

2.3.2.2 Transient lower esophageal sphincter relaxations (TLESRs)

TLESR adalah episode singkat dari relaksasi LES yang tidak berhubungan
dengan menelan atau peristalsis. TLESR berlangsung sekitar 10 35 detik dan
15

akan menurunkan tekanan LES sampai level gaster. TLESR terjadi melalui
stimulasi vagal sensory dan saraf motorik sebagai respon terhadap distensi gaster.
Meskipun TLESR tidak selalu berakibat gastroesophageal reflux, TLESR
berhubungan kuat dengan refluks fisiologis maupun patologis. Pada penelitian
dengan pengukuran tekanan LES dan pH esofagus secara simultan didapatkan
bahwa kebanyakan episode refluks yang terjadi disebabkan oleh relaksasi komplet
spontan dari LES normal (Dent, 1997).

Gambar 2.8 GERD selama TLESR


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Berdasarkan fakta yang ada, TLESR bertanggung jawab untuk mayoritas


kejadian refluks non-patologis (fisiologis). Peristalsis akan mengembalikan sekitar
90% refluxed acidic material ke dalam gaster, dan asam yang tersisa akan
16

dineutralisasi dengan menelan saliva selama proses menelan berikutnya. Di antara


pasien GERD, TLESR dianggap sebagai penyebab primer yang mendasari
terjadinya refluks patologis bilamana LES resting tone normal. Pasien dengan
GERD memiliki frekuensi TLESR yang sama dibandingkan dengan individu
normal, namun memiliki persentasi TLESR berhubungan dengan refluks yang
lebih tinggi. Hal ini menyebabkan waktu asam lambung kontak dengan mukosa
esofagus lebih lama pada pasien GERD, sehingga meningkatkan risiko timbulnya
gejala dan jejas pada esofagus (Kahrilas, 2003).
Proporsi episode refluks akibat TLESR bervariasi dengan beratnya GERD.
Pada individu normal ataupun pasien dengan GERD tanpa esofagitis, refluks
terjadi hampir hanya selama TLESR. Pada pasien dengan esofagitis erosif atau
ulseratif, refluks yang terjadi selama TLESR hanya berkisar sepertiganya. Data
yang didapat dari penelitian yang membandingkan refluks antara pasien GERD
dengan dan tanpa hiatal hernia menunjukkan bahwa TLESR bertanggung jawab
untuk 32.8% episode refluks pada pasien dengan hiatal hernia, dibandingkan
dengan 60.2% pada pasien tanpa hiatal hernia (Kahrilas, 2003).

2.3.2.3 Penurunan LES resting tone

Minoritas pasien dengan GERD memiliki LES yang lemah dan tekanan
rendah secara konstan, sehingga menyebabkan terjadinya refluks setiap kali
tekanan intragaster melebihi tekanan LES. Penurunan kronis LES resting tone
biasanya berhubungan dengan esofagitis berat. Gangguan berat pada tonus LES
basal dapat menyebabkan penyakit yang lebih berat dengan mengijinkan isi gaster
masuk ke dalam esofagus secara bebas ketika pasien berbaring. Defek pada LES
juga ditemukan pada banyak pasien dengan komplikasi GERD lainnya, seperti
striktur esofagus dan Barretts esophagus (Kahrilas, 2003).
Faktor-faktor yang menurunkan tonus LES antara lain hormon endogen
(progesteron dalam kehamilan), obat-obatan, dan makanan tertentu. Pada pasien
dengan hiatal hernia, true LES dan diafragma crural terpisah yang mengganggu
acid clearance (Kahrilas, 2003).
17

2.3.3 Peningkatan paparan esofagus terhadap asam

Paparan asam pada esofagus adalah persentase waktu dalam 24 jam


dimana pH esofagus < 4. Tingkat kerusakan mukosa esofagus dan frekuensi serta
beratnya gejala seperti heratburn, regurgitasi dan nyeri, ditentukan oleh derajat
dan durasi paparan asam esofagus yang berhubungan dengan pH refluxed gastric
material (Kahrilas, 2003).
Kebanyakan pasien dengan tingkat penyakit yang ringan, paparan asam
esofagus terjadi predominan selama periode postprandial. Pola paparan tersebut
dihubungkan dengan peningkatan beratnya GERD. Diantara 401 pasien dengan
peningkatan paparan asam esofagus, dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan pola
refluks (postprandial, berdiri, berbaring, atau biposisional), risiko beratnya GERD
meningkat secara progresif dari postprandial, berdiri, berbaring sampai
biposisional (Kahrilas, 2003).

2.3.3.1 Normal acid clearance

Proses acid clearance yang normal meliputi peristalsis dan menelan


salivary bicarbonate. Peristalsis membersihkan cairan lambung dari esofagus,
sedangkan menelannya saliva (pH 7.8 8.0) meneutralisasi asam yang tersisa.
Peristalsis primer dan sekunder merupakan mekanisme penting dalam
membersihkan esofagus. Voluntary induced primary peristalsis terjadi sekitar 60
kali per jam. Peristalsis sekunder terjadi saat tidak adanya pharyngeal swallow
dan dapat dicetuskan dengan distensi esofagus atau acidification yang terjadi saat
acid reflux. Salivasi sangat penting untuk penyempurnaan esophageal acid
clearance dan restorasi pH esofagus. Gravitasi juga memegang peranan penting
dalam esophageal acid clearance (Kahrilas, 2003).
18

2.3.3.2 Gangguan acid clearance

Esophageal acid clearance yang tidak efektif akan meningkatkan waktu


paparan asam esofagus pada pasien dengan GERD. Pada refluks spontan atau
yang dibuat, diketahui bahwa pasien dengan GERD memiliki waktu acid
clearance 23 kali lebih lama dibandingkan dengan individu tanpa GERD.
Gangguan esophageal clearance dapat disebabkan oleh peningkatan volume
refluxate, sangat jarang yang diakibatkan oleh penyakit yang mendasari seperti
scleroderma (Kahrilas, 2003).
Terdapat dua mekanisme gangguan volume clearance yang telah
diidentifikasi, yaitu disfungsi peristalsis dan re-reflux. Disfungsi peristalsis
dikarakteristik oleh gagalnya peristalsis dan kontraksi amplitudo rendah.
Kontraksi peritalsis gagal dan kontraksi peristaltik hipotensif (< 30 mmHg)
menyebabkan pengosongan esofagus yang tidak sempurna. Penurunan amplitudo
gelombang peristalsis sekunder dan kontraksi segmental terdapat pada beberapa
pasien GERD. Disfungsi peristalsis sering meningkat seiring dengan
meningkatnya beratnya esofagitis. Re-reflux berhubungan dengan hiatal hernia
(Kahrilas, 2003).
Sempurnanya esophageal acid clearance dengan restorasi pH esofagus
bergantung pada salivasi. Secara normal, saliva dapat meneutralisasi sisa asam
yang melapisi esofagus setelah gelombang peristalsis sekunder esofagus. Acid
clearance diperlambat dengan penurunan produksi saliva atau dengan
ketidakmampuan saliva untuk meneutralisasi asam. Berkurangnya salivasi selama
atau segera sebelum tidur berperan dalam perpanjangan waktu acid clearance
yang bermakna. Penurunan esophageal acid clearance selama tidur tampaknya
merupakan faktor penyebab mayor pada bentuk serius GERD. Berkurangnya
frekuensi menelan yang merangsang peristalsis selama tidur juga memperpanjang
paparan asam esofagus (Kahrilas, 2003).
19

2.3.3.3 Durasi paparan asam esofagus

Durasi lamanya paparan esofagus terhadap asam dan cairan pencernaan


lainnya merupakan penyebab utama gejala GERD dan kerusakan jaringan.
Semakin lama esofagus terpapar asam (dan juga pepsin), semakin berat
penyakitnya. Esofagitis erosif berat dan Barretts esophagus berhubungan dengan
tingkat paparan asam yang tinggi.

Gambar 2.9 Hubungan antara pH dengan beratnya GERD


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Beratnya gejala juga meningkat secara progresif seiring dengan


meningkatnya paparan asam esofagus. Hal ini tidak berhubungan dengan keadaan
esofagus seperti esofagitis erosif ataupun esofagus normal secara makrokopis.
Ambang optimal untuk membedakan antara refluks agresif dan non-agresif
selama periode 24 jam adalah pH 4. Hal ini telah didemonstrasikan pada
20

penelitian meta analysis terapi GERD dimana data supresi asam lambung
dibandingkan dengan clinical outcomes, menunjukkan bahwa semakin baik
kontrol terhadap keasaman intragaster selama 24 jam (waktu lamanya pH
intragaster > 4) meningkatkan kecepatan kesembuhan secara signifikan, yaitu 8
minggu (P < 0.05) (Dent, 1997). Keadaan bebas gejala seringkali memerlukan
kontrol keasaman intragaster selama 24 jam, di mana pasien GERD dapat
mengalami gastroesophageal reflux kapan pun. Hal ini merupakan alasan
pemberian terapi antisekresi yang bertujuan untuk mengurangi paparan asam
esofagus. Jika pH intraesophageal dapat dipertahankan diatas 4 selama mayoritas
periode 24 jam, kebanyakan pasien akan tetap bebas gejala dan mengalami
penyembuhan lesi erosif yang sempurna (Kahrilas, 2003).

2.3.3.4 Karakteristik refluxate

Timbulnya gejala GERD dan potensi gastric refluxate (terutama asam dan
pepsin) dalam menyebabkan kerusakan jaringan, sangat bergantung pada pH
intragaster dan waktu lamanya refluxate kontak dengan mukosa. Waktu
esophageal clearance juga dipengaruhi oleh pH refluxate. Semakin rendah pH,
semakin lama waktu yang diperlukan untuk pH intraesofagus kembali ke 4 atau
lebih (Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).
Hubungan antara derajat keasaman dan sensai nyeri dijelaskan oleh
penelitian yang dilakukan Smith dkk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa antara pH 2 4, waktu sampai terjadinya nyeri meningkat secara progresif
dan akhirnya akan menghilang pada pH > 4 (Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).
Derajat kerusakan mukosa meningkat secara bermakna jika pH < 2 atau
pepsin terdapat dalam refluxate. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa
kombinasi asam dan pepsin merupakan yang paling merusak mukosa esofagus.
Ambang batas keasaman intragaster berada pada pH 4 yang membedakan antara
refluks agresif dan non-agresif. Hal ini disebabkan karena gastric refluxate
dengan pH < 4 mengandung active pepsin. Aktivitas enzimatik pepsin bergantung
pada pH, dan teraktivasi dalam keadaan asam. Pada Barretts esophagus terdapat
21

peningkatan kadar asam empedu dalam refluxate, namun hasil penelitian


menunjukkan refluks asam empedu tidak menyebabkan esofagitis (Kahrilas,
2003).

2.3.3.5 Waktu terjadinya paparan asam esofagus

Mayoritas pasien dengan GERD yang memiliki esofagitis erosif ringan


atau tidak ada kelainan dengan endoskopi, terjadi refluks setelah makan, hanya
sebagian kecil refluks yang terjadi selama malam hari. Semakin beratnya kasus
esofagitis, paparan asam semakin meningkat, disebabkan oleh meningkatnya
nocturnal reflux. Malam hari merupakan periode terlama unbuffered gastric acid
secretion, sehingga menyebabkan berkurangnya neutralisasi asam oleh salivary
bicarbonate selama tidur. Esophageal acid clearance juga berkurang karena efek
tidur pada motilitas esofagus (Mills et al, 2010).

2.3.4 Faktor-faktor etiologi lainnya

2.3.4.1 Pengosongan gaster yang terlambat

Pengosongan gaster yang terlambat terdapat pada 10% 15% pasien


dengan GERD. Faktor ini diyakini berperan dalam terjadinya kasus GERD
dengan meningkatkan jumlah cairan yang tersedia untuk refluks dan berhubungan
dengan distensi gaster. Penyebab potensial gangguan pengosongan gaster antara
lain gastroparesis seperti pada penderita diabetes, dan partial gastric outlet
obstruction (Kahrilas, 2003).

2.3.4.2 Gangguan resistensi mukosa

Kemampuan mukosa esofagus untuk menahan jejas merupakan faktor


yang menentukan terjadinya GERD. Kemampuan mukosa esofagus dalam
menahan jejas dipengaruhi oleh faktor usia dan keadaan gizi. Jaringan esofagus
22

resisten terhadap asam terdiri dari membran sel dan kompleks intercellular
junctional, yang melindungi terhadap jejas dengan membatasi difusi ion hidrogen
ke dalam epitelium. Esofagus juga memproduksi bikarbonat dan mukus.
Bikarbonat menetralkan asam, sedangkan mukus membentuk barier proteksi pada
permukaan epitelial (Mills et al, 2010).
Sensitivitas mukosa esofagus terhadap kerusakan akibat asam, pepsin, atau
asam empedu adalah cukup tinggi. Tingkat resistensi mukosa esofagus terhadap
kerusakan asam adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan mukosa gaster.
Kerusakan mukosa esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin yang ada
melebihi ambang batas asam dari proteksi mukosa. Pepsin dalam refluxate dapat
merusak mukosa esofagus dengan mencerna protein epitelial. Peningkatan
sensitivitas mukosa terhadap asam berhubungan dengan gejala kronis heartburn
(Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).

2.3.5 Produksi dan regulasi asam gaster

2.3.5.1 Produksi asam oleh sel parietal

Di bagian dalam permukaan epitelial gaster terdapat kumpulan sel yang


membentuk kelenjar gaster. Kelenjar tersebut akan mensekresikan berbagai
komponen larutan ke dalam gaster, antara lain hydrochloric acid (HCl), hormon
gastrin, histamin, pepsinogen, dan faktor intrinsik. Sel mukus, di dalam gastric pit
yang terbuka ke arah permukaan gaster, berfungsi untuk mensekresikan mukus.
Sel parietal khusus yang terletak di bagian lebih dalam dari kelenjar gaster,
berfungsi untuk mensekresikan HCl. Sel parietal juga mensekresikan faktor
intrisik yang diperlukan untuk absorpsi vitamin B12. Sel G yang terletak di
antrum gaster, berfungsi untuk mensekresi hormon gastrin. Histamin disekresikan
oleh enterochromaffin-like cells, sedangkan chief cells mensekresikan pepsinogen
(Mills et al, 2010).
23

Gambar 2.10 Mikroskopis mukosa gaster


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

Sel parietal dirangsang untuk mensekresikan HCl segera setelah aktivasi


reseptor histamin, asetilkolin, dan/atau gastrin. Pada saat dirangsang secara
maksimal, sel parietal dapat mensekresi HCl dengan konsentrasi yang dapat
menurunkan pH gaster sampai 1 atau kurang. Gaster memproduksi rata-rata 2 liter
HCl per hari yang akan mencerna rantai kimia pada makanan.
Selama makan, kecepatan produksi asam oleh sel parietal meningkat
secara signifikan, diperantarai oleh saraf vagus. Distensi gaster, konsentrasi ion
hidrogen, dan peptida akan mengirimkan sinyal melalui refleks neural untuk
meningkatkan pelepasan hormon gastrin, yang akan semakin meningkatkan
produksi asam (Kahrilas, 2003).

2.3.5.2 Jalur regulasi asam

Sekresi asam oleh sel parietal dikontrol oleh tiga jalur regulasi asam, yaitu
jalur reseptor asetilkolin, gastrin dan histamin. Jalur-jalur ini sebaliknya
distimulasi oleh asupan makanan melalui saraf vagus. Indera penglihatan,
penciuman, dan rasa makanan serta keberadaan makanan secara fisik dalam
mulut, esofagus dan gaster berperan dalam stimulasi sekresi asam gaster. Hormon
24

juga berperan dengan adanya stimulasi saraf pada sel antrum menyebabkan
pelepasan hormon gastrin yang akan menstimulasi lebih lanjut sekresi asam ke
dalam rongga gaster (Kahrilas, 2003).
Pelepasan asetilkolin distimulasi oleh indera penglihatan, penciuman, dan
rasa dari makanan. Makanan yang dicerna di dalam gaster secara kimia
menstimulasi pelepasan gastrin oleh sel G di antrum. Peningkatan pH gaster juga
menstimulasi pelepasan gastrin. Rendahnya pH gaster akan menginhibisi
pelepasan gastrin dengan merangsang pelepasan somatostatin dari sel D di antrum
yang akan menghambat pelepasan gastrin dari sel G. Distensi gaster akan
mencetuskan pelepasan asetilkolin yang akan merangsang sel G untuk
memproduksi gastrin lebih lanjut. Gastrin selanjutnya akan masuk ke dalam
peredaran darah dan berikatan dengan reseptor gastrin sel parietal di corpus dan
fundus gaster. Baik asetilkolin maupun gastrin akan menstimulasi
enterochromaffin-like cells untuk melepaskan histamin (Kahrilas, 2003; Mills et
al, 2010).
Ikatan asetilkolin, gastrin atau histamin pada reseptornya masing-masing
di sel parietal akan memulai proses produksi asam dengan mengganggu
permeabilitas sel parietal terhadap ion kalsium sehingga terjadi influx ion
kalsium. Influx ion kalsium akan meningkatkan konsentrasi kalsium intraselular
yang akan mengaktivasi intracellular protein phosphokinase. Pada saat yang
bersamaan, adenylate cyclase berubah menjadi cyclic adenosine monophosphate
yang berfungsi sebagai second messenger untuk mengaktivasi protein
phosphokinase (Kahrilas, 2003).
Langkah terakhir dalam produksi asam gaster terjadi melalui gastric
proton pump yang terletak di membran apikal sel parietal. Rendahnya pH gaster
yang dipertahankan oleh proton pump akan menyebabkan terjadinya
keseimbangan antara keasaam gaster dan pertahanan mukosa (Kahrilas, 2003).
25

2.3.5.3 Gastric proton pump

Gastric proton pump atau hydrogen-potasium adenosine triphosphate (H+,


K+-ATPase) molecule, terdiri dari sistem enzimatik yang terletak pada permukaan
sekresi sel parietal gaster dan mempunyai dua komponen penting, yaitu alpha
subunit, yang mengandung sekitar 1000 asam amino dengan fungsi transport dan
katalitik, serta beta subunit yang terdiri dari sekitar 300 asam amino dengan
fungsi struktural dan membrane-targetting (Kahrilas, 2003).
Setiap sel parietal gaster memiliki sekitar 1 juta pompa asam pada
membran sitoplasmanya. Fungsi utama dari pompa tersebut adalah pertukaran ion
hidrogen dari sitosol sel parietal dengan ion kalium dari kanalikuli sekretori
dengan menggunakan energi dari pemecahan ATP. Di dalam kanalikuli sekretori,
ion klorida akan bergabung dengan ion hidrogen untuk membentuk HCl (Mills et
al, 2010).

Gambar 2.11 Gastric proton pump


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
26

Inhibisi langsung pada proton pump akan menghambat sekresi asam secara
independen melalui jalur biokimia. Obat-obatan yang bekerja pada proton pump
merupakan inhibitor yang lebih efektif terhadap sekresi asam gaster dibandingkan
dengan obat-obat yang bekerja pada reseptor histamin, gastrin atau asetilkolin
yang terletak di permukaan basolateral dari sel parietal. Konsekuensinya, PPIs,
yang menghambat aktivitas H+, K+-ATPase merupakan inhibitor sekresi asam
yang lebih poten dibandingkan dengan terapi obat lainnya (Kahrilas, 2003).

2.4 Gejala Klinis

GERD dapat mengakibatkan gejala tipikal (esophageal) atau atipikal


(extraesophageal). Bagaimanapun juga, diagnosis GERD yang berdasarkan
adanya gejala tipikal hanya benar pada 70 % pasien.

Gejala Tipikal (esophageal) meliputi :


Heartburn rasa terbakar pada daerah retrosternal atau ketidak
nyamanan yang biasanya muncul setelah makan atau pada saat berbaring,
ini merupakan gejala tipikal yang paling sering ditemukan.
Regurgitasi kembalinya isi dari esofagus atau asam lambung ke
pharynx. Regurgitasi dapat mengakibatkan komplikasi respiratori bila
asam lambung masuk ke saluran respirasi.
Disfagia akibat striktur mekanik atau masalah fungsional ( contoh :
disfagia nonobstruktif akibat peristalsis abnormal pada esofagus). Pasien
dengan disfagia merasakan sensasi makanan yang tertahan, biasanya pada
area retrosternal.

Gejala Atipikal (extraesophageal) meliputi :


Batuk dan/atau Mengi merupakan gejala akibat aspirasi asam lambung
ke saluran respirasi. Sekitar 50 % GERD yang mengakibatkan asma tidak
mengalami heartburn.
27

Suara serak akibat iritasi pada vocal cord oleh reflux asam lambung dan
biasanya dikeluhkan oleh pasien pada pagi hari.
Reflux merupakan penyebab tersering dari noncardiac chest pain, yaitu
sekitar 50 % dari seluruhnya (Fisichella, 2009).

Tabel 2.3 Spektrum Manifestasi Klinik GERD


Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.

2.5 Diagnosis Klinis

2.5.1 Gejala dan Tanda

Gejala yang sangat spesifik untuk GERD adalah heartburn (pyrosis),


regurgitasi (refluks spontan dari isi gaster ke mulut) atau keduanya, yang sering
terjadi 30-60 menit setelah makan (terutama makan banyak atau makan makanan
berlemak) (DeVault, 2005; McQuaid, 2008). Heartburn (pyrosis) adalah suatu
retrosternal burning discomfort yang berlokasi di area epigastrium yang dapat
menjalar ke leher dan biasanya terjadi setelah makan. Perubahan posisi seperti
membungkuk sering mengeksaserbasi gejala. Gejala juga bisa
dicetuskan/diperberat dengan makanan/minuman tertentu, seperti saus tomat,
peppermint, coklat, kopi, teh, alkohol. Dalam menilai pasien dengan gejala
heartburn, durasi dan berat dari gejala harus diinvestigasi. Pasien yang mengalami
28

gejala tipikal dengan frekuensi minimal 2 kali seminggu selama 4-8 minggu atau
lebih harus dipertimbangkan menderita GERD (Saltzman, 2009).
Gejala-gejala tersebut seringkali membaik dengan penggunaan antacid.
Kombinasi dari gejala dan perubahan endoskopi memiliki spesifitas tinggi (97%)
untuk GERD (DeVault, 2005). Pada awalnya, penting dalam mengetahui usia
pasien dan adanya "alarm signs":
Disfagia.
Odinofagia.
Penurunan berat badan.
Perdarahan gastrointestinal.
Riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas,
Anemia.
Usia tua (Saltzman, 2009).
Adanya "alarm signs" atau warning sign menunjukkan adanya
complicated GERD (Heidelbaugh, 2007) dan memerlukan evaluasi dengan
endoskopi saluran cerna atas atau imaging lain. Gejala atipikal dari GERD
merupakan gejala ekstraesofageal, antara lain:
Batuk kronik.
Asma.
Nyeri tenggorok berulang.
Laryngitis berulang.
Dental enamel loss.
Stenosis subglotis.
Sensasi globus.
Nyeri dada.
Onset gejala pada usia > 50 tahun (Heidelbaugh, 2007).
Otitis media.
Sinusitis kronis.
29

Aphthous ulcer.
Halitosis.
Postnasal drip.
Trakeobronkitis.
Pneumonia aspirasi.
Nyeri dada non katdiak.
Sleep apnea (Saltzman, 2009).
GERD dapat ditemukan pada 30-80% pasien dewasa dengan asma.
Mikroasprasi dari asam lambung dan iritasi salran nafas berulang merupakan hal
yang dapat mencetuskan asma. Pada kasus otitis media, konsentrasi
pepsin/pepsinogen ditemukan lebih dari 90% pada pemeriksaan cairan efusi di
telinga tengah anak (Saltzman, 2009).

Gambar 2.12 Definisi Montreal dari GERD


Sumber: American Gastroenterological Association Institute Technical Review on
the Management of Gastroesophageal Reflux Disease, 2008.
30

Tabel 2.4 Gejala dan Kondisi yang Berhubungan dengan GERD


Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease, New England Journal Medicine, 2008.

Selain itu, terdapat dua grup yang dapat diidentifikasi pada pasien GERD,
yaitu erosive gastroesophageal reflex disease (erosive esophagitis) dan non-
erosive reflux disease (NERD). Erosive esophagitis adalah gejala refluks disertai
adanya kerusakan mukosa dengan panjang berapapun di esophagus akibat
gastroesophageal reflux. NERD adalah gejala refluks tanpa adanya kerusakan
esophagus pada endoskopi saluran cerna atas (Fock, 2003).
31

2.5.2 Pemeriksaan laboratorium, imaging, dan endoskopi

GERD klasik dapat didiagnosis dari anamnesis riwayat gejala dan


dikonfirmasi dengan respon komplit terhadap terapi medis (PPI (proton pump
inhibitor) test). Pasien yang tidak memiliki respon dari pemberian PPI
kemungkinan besar bukan merupakan GERD. Tes yang dapat dilakukan antara
lain endoskopi saluran cerna atas, upper GI series, gastric emptying study, 24-
hour esophageal pH study, dan Bravo pH study (Saltzman, 2009).
Pasien dengan gejala tipikal dari heartburn dan regurgitasi tanpa
komplikasi dapat diterapi empiris selama 4 minggu tanpa dibutuhkannya
pemeriksaan penunjang. Investigasi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang
memiliki komplikasi dan tidak responsive terhadap terapi empiris (McQuaid,
2008).
Pemeriksaan radiologis dapat mendeteksi esofagitis sedang-berat, striktur,
hiatal hernia, dan tumor. Pemeriksaan yang sering digunakan adakah barium
swallow, yang hanya dapat memeriksa esofagus, dan upper GI series, yang dapat
memeriksa esofagus, gaster, dan usus halus bagian atas. Kegunaan utama dari
pemeriksaan radiologis pada GERD adalah untuk menyingkirkan penyakit lain
(ulkus peptikum, tumor). Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan
radiologis lebih tidak invasif, lebih tersedia, dan lebih murah, tetapi memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang lebih rendah serta membutuhkan operator yang
ahli (Saltzman, 2009).
Pemeriksaan gold standard dari erosive GERD adalah endoskopi saluran
cerna atas, sedangkan untuk NERD tidak ada pemeriksaan gold standard (Fock,
2004).
Endoskopi merupakan suatu pilihan teknik untuk evaluasi integritas
mukosa, formasi striktur esophagus, suspek Barretts esophagus dan untuk
diagnosis komplikasi GERD (Heidelbaugh, 2007; DeVault, 2005). Endoskopi
saluran cerna atas, selain menyingkirkan adanya penyakit lain, dapat mendeteksi
stadium dari GERD-induced esophagitis. Pemeriksaan ini sangat spesifik (90-
95%) untuk GERD, tetapi memiliki sensitivitas yang terbatas (~50%). Teknologi
32

baru seperti ultrathin, transnasal endoscope dan video capsules dapat


menggantikan endoskopi saluran cerna atas tradisional, tetapi untuk (Saltzman,
2009).

Gambar 2.13 Spektrum Kerusakan pada GERD


Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease, New England Journal Medicine, 2008.

Sistem klasifikasi Los Angeles untuk esofagitis berdasarkan kerusakan


mukosa (erosi atau ulserasi), yaitu:
A. Satu atau lebih kerusakan mukosa tidak lebih panjang dari 5 mm, tidak ada
yang ekstensi di antara puncak lipatan mukosa.
B. Satu atau lebih kerusakan mukosa lebih panjang dari 5 mm, tidak ada yang
ekstensi melebihi puncak dari dua lipatan mukosa.
33

C. Kerusakan mukosa yang ekstensi antara puncak dua atau lebih lipatan
mukosa, tetapi mengenai kurang dari 75% esophageal circumference.
D. Kerusakan mukosa yang mengenai minimal 75% esophageal
circumference (Heidelbaugh, 2007).
Intraesophageal ambulatory pH montoring menggunakan probe yang
dapat merekan pH esophagus bagian distal secara kontinu untuk 24 jam. Tes ini
dilakukan menggunakan pH probe yang dimasukkan lewat nasal hingga 5 cm di
atas LES. Teknik ini membantu pemeriksa dalam mengkorelasi gejala dengan
episode refluks. Tes ini merekam waktu, lama, dan jumlah episode refluks.
Episode refluks asam yaitu apabila pH esophagus di bawah 4. Tes ini digunakan
pada pasien yang memiliki gejala tipikal GERD tetapi tidak responsif terhadap
terapi, atau memiliki gejala atipikal yang tidak responsif terhadap terapi supresi
asam, atau untuk evaluasi post-operasi pada pasien yang menjalani operasi
antirefluks untuk menentukan apakah GERD masih ada atau tidak (Saltzman,
2009).
Bravo pH monitoring system menggunakan wireless pill-sized capsule
yang melekat di mukosa distal esophagus saat endoskopi saluran cerna atas.
Monitoring pH dilakukan selama 48 jam. Kapsul akan lepas dan dikeluarkan
secara spontan dalam 2 minggu. Kerugian dari sistem ini yaitu hingga 10% pasien
merasa ketidaknyamanan akibat kapsul atau ada suatu sensasi benda asing dalam
tubuhnya. Pada beberapa pasien kapsul dapat lepas sebelum 48 jam. Terdapat juga
laporan yang menyatakan dapat terjadi perdarahan esophagus yang membutuhkan
transfusi dan perforasi esophagus (Saltzman, 2009).

2.6 Penatalaksanaan GERD

Tujuan terapi GERD antara lain:


Memperbaiki gejala.
Menyembuhkan esofagitis.
Mencegah komplikasi GERD (Saltzman, 2009).
34

2.6.1 Modifikasi gaya hidup

Perubahan gaya hidup meliputi penghindaran makanan yang menurunkan


tekanan LES, membatasi tereksposnya dari makan asam yang mengiritiasi, dan
melakukan kebiasaan untuk meminimalisasi refluks atau heartburn (Kahrilas,
2008).

Tabel 2.5 Rekomendasi diet dan gaya hidup pada terapi GERD
Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease, New England Journal Medicine, 2008.
35

2.6.2 Medikasi

Tabel 2.6 Obat penghambat sekresi asam lambung


Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease, New England Journal Medicine, 2008.

Terapi yang digunakan adalah antasid dan agen antisekretorik. Antasid


memperbaiki gejala dengan menetralisasi asam lambung yang refluks, sehingga
meningkatkan pH dan menginaktivasi pepsin. Penggunaan antasid jangka pendek
untuk gejala yang kadang-kadang muncul adalah aman (Saltzman, 2009).
Histamin-2 (H2)-receptor antagonist menghambat sekresi asam lambung
dengan memblok reseptor H2 yang terletak di sel parietal lambung secara
kompetitif. Dosis rendah H2-receptor antagonist tidak hanya mecegah heartburn
bila dikonsumsi sebelum makan, tetapi juga mengurangi gejala heartburn yang
diinduksi makan dalam 15-40 menit bila dikonsumsi setelah makan. H 2-receptor
antagonist diberikan dua kali sehari agar mencapai hasil paling efektif pada pasien
dengan GERD yang sering. H2-receptor antagonist cocok diberikan pada pasien
dengan GERD ringan hingga sedang dan masih merupakan modalitas terapi utama
untuk GERD (Saltzman, 2009).
PPIs bekerja dengan memblok hydrogen-potassium ATPase pada
permukaan apical sel parietal. PPIs lebih efektif dari H2-receptor antagonist
36

karena bekerja pada jalur akhir sekresi asam dibandingkan dengan pada satu dari
tiga reseptor (histamin, asetilkolin, dan gastrin). PPIs diindikasikan sebagai terapi
inisial pada pasien dengan GERD sedang hingga berat dan pada pasien dengan
komplikasi GERD. Reduksi dari kadar vitamin B12 dapat terjadi pasa terapi PPIs
jangka panjang, yang dapat diakibatkan dari penurunan absorpsi vitamin B12
yang terikat protein. Oleh karena itu, kadar vitamin B12 harus dimonitor secara
periodik (Saltzman, 2009). Efek samping PPIs antara lain nyeri kepala, diarte,
konstipasi, dan nyeri perut. Risiko yang dapat terjadi pada penggunaan PPIs
jangka panjang antara lain hipergastrinemia sekunder, malabsorpsi, dan
hipoklorida (Kahrilas, 2008).

2.6.3 Pembedahan

Pembedahan, yang paling sering adalah Nissen fundoplication, di mana


lambung bagian proximal diikat di sekitar esophagus distal untuk membentuk
antireflux barrier, merupakan terapi alternatif pada GERD kronik (Kahrilas,
2008). Komplikasi dari fundoplication antara lain disfagia, nyeri dada, gas-
bloating syndrome, flatulensi post-operasi, dan injuri saraf vagal, yang
menyebabkan gastroparesis dan operasi antirefluks (Saltzman, 2009).
Terapi endoskopi yang lebih baru seperi radiofrequency heating of GE
junction dan endoscopic gastroplasty dapat memperbaiki gejala dan kualitas
hidup. Tidak ada dari teknik tersebut yang secara konsisten menurunkan paparan
asam (Heaidelbaugh, 2007).
37

Gambar 2.14 Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan GERD


Sumber: Current Diagnosis and Treatment Gastroenterology Hepatology and
Endoscopy, 2009.

2.6.4 Regimen pemeliharaan

Tujuan dari terapi pemeliharaan adalah agar pasien dengan esofagitis dapat
bebas dari gejala. Peningkatan tingkat keparahan dari esofagitis berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan akan reduksi asam yang poten. Karena
kebanyakan individu dengan GERD tidak dilakukan pemeriksaan endoskopi,
supresi kronik dari asam disesuaikan terhadap masing-masing individu.
Pilihannya antara lain step up therapy (memulai dengan agen yang kurang poten
dan semakin ditingkatkan untuk menca[ai res[om terapi], step down therapy
(menggunakan supresi asam yang poten pada awalnya dengan penurunan dosis
atau menggunakan agen yang kurang poten berikutnya untuk menyesuaikan
38

respon individual), on demand therapy, atau pembedahan. Semua pilihan


memiliki tujuan untuk memperbaiki gejala secara komplit (Heidelbaugh, 2007).

Step up therapy. Jika pasien tidak berrespon terhadap H2 receptor


antagonist dalam 2 minggu, obat harus diubah menjadi PPI (30 menit sampai 1
jam sebelum makan agar PPI memiliki waktu untuk berinteraksi dengan activated
pump. Jika pasien tidak berrespon terhadap program ini, program dosis ganda (2
kali sehari, 30 menit sebelum makan pagi dan 30 menit sebelum makan malam)
dapat efektif untuk mengobati gejala. Jika pasien tidak berrespon terhadap
program ini, pasien cenderung tidak menderita refluks sebagai sumber dari
gejalanya dan pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan (Heidelbaugh, 2007).

Step down therapy. Ketika gejala terkontrol sete;ah step up therapy, step
down therapy dilakukan dengan pasien menggunakan PPI selama 8 minggu,
diikuti dengan H2 receptor antagonist jika gejala GERD terkontrol secara adekuat
dengan PPI, lalu turunkan hingga on demand use dari antacid. Mayoritas pasien
yang menggunakan lebih dari satu dosis PPI harian dan mengalami penurunan
gejala dapat dilakukan penurunan terapi hingga dosis tunggal tanpa rekurensi
gejala refluks (Heidelbaugh, 2007).

On demand therapy. Terapi dapat dimulai dengan dosis standard baik PPI
satu kali sehari atau H2 receptor antagonist dua kali sehari sesuai keinginan
(Heidelbaugh, 2007).

2.7 Komplikasi

Meskipun GERD biasanya nonprogresif, pada minoritas progresi penyakit


berhubungan dengan terjadinya komplikasi. Komplikasi GERD bervariasi dari
yang ringan sampai berat. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain esofagitis,
perdarahan, erosi dan ulserasi esofagus, pembentukan striktur, Barretts esophagus
dan adenocarcinoma esofagus. Reflux-induced injury pada jaringan esofagus dapat
menyebabkan terjadinya destruksi jaringan dan pembentukan erosi atau ulserasi
pada esofagus. Jaringan parut pada esofagus meliputi deposisi jaringan fibrosis
39

sebagai respon proteksi terhadap ulserasi dapat menyebabkan terbentuknya


striktur esofagus. Penggantian epitelium skuamosa yang terulserasi oleh
metaplastic intestinal-type epithelium merupakan karakteristik pembentukan
Barretts esophagus.
Barretts esophagus merupakan komplikasi serius refluks esofagitis pada
GERD berat yang berlangsung lama. Barretts esophagus merupakan salah satu
keadaan yang meningkatkan risiko terjadinya adenocarcinoma esofagus.
Hiatal hernia ditemukan pada lebih dari 90% pasien dengan esofagitis
erosif berat, terutama bila terdapat komplikasi seperti striktur esofagus atau
Barretts esophagus. Hiatal hernia merupakan salah satu faktor yang mengganggu
integritas LES yang akan menyebabkan paparan esofagus terhadap asam yang
lebih lama. Hiatal hernia menyebabkan GERD kronis melalui perubahan anatomis
pada gastroesophageal junction yang akan berakibat pada penurunan esophageal
acid clearance dan peningkatan esophageal acid exposure.
40

Gambar 2.15 Perbedaan anatomi normal LES-diafragma crural dan hiatal hernia
Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
41

BAB III
KESIMPULAN

GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease) terjadi ketika jumlah dari


asam lambung yang reflux ke esophagus melewati batas normal, menyebabkan
gejala yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan iritasi pada mukosa
esophagus (Fisichella, 2009).
GERD dapat mengakibatkan gejala tipikal (esophageal) atau atipikal
(extraesophageal). GERD klasik dapat didiagnosis dari anamnesis riwayat gejala
dan dikonfirmasi dengan respon komplit terhadap terapi medis (PPI (proton pump
inhibitor) test). Pasien yang tidak memiliki respon dari pemberian PPI
kemungkinan besar bukan merupakan GERD. Tes yang dapat dilakukan antara
lain endoskopi saluran cerna atas, upper GI series, gastric emptying study, 24-hour
esophageal pH study, dan Bravo pH study (Saltzman, 2009).
Tujuan terapi GERD antara lain memperbaiki gejala, menyembuhkan
esofagitis, dan mencegah komplikasi GERD. Terapinya dapat berupa modifikasi
gaya hidup, secara medikamentosa, dan pembedahan. (Saltzman, 2009).
42

DAFTAR PUSTAKA

Dent J. 1997. Patterns of lower esophageal sphincter function associated with


gastroesophageal reflux. In : American Journal Medicine. p. S29-32.

DeVault K.R., Castell, D.O. 2005. Updated Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease. In: American Journal of
Gastroenterology. USA: Blackwell publishing.

Fisichella, P. 2009. Gastroesophageal reflux disease. Loyola University Medical


Center USA. http://emedicine.medscape.com/article/176595-overview. 20
Januari 2011.

Fock K.M., Talley N., et al. 2004. Report of the AsiaPacific consensus on the
management of gastroesophageal reflux disease. In: Journal of
Gastroenterology and Hepatology. Asia: Blackwell Publishing.

Heidelbaugh J.J. 2007. Gastroesophageal reflux disease. In Standiford C.J,


Chavey W.E, Harrison .V.: Guidelines for Clinical Care. USA: University of
Michigan.

Kahrilas P.J. 2003. GERD pathogenesis, pathophysiology, and clinical


manifestations. In : Cleveland Clinic Journal of Medicine. Volume 70.
Chicago: Division of Gastroenterology and Hepatology, Northwestern
University Medical School. p. S4-19.

Kahrilas P.J. 2008. Gastroesophageal reflux disease. In: New England Journal of
Medicine. Chicago: Division of Gastroenterology, Feinberg School of
Medicine.
43

McQuaid. 2008. Gastroesophageal reflux disease. In McPhee S.J., Papadakis


M.A: Current Medical Diagnosis and Treatment. USA: McGraw Hill. p.
501-3.

Mills J.C., Stappenbeck T.S., Bunnett N. 2010. Gastrointestinal Disease. In :


Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine. 6th
Edition. Editors: Stephen J. McPhee and Gary D. Hammer. USA : McGraw-
Hill Companies, Inc. p. 323-352.

Richter J. 1999. Do we know the cause of reflux disease? In : European Journal.


Division of Gastroenterology and Hepatology. p. S3-9.

Saltzman J.R., Poneros J.M. 2009. Gastroesophageal reflux disease. In


Greenberger N.J.: Current Diagnosis and Treatment Gastroenterology,
Hepatology, and Endoscopy. USA: McGraw Hill.p. 139-45.

Syafruddin. 1998. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus sfingter


esophagus bawah terhadap esofagitis dan dyspepsia. Divisi Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta 1998.

Anda mungkin juga menyukai