BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Gambar 2.7 Hubungan distensi gaster, episode refluks dan mekanisme refluks
Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
Pola dominan disfungsi LES pada pasien dengan GERD ringan adalah
peningkatan proporsi TLESR disertai dengan refluks. Pasien dengan GERD yang
lebih berat biasanya memiliki gangguan LES resting tone, yang berhubungan
dengan sphincter yang lemah atau faktor-faktor lain yang mendasari terjadinya
penurunan tekanan LES persisten (Kahrilas, 2003).
Relaksasi LES terjadi akibat respon terhadap pelepasan nitric oxide, seperti yang
terjadi pada respon terhadap proses menelan (Kahrilas, 2003).
Pada keadaan istirahat, LES mempertahankan zona tekanan tinggi yaitu
antara 15 30 mmHg lebih tinggi dari tekanan intragaster, tergantung pada variasi
individu. Tekanan LES normal bervariasi, berhubungan dengan bernafas, posisi
tubuh, dan pergerakan, sebagai respon terhadap tekanan intra-abdomen dan
distensi gaster. Diafragma crural dapat menyesuaikan tekanan LES untuk
membantu mencegah refluks selama inspirasi, ketika tekanan intratorakal
menurun. Tekanan LES juga memperlihatkan variasi diurnal yang signifikan,
yaitu tekanan terendah pada saat siang hari dan selama periode postprandial,
tertinggi pada saat malam hari. Tekanan LES juga dipengaruhi oleh obat-obatan,
makanan dan hormon (Mills et al, 2010).
14
TLESR adalah episode singkat dari relaksasi LES yang tidak berhubungan
dengan menelan atau peristalsis. TLESR berlangsung sekitar 10 35 detik dan
15
akan menurunkan tekanan LES sampai level gaster. TLESR terjadi melalui
stimulasi vagal sensory dan saraf motorik sebagai respon terhadap distensi gaster.
Meskipun TLESR tidak selalu berakibat gastroesophageal reflux, TLESR
berhubungan kuat dengan refluks fisiologis maupun patologis. Pada penelitian
dengan pengukuran tekanan LES dan pH esofagus secara simultan didapatkan
bahwa kebanyakan episode refluks yang terjadi disebabkan oleh relaksasi komplet
spontan dari LES normal (Dent, 1997).
Minoritas pasien dengan GERD memiliki LES yang lemah dan tekanan
rendah secara konstan, sehingga menyebabkan terjadinya refluks setiap kali
tekanan intragaster melebihi tekanan LES. Penurunan kronis LES resting tone
biasanya berhubungan dengan esofagitis berat. Gangguan berat pada tonus LES
basal dapat menyebabkan penyakit yang lebih berat dengan mengijinkan isi gaster
masuk ke dalam esofagus secara bebas ketika pasien berbaring. Defek pada LES
juga ditemukan pada banyak pasien dengan komplikasi GERD lainnya, seperti
striktur esofagus dan Barretts esophagus (Kahrilas, 2003).
Faktor-faktor yang menurunkan tonus LES antara lain hormon endogen
(progesteron dalam kehamilan), obat-obatan, dan makanan tertentu. Pada pasien
dengan hiatal hernia, true LES dan diafragma crural terpisah yang mengganggu
acid clearance (Kahrilas, 2003).
17
penelitian meta analysis terapi GERD dimana data supresi asam lambung
dibandingkan dengan clinical outcomes, menunjukkan bahwa semakin baik
kontrol terhadap keasaman intragaster selama 24 jam (waktu lamanya pH
intragaster > 4) meningkatkan kecepatan kesembuhan secara signifikan, yaitu 8
minggu (P < 0.05) (Dent, 1997). Keadaan bebas gejala seringkali memerlukan
kontrol keasaman intragaster selama 24 jam, di mana pasien GERD dapat
mengalami gastroesophageal reflux kapan pun. Hal ini merupakan alasan
pemberian terapi antisekresi yang bertujuan untuk mengurangi paparan asam
esofagus. Jika pH intraesophageal dapat dipertahankan diatas 4 selama mayoritas
periode 24 jam, kebanyakan pasien akan tetap bebas gejala dan mengalami
penyembuhan lesi erosif yang sempurna (Kahrilas, 2003).
Timbulnya gejala GERD dan potensi gastric refluxate (terutama asam dan
pepsin) dalam menyebabkan kerusakan jaringan, sangat bergantung pada pH
intragaster dan waktu lamanya refluxate kontak dengan mukosa. Waktu
esophageal clearance juga dipengaruhi oleh pH refluxate. Semakin rendah pH,
semakin lama waktu yang diperlukan untuk pH intraesofagus kembali ke 4 atau
lebih (Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).
Hubungan antara derajat keasaman dan sensai nyeri dijelaskan oleh
penelitian yang dilakukan Smith dkk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa antara pH 2 4, waktu sampai terjadinya nyeri meningkat secara progresif
dan akhirnya akan menghilang pada pH > 4 (Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).
Derajat kerusakan mukosa meningkat secara bermakna jika pH < 2 atau
pepsin terdapat dalam refluxate. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa
kombinasi asam dan pepsin merupakan yang paling merusak mukosa esofagus.
Ambang batas keasaman intragaster berada pada pH 4 yang membedakan antara
refluks agresif dan non-agresif. Hal ini disebabkan karena gastric refluxate
dengan pH < 4 mengandung active pepsin. Aktivitas enzimatik pepsin bergantung
pada pH, dan teraktivasi dalam keadaan asam. Pada Barretts esophagus terdapat
21
resisten terhadap asam terdiri dari membran sel dan kompleks intercellular
junctional, yang melindungi terhadap jejas dengan membatasi difusi ion hidrogen
ke dalam epitelium. Esofagus juga memproduksi bikarbonat dan mukus.
Bikarbonat menetralkan asam, sedangkan mukus membentuk barier proteksi pada
permukaan epitelial (Mills et al, 2010).
Sensitivitas mukosa esofagus terhadap kerusakan akibat asam, pepsin, atau
asam empedu adalah cukup tinggi. Tingkat resistensi mukosa esofagus terhadap
kerusakan asam adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan mukosa gaster.
Kerusakan mukosa esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin yang ada
melebihi ambang batas asam dari proteksi mukosa. Pepsin dalam refluxate dapat
merusak mukosa esofagus dengan mencerna protein epitelial. Peningkatan
sensitivitas mukosa terhadap asam berhubungan dengan gejala kronis heartburn
(Kahrilas, 2003; Mills et al, 2010).
Sekresi asam oleh sel parietal dikontrol oleh tiga jalur regulasi asam, yaitu
jalur reseptor asetilkolin, gastrin dan histamin. Jalur-jalur ini sebaliknya
distimulasi oleh asupan makanan melalui saraf vagus. Indera penglihatan,
penciuman, dan rasa makanan serta keberadaan makanan secara fisik dalam
mulut, esofagus dan gaster berperan dalam stimulasi sekresi asam gaster. Hormon
24
juga berperan dengan adanya stimulasi saraf pada sel antrum menyebabkan
pelepasan hormon gastrin yang akan menstimulasi lebih lanjut sekresi asam ke
dalam rongga gaster (Kahrilas, 2003).
Pelepasan asetilkolin distimulasi oleh indera penglihatan, penciuman, dan
rasa dari makanan. Makanan yang dicerna di dalam gaster secara kimia
menstimulasi pelepasan gastrin oleh sel G di antrum. Peningkatan pH gaster juga
menstimulasi pelepasan gastrin. Rendahnya pH gaster akan menginhibisi
pelepasan gastrin dengan merangsang pelepasan somatostatin dari sel D di antrum
yang akan menghambat pelepasan gastrin dari sel G. Distensi gaster akan
mencetuskan pelepasan asetilkolin yang akan merangsang sel G untuk
memproduksi gastrin lebih lanjut. Gastrin selanjutnya akan masuk ke dalam
peredaran darah dan berikatan dengan reseptor gastrin sel parietal di corpus dan
fundus gaster. Baik asetilkolin maupun gastrin akan menstimulasi
enterochromaffin-like cells untuk melepaskan histamin (Kahrilas, 2003; Mills et
al, 2010).
Ikatan asetilkolin, gastrin atau histamin pada reseptornya masing-masing
di sel parietal akan memulai proses produksi asam dengan mengganggu
permeabilitas sel parietal terhadap ion kalsium sehingga terjadi influx ion
kalsium. Influx ion kalsium akan meningkatkan konsentrasi kalsium intraselular
yang akan mengaktivasi intracellular protein phosphokinase. Pada saat yang
bersamaan, adenylate cyclase berubah menjadi cyclic adenosine monophosphate
yang berfungsi sebagai second messenger untuk mengaktivasi protein
phosphokinase (Kahrilas, 2003).
Langkah terakhir dalam produksi asam gaster terjadi melalui gastric
proton pump yang terletak di membran apikal sel parietal. Rendahnya pH gaster
yang dipertahankan oleh proton pump akan menyebabkan terjadinya
keseimbangan antara keasaam gaster dan pertahanan mukosa (Kahrilas, 2003).
25
Inhibisi langsung pada proton pump akan menghambat sekresi asam secara
independen melalui jalur biokimia. Obat-obatan yang bekerja pada proton pump
merupakan inhibitor yang lebih efektif terhadap sekresi asam gaster dibandingkan
dengan obat-obat yang bekerja pada reseptor histamin, gastrin atau asetilkolin
yang terletak di permukaan basolateral dari sel parietal. Konsekuensinya, PPIs,
yang menghambat aktivitas H+, K+-ATPase merupakan inhibitor sekresi asam
yang lebih poten dibandingkan dengan terapi obat lainnya (Kahrilas, 2003).
Suara serak akibat iritasi pada vocal cord oleh reflux asam lambung dan
biasanya dikeluhkan oleh pasien pada pagi hari.
Reflux merupakan penyebab tersering dari noncardiac chest pain, yaitu
sekitar 50 % dari seluruhnya (Fisichella, 2009).
gejala tipikal dengan frekuensi minimal 2 kali seminggu selama 4-8 minggu atau
lebih harus dipertimbangkan menderita GERD (Saltzman, 2009).
Gejala-gejala tersebut seringkali membaik dengan penggunaan antacid.
Kombinasi dari gejala dan perubahan endoskopi memiliki spesifitas tinggi (97%)
untuk GERD (DeVault, 2005). Pada awalnya, penting dalam mengetahui usia
pasien dan adanya "alarm signs":
Disfagia.
Odinofagia.
Penurunan berat badan.
Perdarahan gastrointestinal.
Riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas,
Anemia.
Usia tua (Saltzman, 2009).
Adanya "alarm signs" atau warning sign menunjukkan adanya
complicated GERD (Heidelbaugh, 2007) dan memerlukan evaluasi dengan
endoskopi saluran cerna atas atau imaging lain. Gejala atipikal dari GERD
merupakan gejala ekstraesofageal, antara lain:
Batuk kronik.
Asma.
Nyeri tenggorok berulang.
Laryngitis berulang.
Dental enamel loss.
Stenosis subglotis.
Sensasi globus.
Nyeri dada.
Onset gejala pada usia > 50 tahun (Heidelbaugh, 2007).
Otitis media.
Sinusitis kronis.
29
Aphthous ulcer.
Halitosis.
Postnasal drip.
Trakeobronkitis.
Pneumonia aspirasi.
Nyeri dada non katdiak.
Sleep apnea (Saltzman, 2009).
GERD dapat ditemukan pada 30-80% pasien dewasa dengan asma.
Mikroasprasi dari asam lambung dan iritasi salran nafas berulang merupakan hal
yang dapat mencetuskan asma. Pada kasus otitis media, konsentrasi
pepsin/pepsinogen ditemukan lebih dari 90% pada pemeriksaan cairan efusi di
telinga tengah anak (Saltzman, 2009).
Selain itu, terdapat dua grup yang dapat diidentifikasi pada pasien GERD,
yaitu erosive gastroesophageal reflex disease (erosive esophagitis) dan non-
erosive reflux disease (NERD). Erosive esophagitis adalah gejala refluks disertai
adanya kerusakan mukosa dengan panjang berapapun di esophagus akibat
gastroesophageal reflux. NERD adalah gejala refluks tanpa adanya kerusakan
esophagus pada endoskopi saluran cerna atas (Fock, 2003).
31
C. Kerusakan mukosa yang ekstensi antara puncak dua atau lebih lipatan
mukosa, tetapi mengenai kurang dari 75% esophageal circumference.
D. Kerusakan mukosa yang mengenai minimal 75% esophageal
circumference (Heidelbaugh, 2007).
Intraesophageal ambulatory pH montoring menggunakan probe yang
dapat merekan pH esophagus bagian distal secara kontinu untuk 24 jam. Tes ini
dilakukan menggunakan pH probe yang dimasukkan lewat nasal hingga 5 cm di
atas LES. Teknik ini membantu pemeriksa dalam mengkorelasi gejala dengan
episode refluks. Tes ini merekam waktu, lama, dan jumlah episode refluks.
Episode refluks asam yaitu apabila pH esophagus di bawah 4. Tes ini digunakan
pada pasien yang memiliki gejala tipikal GERD tetapi tidak responsif terhadap
terapi, atau memiliki gejala atipikal yang tidak responsif terhadap terapi supresi
asam, atau untuk evaluasi post-operasi pada pasien yang menjalani operasi
antirefluks untuk menentukan apakah GERD masih ada atau tidak (Saltzman,
2009).
Bravo pH monitoring system menggunakan wireless pill-sized capsule
yang melekat di mukosa distal esophagus saat endoskopi saluran cerna atas.
Monitoring pH dilakukan selama 48 jam. Kapsul akan lepas dan dikeluarkan
secara spontan dalam 2 minggu. Kerugian dari sistem ini yaitu hingga 10% pasien
merasa ketidaknyamanan akibat kapsul atau ada suatu sensasi benda asing dalam
tubuhnya. Pada beberapa pasien kapsul dapat lepas sebelum 48 jam. Terdapat juga
laporan yang menyatakan dapat terjadi perdarahan esophagus yang membutuhkan
transfusi dan perforasi esophagus (Saltzman, 2009).
Tabel 2.5 Rekomendasi diet dan gaya hidup pada terapi GERD
Sumber: Gastroesophageal Reflux Disease, New England Journal Medicine, 2008.
35
2.6.2 Medikasi
karena bekerja pada jalur akhir sekresi asam dibandingkan dengan pada satu dari
tiga reseptor (histamin, asetilkolin, dan gastrin). PPIs diindikasikan sebagai terapi
inisial pada pasien dengan GERD sedang hingga berat dan pada pasien dengan
komplikasi GERD. Reduksi dari kadar vitamin B12 dapat terjadi pasa terapi PPIs
jangka panjang, yang dapat diakibatkan dari penurunan absorpsi vitamin B12
yang terikat protein. Oleh karena itu, kadar vitamin B12 harus dimonitor secara
periodik (Saltzman, 2009). Efek samping PPIs antara lain nyeri kepala, diarte,
konstipasi, dan nyeri perut. Risiko yang dapat terjadi pada penggunaan PPIs
jangka panjang antara lain hipergastrinemia sekunder, malabsorpsi, dan
hipoklorida (Kahrilas, 2008).
2.6.3 Pembedahan
Tujuan dari terapi pemeliharaan adalah agar pasien dengan esofagitis dapat
bebas dari gejala. Peningkatan tingkat keparahan dari esofagitis berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan akan reduksi asam yang poten. Karena
kebanyakan individu dengan GERD tidak dilakukan pemeriksaan endoskopi,
supresi kronik dari asam disesuaikan terhadap masing-masing individu.
Pilihannya antara lain step up therapy (memulai dengan agen yang kurang poten
dan semakin ditingkatkan untuk menca[ai res[om terapi], step down therapy
(menggunakan supresi asam yang poten pada awalnya dengan penurunan dosis
atau menggunakan agen yang kurang poten berikutnya untuk menyesuaikan
38
Step down therapy. Ketika gejala terkontrol sete;ah step up therapy, step
down therapy dilakukan dengan pasien menggunakan PPI selama 8 minggu,
diikuti dengan H2 receptor antagonist jika gejala GERD terkontrol secara adekuat
dengan PPI, lalu turunkan hingga on demand use dari antacid. Mayoritas pasien
yang menggunakan lebih dari satu dosis PPI harian dan mengalami penurunan
gejala dapat dilakukan penurunan terapi hingga dosis tunggal tanpa rekurensi
gejala refluks (Heidelbaugh, 2007).
On demand therapy. Terapi dapat dimulai dengan dosis standard baik PPI
satu kali sehari atau H2 receptor antagonist dua kali sehari sesuai keinginan
(Heidelbaugh, 2007).
2.7 Komplikasi
Gambar 2.15 Perbedaan anatomi normal LES-diafragma crural dan hiatal hernia
Sumber : GERDpathogenesis,pathophysiology,andclinicalmanifestations,
ClevelandClinicJournalofMedicine,2003.
41
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DeVault K.R., Castell, D.O. 2005. Updated Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease. In: American Journal of
Gastroenterology. USA: Blackwell publishing.
Fock K.M., Talley N., et al. 2004. Report of the AsiaPacific consensus on the
management of gastroesophageal reflux disease. In: Journal of
Gastroenterology and Hepatology. Asia: Blackwell Publishing.
Kahrilas P.J. 2008. Gastroesophageal reflux disease. In: New England Journal of
Medicine. Chicago: Division of Gastroenterology, Feinberg School of
Medicine.
43