PEMBANGUNAN EKONOMI Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si.
Disusun Oleh :
Nanda Yuliana Putri (1506105074 / 9)
EKI 301 B2
S1 REGULER / EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2017 SAP 13 PEMBAHASAN
Mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan
secarakeseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untukhanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas pendudukterhadap pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya.Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobolitas penduduk. Tetapi jugatidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatanpembangunan itu sendiri.
1.1 MOBILITAS PENDUDUK DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI
Pertanyaan paling mendasar dalam menelaah mobilitas penduduk adalah: mengapa penduduk memutuskan untuk pindah atau tetap tinggal di tempat asalnya?Sehubungan dengan pertanyaan ini, para pakar ilmu sosial melihat mobilitas pendudukdari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson:1973; Broek, Julien Vanden:1996). Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitudalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Meskipun demikian, banyakstudi memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk keputusan serta motivasi yang diambil olehinduvidu akan sangat berlainan, antara karena alasan ekonomi dengan karena alasanpolitik (Peterson,W:1995; Kunz, E.F.;1973). Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary plannedmigraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkanberbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutanmemutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidakada unsur paksaan untuk melakukan migrasi. Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak dijumpai pula mobilitas pendudukyang bersifat paksaan atau dukalara atau terdesak (impelled) (Peterson,W:1969). Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana alam seperti yang terjadi diSakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu contoh. Adanya berbagai tekanan darisegi politik, sosial, ataupun budaya menyababkan individu tidak memiliki kesempatandan kemampuan untuk melakukan perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitasmigrasi tersebut. Mereka berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungsi (refugees). Para pengungsi ini memperoleh perlakuan yang Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 1 berbeda di daerah tujuandengan migran yang berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther;1981; Adelman: 1988). Dalam kenyataannya, secara konseptual maupun metodelogi, para ahli sampaisaat ini masih mengalami kesulitan dalam membedakan secara lebih tajam antaramigran dengan motif ekonomi dan migran karena motif-motif non ekonomi (Kunz. E.F.; 1973; King, Rusell: 1966). Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisamobilitas penduduk. Teori-teori tersebut selama ini telah mengalami perkembanganyang sangat mendasar. Sejak teori mobilitas klasik individual relocaton yangdikembangkan oleh Ravenstein pada tahun 1985, saat ini telah berkembang teori yangmenekankan pada unsur sejarah, struktural, maupun kecenderungan global (Zolberg,Aristide, R. : 1989). Teori yang berorientasikan pada neoclassical economics sebagai contoh, baik makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisikerja antar daerah atau antar negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukanmigrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Aliran new economics of migration, dilain pihak beranggapan bahwa perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. Dalam hal ini keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar (market failures) (Taylor; 1968; Stark; 1991). Berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada padaposisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluargaatau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. Beberapa anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar daerah ataupun luar negara. Pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan perpindahan atau migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumahtangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang (remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga. Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah duallabor market theory. Jika dua
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 2
pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagaimicro-level decision model, maka aliran dual labor market theory mengemukakan bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (Piore: 1979). Menurut paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan klasifikasi tenaga kerja tertentupada daerah atau negara yang telah maju. Dengan demikian migrasi terjadi bukan karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak mungkin dielakkan. Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya.
1.2 KEBIJAKSANAAN EKONOMI MAKRO DAN MOBILITAS DI INDONESIA
Pola dan kenyataan migrasi penduduk di Indonesia sangat jelas memperlihatkanketerkaitan dan hubungan antara strategi pembangunan ekonomi dengan pola mobilitaspenduduk. Sejak pemerintah Orde Baru secara resmi berkuasa pada tahun 1967, palingtidak terdapat tiga pola kebijaksanaan ekonomi makro yang mempengaruhi persebarandan mobilitas penduduk di Indonesia. Pertama, strategi makro ekonomi makro yang dijalankan antara tahun 1967 sampai 1980. Pada masa itu, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor daninvestasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing) di Indonesia telah meningkatkan polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Antara tahun 1974-1979 persentase sumbangan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya yaitu Jawa Barat terhadap pertumbuhan sektor manufacturing skala besar dan menengah di Indonesia meningkatdari 38% menjadi 42%. Faktor lain yang juga mendukung makin besar nya peranan DKI Jakarta terhadap mobilitas penduduk adalah ekspansi atau perluasan yang cepat dari jasa-jasa kemiliteran, peningkatan lembaga-lembaga keuangan dan masuknya usaha bisnis asingserta tenaga asing untuk bekerja di sektor perminyakan, perusahaan asing, perusahaan konsultan, dan bahkan lembaga-lembaga donor internasional yang berkantor diJakarata. Kesemuanya ini menyebabkan meningkatnya keperluan akan perumahan danjuga menciptakan pasar untuk jasa-jasa yang lebih canggih (advaced) (Douglass, M.:1992: Wirosuhardjo, K:1986). Kecenderungan pola industrilisasi dan pemusatan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta serta daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa menyebabkan terjadinya proses
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 3
urbanisasi yang cepat di daerah-daerah tersebut. Migrasi desa-kota dari daerah- daerahperdesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta menuju ke kota-kota Surabaya, Jakarta, serta beberapa kota di pesisir utara Pulau Jawa terjadinya secara berkelanjutansehingga daerah-daerah tersebut meningkat dengan pesat, baik dari sisi pertambahan penduduk maupun perkembangan perekonomiannya. Pesatnya peningkatan urbanisasi tersebut juga berkaitan dengan ketidakberhasilan lainnya, seperti karet dan hasil- hasil perkebunan lainnya, yang tentu saja mempengaruhi perolehan ekspor Indonesia. Sementara itu ekspor kayu pun mengalami banyak hambatan sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi beberapa daerah di luar Pulau Jawa juga ikut terganggu.Walaupun pertumbuhan industri secara umum mengalami penurunan, perkembangan sektor perpabrikan (manufacturing) tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa Pada tahun 1985, sekitar 76% dari seluruh tenaga kerja sektor manufacturing di Indonesia terdapat di Pulau Jawa. Sementara itu 72% pembangunan fasilitas perkotaan dan perdesaan terpusat di Pulau Jawa, terutama di Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa. Penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980-an juga menyebabkan makin menurunnya tenaga kerja yang dapat diserap di sektor ini. Kecenderungan ini kemudian diikuti dengan berlangsungnya migrasi desa-kota. Keadaan perekonomian yang terjadi pada saat itu sangat mempengaruhi proses urbanisasi selama kurun waktu 1980-an. Pada kurun waktu tersebut terjadi penurunan yang cukup signifikan dari migrasi desa-kota di berbagai wilayah di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa. Sementara itu program trasmigrasi yang besar-besaran selama dekade 1980-an juga telah mempengaruhi pola distribusi penduduk, terutama proses urbanisasi di Pulau Jawa pada masa tersebut. Sebagian besar dari para trasmigran berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sementara migrasi masuk ke Jawa yang berasal dari luar Pulau Jawa sebagian besar menuju Jakarta dan daerah sekitarnya, termasuk Jawa Barat. Ketiga, Pada paruh kedua dasawarsa 1980-an pemerintah memiliki minat yang besar untuk mengembangkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Investasi pemerintah dikawasan ini telah meningkat dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% dari total investasi pemerintah seluruhnya pada tahun 1998. Peningkatan investasi pemerintah tersebut diikuti oleh peningkatan investasi swasta dari 14% menjadi 15,3% dari total investasi swasta pada kurun waktu yang sama. Sementara itu pada periode yang sama investasi pemerintah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mengalami penurunan dari85,7% menjadi 84,7% dari seluruh total investasi pemerintah. Upaya menggeser pola mobilitas lebih kearah Timur mulai diusahakan sejak saat itu. Apakah kebijaksanaan tersebut akan mempengaruhi
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 4
perpindahan penduduk kekawasan Timur Indonesia? Berdasarkan proyeksi pemerintah pada tahun 1998, proyeksi yang dibuat sebelum krisis ekonomi terjadi, terdapat lebih kurang 2,6 juta kesempatan kerja di Kawasan Timur Indonesia (Ramelan,Rahardi:1994). Sedangkan seluruh kesempatan kerja yang diproyeksikan terdapat pada tahun itu sebanyak 90,7juta.
Program yang Mungkin Dikembangkan
Bagaimana strategi pembangunan nasional dapat mempengaruhi persebaran dan mobilitas penduduk? Pada tahun 1995 sekitar 58% penduduk Indonesia berdiam di Pulau Jawa. Persentase ini sedikit menurun dari 63,8% pada tahun 1971. Sementara itu Pulau Sumatera didiami oleh hanya 20,9% dari total penduduk pada tahun 1995. Sedangkan pada tahun 1971, jumlah penduduk Pulau Sumatera sebesar 17,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Kecenderungan ini diikuti oleh Pulau Kalimantan dimana persentase penduduk di pulau ini meningkat dari 4,4% menjadi 5,4% pada kurun waktu yang sama. Persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan naik dari22,4% pada 1980 menjadi 35% pada tahun 1995. Penduduk daerah perkotaan antara tahun 1980-1995 meningkat rata-rata 5-7% pertahun, sementara peningkatan penduduk daerah perdesaan hanya sekitar 1-1,2% pertahun pada periode yang sama. Pola migrasi penduduk di Indonesia belum mengalami perubahan dengan arus migrasi masih berada di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Migrasi keluar dari Pulau Jawa terbanyak masuk ke Pulau Sumatera. Demikian juga migrasi keluar dari pulau pulau di Kawasan Timur Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Maluku, kebanyakan masuk ke Pulau Jawa. Gambaran diatas memperlihatkan bahwa pola migrasi di Indonesia belum mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh kawasan Indonesia. Ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak negatif pada pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia. Tenaga kerja terdidik dari luar Jawa pada umumnya pindah ke Pulau Jawa terutama ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebaliknya penduduk yang pindah keluar Pulau Jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kurangnya kesempatan kerja di luar Pulau Jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga kerja terdidik dari Pulau Jawa enggan pindah ke luar Pulau Jawa. Selain itu terpusatnya kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa juga memberikan pengaruh pada pola perpindahan penduduk tersebut.Walaupun berbagai studi dan data memperlihatkan bahwa gerak pepindahan penduduk sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, beberapa Negara mengembangkan kebijaksanaan pemindahan penduduk yang lebih terarah. Vietnam dan Cina memiliki kebijaksanaan langsung untuk mengarahkan persebaran penduduk mereka. Beberapa tahun setelah perang
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 5
berakhir, Vietnam telah berhasil memindahkan penduduk dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dan dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian yang ada. Cina pada tahun 1958 mengadakan registrasi rumah tangga. Melalui registrasi rumah tangga tersebut maka penduduk diklasifikasikan kedalam dua katagori,yaitu penduduk kota dan penduduk desa. Tujuannya adalah tidak saja untuk memonitor perpindahan penduduk, namun juga mempertahankan agar penduduk tetap berada didaerah sesuai dengan tempat kelahirannya (Kim:1990). Kebijaksanaan ini dikenaldengan semboyan leave the land not the village. Kebijaksanaan langsung dalam mengendalikan gerak perpindahan penduduk dilandasi pemikiran untuk mencegah gejala migrasi penduduk menuju ke satu tempat saja, dan sekaligus berupaya meghilangkan kesenjangan ekonomi. Dari perspektifmoral, kebijaksanaan langsung semacam itu bertentangan dengan hak azasi warganegara. Karena pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dimana saja. Oleh karenanya, pendekatan kebijaksanaan langsung tersebut kurang populer dan tidak banyak negara yang menganut pendekatan tersebut.
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 6
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Ida Bagoes Mantra, Ph. D., 2003. Demograsi Umum,, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi (http://www.bappenas.go.id/files/5013/5080/23
10/prijono__20091015151109__2385__0.pdf) diakses pada tanggal 12 April 2017 Pukul 21. 45 WITA)
Tenaga Kerja, Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi | 7