PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat
bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan
massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang
timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang
dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.5,6
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.5,6
2
hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn
penelitian lapangan seperti pada Tabel 1.1,2,7
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Menurut WHO
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin
kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.8,9
4
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin seperti pada Tabel 2.5,7
No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia
1. Anemia makrositik Bentuk eritrosit yang besar - Anemia Pernisiosa
normokromik dengan konsentrasi - Anemia defisiensi folat
hemoglobin yang normal
2. Anemia mikrositik Bentuk eritrosit yang kecil - Anemia defisiensi besi
hipokromik dengan konsentrasi - Anemia sideroblastik
hemoglobin yang menurun - Thalasemia
3. Anemia normositik Penghancuran atau - Anemia aplastik
normokromik penurunan jumlah eritrosit - Anemia posthemoragik
tanpa disertai kelainan - Anemia hemolitik
bentuk dan konsentrasi - Anemia Sickle Cell
hemoglobin - Anemia pada penyakit kronis
Tabel 2. Klasifikasi Morfologi Berdasarkan Ukuran dan Kandungan Hb
5
hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui
pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi seperti pada Tabel 3.7,8
Defisiensi besi Inflamasi
Fe serum Rendah Rendah
TIBC Tinggi Normal atau rendah
Saturasi transferin Rendah Rendah
Feritin serum Rendah Normal atau tinggi
Tabel 3. Perbandingan Antara Defisiensi Besi dan Inflamasi
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan
morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan
pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a.
Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab
dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-
obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent),
dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun
keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b.
Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang
berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme
(misalnya pada anemia sideroblastik)7,8
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang
bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi
sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia
defisiensi besi.7,8
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan
6
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).7,8
7
terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh,
seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin. 7,9
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1.
Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan
besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.7,9,11
2.
Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).7,9,11
8
Gambar 2: proses absorbsi besi
o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel
yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan
berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar
(transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan.
Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor
eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin
yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan
baku pembentukan hemoglobin.7,9,11
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-apoferitin)
dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet.
Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya,
sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear
(makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi
kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut
(hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma,
bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.7,9,11
9
Gambar 3: distribusi besi dalam tubuh
B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya sedikit sekali
rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas basofil. Baru pada
stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi dengan hemoglobin ( 34%).
Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit dilepaskan ke peredaran darah.7,9,11
Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari siklus
krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung
membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi membentuk senyawa
heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin)
sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung
susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada
orang dewasa adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit
mempunyai molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi.
Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).8,9,11
10
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:8,9
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter
lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1.
Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot. 7,9
2.
Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
11
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.7,9
3.
Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga
menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko
prematuritas dan gangguan partus.7,9
12
-
Dewasa : Anemia pernisiosa, gastrektomi total/prsial, gastritis atropikan,
tropikal sprue, blind loop syndrome (operasi striktur, divertikel, reseksi
ileum), Crohn's disease, parasit (Diphyllobothrium latum), limfoma
intestinal, skleroderma, obat-obatan (asam para amino salisilat, kolkisin,
neomisin, etanol, KCl).
-
Anak-anak: Anemi pernisiosa, ganguan sekresi faktor intrinsik lambung,
Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein pembawa
kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama10,15
Absorbsi kobalamin di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu glikoprotein yang
disekresi lambung. Faktor intrinsik akan mengikat 2 melekul kobalamin 1. Proses absorbsi
kobalamin adalah sebagai berikut:8,15
-
Pada ileum, kobalamin berikatan dengan FI, membetuk IF-Cbl complex
-
Kemudian IF-Cbl complex berikatan dengan cubilin, reseptor lokal pada
membarana apikal sel epitel ileum, kemudian berikatan dengan megalin.
-
Kobalamin masuk ke dalam sel ileum secara endositosis diikuti
degradasi IF
-
Kobalamin berikatan dengan transkobalamin (TC II) membentuk, TC II-
Cbl complex, untuk disekresikan ke vena porta
-
Kemudian TC II-Cbl complex diuptake oleh sel, pada sel hepatosit dan
sel epitel pada tubulus proksimal ginjal, berikatan dengan TC II receptor dan
kobalamin dilepaskan ke dalam sel
-
Dalam sel ini, kobalamin dirubah menjadi bentuk koenzim, koenzim
inilah yang berperan dalm sintesin DNA, methyl-Cbl dan 5'-deoxyadenosyl-Cbl
berperan dalam mengkonversi homosistein ke metionin, dan metilmalonil CoA ke
suksinil CoA.
13
Gambar 6 : Proses absorbsi dan transpor kobalamin
Pada orang dewasa, faktor intrinsik dapat berkurang karena adanya atropi lambung
(gastritis atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang
mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin
intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang
berkurang akan menurunkan prekursor tidimilat yang selanjutnya akan menggangu sintesis
DNA. Model ini disebut methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.8,10,15
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan propionat menjadi
suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses
demyelinisasi ini menyebabkan kelainan medula spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum
diabsorbsi asam folat (pteroylglutamic acid) harus diubah menjadi monoglutamat. Bentuk folat
tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat mengakibatkan
penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan
menggangu sintesis DNA.8,15
14
Disamping defisiensi kobalamin dan asam folat, obat-obatan juga dapat mengganggu
sintesis DNA. Metotreksat menghambat kerja eznim dihirofolat reduktase, yang mereduksi
dihidrofilat menjadi tetrahidrofolat, sedangkan 5-flourourasil menhambat kerja timidilat sintetase
yang berperan dalam sintesis pirimidin.8,15
15
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul
pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga
tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena anoksia jaringan, mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia
simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala
umum anemia tergantung pada:9,10
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7 gr/dl).9,10
2) Gejala khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik
a. Pada defisiensi B12 terdapat 3 manifestasi utama :
1. Anemia megalobalstik
2. Glositis
3. Neuropati
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateralios medula spinalis, kortekserebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut subacute combine degeneration / combined system disease. Dapat
ditemukan gangguan mental, depresi, gangguan memori, gangguyan kesadaran,
delusi, halusinasi, paranoid, skizopren. Gejala neurologis lainnya adalah :
16
opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi, hipotensi ortostatik (neuropati
otonom), dan neuritis retrobulbar.
b. Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama :
1.
Anemia megaloblastik
2.
Glositis 9,10,12
3) Gejala penyakit dasar: timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing
tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya paa anemia
akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia
memerlukan pameriksaan laboratorium.9,10,12
b. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.9,11
17
e. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi transferin,
protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum
tulang ( Perls stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan tes
Schiling.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid.9,11
ANEMIA
ANEMIA HIPOKROMIK
Hapusan MIKROSITER
darah tepi dan indeks
eritrosit (MCV,MCH,MCHC)
Besi serum
Feritin normal
TIBC TIBC
Algoritme
FERITIN
Pendekatan diagnosis
FERITIN
pasien dengan anemia hipokromik mikrositer11,14
Hb A2
HbF
18
Retikulosit
Meningkat Normal/menurun
Retikulosit
Meningkat Normal/Menurun
Riwayat
Megaloblastik Non
Perdarahan
Megaloblastik
akut
Anemia Pasca
Anemia Anemia
Perdarahan Defisiensi Defisiensi
akut besi asam folat
Faal Tiroid
Anemia pada
Hipotiroidisme
Faal hati
Anemia pada
penyakit hati
Displastik
20
Anemia Defisiensi Sindrom
Besi/asam folat mielodisplastik
dalam terapi
2.8 Pendekatan Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah:11,14
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
2) Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan
terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang ketat
terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus
menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik
atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood.
Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi
21
diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi.
22
pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu
pengobatan7,14
23
BAB III
RINGKASAN
3.1 Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count).
3.2 Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu
gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan
pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu
hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).
3.3 Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu gejala umum
anemia, gejala khas masing-masing anemia, dan gejala penyakit dasar.
3.4 Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening
test), 2) Pemeriksaan darah seri anemia, 3)Pemeriksaan sumsum tulang, 4)Pemeriksaan
khusus.
3.5 Terapi pada anemia spesifik pada masing-masing anemia, sehingga hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharti C. Dasar-Dasar Hemostasis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Pusat Penerbitan Ilmu PenyakitDalam FK UI. Jakarta;
2006:749-754.
2. A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit
BukuKedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295
3. The American Society of Hematology. 2004. Prevalence of anemia in persons 65 years and
older in the United States: evidence for a high rate of unexplained anemia. Blood.
2004;104:22632268
4. Hematol, Semin. 2008. Epidemiology of Anemia in Older Adults. 45(4): 210217.
5. Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
6. Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias in Harrisons
Principles of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
7. Bakta I Made, dkk, 2006, Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
8. Cotran et al, 1999, Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic Basis Of Disease
6th edition ; USA : Saunders.
9. Guyton and Hall, 1997, Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta : EGC.
10. Mansen T J et al, 2006, Alteration of Erythrocyte function in Pathophysiology : The Biologic
Basis for Disease in Adults and Children 5th edition ; USA : Mosby.
11. Marks, Dawn B. Biokomia Kedokteran Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC;
2000.
12. Murray, Robert K. Biokimia harper, 24ed. Jakarta: EGC; 1999.
13. Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
14. Supandiman I dkk, 2003, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi medik ;
Bandung : Q Communication.
25
26