Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia,
anemia juga disebut sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count), tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin,
lalu hematokrit, harus diperhatikan bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu yang menunjukkan
ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Berdasarkan kriteria WHO, seseorang dikatakan anemia apabila memiliki
nilai Hb <12 g / dL pada wanita dan <13 g / dL pada pria.1,2
Hasil penelitian yang dilakukan oleh The American Society of Hematology pada tahun
2004 di Amerika Serikat menunjukkan dalam studi epidemiologi, menunjukkan hasil bahwa
anemia paling banyak terjadi pada kelompok usia lebih dari 85 tahun pada kelompok jenis
kelamin perempuan (20,1%) ataupun laki-laki (26,1%) sedangkan kelompok terendah adalah
rentang usia 50-64 tahun pada laki-laki (6,8%) sedangkan pada wanita (1,5%) pada kelompok
usia 17-49 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hematol tahun 2008 di US mengatakan bahwa
setelah usia 50 tahun, prevalensi anemia meningkat dan terjadi peningkatan 20% pada usia 85
tahun atau lebih. Di rumah jompo, anemia dialami oleh 48-63% dari penduduk.3,4
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan apa yang
menjadi penyakit dasar sehingga menyebabkan anemia tersebut. Anemia menjadi salah satu
temuan klinis yang sering dihadapi oleh dokter layanan primer, untuk itu sebagai dokter layanan
primer penting untuk mengetahui mengenai gejala dan macam-macam anemia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat
bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan
massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang
timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang
dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.5,6
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.5,6

2.2 Kriteria Anemia


Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar
hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara
fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl
pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12
gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan

2
hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn
penelitian lapangan seperti pada Tabel 1.1,2,7
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Menurut WHO

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin
kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.8,9

2.3 Etiologi Anemia


Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis). Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis adalah
sebagai berikut: 5,6,7
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
d. Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
3
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga
golongan : 5,6,7
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer bila MCV > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini:5,6,7
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi d an etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

2.4 Klasifikasi Anemia

4
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin seperti pada Tabel 2.5,7
No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia
1. Anemia makrositik Bentuk eritrosit yang besar - Anemia Pernisiosa
normokromik dengan konsentrasi - Anemia defisiensi folat
hemoglobin yang normal
2. Anemia mikrositik Bentuk eritrosit yang kecil - Anemia defisiensi besi
hipokromik dengan konsentrasi - Anemia sideroblastik
hemoglobin yang menurun - Thalasemia
3. Anemia normositik Penghancuran atau - Anemia aplastik
normokromik penurunan jumlah eritrosit - Anemia posthemoragik
tanpa disertai kelainan - Anemia hemolitik
bentuk dan konsentrasi - Anemia Sickle Cell
hemoglobin - Anemia pada penyakit kronis
Tabel 2. Klasifikasi Morfologi Berdasarkan Ukuran dan Kandungan Hb

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan


produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah
merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan
darah atau hemolisis).7,8
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini
dapat disebabkan karena:
a.
Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia,
limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b.
Defisiensi besi
c.
Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d.
Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1)
e.
Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid)7,8
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula
ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan

5
hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui
pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi seperti pada Tabel 3.7,8
Defisiensi besi Inflamasi
Fe serum Rendah Rendah
TIBC Tinggi Normal atau rendah
Saturasi transferin Rendah Rendah
Feritin serum Rendah Normal atau tinggi
Tabel 3. Perbandingan Antara Defisiensi Besi dan Inflamasi
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan
morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan
pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a.
Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab
dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-
obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent),
dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun
keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b.
Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang
berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme
(misalnya pada anemia sideroblastik)7,8
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua
keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang
bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi
sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia
defisiensi besi.7,8
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis.
Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan

6
sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara
episodik (self limiting).7,8

Gambar 1. Klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit 9

2.5 Patofisiologi Anemia


2.5.1 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di
negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o
Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C).
o
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
hamil dan menyusui.
o
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
o
Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik, keganasan
lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, menometrorraghia, hematuria, atau
hemaptoe.7,10
A. Metabolisme Besi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita)
hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional, seperti
hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang

7
terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh,
seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin. 7,9
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1.
Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan
besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.7,9,11
2.
Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).7,9,11

Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:7,9,11


o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan
heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan
penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian
kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel
absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam
lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme
yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport
besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan
untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana
alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan besi
feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang diperantarai oleh protein duodenal
cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol
(mobilferrin) menangkap besi feri. Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk
feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui
basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami
reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan
dengan apotransferin dalam kapiler usus.

8
Gambar 2: proses absorbsi besi
o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel
yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan
berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar
(transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan.
Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor
eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin
yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan
baku pembentukan hemoglobin.7,9,11
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-apoferitin)
dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet.
Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya,
sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear
(makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi
kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut
(hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma,
bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.7,9,11

9
Gambar 3: distribusi besi dalam tubuh
B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya sedikit sekali
rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas basofil. Baru pada
stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi dengan hemoglobin ( 34%).
Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit dilepaskan ke peredaran darah.7,9,11
Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari siklus
krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung
membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi membentuk senyawa
heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin)
sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung
susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada
orang dewasa adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit
mempunyai molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi.
Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).8,9,11

Gambar 4: pembentukan hemoglobin


C. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi dan Patogenesis

10
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:8,9
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter
lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.

Gambar 5: Gambaran apus sumsum tulang penderita anemia defisiensi besi


3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin
menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga
menimbulkan berbagai gejala.

Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1.
Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot. 7,9
2.
Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak

11
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.7,9
3.
Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga
menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko
prematuritas dan gangguan partus.7,9

2.5.2 Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik adalah anaemia yang disebabkan abnormalitas hematopoesis dengan
karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat
gangguan sintesis DNA.10,15
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan Kurang
-
Gangguan Nutrisi : Alkoholisme, bayi prematur, orang tua, hemodialisis,
anoreksia nervosa.
-
Malabsorbsi : Alkoholisme, celiac dan tropical sprue, gastrektomi parsial,
reseksi usus halus, Crohns disease, skleroderma, obat anti konvulsan
(fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine, kolestiramin, limfoma
intestinal, hipotiroidisme.10,15
b. Peningkatan kebutuhan : Kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia
pernisisosa, anemia sideroblastik, leukemia, anemia hemolitik, mielofibrosis).10,15
c. Gangguan metabolisme folat : penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat,
pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin), akohol, defisiensi enzim.10,15
d. Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkohol, hepatoma.10,15
e. Obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA : antagonis purin (6
merkaptopurin, azatioprin, dll), antagonis pirimidin (5 flourourasil, sitosin
arabinose, dll), prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin.10,15
f. Gangguan metabolik (jarang) : asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-
Nyhan.10,15
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan Kurang : vegetarian
b. Malabsorbsi

12
-
Dewasa : Anemia pernisiosa, gastrektomi total/prsial, gastritis atropikan,
tropikal sprue, blind loop syndrome (operasi striktur, divertikel, reseksi
ileum), Crohn's disease, parasit (Diphyllobothrium latum), limfoma
intestinal, skleroderma, obat-obatan (asam para amino salisilat, kolkisin,
neomisin, etanol, KCl).
-
Anak-anak: Anemi pernisiosa, ganguan sekresi faktor intrinsik lambung,
Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein pembawa
kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama10,15
Absorbsi kobalamin di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu glikoprotein yang
disekresi lambung. Faktor intrinsik akan mengikat 2 melekul kobalamin 1. Proses absorbsi
kobalamin adalah sebagai berikut:8,15
-
Pada ileum, kobalamin berikatan dengan FI, membetuk IF-Cbl complex
-
Kemudian IF-Cbl complex berikatan dengan cubilin, reseptor lokal pada
membarana apikal sel epitel ileum, kemudian berikatan dengan megalin.
-
Kobalamin masuk ke dalam sel ileum secara endositosis diikuti
degradasi IF
-
Kobalamin berikatan dengan transkobalamin (TC II) membentuk, TC II-
Cbl complex, untuk disekresikan ke vena porta
-
Kemudian TC II-Cbl complex diuptake oleh sel, pada sel hepatosit dan
sel epitel pada tubulus proksimal ginjal, berikatan dengan TC II receptor dan
kobalamin dilepaskan ke dalam sel
-
Dalam sel ini, kobalamin dirubah menjadi bentuk koenzim, koenzim
inilah yang berperan dalm sintesin DNA, methyl-Cbl dan 5'-deoxyadenosyl-Cbl
berperan dalam mengkonversi homosistein ke metionin, dan metilmalonil CoA ke
suksinil CoA.

13
Gambar 6 : Proses absorbsi dan transpor kobalamin

Pada orang dewasa, faktor intrinsik dapat berkurang karena adanya atropi lambung
(gastritis atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang
mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin
intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang
berkurang akan menurunkan prekursor tidimilat yang selanjutnya akan menggangu sintesis
DNA. Model ini disebut methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.8,10,15
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan propionat menjadi
suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses
demyelinisasi ini menyebabkan kelainan medula spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum
diabsorbsi asam folat (pteroylglutamic acid) harus diubah menjadi monoglutamat. Bentuk folat
tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat mengakibatkan
penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan
menggangu sintesis DNA.8,15

14
Disamping defisiensi kobalamin dan asam folat, obat-obatan juga dapat mengganggu
sintesis DNA. Metotreksat menghambat kerja eznim dihirofolat reduktase, yang mereduksi
dihidrofilat menjadi tetrahidrofolat, sedangkan 5-flourourasil menhambat kerja timidilat sintetase
yang berperan dalam sintesis pirimidin.8,15

Gambar 7 : Sintesis Pirimidin


Dua vitamin ini berperan sebagai koenzim, kekurangan kobalamin maupun asam folat
dapat menyebabkan kegagalan pematangan dan pembelahan inti3. Selanjutnya sel-sel
eritroblastik pada sumsum tulang gagal berproliferasi dengan cepat, sehingga menghasilkan sel
darah merah yang lebih besar dari normal. Sel eritrosit ini mempunyai membran yang tipis dan
seringkali berbentuk tidak teratur, besar, dan oval, berbeda dengan bentuk bikonkav yang
biasa.8,15
Penyebab terbentuknya sel abnormal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
ketidakmampuan sel-sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang memadai akan
memperlambat reproduksi sel-sel, tetapi tidak mengahalangi kelebihan pembentukan RNA oleh
DNA dalam sel-sel yang berhasil diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan
melebihi normal, menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya
berlebihan, yang membuat sel mejadi besar.8,15

2.6 Manifestasi Anemia

15
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul
pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga
tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena anoksia jaringan, mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia
simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala
umum anemia tergantung pada:9,10
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7 gr/dl).9,10
2) Gejala khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik
a. Pada defisiensi B12 terdapat 3 manifestasi utama :
1. Anemia megalobalstik
2. Glositis
3. Neuropati
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateralios medula spinalis, kortekserebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut subacute combine degeneration / combined system disease. Dapat
ditemukan gangguan mental, depresi, gangguan memori, gangguyan kesadaran,
delusi, halusinasi, paranoid, skizopren. Gejala neurologis lainnya adalah :
16
opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi, hipotensi ortostatik (neuropati
otonom), dan neuritis retrobulbar.
b. Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama :
1.
Anemia megaloblastik
2.
Glositis 9,10,12
3) Gejala penyakit dasar: timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing
tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya paa anemia
akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia
memerlukan pameriksaan laboratorium.9,10,12

2.7 Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test): 2) Pemeriksaan
darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan khusus.9,11

b. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.9,11

c. Pemeriksaan Darah Seri Anemia


Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat
memberikan presisi hasil yang lebih baik.9,11

d. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada bebrapa
jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik,
anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.9,11

17
e. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi transferin,
protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum
tulang ( Perls stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan tes
Schiling.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid.9,11

Algoritme pendekatan diagnosis anemia11,14

ANEMIA

ANEMIA HIPOKROMIK
Hapusan MIKROSITER
darah tepi dan indeks
eritrosit (MCV,MCH,MCHC)

Besi serum

Anemia hipokromik Anemia Anemia


menurun normokromik normal
makrositer
mikrositer
normositer

Feritin normal
TIBC TIBC
Algoritme
FERITIN
Pendekatan diagnosis
FERITIN
pasien dengan anemia hipokromik mikrositer11,14

Elektroforesis Ring sideroblast dalam


Hb sumsum tulang
Besi sumsum tulang Besi sumsum tulang
negatif positif

Hb A2
HbF

18

Anemia defisiensi besi Anemia akibat


penyakit kronik Thalasemia beta Anemia sideroblastik
ANEMIA NORMOKROMIK
NORMOSITER

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Tanda Riwayat Sumsum Tulang


Algoritme Perdarahan
Diagnosis Anemia
hemolisis normokromik normositer11,14
positif Akut

Hipoplastik displastik infiltrasi Normal


Tes coomb

negatif positif Tumor Limfoma Faal hati


ganas kanker Faal ginjal
hematologi Faal tiroid
Riwayat (leukimia,mi Penyakit
keluarga eloma)
kronik
positif

Anemia Anemia pada Anemia


aplastik leukimia mieloptisik
Enzimopati, akut/mieloma
Membranop Anemia
ati AIHA pada GGK
Hemaglobin Penyakit
opati Hati Kronik
Hipotiroid
peny.kronik
Anemia pada 19
Anemia sindrom
A.mikroangio
pasca mielodisplastik
pati
obat/parasit perdarahan
akut
ANEMIA MAKROSITER

Retikulosit

Meningkat Normal/Menurun

Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer11,14


Sumsum tulang

Riwayat
Megaloblastik Non
Perdarahan
Megaloblastik
akut

B12 serum Asam folat


rendah rendah

Anemia Pasca
Anemia Anemia
Perdarahan Defisiensi Defisiensi
akut besi asam folat
Faal Tiroid

Anemia pada
Hipotiroidisme
Faal hati

Anemia pada
penyakit hati
Displastik
20
Anemia Defisiensi Sindrom
Besi/asam folat mielodisplastik
dalam terapi
2.8 Pendekatan Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah:11,14
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
2) Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan
terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang ketat
terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus
menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik
atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood.
Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi
21
diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi.

2.8.1 Terapi Berdasarkan Klasifikasi Anemia


2.8.1.1 Anemia Defisiensi Besi
1.
Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak dapat
menyebabkan kekambuhan.5,7
2.
Pemberian preparat besi:

Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas
ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis
hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung kosong
(lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila
terdapat efek samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian
dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk
meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari.7,14

Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan.
Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan
pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:
Kebutuhan besi (mg) = {(15 Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)7,14
3.
Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.7,14
4.
Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:

Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung

Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok

Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan
trimester akhir atau pre operasi7,14
Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila retikulosit naik
pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali normal pada hari ke 14

22
pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu
pengobatan7,14

2.8.1.2 Anemia Megaloblastik


1.
Suportif : - transfusi bila ada hipoksia
- suspensi trombosit bila trombositopenia mengancam jiwa
2.
Defisiensi B12 : Pemberian sianokobalamin atau hidroksokobalamin.
3.
Defisiensi asam folat : Pemberian asam folat 1mg/hari selama 2-3 minggu, kemudian
dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari
4.
Terapi penyakit dasar
5.
Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.5,14

23
BAB III
RINGKASAN

3.1 Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count).
3.2 Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu
gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan
pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu
hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).
3.3 Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu gejala umum
anemia, gejala khas masing-masing anemia, dan gejala penyakit dasar.
3.4 Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening
test), 2) Pemeriksaan darah seri anemia, 3)Pemeriksaan sumsum tulang, 4)Pemeriksaan
khusus.
3.5 Terapi pada anemia spesifik pada masing-masing anemia, sehingga hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharti C. Dasar-Dasar Hemostasis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Pusat Penerbitan Ilmu PenyakitDalam FK UI. Jakarta;
2006:749-754.
2. A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit
BukuKedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295
3. The American Society of Hematology. 2004. Prevalence of anemia in persons 65 years and
older in the United States: evidence for a high rate of unexplained anemia. Blood.
2004;104:22632268
4. Hematol, Semin. 2008. Epidemiology of Anemia in Older Adults. 45(4): 210217.
5. Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
6. Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias in Harrisons
Principles of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
7. Bakta I Made, dkk, 2006, Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
8. Cotran et al, 1999, Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic Basis Of Disease
6th edition ; USA : Saunders.
9. Guyton and Hall, 1997, Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta : EGC.
10. Mansen T J et al, 2006, Alteration of Erythrocyte function in Pathophysiology : The Biologic
Basis for Disease in Adults and Children 5th edition ; USA : Mosby.
11. Marks, Dawn B. Biokomia Kedokteran Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC;
2000.
12. Murray, Robert K. Biokimia harper, 24ed. Jakarta: EGC; 1999.
13. Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
14. Supandiman I dkk, 2003, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi medik ;
Bandung : Q Communication.

25
26

Anda mungkin juga menyukai