Seluruh limbah yang memasuki kolom air ini mengandung banyak bahan organik
dan/atau nutrien yang menjadi subjek perombakan atau menjadi nutrisi
mikroorganisme, termasuk mikro algae. Dalam
proses perombakannya, mikroorganisme
(terutama bakteri) membutuhkan oksigen yang
terlarut dalam kolom air. Penggunaan oksigen
oleh mikroorganisme ini jelas akan
menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dalam
kolom air (dissolved oxygen/DO).
Air limbah yang dihasilkan dari pengoperasian industri dalam banyak hal merupakan
sumber bahan pencemar terburuk, meskipun jenis bahan pencemar akan bervariasi
antara satu industri dengan lainnya. Namun dalam banyak hal, masalah yang
ditimbulkan umumnya berasosiasi dengan salah satu atau kombinasi dari kondisi-
kondisi berikut.
8
Dari ketiga faktor di atas, fenomena-fenomena seperti : rendahnya DO, tingginya
turbiditas dan masalah sedimentasi, yang merupakan konsekuensi logis dari kondisi
yang dihadapi perairan akibat masuknya limbah industri. Demikian juga dengan
keberadaan toksin dalam perairan yang dapat berakibat pada lethalitas atau stres pada
organisme perairan. Belum lagi masalah akumulasi bahan toksik yang dapat
menjadikan organisme ekonomis menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Industri Gula pasir (sugar cane) dan Pabrik kertas merupakan dua kelompok
yang paling banyak menghasilkan limbah organik, termasuk padatan tersuspensi
dan bahan toksik yang terkandung di dalam limbah buangannya.
Di Hawaii, limbah pabrik gula yang dibuang ke perairan laut membuat air laut
menjadi berwarna cokelat dan dapat terlihat hingga jarak 3 km atau lebih dari
saluran pembuangannya (out
falls). Kecerahan air diukur
dengan Secchi disc dekat
saluran pembuangan antara 5-
10 cm. hal ini diperburuk
dengan total coliform count
>1000/100 ml. Kehidupan
benthik juga sangat terganggu,
terutama oleh kehadiran
9
sedimen lumpur yang dapat mencapai ketebalan 3 m. Turbiditas juga menyebabkan
turunnya populasi ikan yang didominasi oleh ikan-ikan carnivore. Total N dan P juga
meningkat di perairan sekitar saluran pembuangan limbah pabrik gula.
Sedang industri kertas (Pulp and Paper), dengan USA dan Kanada sebagai
negara terbesar dalam industri ini. Limbah industri kertas terdapat dalam 3 bentuk :
gas, cair dan padat. Dalam limbah cairnya, terdapat bahan-bahan sulfur dan asam
sulfit (H2SO3), magnesium, serta zat pemutih (bleach). Sedang bahan-bahan padat
tersuspensi termasuk : partikel kayu (saw dust), kapur, serat serta bahan-bahan
kimia pelapis kertas (banyak jenis, tergantung jenis kertas, antara lain: tanah liat,
talc dan diatomite) untuk meningkatkan kejernihan putih kertas, kehalusan
permukaan dan kecerahan warna kertas.(pernah dengar tentang kasus pencemaran
perairan oleh pabrik kertas Kiani dan Kraf di Aceh ?).
Adapun masalah yang ditimbulkan oleh industri pulp and paper, terutama oleh
TSS yang banyak mengandung butiran kayu (wood chips) yang akan sangat
mengganggu benthos saat mengendap di dasar perairan. Hal ini menciptakan
kondisi anoksik baik di dasar perairan maupun pada sedimen. Penumpukan
sedimen dan limbah pulp (bubur kertas) memperburuk situasi di bagian dasar
perairan, terutama dengan meningkatnya konsentrasi H 2S. Bahan organik terlarut
dalam pulp akan meningkatkan BOD hingga 5 kali BOD limbah kota yang belum
terolah (sekitar 8 ppm). Keberadaan DOM dan SS menghambat pertukaran oksigen
di permukaan perairan.
10
Limbah terbesar dalam lingkungan perairan adalah bahan organik yang
merupakan sasaran perombakan oleh bakteri yang membutuhkan DO dalam
aktivitas tersebut, karena :
Bahan organik yang membusuk, baik yang berasal dari limbah domestik dan
limbah industri yang tidak atau belum terolah baik, kemudian dirombak oleh mikroba
yang mengkonsumsi banyak DO selama proses dekomposisi. Konsumsi oksigen
mikroba ini disebut kebutuhan oksigen biologis (BOD: biological oxygen demand).
Bila tidak terjadi pengadukan yang cukup baik dalam perairan, maka peningkatan
nilai BOD akan mengakibatkan peningkatan beban bahan organik yang berakhir
pada kondisi dengan DO rendah/hypoxia (Heath, 1995). Hypoxia dapat memiliki
dampak signifikan pada proses fisiologis pada ikan dan biota perairan lainnya,
seperti semakin meningkatnya toksisitas suatu bahan kimia pada kondisi DO
rendah.
11
Kandungan nitrogen dan/atau posfor dalam limbah domestik, run-off pertanian
dan deterjen, dapat berdampak toksik pada organisme perairan bahkan pada
konsentrasi rendah karena kondisi eutrofikasi yang disebabkannya (Connel et al.,
1999). Eutrofikasi menyebabkan perubahan harian yang sangat besar dalam DO
perairan akibat fotosintesis pada siang hari dan respirasi pada malam hari.
Respirasi fitoplankton dapat menyebabkan DO rendah hingga saat matahari terbit
(Heath, 1995). Terhentinya eutrofikasi akibat habisnya nutrien bagi fitoplankton pada
akhirnya akan menimbulkan nilai BOD yang tinggi.
Deterjen sintetik, hingga dua dekade lalu, umumnya masih berbasis posfat dan
beberapa diantaranya masih memiliki kandungan PO 4-2 yang sangat tinggi (Wright
and Welbourn, 2002). Namun sejak 1965, terjadi perubahan dari alkyl benzene
sulphonate (ABS) dari kandungan utama deterjen digantikan oleh linear alkylate
sulphonates (LAS) yang jauh lebih mudah terdegradasi oleh proses-proses biologis
di lingkungan perairan. Walaupun LAS bersifat lebih toksik terhadap ikan
dibandingkan ABS, namun potensi toksiknya dapat secara cepat direduksi oleh
degradasi yang juga dapat terjadi secara cepat (Heath, 1995).
12
Misalnya: debit aliran air 8 m 3/det dgn BOD 2 ppm dan Input limbah dalam
perairan sungai/aliran air adalah 1 m 3/det dgn BOD 20 ppm, maka BOD akhir
adalah = total BOD/total volume = (8 x 2) + (1 x 20)/8 + 1 = 36/9 = 4 ppm.
TSS dan DOM (dissolved organic matter): pada bagian permukaan kolom air
dapat mendetoksifikasi beberapa jenis polutan, seperti Cu dan Zn.
Jenis substrat dasar perairan juga menentukan durasi dan level toksisitas
polutan. Hal ini terkait dengan lama menetap polutan pada sedimen. Jenis
lumpur dan pasir berlempung akan menahan polutan dalam waktu yang lebih
lama dibanding substrat dasar berbatu (rocky) atau pasir berbatu (coarse sand).
Semakin lama waktu menetap (residence time) polutan, semakin besar peluang
berdampak toksik bagi organisme. Dinamika perairan juga memainkan peran
penting dalam hal pencucian polutan (flush time).
13
ini secara bertahap pula (kecepatannya bergantung pada kondisi perairan: terbuka,
semi tertutup atau tertutup) membuat organisme seperti ikan mati.
P e n i gk a t Penigkat P e n ur a
Walaupun nitrat dan posfat tidak secara langsung bersifat toksik, namun dapat
menyebabkan masalah dalam lingkungan perairan jika penggunaannya terlalu
banyak. Beberapa jenis pupuk mengandung nitrat (NO 2-) dan posfat (PO4-2) yang
digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian. Baik nitrat maupun posfat
memasuki lingkungan perairan melalui proses run-off, nitrat juga dikeluarkan
selama proses dekomposisi tumbuhan mati yang kemudian memasuki tanah lalu
mencemari air bawah tanah yang pada akhirnya menemukan jalannya untuk
memasuki perairan terbuka. Di perairan terbuka, NO 2- dan PO4-2 kemudian
menyebabkan kondisi eutrofikasi yang memicu timbulnya blooming alga yang
berlanjut pada kondisi anoxia, seperti telah dijelaskan sebelumnya (Walker et al.,
1996).
Dalam kondisi eutrofikasi, akan terjadi dominansi dari suatu spesies (umumnya
Fitoplankton, seperti : Cyanobacteria atau Diatom).
Kualitas perairan menjadi rendah yang akan merusak produktivitas perairan, dan
di wilayah pesisir dapat merusak kelangsungan hidup terumbu karang (kasus di
Perairan Kanehoe, Hawaii).
Kondisi dengan konsentrasi O2 rendah (oxygen depletion) ini jelas akan sangat
mematikan bagi organisme lain seperti ikan.
14
Eutrofikasi akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan (excessive
growth) dari fitoplankton dan makroalgae. Hal ini akan menyebabkan masalah
estetika dan menurunkan potensi wilayah perairan sebagai lokasi rekreasi.
Kematian dan dekomposisi fitoplankton dan makroalgae akan menimbulkan bau
yang tidak sedap.
Pada kondisi ekstrim, wilayah dasar perairan yang menjadi Anoxic menjadi tidak
berpenghuni layaknya padang pasir, terumbu karang dikolonisasi oleh alga,
banyak ditemukan di perairan Indonesia, Filipina, dan perairan tropis lain.
D. Sekuensi Pemanfaatan O2
Reaksi ini dapat menghasilkan trace logam (Mn dan logam asosiasi ) yang
toksik.
4. Reduksi Besi (Fe) : 4Fe(OH)3(s) + CH2O + 8H+ 4Fe+2 (aq) + CO2 + 11H2O
Dapat melepaskan trace logam toksik (Fe dan logam asosiasinya) serta dapat
menghasilkan senyawa Posfor
Bahan organik dapat berasal dari tinja manusia yang mengandung bakteria
enteric, patogen atau virus, umumnya diekspresikan sebagai coliform count.
Mikroorganisme ini dapat memasuki organisme (terutama bivalvia) yang menjadi
bahan makanan manusia.
16
Oxygen Sag
Terkadang dalam kolom air sejumlah besar ikan yang mati tiba-tiba muncul,
mereka mengalami kematian seketika akibat bencana lingkungan yang dikenal dengan
oxygen sag. Hal ini merupakan fenomena lingkungan penting, baik dari aspek biologi,
bisnis ataupun kebijakan keamanan perairan.
1. Oxygen sag adalah suatu keadaan di dalam kolom air, dimana keberadaan DO
sangat dipengaruhi oleh masuknya limbah bahan organik. Oxygen sag dicirikan
oleh kehadiran bakteri yang koloninya terpusat dekat limbah terkonsentrasi
(sebagai sumber bahan nutrisi) dan mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar.
Jika limbah organik terkonsentrasi pada area tertentu maka konsentrasi DO-nya
pun akan menurun secara bertahap dan pasti, membentuk oxygen sag. Dalam
beberapa kasus yang pernah terjadi, beberapa jenis limbah organik-pun
mengkonsumsi O2 selain konsumsi yang dilakukan oleh bakteri. Hal ini akan
lebih mempercepat terjadinya oxygen sag.
17
5. Sumber bahan-bahan pencemar organik terutama dari lingkungan permukiman,
limbah perkotaan dan limbah yang langsung dibuang ke laut (dumping).
Demikian juga dengan curah hujan yang berkepanjangan yang membawa serta
bahan organik dalam jumlah besar. Pengolahan limbah atau kehati-hatian
dalam membuang limbah organik dapat secara signifikan mengurangi peluang
terbentuknya oxygen sag.
Gambar 1. Siklus nutrien, dimana alga planktonik mengasup CO 2 melalui proses fotosintesis dan
mengkonversinya, bersama-sama dengan nitrogen (N) dan Posfor (P) menjadi bahan
18
organik (misalnya: karbohidrat, protein). Secara perlahan dan pasti bahan organik tersebut
akan mencapai sedimen dimana mereka mengalami degradasi oleh mikroba dan secara
permanen tertimbun dalam sedimen. Melalui proses degradasi di sedimen, CO 2, N dan P
kembali dilepaskan dan memasuki kolom air untuk kembali memasuki siklus produksi bahan
organik.
Produksi Primer dan Beban Bahan Organik di Sedimen Laut
Sintesis bahan organik (produksi primer) terjadi melalui proses fotosintesis, yang
dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut.
CO2 + H2O CH2O + O2
dimana C, N dan P menggambarkan jumlah atom Karbon, Nitrogen dan Posfor, yang
akan digabungkan menjadi senyawa organik.
Kandungan N dan P dari bahan organik, dalam kaitannya dengan kandungan Karbon
dapat digambarkan sebagai berikut.
(CH2O)(NH4+)1/(C:N) (PO43-) 1/(C:P) yang bersesuaian dengan (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P
Secara perlahan namun pasti, bahan organik yang dihasilkan melalui proses
fotosintesis akan didegradasi. Selama proses degradasi, karbon bahan organik
dilepaskan dalam bentuk CO2, dan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH 4+) dan
Posfor dalam bentuk posfat (PO 43-). Proses degradasi atau pendaur ulangan atau
mineralisasi ini adalah pada hakekatnya sama dengan proses fotosintesis secara
terbalik jika O2 tersedia di lingkungan. Pada kondisi DO rendah (anoksia), konsumsi
Nitrat, besi teroksidasi dan mangan teroksidasi serta senyawa sulfat menggantikan
konsumsi oksigen. Pada proses degradasi terhadap makromolekul organik,
mikroorganisme mengeluarkan enzim-enzim hidrolitik yang medekomposisi karbohidrat,
protein dan lemak menjadi senyawa-senyawa organik yang lebih kecil. Bakteri memiliki
kemampuan untuk mengasup (up-take) senyawa-senyawa kecil ini melalui membran
selnya yang kemudian melakukan metabolism terhadapnya, dimana bahan-bahan
organik tersebut kemudian didegradasi menjadi C, N dan P yang kemudian dilepaskan
lagi ke kolom air atau permukaan sedimen.
19
Gambar 2. Distribusi proses degradasi/respirasi dalam sedimen laut dan estuarin. Respirasi aerobik
mengkonsumsi oksigen (R1), sedang proses-proses lainnya adalah anaerobik. Pada R2,
Nitrat, pada R3 Oksida Mangan dan Hidroksida besi (R4) dan Sulfat (R5) berfungsi sebagai
substrat respirasi. Menurut teori, dasar lautan dapat dibagi atas beberapa zona/mintakat,
yang masing-masing didominasi oleh salah satu proses secara terpisah, masing-masing:
respirasi oksigen, denitrifikasi, reduksi mangan (Mn), reduksi besi (Fe) dan reduksi Sulfat
(SO4). Pada bagian kanan grafik adalah salah satu contoh dari ciri khas distribusi substrat
respirasi pada sedimen pantai (pada kasus ini di Denmark).
Jarak bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan jumlah bahan organik
yang terdegradasi sebelum mencapai dasar lautan. Beberapa faktor memainkan
peranan penting dalam menentukan beban bahan organik yang mencapai dasar lautan,
seperti: konsentrasi DO dalam air, kepadatan populasi bakteri dan jumlah/konsentrasi
bahan organik yang terdapat dalam kolom air.
20
mangan dan sulfat (Gambar 2), dimana sulfat dapat mempenetrasi hingga 1-4 m ke
dalam sedimen, bergantung pada beban bahan organik. Semakin ke bagian dalam
sedimen, degradasi bahan organik berlangsung melalui proses fermentasi dimana gas
methan (CH4) terbentuk.
Umumnya, dalam sistem perairan laut bakteri pengkonsumsi O2 hanya
mendegradasi sekitar 40% dari bahan organik yang sampai ke sedimen. Sisanya
diambil alih oleh bakteri anerobik untuk proses degradasinya, kecuali bila bahan
organik tersebut tertimbun pada bagian dalam sedimen sebelum proses degradasi
selesai. Proses degradasi bakterial anaerobik yang terpenting adalah reduksi sulfat.
Sesuai urutannya, reduksi sulfat mereduksi 60% dari bahan organik, lalu diikuti oleh
respirasi besi tereduksi yang dilakukan oleh bakteri pengguna FeOOH sebagai substrat
respirasi. Proses respirasi nitrat (denitrifikasi) dibandingkan respirasi sulfat dan besi
tereduksi, tidak memiliki keutamaan (secara kuantitatif) dalam proses degradasi bahan
organik secara anaerobik.akan tetapi proses denitrifikasi sangat penting dalam
membersihkan sistem dari kandungan nitrogen.
Terlepas dari ketersediaan substrat respirasi, jumlah bahan organik yang sebenarnya
terdegradasi dalam sedimen lautan atau estuarin, bergantung pada jumlah bahan
organic yang dapat didegradasi yang mencapai dasar laut/estuarin. Bahan-bahan
organic yang tidak terdegradasi secara lengkap akan tertimbun atau tersimpan dalam
sedimen bersama-sama dengan nutrien yang terikat dengannya dan menghilang dari
siklus nutrien. Salah satu ciri khas proses respirasi adalah mereka melepaskan enerji
untuk proses metabolik dengan mentransfer satu atau lebih elektron dari senyawa
kimia berenerji tinggi ke senyawa kimia yang berenerji lebih rendah.
Saat bahan organik terdegradasi, atom C yang selalu melepaskan elektron (e -) dan
teroksidasi menjadi CO2 dalam proses tersebut.
CH2O + H2O CO2 + 4e- + 4H+
Pada saat yang sama, N dan P digabungkan ke dalam senyawa organik melalui
proses fotosintesis yang dilepaskan dalam bentuk garam (nutrien) anorganik
ammonium (NH4+) dan posfat (PO43-)
(CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P + CH2O CCO2 + NNH4+ + PPO43- + 4Ce- + 4CH+
Oleh karena itu, terlepas apakah proses respirasi itu aerobik atau anaerobik, CO 2, NH4+
dan PO43- dilepaskan. Dalam proses respirasi, baik oksigen, nitrat, mangan atau besi
teroksidasi atau sulfat aan menangkap elektron yang dilepas oleh karenanya mereka
mengalami reduksi. Sehingga dalam banyak proses produk-produk limbah yang
21
berbeda (yaitu senyawa kimia tereduksi) akan terbentuk dalam sedimen (misalnya:
mangan tereduksi, besi tereduksi dan hydrogen sulfide).
N2 yang terbentuk dalam proses di atas menghilang ke atmosfir hingga terhenti untuk
menumpuk dalam lingkungan lautan. Nitrat untuk keperluan denitrifikasi berasal dari
perairan dasar atau terbentuk dalam sedimen melalui proses oksidasi dari NH 4+
menjadi NO3-. Walaupun NO3- tidak terdapat dalam perairan dasar, proses denitrifikasi
masih dapat berlangsung, selama masih tersedia O 2 dalam sedimen. Disini, NO3- dapat
terbentuk melalui oksidasi NH4+.
Berlawanan dengan transportasi partikel mangan oksida yang terjadi dengan adanya
guncangan biologis, transportasi ion Mn 2+ berlangsung secara difusif. Dalam bentuk
teroksidasi, mangan bereaksi dengan H2S membentuk Mn2+, yang mereduksi mangan
secara cepat menjadi MnO2 dengan kehadiran oksigen.
22
Seperti halnya dengan Mn, Fe dalam bentuk teroksidasi merupakan bahan
padat/partikulat, sedang bentuk tereduksinya adalah terlarut. Besi tereduksi secara
spontan bereaksi dengan MnO2 dan O2 membentuk FeOOH. Melalui reaksi Fe 2+
dengan H2S maka endapan padatan besi sulfida (FeS) terbentuk yang menyebabkan
sedimen berwarna hitam. Secara teknis, sangat sulit dan mahal untuk mengukur
respirasi bakteri dengan Mn dan Fe. Secara bersamaan kedua bentuk respirasi ini
menyumbangkan total degradasi bahan organik sekitar 25%.
Bau H2S sangat busuk/menyengat dan merupakan produk limbah yang sangat
beracun.
23
II.1. Nitrat (NO3-) dan Ammonium (NH4+)
Bakteri nitrifikasi juga memiliki kemampuan untuk melepaskan enerji yang terikat
dalam NH4+ dengan mengoksidasinya menjadi NO 3-. Pada saat bakteri mengoksidasi
ammonium menjadi nitrat, oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron.
NH4+ + 2O2 NO3- + H2O + 2H+ (R6)
Sehingga, proses nitrifikasi hanya terjadi dengan kehadiran oksigen, yaitu di daerah-
daerah bagian atas sedimen dan di sekitar lubang-lubang (tube) polychaeta, dimana
oksigen dapat diangkut ke bagian sedimen yang lebih dalam karena jalur-jalur yang
dibentuk oleh cacing polychaeta. Atau dengan kata lain, produksi ammonium di
daerah-daerah tanpa oksigen di dalam sedimen harus mampu menyerap oksigen dari
permukaan sedimen atau melalui pori/tube polychaeta agar NH 4+ dapat memperoleh
oksigen dan dioksidasi menjadi NO3-.
Dalam situasi dimana pada dasar laut terjadi defisiensi atau penurunan
konsentrasi oksigen, maka difusi NH4+ menjadi sangat intensif yang membuat NH 4+
keluar ke perairan dasar di bagian permukaan sedimen atau dikeluarkan melalui
lubang-lubang polychaeta. Seperti yang terjadi pada NH 4+, pertukaran NO3- juga dapat
terjadi antara sedimen dan perairan dasar. Arah aliran nutrien diatur oleh gradasi
konsentrasi yang terdapat di sepanjang daerah peralihan (interface) antara sedimen
dan perairan dasar.
Sekali garam nitrogen (nutrien) memasuki perairan laut, maka plankton dan
bethos segera akan mengasupnya lalu menggabungkannya dengan bahan-bahan
organik melalui proses fotosintesis. Pertukaran nitrogen antara sedimen dan kolom air
adalah hasil dari suatu proses kesetimbangan kompleks yang diatur oleh sederet faktor
seperti beban bahan organik pada sedimen, suhu kolom air, konsentrasi DO, NH 4+ dan
NO3- pada kolom air.
24
Posfat terikat pada sedimen untuk mengoksidasi, antara lain, senyawa besi. Ikatan ini
ditandai dengan simbol dalam persamaan kimia.
Sedimen dapat melepaskan cengkeramannya pada besi (iron grip) yang terletak pada
molekul posfat disaat FeOOH tereduksi menjadi Fe 2+, karena kompleks senyawa
terlarut dan PO43- segera terbebas untuk terdifusi ke dalam bagian dasar perairan,
sepanjang gradasi konsentrasi memungkinkannya untuk dapat lewat.
Produser primer di dalam air dan pada permukaan sedimen selalu siap siaga untuk
mengasimilasi Posfat yang dibebaskan dan menggabungkannya dengan bahan-bahan
organik melalui proses fotosintesis, jika terdapat jumlah cahaya yang mencukupi.
Kondisi lingkungan dan mekanisme reaksi mempengaruhi ikatan besi posfor.
Gambar 3. Siklus Nutrien : Konsentrasi NO3- dan NH4+ di bagian permukaan sedimen (2,5 cm) yang
disertai dengan ketebalan lapisan permukaan yang mengandung oksigen. OM: bahan
organik; (CH2O)C(NH4+)N(PO43-)P (R2 dan R3).
25
Saat Mn2+ terbentuk oleh reduksi oksigen yang hadir, mangan kembali teroksidasi
menjadi MnO2.
Proses ini terutama terjadi pada bagian bawah segera setelah permukaan sedimen
dimana Mn2+ secara sepat terpresipitasi dalam bentuk oksida mangan dengan
kehadiran oksigen. Peranan Oksida mangan diduga tidak signifikan dalam kaitannya
dengan oksidasi Fe2+ (R8) dan konsumsi oksigen (R9).
Hewan-hewan yang memompa air ke luar dan masuk sedimen (aliran irigasi) juga
mempengaruhi konsentrasi Mn2+ di dalam sedimen, sebagian dengan cara
memindahkan Mn2+ dan sebagian lagi dengan cara membuat oksigen mampu
mempenetrasi ke bagian sedimen yang lebih dalam disertai dengan proses difusi.
II.4. Besi Partikulat Teroksidasi (FeOOH) dan Besi Terlarut Tereduksi (Fe 2+)
Saat bakteri pereduksi besi mereduksi FeOOH, maka posfat yang terikat dilepaskan.
Pelepasan posfat juga terjadi melalui suatu reaksi non-biologis dari hidrogen sulfida
dengan FeOOH
26
Gambar 4. Siklus Besi. Konsentrasi FeOOH, Fe 2+, FeS dan FeS2 pada lapisan bagian atas sedimen
(sekitar 5 cm). Siklus besi saling tumpang tindih dengan siklus Mangan (R8), sementara
tumpang tindih dengan siklus Sulfur (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18) OM adalah bahan
organik.
Besi tereduksi (Fe2+) segera dikonversi menjadi FeOOH jika bertemu dengan oksigen,
seperti pada zona dasar laut teroksidasi, atau jika tidak akan dilepaskan ke perairan
dasar.
4Fe2+ + O2 + 6H2O 4FeOOH + 8H+ (R11)
Seperti halnya dengan oksida mangan, besi bereaksi dengan hidrogen sulfida seperti
dibahas pada bagian berikut.
II.5. Sulfat (SO42-), Hidrogen Sulfida (H2S), Sulfur Partikulat (So) dan Besi Sulfida
(FeS dan FeS2)
Hidrogen sulfida adalah hasil degradasi respirasi bahan organik yang dilakukan oleh
bakteri pereduksi sulfat. Produksi H 2S berlangsung dalam zona tereduksi dalam
sedimen, dan selanjutnya dari zona ini H 2S terdifusi ke arah permukaan sedimen.
Sebelum hidrogen sulfida mencapai zona sedimen teroksidasi, besi teroksidasi atau
senyawa mangan dapat mengoksidasi H2S menjadi So, atau H2S untuk sementara
waktu dapat terikat di dalam sedimen dalam bentuk besi sulfida partikulat (FeS).
27
Beberapa besi sulfida bereaksi dengan sulfur partikulat membentuk pyrit (FeS 2), yang
berwarna abu-abu muda menembus cukup dalam ke sedimen.
Reaksi penting untuk pembentukan pyrit adalah reaksi antara FeS dengan H 2S. pada
reaksi ini, H2 juga terbentuk, dimana bakteri pereduksi sulfat dihilangkan melalui proses
yang dikenal sebagai gross process (R15).
Gambar 5. Siklus Sulfur. Konsentrasi SO 43-, So, H2S, FeS dan FeS2 di bagian permukaan sedimen
(sekitar 5 cm) bersama lapisan permukaan sedimen yang mengandung oksigen. Siklus
sulfur yang tumpang tindih dengan siklus Mangan (R12), sedang tumpang tindih dengan
siklus Besi (R10, R13, R14, R15, R17 dan R18. OM: bahan organik.
Saat sulfida bertemu oksigen di bagian permukaan sedimen, maka akan teroksidasi
menjadi sulfat, yang dapat dipergunakan lagi dalam respirasi bakteri.
28
Proses akhir yang penting dalam siklus nutrien dalam lingkungan laut adalah
trasformasi sulfur partikulat yang melepaskan diri dari reaksi dengan FeS (R14). Jika
konsentrasi rendah dari H2S tetap berlanjut di dasar laut akibat proses penghilangan
hydrogen sulfida secara terus-menerus (misalnya melalui R10), maka transformasi So
terjadi melalui proses disproportination. Hal ini dapat terlihat sebagai bentuk
fermentasi anorganik. Dengan kata lain, sulfur partikulat akan melalui oksidasi menjadi
SO42- dan tereduksi menjadi H2S dalam satu reaksi yang sama:
Pada daerah dengan empat musim, aktifitas reduksi sulfat dengan produksi hidrogen
sulfida-nya meningkat sejalan datangnnya musim panas, dengan puncaknya pada akhir
musim panas dan awal musim gugur saat dimana mineralisasi bahan organik mencapai
puncaknya. Selama periode waktu ini H 2S bereaksi dengan besi teroksidasi dan
senyawa mangan yang jumlahnya berlimpah (R10 and R12) dan H 2S terikat pada
sedimen akibat reaksi dengan besi tereduksi (R13). Melalui cara ini, tumpukan H 2S
menggunakan terus menggunakan besi teroksidasi dan senyawa mangan pada bagian
dasar perairan, hingga zona sedimen berwarna coklat secara perlahan-lahan
menghilang. Saat oksigen benar-benar telah telah hilang dari sedimen, maka H 2S akan
secara mudah berpindah ke perairan dasar yang menyebabkan terjadinya penurunan
oksigen secara cepat dan hewan-hewan benthik mati karena racun dari H 2S.
29
Pustaka
Connell, D., Lam, P., Richardson, B., and Wu, R.,1999. Introduction to Ecotoxicology.
Blackwell Science Publ., Oxford, UK.
Heath, A.G., 1995. Water Pollution and Fish Physiology. 2nd Ed. CRC Press, Florida.
NERI Technical Report, No. 483, 2004. A model set-up for an oxygen and nutrient flux
model for Aarhus Bay, Denmark. 70p.
30