Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan.

2.1.1 Pengertian Peranan.

Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila

seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,

dia menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan dengan peranan

adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-

pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada

peranan tanpa kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti (Soekanto, 2006:

212).

Peranan adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya

individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan

status sosial dan fungsi sosialnya (Ahmadi, 2007: 106).

Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia

telah menjalankan suatu peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup tiga hal

berikut:

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi

atau tempat seseorang didalam masyarakat.

2. Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan

oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting

bagi struktur sosial.

Universitas Sumatera Utara


Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi

dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-

position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam

masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan

sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat

serta menjalankan suatu peranan.

Peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada

individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut

merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam

masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang

diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga, dan di

dalam peranan- peranan lainnya. Di dalam peranan terdapat 2 harapan, yaitu:

1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran

atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran

2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran

terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan

dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-

kewajibannya (Berry,

2003: 105).

Pemikiran tentang peranan sebagai seperangkat harapan yang ditentukan

oleh masyarakat terhadap pemegang-pemegang kedudukan sosial adalah sejalan

dengan perspektif masyarakat. Perspektif dimaksudkan bahwa setiap individu

memegang peranan yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka.

Dalam
pandangan ini, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur

masyarakat. Jadi struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan

yang saling berhubungan. Walaupun peranan adalah bagian dari struktur

masyarakat tapi peranan-peranan itu hanya ada selama peranan-peranan itu diisi

oleh individu. Konsep peranan mungkin dapat digunakan untuk melihat

hubungan fundamental antara struktur masyarakat dan individu.

Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-

pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan

apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang

diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah karena ia

mengatur perilaku seseorang.

Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan

hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Peranan diatur

oleh norma-norma yang berlaku. Misalnya: norma kesopanan menghendaki agar

seseorang laki-laki bila berjalan bersama seorang wanita harus disebelah luar.

Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi

dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-

position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada

organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjukkan pada fungsi,

penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki

suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan

mungkin mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:


a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan

rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam

kehidupan kemasyarakatan.

b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh

individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi

struktur sosial masyarakat.

Adapun fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role-facilities).

Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk dpat

menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan bagian

masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan

peranan. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan

menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Misalnya, perubahan organisasi suau

sekolah yang memerlukan penambahan guru, pegawai administrasi, dan

seterusnya. Akan tetapi juga dapat mengurangi peluang-peluang apabila terpaksa

diadakan rasionalisasi sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.

Sejalan dengan adanya status-conflict, juga ada conflict of role. Bahkan

kadang-kadang suatu pemisahan antara individu dengan peranannya yang

sesungguhnya harus dilaksanakannya. Hal ini dinamakan role-distance.

Gejala tadi timbul apabila individu merasakan dirinya tertekan karena dia merasa

dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan yang diberikan oleh masyarakat

kepadanya. Dengan demikian dia tidak melaksanakan peranannya

dengan
sempurna atau bahkan menyembunyikan dirinya, apabila dia berada dalam

lingkaran sosial yang berbeda. Setiap peranan bertujuan agar antara individu

yang melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang di sekitarnya yang

tersangkut atau ada hubungannya dengan peranan tersebut terdapat hubungan

yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.

Apabila tidak dapat terpenuhi oleh individu maka terjadilah role-distance.

Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada

individu- individu dalam masyarakat penting bagi hal-hal sebagai berikut:

1. Peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur

masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.

2. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang

oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakannya. Mereka harus

terlebih dahulu berlatih dan mempunyai hasrat untuk melaksanakannya.

3. Dalam masyarakat kadangkala dijumpai individu-individu yang

tidak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh

masyarakat karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan

arti kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu banyak.

4. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan

peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-

peluang yang seimbang. Bahkan sering kali terlihat betapa

masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang

tersebut (http://www.scribd.co m/doc/13055094/Makalah-Sosio logi-Peran-

Norma- Status).
Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan).

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status

yang dimilikinya, maka ia telah menjalankan peranannya.

Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang

memiliki kedudukan atau status. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat

dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi

tanpa peranan. Peranan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang,

karena dengan peranan yang dimilikinya ia akan dapat mengatur perilaku dirinya

dan orang lain. Seseorang dapat memainkan beberapa peranan sekaligus pada saat

yang sama, seperti seorang wanita dapat mempunyai peranan sebagai isteri, ibu,

karyawan kantor sekaligus.

Peranan seseorang tidak hanya menentukan perilaku tetapi juga beliefs

(keyakinan) dan sikap. Individu memiliki sikap yang selaras dengan

harapan- harapan yang menentukan peranan mereka sehingga perubahan peranan

akan membawa pada perubahan sikap. Pada umumnya peranan yang dilakukan

seseorang tidak hanya menyalurkan perilakunya tetapi juga membentuk

sikapnya. Peranan juga dapat mempengaruhi nilai-nilai (values) yang dipegang

orang dan mempengaruhi arah dari pertumbuhan dan perkembangan

kepribadian mereka (Dayakisni, 2003: 18).

Di Indonesia terdapat kecendrungan untuk lebih mementingkan

kedudukan ketimbang peranan. Gejala tersebut terutama disebabkan adanya

kecendurngan kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada

spiritualisme. Nilai materialisme di dalam kebanyakan hal diukur dengan

adanya atribut-atribut atau


ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam kebanyakan hal bersifat

konsumtif. Tinggi rendahnya prestise seseorang diukur dari atribut-atribut

lahiriah tersebut, misalnya, gelar, tempat kediaman mewah, kendaraan, pakaian,

dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memang diperlukan tetapi bukanlah yang

terpenting di dalam pergaulan hidup manusia. Memang perlu diakui bahwa di

Indonesia peranan juga mendapatkan penghargaan tertentu tetapi belum

proporsional sifatnya, padahal menjalankan peranan berarti melaksanakan hak

dan kewajiban serta tanggung jawab. Apabila seseorang pegawai negri, misalnya,

lebih mementingkan kedudukan daripada peranannya, dia akan menuntut warga

masyarakat untuk lebih banyak melayaninya (padahal peranan seorang pegawai

negri adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakat). Faktor

inilah yang antara lain mengakibatkan terjadinya halangan-halangan di dalam

menerapkan birokrasi yang positif.

Peranan juga bisa menimbulkan konflik peranan apabila seseorang harus

memilih peranan dari dua atau lebih status yang dimilikinya. Pada

umumnya konflik peranan timbul ketika seseorang dalam keadaan tertekan,

karena merasa dirinya tidak sesuai atau kurang mampu melaksakan peranan yang

diberikan masyarakat kepadanya. Akibatnya, ia tidak melaksanakan peranannya

dengan ideal/sempurna.

Ada banyak peluang masalah sehubungan dengan peranan di tengah

masyarakat. Pertama-tama mungkin saja terjadi kesalahpahaman di antara

masing- masing anggota masyarakat. Sumber permasalahan lainnya adalah kita

umumnya memiliki banyak peranan dalam hidup ini, dan hal ini dapat

menimbulkan konflik.
Bahkan dalam satu peran sendiri pun mungkin terkandung pula banyak

peranan, tergantung pada situasinya (Boeree, 2006: 148).

2.2 Keberfungsian Sosial.

Pengertian fungsi sosial (social functioning) mengarah kepada cara yang

dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan,

memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu,

pembahasan tentang fungsi sosial tidak lepas dari pembahasan peranan sosial

(social role) dan status sosial (social status) orang tersebut di lingkungannya atau

masyarakat.

Status sosial seseorang mencerminkan hak dan kewajiban yang

ditampilkan oleh orang tersebut. Hak dan kewajiban tersebut merupakan

cerminan dari norma dan nilai yang ada di lingkungan atau masyarakat yang

diberikan kepada seseorang sesuai dengan status sosialnya. Oleh sebab itu,

seseorang dituntut dan diminta oleh lingkungannya hak dan kewajibannya.

Pelaksanaan hak dan kewajiban itulah yang dijadikan standar atau ukuran

untuk menentukan apakah seseorang dapat berfungsi sosial atau tidak.

Pernyataan tersebut mengacu kepada jika seseorang dapat menampilkan peran

(hak dan kewajibannya) sesuai dengan status sosialnya, maka orang tersebut

dikatakan dapat berfungsi sosial. Sebaliknya jika tidak mampu melaksanakan

peranan dan status sosialnya, maka orang tersebut dinyatakan tidak berfungsi

sosial. Berdasarkan uraian tersebut, maka keberfungsian sosial merupakan

perbandingan antara peranan sosial yang diharapkan oleh lingkungan sesuai

dengan status sosialnya dengan peranan sosial yang nyata dilaksanakan oleh

orang tersebut. Jika orang tersebut dapat memenuhi


harapan lingkungan atau masyarakat maka dikatakan dapat berfungsi sosial.

Sebaliknya jika tidak mampu memenuhi harapan lingkungan atau

masyarakat, maka orang tersebut dinyatakan tidak atau kurang berfungsi

sosial (Sukonco,

1991: 33-34).

Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi,


yaitu:

1. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan

melaksanakan peranan sosial.

Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan atau

pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.

2. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan

Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu,

keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh

individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

3. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk

memecahkan permasalahan sosial yang dialami

Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melakukan tugas-tugas

kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan

kepada keterbatasan, hambatan, dan kesulitan serta permasalahan

yang harus ditangani dan dipecahkan.

Uraian di atas menggambarkan bahwa setiap orang selalu

dihadapkan kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang di dalam

mengatasi dan
memecahkan permasalahan yang dialami menunjukkan kemampuannya

dalam melaksanakan keberfungsian sosial.

Fungsi sosial memberikan pemahaman tentang bagaimana seseorang bisa

bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain didalam masyarakat.

Seseorang telah dikenalkan dengan kedudukan dan status didalam masyarakat.

Dengan demikian, seseorang secara tidak langsung telah belajar dengan orang

lain didalam masyarakat, sehingga mereka bisa membedakan sikap dan cara

bicaranya saat ber- interaksi dengan masyarakat.

Fungsi Sosial adalah proses sosialisasi yang telah memungkinkan

seseorang tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang dapat

menjalankan:

1. Berbagai peranan sosialnya sesuai dengan kedudukan sosial

yang dicapainya dalam bermacam lingkungan sosial di mana dia menjadi

warganya;

2. Kemampuan menjalankan multi status dan multi peranan tersebut

dibentuk melalui proses pembelajaran di lingkungan budaya di mana

nilai-nilai dan norma-norma sosial berlaku di lingkungan tersebut

(http://pakdesofa.blogspot.com/Pengert ian,Ruang,Lingkup,danStudi/Inter

v ensi/Sosial/CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm).

Fungsi sosial adalah kemampuan untuk menjalankan multi peranan dalam

bermacam kedudukan sosial, sesuai dengan tuntutan lingkungannya,

menunjukkan keberfungsian sosial manusia. Di samping itu keberfungsian

sosial
juga mencakup pemenuhan kebutuhan dasar dirinya dan orang-orang

yang menjadi tanggungannya.

2.3 Penyandang Cacat.

Pengertian penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu

kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut

memiliki nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh

seseorang seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada di

sekelilingnya, baik sesaat maupun berkelanjutan (Efendi, 2006: 2).

Dalam kamus popular pekerjaan sosial yang dimaksud dengan cacat

adalah suatu keadaan tidak lengkap (Marpaung, 1988:105). Tidak semua orang

dapat menatap masa depan yang cerah. Ada beberapa orang yang kurang

beruntung, dimana pertumbuhan dan perkembangannya terhalang oleh

karena cacat yang dimilikinya. Namun demikian tidak berarti bahwa

kecacatan merupakan penghalang untuk melaksanakan fungsi sosialnya ditengah-

tengah masyarakat.

Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau

gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga

diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Masalah kecacatan

juga akan semakin berat, bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial

lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi seperti ini

menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi

sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.


Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, penyandang cacat dapat

dikelompokkan ke dalam, yaitu:

1. Kelainan Fisik.

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih

organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi

fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak

berfungsinya anggota fisik terjadi pada: (a) alat fisik indra, misalnya kelainan

pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra),

dan lain- lain; (b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang

(poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada

fungsi motorik (cerebral palsy), dan lain-lain.

2. Kelainan Mental.

Aspek mental adalah orang yang memiliki penyimpangan

kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya.

Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan

dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan dalam arti kurang (subnormal).

3. Kelainan Perilaku Sosial.

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami

kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial,

dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan

perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan

lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan.


Ketiga kelainan tersebut akan membawa konsekuensi tersendiri bagi

penyandangnya, baik secara keseluruhan atau sebagian, baik yang bersifat

objektif maupun subjektif. Kondisi kelainan yang disandang seseorang akan

memberikan dampak kurang menguntungkan pada kondisi psikologis maupun

psikososialnya. Pada gilirannya kondisi tersebut dapat menjadi hambatan yang

berarti bagi penyandang kelainan dalam meniti tugas perkembangannya (

Cacat tubuh secara fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan yang rusak

atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot,

dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh

penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.

Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat

kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot,

sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan

dan untuk berdiri sendiri.

Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau komunikasi yang

merupakan keturunan, meliputi;

a. Club-foot (kaki seperti tongkat).

b. Club-hand (tangan seperti tongkat).

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-

masing tangan atau kaki).


d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel

satu dengan yang lainnya).

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke

muka).

f. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).

g. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).

2. Kerusakan pada waktu kelahiran:

a. Erbs palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau

tertarik waktu kelahiran).

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).

3. Infeksi:

a. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga

menjadi kaku).

b. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum

tulang karena bakteri)

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin

menyebabkan kelumpuhan).

d. Potts disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang)

e. Stills disease (radang pada tulang yang

menyebabkan kerusakan permanen pada tulang).

4. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik.

a. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan)

b. Kecelakaan akibat luka bakar.


c. Patah tulang.

5. Tumor:

a. Oxostosis (tumor tulang).

b. Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi

cairan di dalam tulang).

6. Kondisi-kondisi lainnya:

a. Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak bertekuk).

b. Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang

yang cekung).

c. Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).

d. Perthes disease (sendi paha yang rusak atau

mengalami

kelainan).

e. Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi,

menyebabkan kerusakan tulang dan sendi).

Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:

a. Faktor keturunan.

b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan.

c. Usia ibu yang sudah lanjut usia.

d. Pendarahan pada waktu kehamilan.

e. Keguguran yang dialami ibu.


2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

a. Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang,

tabung, vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar.

b. Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran.

3. Sebab-sebab sesusah kelahiran:

a. Infeksi.

b. Trauma.

c. Tumor.

d. Kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2006: 123).

Meskipun kebanyakan penyandang cacat jelas memperlihatkan gangguan

psikologi yang karena cacat tubuhnya namun seberapa jauh daya rusaknya

berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan amat bergantung pada

beberapa faktor, lima di antaranya tergolong paling sering terjadi

1. Parahnya cacat tubuh akan mempengaruhi seseorang dalam

memandang cacatnya itu. Semakin besar kemungkinannya cacat

tubuhnya dapat ditutupi maka orang tersebut merasa cukup aman dari

pandangan orang lain, dan pengaruh psikologinya tidak begitu kentara.

2. Saat terjadi cacat tubuh maka akan mempengaruhi seseorang dalam

membangun penyesuaian diri terhadap hal itu. Apabila cacat itu

terjadi pada masa bayi atau setelah kelahiran maka penyesuaian

dirinya akan lebih baik dibandingkan dengan bila cacat itu terjadi saat

usia yang cukup besar.


3. Seberapa jauh cacat seseorang sehingga mempengaruhi keseluruhan

gerak- geriknya sangat mempengaruhi sikap orang tersebut. Misalnya

orang yang buta atau lumpuh, jelas akan lebih terbatas gerakannya

dibandingkan dengan anak yang tuli.

4. Apabila orang yang melihatnya tidak mampu menyembunyikan rasa

belas kasihannya, maka dalam diri penyandang cacat akan timbul

perasaan mengasihani diri sendiri.

5. Sikap penyandang cacat terhadap cacatnya juga akan menimbulkan

akibat pada cacatnya itu. Misalnya ada beberapa penyandang cacat yang

dapat menerima bahwa dirinya cacat dan ada juga yang tetap berusaha

meyakinkan dirinya tidak berbeda dari orang yang normal (Hurlock,

1993:

135).

2.4 Kelompok Usaha Bersama

Berdasarkan Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Usaha

bersama (KUBE) Departemen Sosial Republik Indonesia memberi pengertian

KUBE adalah:

1. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau

keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan

sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan PROKESOS (program

kesejahteraan sosial) untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial

dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana

untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.


2. KUBE merupakan metode pendekatan yang terintegrasi dan

keseluruhan proses PROKESOS dalam rangka MPMK (memajukan

permasalahan kemiskinan).

3. KUBE tidak dimaksudkan untuk menggantikan keseluruhan prosedur

baku PROKESOS kecuali untuk Program Bantuan Kesejahteraan Sosial

Fakir Miskin yang mencakup keseluruhan proses. Pembentukan KUBE

dimulai dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil

bimbingan sosial, pelatihan ketrampilan berusaha, bantuan stimulans dan

pendampingan.

4. Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yaitu wadah yang menghimpun

dan mengelola keluarga binaan sosial yang telah mendapatkan bantuan

sarana usaha dari pemerintah sebagai usaha untuk meningkatkan

kesejahteraan atau kehidupannya.

Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan

kemiskinan termasuk juga bagi penyandang cacat, melalui: Peningkatan

kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok,

Peningkatan pendapatan, Pengembangan usaha, dan Peningkatan kepedulian dan

kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat

sekitar.

Proses pembentukan KUBE ditumbuhkembangkan melalui Program

Bantuan Kesejahteraan Fakir Miskin. langkah/kegiatan pokok pembentukan

KUBE untuk sasaran PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial) lainnya

adalah:
1. Pelatihan keterampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan

keterampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan

pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari

pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk

mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi

kehidupannya

2. Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang

disesuaikan dengan keterampilan PMKS dan kondisi setempat.

Bantuan ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi

diharapkan bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan

menggulirkan kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu

3. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan

berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan

kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional

pendampingan dilaksanakan oleh PSK yang dibantu oleh infrastruktur

kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial

Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (ORSOS) dan Panitia Pemimpin

Usaha Kesejahteraan Sosial (WPUKS).

Program KUBE bukan program perberdayaan yang bersifat individual

tetapi merupakan program kelompok karena program kelompok punya banyak

kelebihan. KUBE dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan

yang melekat pada perorangan Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial
(PMKS) termasuk keluarga miskin dan penyandang cacat. Penanganan

secara kelompok ditujukan untuk menumbuhkembangkan semangat kebersamaan

dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial.

Program Kesejahteraan Sosial (PROKESOS) bertujuan untuk

meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan PMKS agar dapat

menikmati kehidupan secara layak dan berperan dalam pembangunan serta

memantapkan peran dan kontribusi PROKESOS melalui KUBE dalam rangka

upaya menghapus kemiskinan dan penyandang cacat.

KUBE paling tidak ada dua unsur yang selalu ditekankan yaitu: Pertama

keuntungan ekonomis dan kedua keuntungan sosial. Unsur pertama lebih

menekankan pada keuntungan ekonomis dari perguliran hasil usaha yang

diterima melalui paket bantuan usaha ekonomis produktif (USEP) sedangkan

unsur kedua lebih menekankan pada terjadinya interaksi sosial, kesetiakawanan

sosial, kohesi sosial dan adhesi sosial antar anggota kelompok KUBE

maupun dalam lingkungan sosialnya. Keuntungan ekonomis dengan mudah

dapat dihitung tetapi keuntungan sosial memerlukan proses waktu untuk melihat

keberhasilannya.

KUBE terus diberdayakan secara berkelanjutan. Asumsinya adalah: jika

KUBE telah berhasil dari sisi ekonomi dan sosial, diharapkan KUBE tersebut

berkembang menjadi sebuah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang

menjangkau pelayanan kepada penyandang miskin lainnya untuk berkembang.

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan salah satu pendekatan

yang digunakan Program Kesejahteraan Sosial (PROKESOS) dalam

memberdayakan perubahan. Perubahan pada pengetahuan, keterampilan,

sikap
dan tingkah laku secara bersamaan dan berkesinambungan. Pemberdayaan

terhadap penyandang cacat mengandung makna pengakuan terhadap potensi,

pemberian kepercayaan, mendorong kemandirian dan peningkatan

kemampuan untuk memecahkan masalah. KUBE dibentuk dengan harapan agar

para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terdapat di

Indonesia dapat tereliminir sedikit demi sedikit. KUBE merupakan metode

pendekatan yang terintegrasi dari keseluruhan proses PROKESOS dalam rangka

MPMK (Memajukan Permasalahan Kemiskinan). KUBE tidak dimaksudkan

untuk menggantikan keseluruhan prosedur baku PROKESOS, kecuali untuk

Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang mencakup

keseluruhan proses.

Pembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok

sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan keterampilan berusaha,

bantuan stimulans dan pendampingan. Sebagai salah satu program untuk

memberdayakan dan mendorong masyarakat untuk mandiri. Program Kelompok

Usaha Bersama (KUBE) yang ada selama ini dapat berkembang menjadi usaha

ekonomi produktif yang dapat memberikan profit sehingga KUBE tersebut tidak

saja memberikan manfaat bagi anggotanya saja, tetapi juga dapat memberikan

manfaat bagi warga masyarakat lainnya. Untuk dapat berkembang menjadi usaha

ekonomi produktif yang menguntungkan, KUBE sangat tergantung dengan

manajemennya. Dengan pengelolaan secara bersama-sama bukan tidak mungkin

KUBE akan berkembang menjadi sebuah bidang usaha yang menguntungkan.

Oleh karena KUBE merupakan wadah yang dibentuk dari oleh dan untuk

keluarga binaan sosial


sendiri, maka kepengurusannya juga dikerjakan oleh para anggotanya

sendiri sekaligus melaksanakannya.

Dalam pembentukan KUBE ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu:

1. Lokasi tempat tinggal penyandang cacat berdekatan sehingga

memungkinkan mereka melakukan kegiatan secara teratur.

2. Adanya kesamaan jenis usaha ekonomis produktif.

3. Kemudahan dalam memperoleh bahan baku.

4. Kemudahan dalam pemasaran.

5. Kemudahan dalam pembinaan.

6. Pengelolaan jenis usaha.

7. KUBE dikelola oleh anggota kelompok sendiri dibawah

bimbingan seorang pembina atau pendamping. Pelaksanaan KUBE harus

melibatkan semua anggota kelompok.

8. Pembina atau pendamping bersama-sama anggota kelompok berusaha

agar KUBE tersebut dapat lebih ditingkatkan dan dikembangkan pada

waktu mendatang.

9. Aparat Desa atau Kecamatan agar memberikan petunjuk, bimbingan

dan mengikuti pelaksanaan KUBE serta membantu memecahkan

kesulitan yang dihadapi anggota KUBE dimasyarakat.

10. Perlu dibuat aturan main dalam kelompok yang mengatur tentang hak

dan kewajiban serta sanksi bagi anggota kelompok


Dalam pengembangan KUBE agar dapat maju dan berkembang

dengan baik, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Penentuan nasib sendiri. Setiap anggota KUBE sebagai manusia yang

memiliki harkat dan martabat, mempunyai hak untuk menentukan dirinya

sendiri.

2. Kekeluargaan. Pengembangan KUBE perlu dibangun atas dasar

kekeluargaan sehingga dapat menumbuhkan semangat dan sikap

dalam mewujudkan keberhasilan KUBE.

3. Kegotong-royongan. Pengembangan KUBE menuntut perlu

adanya semangat kebersamaan diantara anggota KUBE.

4. Pengembangan potensi anggota. Pengelolaan dan pengembangan KUBE

didasarkan pada kemampuan dan potensi anggota KUBE.

5. Pemanfaatan sumber-sumber setempat. Pengembangan usaha ekonomi

produktif yang dilaksanakan harus didasarkan pada ketersediaan sumber-

sumber yang ada di lingkungannya.

6. Kegiatan berkelanjutan. Pengelolaan KUBE harus diwujudkan dalam

program-program yang berkelanjutan.

7. Usaha yang berorientasi pasar. Pengembangan KUBE diarahkan pada

jenis usaha yang memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan

kebutuhan pasar.
2.5 Kerangka Pemikiran

Selama hidup manusia tidak pernah statis, sejak lahir sampai meninggal

manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan yang dialami manusia

merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi, karena itu

perubahan ini tergantung pada hal-hal yang alami sebelumnya dan

mempengaruhi hal-hal yang terjadi sesudahnya. Setiap manusia pasti

menginginkan hidup normal tanpa ada kekurangan suatu apapun didalam

dirinya baik secara fisik, mental maupun perilaku sosial, tak terkecuali pada

orang cacat.

Penyandang cacat memiliki keterbatasan didalam menyesuaikan

dirinya dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti: kelainan fisik,

kelainan mental, dan kelainan perilaku sosial.

Setiap manusia pasti juga berpendapat bahwa memiliki kaki dan tangan

merupakan organ tubuh yang memiliki peranan sangat penting untuk

mobilitas. Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan kedua jenis organ tubuh

tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk

bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik yang dilakukan secara parsial

maupun integral bersama organ sensoris pendukung lainnya. Seseorang yang

memiliki cacat tubuh disebut dengan istilah tunadaksa.

Masalah penyandang cacat terkhusus bagi penyandang cacat tubuh

(tunadaksa) merupakan masalah yang harus ditangani secara serius baik oleh

pemerintah maupun masyarakat. Namun demikian, bahwa saat ini taraf

kesejahteraan penyandang cacat masih belum maksimal. Pemenuhan

taraf
kesejateraan sosial perlu terus diupayakan mengingat rakyat Indonesia

masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.

Untuk mengatasi permasalahan penyandang cacat terkhusus tunadaksa

didalam meningkatkan kemandirian mereka, maka dibutuhkan peranan dari

pemerintah untuk meningkatkan kemampuan berusaha, meningkatkan

pendapatan, pengembangan usaha, dan peningkatan kepedulian dan

kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE. Maka pemerintah Medan

membentuk program kelompok usaha bersama bagi penyandang cacat di bawah

naungan Dinas Sosial Medan sebagai wadah pelatihan, pemberian bantuan, dan

pendampingan. Diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang

cacat terkhusus di PC Lanita.


Gambar I

Bagan Alir Pikiran

Keterbatasan
Penyandang cacat
1. Fisik
2. Mental
3. Perilaku Sosial

Program KUBE Lanita:


1. Pembinaan
2. Keterampilan
terkhusus
menjahit

Fungsi
Sosial
2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.6.1 Definisi Konsep

Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas

dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik. kejadian, keadaan kelompok atau

individu tertentu (Singarimbun, 1989:32). Dalam hal ini konsep penelitian

bertujuan untuk merumuskan dan mendefinisikan istilah-istilah yang digunakan

secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan menghindari salah

pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian ini.

1 Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila

seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,

dia menjalankan suatu peranan.

2 Fungsi sosial (social functioning) mengarah kepada cara yang

dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan,

memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya.

3 Penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu kondisi

yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut

memiliki nilai lebih atau kurang.

4 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau

keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan

sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan program kesejahteraan

sosial (PROKESOS) untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial

dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk

meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.


2.6.2 Definisi Operasional

Operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan

bagaimana cara mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989:33). Bertujuan

untuk memudahkan penelitian dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka

perlu operasionalisasi dari konsep-konsep yan digunakan untuk bertujuan

menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dengan kata-kata yang

dapat diuji dan diketahui kebenarannya oleh orang lain. Untuk mengetahui

variabel dalam penelitian ini, yaitu dengan melihat berbagai indikator yang akan

diteliti sebagai berikut:

1. Pembinaan yang diberikan:

a. Sharing (berbagi)

b. Keterampilan menjahit

2. Keberfungsian Sosial:

a. Berfungsi sosial

b. Tidak berfungsi sosial

Anda mungkin juga menyukai