KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Abses Leher Dalam. Laporan kasus ini
penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik Stase
Pediatri di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas selesainya laporan kasus
ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr.
Dian Nurul, Sp. THT yang telah memberikan persetujuan dan pembimbingan. Semoga
laporan kasus ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.
Penulis
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 50 tahun
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
b. Keluhan Tambahan
Gigi terasa sakit, sulit membuka mulut, sulit makan dan minum
Leher terasa bengkak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan terjadi pada leher
kanan, secara perlahan, semakin memberat, dan menetap. Keluhan disertai sulit gigi
terasa sakit, sulit membuka mulut, serta sulit makan dan minum. Keluhan lain
seperti mual, muntah, banyak ludah, demam disangkal. Keluhan pada tenggorok
seperti terasa nyeri pada tenggorok, nyeri menelan, suara gumam atau suara serak,
batuk, terasa dahak yang tertelan, napas berbau, mendengkur saat tidur disangkal.
Keluhan pada telinga seperti pendengaran terasa terganggu, tertutup, berdenging,
berdenyut, gatal, atau nyeri disangkal. Keluhan pada hidung seperti hidung terasa
tersumbat, nyeri, gatal, bersin, keluar ingus, atau tidak bisa mencium disangkal.
f. Riwayat Pengobatan
g. Riwayat Alergi
h. Riwayat Psikososial
Tampak tenang. Nafsu makan turun, karena keluhan disertai dengan sulit membuka
Nadi : 88x/menit
Nafas : 20x/menit
d. Antropometri
BB : 68 kg
PB/TB : 168 cm
e. Status Generalis
Paru
Jantung
Abdomen
Inspeksi : Permukaan rata
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Akral : Hangat
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Genitalia : Laki-laki
Kanalis
Tenang, Hiperemis(-), udem(-), Tenang, Hiperemis(-), udem(-),
sekret(-), darah(-), serumen (+) sekret(-), darah(-), serumen (+)
sedikit konsistensi lunak, jar. akustikus sedikit konsistensi lunak, jar.
Granulasi(-), massa(-), korpus eksterna Granulasi(-), massa(-), korpus
alineum(-) alineum(-)
Rhinoskopi anterior
Rhinoskopi posterior
Sinus paranasal
Nyeri tekan kedua pipi (-), atas Palpasi Nyeri tekan kedua pipi (-), atas
orbita, (-), medius kontur (-) orbita, (-), medius kontur (-)
Pemeriksaan orofaring
Tonsil
TI Besar TI
Faring
Laringoskopi indirect
laterosuperior
Positif
IV. Troklearis
Positif Positif
Gerakan bola mata ke
lateroinferior
V. Trigeminal
Tes sensoris
Sulit dinilai
Sulit dinilai Cabang oftalmikus (V1)
Sulit dinilai Cabang maksila (V2) Sulit dinilai
Sulit dinilai Cabang mandibula (V3)
Sulit dinilai
VI. Abdusen
Positif Positif
Gerakan bola mata ke lateral
VII. Fasial
Positif Mengangkat alis Positif
Positif Kerutan dahi
Positif
Positif
Menunjukkan gigi
Sulit dinilai Positif
Daya kecap lidah 2/3 anterior Sulit dinilai
V. RESUME
Laki, laki, 50 tahun, datang dengan keluhan leher kanan terasa bengkak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan disertai gigi terasa sakit, sulit membuka mulut, serta sulit
makan dan minum. Memiliki riwayat penyakit kencing manis.
Pada pemeriksaan fisik, leher kanan teraba bengkak, fluktuasi (+), nyeri tekan (+), angulus
mandibular tidak teraba.
VI. DIAGNOSIS
VIII. PENATALAKSANAAN
Klindamisin 150-300 mg, 4 kali/hari
Ceftriaxon 0,5-1 g, 2 kali/hari
Evakuasi abses
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI FARING
Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi.
3. Otot
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus,
m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1 M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
2 M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
3 M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4 M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5 M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
6
Gambar 2. Rongga mulut.
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glososfaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening dalam bawah.
Pembagian faring
1 Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan
muara tuba Eustachius.
2 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.
Tonsil
Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan
tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
farings sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah
dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring
asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus
dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3 Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil (pills pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis
ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring
superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung.
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid
dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini
mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes. Namun ada
pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula, dan
membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.15
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1 abses peritonsil
2 abses retrofaring
3 abses parafaring
4 abses submandibula
5 angina Ludovici (Ludwigs Angina)
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa: abses peritonsil, abses retrofiring, abses
parafaring, abses submandibular, angina Ludovici (Ludwigs Angina).
a. Definisi
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar
kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil. Batas anatomi peritonsil: Medial (kapsul tonsil),
Lateral (m.konstriktor faring), Anterior (pilar anterior; m.palatoglosus), Posterior
(pilar posterior; m.palatofaringeal).
b. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
d. Pemeriksaan
e. Terapi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah didaerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
f. Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.
ABSES RETROFARING
a. Definisi
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi pada anak-
anak berumur dibawah 5 tahun. Abses retrofaring merupakan abses yang terbentuk di
rongga retrofaring yaitu rongga yang terletak persis di belakang faring, mulai dari
basis cranii hingga sepanjang faring. Rongga ini sebenarnya terdiri dari dua sisi yaitu
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh raphe, tempat melekatnya otot konstriktor
superior faring. Abses pada rongga retrofaringeal sering terjadi pada anak-anak karena
adanya kelenjar limfe yang akan mengalami atrofi pada saat anak berumur 5 tahun,
sehingga setelah kelenjar limfe tersebut mengalami atrofi, penyebaran infeksi ke
ruang retrofaringeal ini akan berkurang insidensinya.
Sebelah anterior dari rongga retrofaring dibatasi oleh fasia buccopharyngeal, yaitu
fascia yang membungkus faring, trakea, esofagus, dan tiroid. Sebelah posterior rongga
ini dibatasi oleh fascia alaris yang membatasi rongga ini dari danger space. Sebelah
lateral dibatasi oleh rongga parafaring dan selubung arteri carotis. Superior dibatasi
oleh basis cranii, dan inferior dibatasi oleh mediastinum pada tingkat bifurkasi trakea.
b. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin).
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai
laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak
benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
e. Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob. Penisilin 600.000-1.200.000 unit/hari, atau Ampisilin 3-4 x 1-2g/hari, atau
Gentamisin 2 x 40-80 mg/hari dapat diberikan sebagai alternatif. Bila tidak ada
perbaikan dalam 2-3 hari, antibiotik diganti dengan sefalosforin 1-2 x1-2g/hari,
Metronidazol 3 x 250-500 mg/hari
Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam
posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi
aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
f. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat
menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.
ABSES PARAFARING
a. Definisi
b. Etiologi
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.
e. Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi klindamisin 150-300 mg tiap 6 jam,
dosis maksimal 300-450 mg tiap 6 jam, kombinasi dengan ceftriaxon 1-2 g/hr, dosis
maksimal 4 gr/hr dalam 2 dosis terbagi secara parenteral terhadap kuman aerob dan
anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui
insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah
atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai
ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
f. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.
ABSES SUBMANDIBULA
a. Definisi
b. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
d. Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula tdaik dapat diraba.
Pada aspirasi didapatkan pus
e. Terapi
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. klindamisin 150-300 mg tiap 6 jam, dosis maksimal 300-450 mg tiap 6
jam, kombinasi dengan ceftriaxon 1-2 g/hr, dosis maksimal 4 gr/hr dalam 2 dosis
terbagi. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda
infeksi reda.
f. Komplikasi
Komplikasi pada infeksi ruang submandibula yang tersering adalah sumbatan jalan
nafas, yang dapat berujung pada asfiksia. Dapat juga terjadi sepsis, adanya perluasan
infeksi ke mediastinum berupa mediastinitis, yang dapat berlanjut menjadi
pneumothoraks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya pneumonia.
a. Definisi
Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang
potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan
ototmilohioideus.
b. Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala
dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi.
e. Terapi
Sebagai terapi diberikan antibiotik dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang
dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada
angin ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horizontal setinggi os hioid (3-4 jari dibawah mandibula). Perlu
dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
f. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Fachruddin Darnila.2007.abses leher dalam dalam buku telinga hidung tenggorokan kepala
dan leher jilid 6. jakarta : FKUI