Anda di halaman 1dari 37

STASE ILMU THT

LAPORAN KASUS ABSES LEHER DALAM

Nama : Shabrina Sasianti


NIM : 2011730098
Pembimbing : Dr. Dian Nurul, Sp. THT
Rumah Sakit : RSIJ Pondok Kopi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Abses Leher Dalam. Laporan kasus ini
penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik Stase
Pediatri di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas selesainya laporan kasus
ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr.
Dian Nurul, Sp. THT yang telah memberikan persetujuan dan pembimbingan. Semoga
laporan kasus ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.

Jakarta, Januari 2016

Penulis

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 50 tahun

Tanggal Masuk RS : 11 Januari 2016

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama

Leher terasa bengkak

b. Keluhan Tambahan

Gigi terasa sakit, sulit membuka mulut, sulit makan dan minum

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Leher terasa bengkak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan terjadi pada leher
kanan, secara perlahan, semakin memberat, dan menetap. Keluhan disertai sulit gigi
terasa sakit, sulit membuka mulut, serta sulit makan dan minum. Keluhan lain
seperti mual, muntah, banyak ludah, demam disangkal. Keluhan pada tenggorok
seperti terasa nyeri pada tenggorok, nyeri menelan, suara gumam atau suara serak,
batuk, terasa dahak yang tertelan, napas berbau, mendengkur saat tidur disangkal.
Keluhan pada telinga seperti pendengaran terasa terganggu, tertutup, berdenging,
berdenyut, gatal, atau nyeri disangkal. Keluhan pada hidung seperti hidung terasa
tersumbat, nyeri, gatal, bersin, keluar ingus, atau tidak bisa mencium disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Ada riwayat penyakit kencing manis.
Tidak ada riwayat penyakit asma, tekanan darah tinggi.
Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan serupa

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit kencing manis, asma, tekanan darah tinggi.
Di keluarga tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan serupa

f. Riwayat Pengobatan

Belum diobati. Tidak sedang menjalani pengobatan suatu penyakit.

g. Riwayat Alergi

Tidak ada alergi obat, debu, cuaca atau makanan.

h. Riwayat Psikososial
Tampak tenang. Nafsu makan turun, karena keluhan disertai dengan sulit membuka

mulut, serta sulit makan dan minum.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum : Sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda Vital
Suhu : 36,8C

Nadi : 88x/menit

Nafas : 20x/menit

Tekanan darah : 110/70 mmHg

d. Antropometri
BB : 68 kg

PB/TB : 168 cm

e. Status Generalis

Kepala : Normochepal, rambut hitam lurus, tidak mudah rontok

Wajah : Simetris, edema (-), luka (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


edema palpebra (-/-)

Hidung : (Lihat status lokalis)

Telinga : (Lihat status lokalis)

Mulut : (Lihat status lokalis)

Leher : (Lihat status lokalis)

Tenggorok : (Lihat status lokalis)

Paru

Inspeksi : Simetris (+/+), retraksi (-/-)

Palpasi : Vocal fremitus (+/+)

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : BJ 1 & 2 reg murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Permukaan rata

Auskultasi : BU (+) Normal, 7x/menit

Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-),


turgor baik, hepatosplenomegaly (-),

Perkusi : Timpani

Ekstremitas

Akral : Hangat

Edema : -/-

Sianosis : -/-

RCT : <2 detik

Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan

Genitalia : Laki-laki

IV. STATUS LOKALIS THT

DEXTRA TELINGA SINISTRA

Normotia, helix sign (-), Normotia, helix sign (-),


Aurikula
tragus sign (-) tragus sign (-)

Tenang, Hiperemis(-), udem(-), Tenang, Hiperemis(-), udem(-),


nyeri tekan(-), fistula(-), Preaurikula nyeri tekan(-), fistula(-),
Preaurikula appendege (-) Preaurikula appendege (-)

Tenang, Hiperemis(-), udem(-), Retroaurikula Tenang, Hiperemis(-), udem(-),


nyeri tekan(-), fistula(-) nyeri tekan(-), fistula(-)

Kanalis
Tenang, Hiperemis(-), udem(-), Tenang, Hiperemis(-), udem(-),
sekret(-), darah(-), serumen (+) sekret(-), darah(-), serumen (+)
sedikit konsistensi lunak, jar. akustikus sedikit konsistensi lunak, jar.
Granulasi(-), massa(-), korpus eksterna Granulasi(-), massa(-), korpus
alineum(-) alineum(-)

Tenang, reflek cahaya(+), Tenang, reflek cahaya(+),


retraksi(-), bulging(-), Membran retraksi(-), bulging(-),
perforasi(-), sekret(-), timpani perforasi(-), sekret(-),
pulsasi(-), sikatrik(-) pulsasi(-), sikatrik(-)

Positif Uji Rinne Positif

Lateralisasi(-) Uji Weber Lateralisasi(-)

Normal Uji Schwabach Normal

Kesan pendengaran: normal (tidak ada tuli konduktif atau sensorineural).

DEXTRA HIDUNG SINISTRA

Rhinoskopi anterior

Tenang Mukosa Tenang

Negatif Sekret Negatif

Negatif Darah Negatif

Eutrofi Konka inferior Eutrofi

Deviasi (-) Septum Deviasi (-)


Negatif Massa Negatif

Positif Passase udara Positif

Rhinoskopi posterior

Tidak dilakukan Konka superior Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Torus tubarius Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Plika Tidak dilakukan


salfingofaringeal

Sinus paranasal

Pembengkakan pada wajah (-), Inspeksi Pembengkakan pada wajah (-),


bagian bawah mata (-), daerah bagian bawah mata (-), daerah
diatas mata (-) diatas mata (-)

Nyeri tekan kedua pipi (-), atas Palpasi Nyeri tekan kedua pipi (-), atas
orbita, (-), medius kontur (-) orbita, (-), medius kontur (-)

Tidak dilakukan Tes penciuman Tidak dilakukan

DEXTRA TENGGOROK SINISTRA

Pemeriksaan orofaring

Tenang Mukosa mulut Tenang

Bersih, basah Lidah Bersih, basah

Tenang Palatum molle Tenang


Karies (-) Gigi geligi Karies (-)

Simetris Uvula Simetris

Tonsil

Tenang Mukosa Tenang

TI Besar TI

Melebar(-) Kripta Melebar(-)

Positif Detritus Positif

Negatif Perlengketan Negatif

Faring

Tenang Mukosa Tenang

Negatif Granula Negatif

Negatif Post nasal drip Negatif

Laringoskopi indirect

Tidak dilakukan Epiglotis Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Plika ariepiglotika Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Plika ventrikularis Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Plika vokalis Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Rima glotis Tidak dilakukan


Dextra Leher Sinistra

Bengkak (+), fluktuasi Bengkak (-), fluktuasi


(+), nyeri tekan (+), (-), nyeri tekan (-),
Lokalis
Angulus mandibular Angulus mandibular

tidak teraba teraba

Pembesaran (-), Pembesaran (-),


Thyroid
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Pembesaran (-), Pembesaran (-),


Kelenjar submental
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Pembesaran (-), Pembesaran (-),


Kelenjar submandibula
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Pembesaran (-), nyeri Pembesaran (-), nyeri


Kelenjar jugularis superior
tekan (-) tekan (-)

Pembesaran (-), nyeri Pembesaran (-), nyeri


Kelenjar jugularis media
tekan (-) tekan (-)

Pembesaran (-), nyeri Pembesaran (-), nyeri


Kelenjar jugularis inferior
tekan (-) tekan (-)

Pembesaran (-), nyeri Pembesaran (-), nyeri


Kelenjar suprasternal
tekan (-) tekan (-)

Pembesaran (-), nyeri Pembesaran (-), nyeri


Kelenjar supraklavikularis
tekan (-) tekan (-)

DEXTRA MAKSILOFASIAL SINISTRA


I. Olfaktorius
Sulit dinilai Penciuman Sulit dinilai
II. Optikus
Sulit dinilai
Sulit dinilai Daya penglihatan Positif
Positif Refleks pupil
III. Okulomotorius
Positif Membuka kelopak mata Positif
Positif Gerakan bola mata ke superior
Positif
Positif
Gerakan bola mata ke inferior
Positif Positif
Gerakan bola mata ke medial
Positif
Gerakan bola mata ke Positif

laterosuperior
Positif

IV. Troklearis
Positif Positif
Gerakan bola mata ke
lateroinferior
V. Trigeminal
Tes sensoris
Sulit dinilai
Sulit dinilai Cabang oftalmikus (V1)
Sulit dinilai Cabang maksila (V2) Sulit dinilai
Sulit dinilai Cabang mandibula (V3)
Sulit dinilai
VI. Abdusen
Positif Positif
Gerakan bola mata ke lateral
VII. Fasial
Positif Mengangkat alis Positif
Positif Kerutan dahi
Positif
Positif
Menunjukkan gigi
Sulit dinilai Positif
Daya kecap lidah 2/3 anterior Sulit dinilai

Batas atas normal, VIII. Akustikus Batas atas normal,


batas bawah naik batas bawah naik
Tes garpu tala
IX. Glossofaringeal
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai Refleks muntah
Daya kecap lidah 2/3 anterior
X. Vagus
Sulit dinilai
Sulit dinilai Refleks muntah dan menelan
Negatif
Negatif Deviasi uvula
Positif Positif
Pergerakan palatum
XI. Assesorius
Positif
Memalingkan kepala
Positif Positif
Kekuatan bahu
Positif
XII. Hipoglossus
Negatif Tremor lidah Negatif
Negatif Deviasi lidah
Negatif

V. RESUME
Laki, laki, 50 tahun, datang dengan keluhan leher kanan terasa bengkak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan disertai gigi terasa sakit, sulit membuka mulut, serta sulit
makan dan minum. Memiliki riwayat penyakit kencing manis.

Pada pemeriksaan fisik, leher kanan teraba bengkak, fluktuasi (+), nyeri tekan (+), angulus
mandibular tidak teraba.

VI. DIAGNOSIS

Suspek abses submandibular e.r colli dextra

VII. DIAGNOSIS BANDING


Abses parafaring e.r colli dextra

Angina ludovici e.r colli dextra

VIII. PENATALAKSANAAN
Klindamisin 150-300 mg, 4 kali/hari
Ceftriaxon 0,5-1 g, 2 kali/hari
Evakuasi abses

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI FARING

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).

Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4,5

1. Mukosa

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.

Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.

2. Palut lendir (mucous blanket)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi.

3. Otot

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang


(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot
ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe
faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).

Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak otot-otot


ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi
oleh n.X.

Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus,
m.palatofaring, dan m.azigos uvula.

1 M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
2 M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
3 M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4 M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5 M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

6
Gambar 2. Rongga mulut.

Pendarahan

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glososfaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).

Kelenjar getah bening

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening dalam bawah.

Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring 7

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:4,5

1 Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan
muara tuba Eustachius.
2 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.

Dinding posterior faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di
bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum
mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.

Tonsil
Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan
tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
farings sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah
dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring
asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus
dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3 Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil (pills pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis
ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring
superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung.

Lapisan fasia leher dalam


Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.

Ruang faringeal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5

1 Ruang retrofaring (retropharyngeal space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di
ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi
2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap tiap bagian
mengandung 2 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah
berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan
tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2 Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.

Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring.12


Gambar 7. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring), ruang
submaksila, dan ruang potensial lainnya.13
Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :


- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada
bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan
sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke
daerah koksigeus.
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.14

Ruang submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid
dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini
mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes. Namun ada
pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula, dan
membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.15

Gambar 11. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari m. mylohyoid.16
ABSES LEHER DALAM

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa: 1,2

1 abses peritonsil
2 abses retrofaring
3 abses parafaring
4 abses submandibula
5 angina Ludovici (Ludwigs Angina)

MACAM-MACAM ABSES LEHER DALAM

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman
campuran. Abses leher dalam dapat berupa: abses peritonsil, abses retrofiring, abses
parafaring, abses submandibular, angina Ludovici (Ludwigs Angina).

ABSES PERITONSIL (QUINSY)

a. Definisi
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar
kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil. Batas anatomi peritonsil: Medial (kapsul tonsil),
Lateral (m.konstriktor faring), Anterior (pilar anterior; m.palatoglosus), Posterior
(pilar posterior; m.palatofaringeal).

b. Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.

c. Gejala dan tanda

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.

d. Pemeriksaan

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole


tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak
dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.

e. Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin atau klindamisin


4x150mg/hr, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur- kumur dengan cairan hangat
dan kompres dingin pada leher.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah didaerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-


sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sudah drainase abses, disebut tonsilektomi a froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah
drainase abses.

f. Komplikasi

Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.

ABSES RETROFARING

a. Definisi

Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi pada anak-
anak berumur dibawah 5 tahun. Abses retrofaring merupakan abses yang terbentuk di
rongga retrofaring yaitu rongga yang terletak persis di belakang faring, mulai dari
basis cranii hingga sepanjang faring. Rongga ini sebenarnya terdiri dari dua sisi yaitu
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh raphe, tempat melekatnya otot konstriktor
superior faring. Abses pada rongga retrofaringeal sering terjadi pada anak-anak karena
adanya kelenjar limfe yang akan mengalami atrofi pada saat anak berumur 5 tahun,
sehingga setelah kelenjar limfe tersebut mengalami atrofi, penyebaran infeksi ke
ruang retrofaringeal ini akan berkurang insidensinya.

Sebelah anterior dari rongga retrofaring dibatasi oleh fasia buccopharyngeal, yaitu
fascia yang membungkus faring, trakea, esofagus, dan tiroid. Sebelah posterior rongga
ini dibatasi oleh fascia alaris yang membatasi rongga ini dari danger space. Sebelah
lateral dibatasi oleh rongga parafaring dan selubung arteri carotis. Superior dibatasi
oleh basis cranii, dan inferior dibatasi oleh mediastinum pada tingkat bifurkasi trakea.

b. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin).

c. Gejala dan tanda

Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai
laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak
benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.

e. Terapi

Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob. Penisilin 600.000-1.200.000 unit/hari, atau Ampisilin 3-4 x 1-2g/hari, atau
Gentamisin 2 x 40-80 mg/hari dapat diberikan sebagai alternatif. Bila tidak ada
perbaikan dalam 2-3 hari, antibiotik diganti dengan sefalosforin 1-2 x1-2g/hari,
Metronidazol 3 x 250-500 mg/hari

Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam
posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi
aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

f. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat
menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

ABSES PARAFARING

a. Definisi

Disebut juga dengan faringomaksilaris atau peripharyngeal space. Parafaring


berbentuk pyramid terbalik, yang dapat terletak pada salah satu dari sisi faring (kiri
maupun kanan). Dasar dari parafaring terletak pada basis kranii sedangkan puncak
dari parafaring terletak pada kornu dari os hyoid. Batas medial dari parafaring terletak
pada lapisan viscera dari lapisan dalam yang merupakan bagian dari fascia servikalis
dalam, yang terletak pada lateral dari dinding faring, sedangkan batas lateralnya
adalah lapisan superfisial dari fascia servikalis dalam. Bagian anterior dibatasi oleh
pterygomandibular raphe dan bagian posterior dibatasi oleh fascia prevertebralis.
Rongga ini berhubungan dengan rongga retrofaringeal.

b. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

c. Gejala dan tanda


Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring,
sehingga menonjol ke arah medial.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.

e. Terapi

Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi klindamisin 150-300 mg tiap 6 jam,
dosis maksimal 300-450 mg tiap 6 jam, kombinasi dengan ceftriaxon 1-2 g/hr, dosis
maksimal 4 gr/hr dalam 2 dosis terbagi secara parenteral terhadap kuman aerob dan
anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui
insisi dari luar dan intra oral.

Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah
atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai
ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

f. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.

ABSES SUBMANDIBULA

a. Definisi

Abses yang terbentuk di regio submandibula namaun dapat terbentuk akibat


kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Ruang submandibular: anterior dari ruang
parafaryngeal; inferior berbatasan dengan lapisan superficial fascia profunda, meluas
dari os hyoid hingga mandibula; lateral berbatasan dengan corpus mandibula; superior
berbatasan dengan mukosa dasar mulut.

b. Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.

c. Gejala dan tanda

Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.

d. Diagnosis

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula tdaik dapat diraba.
Pada aspirasi didapatkan pus

e. Terapi

Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. klindamisin 150-300 mg tiap 6 jam, dosis maksimal 300-450 mg tiap 6
jam, kombinasi dengan ceftriaxon 1-2 g/hr, dosis maksimal 4 gr/hr dalam 2 dosis
terbagi. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda
infeksi reda.

f. Komplikasi
Komplikasi pada infeksi ruang submandibula yang tersering adalah sumbatan jalan
nafas, yang dapat berujung pada asfiksia. Dapat juga terjadi sepsis, adanya perluasan
infeksi ke mediastinum berupa mediastinitis, yang dapat berlanjut menjadi
pneumothoraks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya pneumonia.

ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)

a. Definisi

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang
potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan
ototmilohioideus.

b. Etiologi

Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob.

c. Gejala dan tanda

Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan didaerah submandibula,


yang tampak hiperemia dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat
mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena
sumbatan jalan napas.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala
dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi.

e. Terapi
Sebagai terapi diberikan antibiotik dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang
dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada
angin ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horizontal setinggi os hioid (3-4 jari dibawah mandibula). Perlu
dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

f. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin Darnila.2007.abses leher dalam dalam buku telinga hidung tenggorokan kepala
dan leher jilid 6. jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai