Anda di halaman 1dari 4

FREE TRADE dan HUKUM PARETO

Setelah membaca artikel tentang free trade, maka dapat disimpulkan bahwa free trade
adalah salah satu bagian dalam supply-chain economi yang subyek berada pada level
Manufacturing, dimana level tersebut adalah level dimana para produsen bermain. Produsen
yang di maksud dalam hal ini adalah para petani, nelayan, pengerajin dan sejenisnya.

Free Trade banyak di kembangkan di negara berkembang, sehingga terjadi proses


ekonomi yang berkelanjutan, dimana dalam bab 1 menurut Ir. Sutrisno free trade tidak melulu
berada pada level Teknologi Management atau Supply-chain Management, tetapi pada
keduanya.

Dikembangkan untuk membantu para produsen dalam hal branding, distribusi hingga
marketing. Sehingga membatu prosudusen untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Free
Trade di indonesia terkendala oleh mainset ekonomi konvesional. Dimana kelemahan
ekonomi konvensional adalah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Contohnya petani dan peternak terkendala adanya mitra dalam memasaran hasil tani dan
ternaknya.

Produsen di Indonesia di tekan oleh adanya mitra dimana mitra memblok pasar
produsen sehingga produsen sendiri susah untuk membrading, mendistribusi dan memasarkan
produknya. Dalam hal ini peran pemerintah akan sangat membatu para produsen untuk
mecapai taraf hidup yang lebih baik.

Hukum Pareto atau lebih dikenal dengan hukum 80%-20% yang berawal dari ekonom
di Italia yang mengamati bahwa 80% pendapatan di Italia dimiliki oleh 20% populasi.
Hukum pareto ini juga dapat diterapkan dalam berbagai hal. Contohnya 80% dari keluhan
pelanggan muncul dari 20% dari produk atau jasa.Walaupun sudah di setting dan
diminamilisir contohnya menjadi 50%-50%, menurut saya siring berjalannya waktu hukum
alam juga berlaku dan yang akan terjadi adalah yang kuat mengalahkan yang lemah hingga
mencapai kestabilan dimana hukum pareto berlaku yaitu 80%-20%.
Fair Trade adalah sistem perdagangan berkelanjutan yang berusaha untuk membantu
produsen (perajin,petani,nelayan,dsb) yang terpinggirkan melalui sistem pembayaran yang
adil, kondisi tempat kerja yang layak, bantuan teknis (seperti desain, pembukuan), program
sosial, kesetaraan, tranparansi, saling mempercayai, dan menjaga lingkungan. Hal ini sebagai
salah satu upaya untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan dan pasar baru di antara
negara-negara berkembang, sementara di sisi yang lain menjaga nilai-nilai dan tradisi lokal.

APA YANG SALAH DENGAN PERDAGANGAN KONVENSIONAL?

Perdagangan Utara Selatan menjadi permasalahan tersendiri ketika pendekatan


dagang yang digunakan semata-mata untuk hubungan ekonomi semata. Ini menimbulkan
jurang perbedaan yang dalam antara negara maju yang kaya dan negara miskin. Di satu sisi
perusahan multinasional yang kaya akan menjadi semakin besar dan maju, sedangkan para
produsen di negara-negara berkembang menjadi semakin miskin.

Banyak negara Barat memberikan subsidi dalam jumlah besar untuk petani dan
produsen mereka lainnya yang berdampak pada harga pasar yang rendah, memaksa produsen
untuk menjual barang-barang mereka dengan harga yang murah. Seringkali ini berarti para
produsen tidak menerima cukup uang bahkan untuk menutupi biaya produksinya, dan mereka
tidak memiliki kemampuan untuk meminta harga yang lebih tinggi.

Kondisi kerja yang tidak aman, anak-anak yang dipaksa bekerja untuk menambah
pendapatan keluarga, dan perlakuan yang kurang layak terhadap wanita merupakan kondisi
yang tidak pantas. Para produsen memiliki pilihan yang sangat terbatas. Mereka beserta
keluarganya dan komunitas sekitarnya akan terus berada dalam kekurangan, dan ini
menunjukkan wujud dampak perdagangan internasional yang suram.

BAGAIMANA FAIR TRADE menjadi BERBEDA dari PERDAGANGAN


KONVENSIONAL?

Fair Trade merupakan sistem yang berbeda dari perdagangan konvensional. Fair
Trade mengutamakan posisi produsen yang terpinggirkan. Organisasi Fair Trade (yang
didukung oleh konsumen) didorong secara aktif untuk mendukung produsen, meningkatkan
kepedulian dan mengkampanyekan perubahan-perubahan dalam aturan dan praktek yang
tidak terlaksana secara layak dalam sistem perdagangan konvensional.

World Fair Trade Organization (WFTO) merumuskan 10 Prinsip yang harus diikuti oleh
Organisasi Fair Trade dalam penerapan Fair Trade sehari-hari. Kesepuluh prinsip tersebut
dijabarkan sebagai berikut (terjemahan bebas dari www.wfto.com)

Menciptakan peluang bagi produsen kecil

Bersifat transparan dan bertanggung jawab

Mempraktekkan perdagangan yang tidak semata-mata mengejar keuntungan, dan


mengutamakan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi produsen kecil

Adil dalam pembayaran

Tidak mengeksploitasi tenaga kerja anak dan buruh

Komitmen untuk tidak mendiskriminasi, mengutamakan kesetaraan Gender, dan


kebebasan untuk berasosiasi

Memastikan kondisi kerja yang layak

Menyediakan kesempatan untuk peningkatan kapasitas

Aktif mempromosikan fair trade

Menghormati lingkungan

Prinsip Pareto (bahasa Inggris:The Pareto principle) (juga dikenal sebagai aturan 80-
20) menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan
oleh 20% dari penyebabnya. Prinsip ini diajukkan oleh pemikir manajemen bisnis Joseph M.
Juran, yang menamakannya berdasarkan ekonom Italia Vilfredo Pareto (15 July 1848 19
August 1923), yang pada 1906 mengamati bahwa 80% dari pendapatan di Italia dimiliki oleh
20% dari jumlah populasi.

Dalam implementasinya, prisip 80/20 ini dapat diterapkan untuk hampir semua hal:
80% dari keluhan pelanggan muncul dari 20% dari produk atau jasa.

80% dari keterlambatan jadwal timbul dari 20% dari kemungkinan penyebab
penundaan.

20% dari produk atau jasa mencapai 80% dari keuntungan.

20% dari tenaga penjualan memproduksi 80% dari pendapatan perusahaan.

20% dari cacat sistem menyebabkan 80% masalah.

Anda mungkin juga menyukai