Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN JOURNAL READING

Pengobatan Antifungi untuk Pityriasis Vesicolor


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
RSUD dr. Soeroto Ngawi

Disusun Oleh
Andreuy Poespo K. S.Ked (09711264)

Pembimbing :
dr. Muhammad Wahyu Riyanto, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD DR. SOEROTO NGAWI
2017
Pengobatan Antifungi untuk Pityriasis Vesicolor
Aditya K. Gupta 1,2,* and Kelly A. Foley 2
____________________________________________________________________________
Abstrak : Latar belakang : Pityriasis vesicolor ( PV) dikenal juga dengan tinea
vesicolor yang disebabkan oleh Malassezia. Kondisi ini meruapak kondisi umum
dari infeksi akibat fungal diseluruh dunia, tertuama pada daerah beriklim tropis. PV
sulit untuk disembuhkan dan kemungkinan untuk kekambuhan sangat tinggi
disebabkanMallazesia. Review ini fokus pada bukti klinis yang mendukung terapi
antifungal pada PV.
Metode : Literatur yang berasal dari database PubMed dikumpulkan dari 30
september 2014. Kriteria pencarian adalah (pityriasis vesicolor atau tinea vesicolor)
dan Pengobatan. Dengan isi pembahasan menyeluruh dalam bahasa Inggris.
Kesimpulan : medikasi topikal antifungal merupakan pilihan utama untuk pV,
termasuk zinc pyrithione, ketoconazole, dan terbinafine. Pada kasus berat PV atau
tidak memberikan respon terhadap pengobatan, pengobatan oral antifungal
itraconazole, dan fluconazole mungkin lebih cocok digunakan, dengan
pramiconazole sebagai opsi lainnya. Pemberian oral terbafine tidak efektif dalam
mengobatai PV dan pemberian ketoconaole oral tidak lagi disarankan untuk
digunakan. Maitenan atau terapi profilasis sangat bergunan untuk mencegah
rekurensi infeksi; bagaimanapun pada saat ini, terdapat keterbatasan untuk
mengevaluasi efikasi profilatik pengobatan antifungal.
____________________________________________________________________________
1. Pendahuluan
Pityriasis Vesicolor (PV) merupakan infeksi kuntenus kronik yang diesebabkan oleh
proliferasi jamur lipofilik (Malassezia species) pada lapisan stratum korneum. Infeksi paling
umum Malassezia species dihubungkan dengan kehadiran M.globusa, M. sympodialis dan
M.furfus. pada kebanyakan kasus PV, Malassezia merupakan flora normal kulit, tidak
bersifat patogen kecuali dalam bentuk mycelial. Kedaan tersebut dapat dipicu oleh beberapa
faktor seperti kelembapan, dan temperatur yang tinggi, hyperhirosis, keturunan dan
imunosupresi. Sebagi konsekuensinya, PV terjadi seringnya pada iklim tropis ( 40%
kejadian) bila dibandingkan dengan iklim yang lebih rendah. PV sulit untuk disembuhkan,
dikarenakan kemungkinan relaps diikuti pengobatan yang cukup panjang hinga 80% dalam 2
tahun.
Pasien dengan PV menunjukan gambaran bulat tegas atau makula berbentuk oval pada bagian
punggung, leher dan lengan atas dimana kepadatan kelenjar sebase sangat tinggi. Lesi ini
kadang terlihat hiperpigmentasi dibandingkan dengan warna kulit biasa dan hipopigmnentasi
pada kulit yang lebih gelap atau lebih coklat dan warnya dapat bervariasi bergantung pada
kulit. Makula kecil terdapat serbukan seperti bedak disebabkan adanya pengelupasan kulit,
walaupun manifestasi pengelupasan umum terjadi pada lesi yang besar dan berada pada
ujung-ujung lesi. PV secara umum bersifat asimptomatik, walaupun beberapa pasien
mengalami gatal sedang. Sejauh ini, perhatian terbesar pasien dalam mencari pengobatan
adalah munculnya rasa tidak nyaman bersifat kosmetika pada tampilat kulit. Sayangnya,
kejadinya pigmentasi akibat pengobatan PV malah dapat bertahan. Hal tersebut tidak
termasuk dalam kriteria pengobatan yang efektif, dengan penyembuhan mycological
( mikroskop negatif) dan pengobatan yang menghilangkan simpstom seperti lesi, eritema,
pruitus dan deskuamasi lebih dipilih.
Diagnosis PV ditegakan dengan mikroskopik menggunakan garukan pada ujung-unjung lesi
atau jika tidak memungkinkan bisa menggunakan perekat untuk mendapatkan hasil
deskuamasi. Pemeriksaan dengan lampu Woods mungkin dapat membantu dalam
menegakan diagnosis, dengan gambaran lesi kekuningan atau emas. Antifungal topikal
merupakan terapi utama pada PV dan antifungal fungal sistemik direkomendasikan pada
kasusu yang berat atau tidak berhasil dengan topikal. Karena itu, banyak pengobatan
antifungi non-sprsifik mungkin efektif dalam mengobati PV. Pada beberapa kasus, kesalahan
diagnosis mengarahkan paada pengobatan yang tidak sesuai dan tidak efektif ( contoh,
pemberian antibiotik, kortikosteroid). Tujuan review ini adalah untuk menggaris bwawahi
bukti klinis yang mendukung penggunaan topikal dan antifungal sistemik pada pengobatan
PV.

2. Pengobatan topikal pada Pitryasis Vesicolor


Pengobatan topikal untuk PV termasuk krim, losion, dan shampo. Penggunaanya diapakai
sekali sehari atau duakali sehari berganting periode waktu dan perkembangan klinisnya.
Kepatuhan pasien dipengaruhi oleh penggunaan obat yang terus-menerus, atau iristasi kulit
minor dari pengobatan. Pengobatan topikal non-spesifik pada PV tidak secara khsusus
bereaksi pada Malessezia. Lebih pada menghancurkan lapisan kulit yang terinfeksi baik
secara fisik maupun kimiawi. Pengobatan non-spesifik yang efektif pada PV antara lain
selenium sulphide ( losion, krim, atau sampo), zinc pyrihione, propylene glycol, dan
whitfields oinment.
TABEL 1
Terdapat berbagai pengobatan topikal seperti bifonazole, clotrimazole, yang memiliki efek
langsung terhadap fungal dan terbukti efektif mengobati PV ( untuk pembahasan menyeluruh
baca Gutpa et al., 2005). Pada banyak kasusu, pengobatan non-spesifik ini digunakan pada
studi sebgai perbandingan efikasi pada obat anti fungi terbaru baik topikal atau oral. Sebagi
contoh, penggunaan dua kali sehari krim ciclopirox olamine 1% selama 14 hari secara
signifikan lebih efektif dari pada krim 1% clotrimazole (pengobatan mycological 77% vs.
45% p<0.001). Disaat bukti yang ada menyarankan non-spesifik agen dan golongan yang
lebih tua dari azole memberikan efek baik pada pengobatan PV, anti fungi topikal yang
sedang dalam pengembangan luas adalah ketoconazole ( tabel 1) dan terbifine (tabel 2).

2.1. Ketoconazole
Ketoconazole, merupakan imidazole anti fungsi dengan spektrum luas pertama yang
digunakan untuk mengobati mikosis superfisial dan sistemik. Melalui proses inhibisi enzim
lnosterol 14-demethylase, keconazole menggangu biosintesis ergosterol dengan membatasi
fungsi sel dan perkembangannya. Multipel fomula telah terbukti efektif mengobati PV
temasuk krim, sampo dan busa ( tabell 1), dengan sediaan yang paling umum krim dan busa
digunakan satu kali sehari selama 14 hari. Ketoconzole krim menunjukan hasil yang
signifikan sebagaimana krim 1% clotrimazole dan krim 1% terbifine, sedangkan sampo
ketoconzole menunjukan hasil signifikan setara dengan 2.5% selenium sulphide dan sampo
1% flutrimazole.
Penggunaann ketoxonazole sampo telah diperlajari berbagai studi, termasuk penggunaannya
satu kali sehari selama 3 14 hari dan satu kali seminggu selama 3 minggu. Lange et
al( 1998) melakukan studi multi center dounle blind, randomized, placebo-controlled
terhadap efikasi penggunaan sampo ketoxonazole vs penggunaan tiap hari selama 3 hari.
Pasien yang menggunakan sampo ketoconazole selama 3 hari, diikuti penggunaan sampo
placebo selama 2 hari setelahnya atau 3 hari setelahnya. 31 hari setelah studi berlangsung
tidak terdapat hasil yang signifikan antara kedua ketoconazole secara mycological atau rating
pengobatan lengkap. Baik kedua ketoconazole penggunaan selama 3 hari dan penggunaan
satu kali, menunjukan hasil signifikan lebih efektif dibandingkan sampo placebo secara
mycological (84% vs 78% vs 11%, P<0.001) dan pengobatan lengkap ( 73% vs 69% vs 5%,
P< 0.001).
Pada studi dengan waktu yang lebih panjang ( 3- 24 bulan), kekambuhan dan nilai
penyembuhan yang rendah diamati. Bagaimanapun, busa ketonazole atau krim digunakan
satu kali sehari selama 14 hari menunjukan kemampuan untuk mencegah kekambuhan 3 12
bulan setelah pengobatan. 70% pasien menunjukan pengobatan lengkap pada bulan ke 12

TABEL 2
setelah pengobatan krim 2% ketoconazole, diaman 82% dan 92% pasien menunjukan
pengobatan lengkap terhitung 3 bulan setelah pengobatan dengan busa ketoxonazole 1% dan
krim 2%. Potensi penggunaan busa 1% ketoconzole memiliki waktu evaporasi yang lebih
singkat, dan meningkatkan penetrasi terhadap lapisan kutaneus lebih lama dibandingkan
pemberian lotion atau krim.
Saat ini, kombinasi ketoxonazole krim dengan gel adapealene 1% dibandingkan dengan krim
ketoconazole dengan metodetrial double-blind, randomized. Adapalene gel merupakan
derivat dari naphthonic acid yang digunakan pada acne yang beraksi dengan mengeinhibisi
difenrensiasi sel. Sebelumnya, penggunaan dua kali sehari dari krim ketoconazole 2% selama
14 hari menunjukan hasil yang imbang terhadap gel adapalene 0.1% pada pengobatan PV.
Pada studi terbaru, pasien yang menggunakan kombinasi krim ketoconazole 25 dan gel 0.1%
adapelane satu kali sehari selama 14 hari atau krim 2% ketoconazole dua kali sehari selama
14 hari. Terapi kombinasi menghasilkan perkembangan secara klinis dan penyembuhan
mycological lebih cepat ( kurang dari 2 minggu) dari pada mono terapi. Pada minggu ke-4
pengobatan engan kombinasi dari ketoconazole dan adapale menghasilkan perkembangan
klinis yang lebih baik dibandingkan pengobatan ketoconazole mono terapi ( 92% vs 72 %
p=0.009). kondisi efek samping sedang dilaporkan pada kelompok pengobatan dan termasuk
muncuknya eritem, kulit kering dan sensasi terbakar dengan kombinasi terapi dan iritasi
sedang pada mono terapi. Pengobatan kombinasi mungkin menunjuan hasil yang menjanjikan
untuk pengobatan PV yang akan datang. Efikasi yang relatif pada ketoconazole topical sulit
untuk ditentukan, sebagaimana rata-rat penyembuhan 2-4 minggi lebih tinggi dibanidngkan
fomula lain.

2.2. Terbifine
Terbifine, merupakan allynamine yang menunjukan kemampuan untuk membunuh dematofi,
yeast dan mold ( fungsicidal). Terbifine bertindak dengan menginhibisi squalene epoxide,
mengunci biosintesis sterol dan mengubah integritas dinding membran. Terbifine krim setara
dengan ketoconazole topikal dan krim bifionazole dengan tingkat mycological dan
penyembuhan sempurna anatar 88% hingga 100%. Sebagai tambahan, rata-rata durasi
pengobatan ( maksimal 4 minggu) sampai penyembuhan mycological dengan aplikasi
penggunaan dua kali sehari krim 0,1% terbifine secara signifikan lebih pendek dari pada
penggunaan krim 1% bifonazole dua kali sehari.
Metode multiple-double blind, randomized, placebo-controlled melakukan penilaian terhadap
investigasi solsio 1% terbifine yang digunakan dua kali sehari selama 7 hari. 7 minggu
setelah pengobatan selama 7 hari dua kali sehari , baik Vermeer et al dan Savin et
al .melaporkan penyembuhan mycological hingga 81%, signifikan bila dibandingkan dengan
placebo (41%, p<0.001; 30% p<0.001). Dimana kefektifan secara klinis diniali dari tidak
adanya keluhan kemudian dilihat dari penyembuhan mycological, terbifine secara signifikan
lebih efektif dibandingkan placebo ( 48% vs 30%, p<0.05) dan 7 minggu kemudian (81% vs
30%, p<0.001). Penilaian oleh pasien terhadap pengobatan lebih tinggi pada terbifine vs
palcebo (ip<0.001).
Budimulja dan Paul (2002) melakukan percobaan double blind, randomized, placebo-
controlled pada solusio 1% terbifine. Keduanya menggunakan terbafine selama 7 hari,
dimana penggunaannya dua kali sehari dan lainnya satu kali sehari. 8 minggu setelah
pengobatan, penggunaan dua kali sehari solusio terbafine memilki tingat penyembuhan
mycological 64% dan penggunaan satu kali sehari memiliki tingkat penyembuhan
mycological 49%. Iklim tropis (Indonesia) pada studi ini, diaman PV sulit untuk
disembuhkan, memiliki tingkat kesembuhan yang rendah pada studi sebelumnya.

3. Pengobatan oral untuk Pitryasis vesicolor


Oral atau sistemik antifungi efektif dalam pengobatan berbagai macam infeksi, namun dapat
menimbulkan efek samping yang serius. Penggunaan antifungsi oral untuk PV
dipertimbangkan sebagai terpi lini kedua dan penggunaanya untuk pengobatan yang gagal
atau infeksi serius. Pada kasus terbinafine, pengobatan oral tidak efektif untuk PV. Tidak
seperti antifungsi yang lain, terbinafine tidak diekresikan dari tubuh melalui keringat dan
mungkin konsentrasinya tidak mencukupi pada stratum korneum untuk menghilangkan
Malasseazia. Bagaimanapun seperti yang dijelaskan sebelumnya, topical terbanifine tidak
memiliki ketebatasan seperti bentuk oralnya dan berdisat efektif.
Ketoxonazole, pernah menjadi gold standar pada pengobatan antifungsi secara oral, namun
saat ini tidak lagi disarankan untuk pengobatan superfisial mycosis, termasuk PV, di Kanada,
Amerika atau Eropa. Resiko hapotoksik yang berhubungan dengan penggunaan oral
ketoconazole ( estimasi mendekati 1 dari 500 orang) dianggap tidak sesuai dengan efek yang
diharapkan, di Amerika utara penggunaan ketoconazole oral hanya dipergunakan pada kedaan
yang berat, sedangkan pada tahun 2013 di Eropa dan Australia menarik ketoconazole dari
pasaran. Antifungsi terbasu menunjukan memiliki efek yang mirip dengan ketoconazole oral
dalam mengobati PV. Saat ini pengobatan oral termasuk itraconazole (itraconazole),
fluconzole (tabel 4) dan pramiconazole (tabel 5).
3.1. Itraconazole
Itraconazole merupakan antifungi traizole, mengubah fungsi sel fungi seperti ketoconazole,
melalui inhibisi sintesis cytocrome p450 ergosterol. Untuk mencapai efek eliminasi PV,
minimal total yang dibutuhkan adalah 1000mg itraconazole. Pengobatan satu kali sekali
selama 5 hari dengan 200 mg itraconazole menunjukan efikasi yang tinggi selama 1 bulan
setelah pengobatan dan direkomendasikan untuk pengobatan PV. 7 hari pengobatan
merupakan standar pengobatan untuk itraconazole. (Tabel 3)
Stdu pada hari ke 5 dan ke 7 melaporkan bahwa terdapat dua regimen yang dibandingan.
Yatiu pengobatan oral itraconazole, 80 % pasien yang medapat pengobatan selama 5 hari atau
7 hari merasakan penuruanan gejala dan hasil negatif pada pemeriksaan mikroskop.
Galimberti et al (1987) menunjukan bahwa terapi itraconazole selama 7 hari memiliki tingkat
penyembuhan yang lebih tinggi dari pada pengobatan selama 5 hari, namun secara statistic
tidak dapat ditunjukan. Lebih penting lagi, stukur pada fungi yang abnormal diamati setelah
pengobatan telah dilakukan, bagaimanapun, proses ini tidak selasai sampai dengan hari ke 28,
menekankan aksi dari penggunaan oral antifungi dan dibutuhkan penilaian klinis dan
pengobatan mycological setelah pengobatan oral dilakukan seluruhnya.
Salah satu studi mengevaluasi efikasi penggunaan itraconazole 400 mg yang diberikan 1 kali
selama 3 hari dibandingkan dengan itraconazole 200 mg untuk 5 atau 7 hari. Sedangkan Kose
et al (2012) mendemonstrasikan bahwa dosis tunggal itraconazole 400 mg setara dengan
200mg untuk 7 hari. Kokturk et al ( 2002) menemukan bahwa dosis tunggal 400 mg tidak
efektif, namun dengan itraconazole 400 mg selama 3 hari dan 200 mg untuk 5 hari keduanya
menghasilkan penyembuhan mycological yang lebih besar (P-0.001). walaupun regimen 400
mg itraconazole selama 3 hari mungkin menjadi alternatif untuk itraconzaole 200mg selama 5
hari, tidak terdapat bukti pada saat ini yang menjamin pengobatan dalam waktu 5 hari.
Kekambuhan PV dirasakan dalam waktu 6 bulan hingga 2 tahun setelah pengobatan yang
luas. Profilaksis antifungi merupakan salah satu pencegahan kekambuhan. Percobaan
itraconazoloe 200 mg selama 7 hari dengan 4 minggu waktu follow-up, 250 pasien
menunjukan penyebuhan mycological ( 205/223=92%) ( hasil mikroskop negatif) dengan
perlakuan placebo controlled trial. Itrakonazol diberikan satu per bulan selama 6 bulan
sebagai
TABEL 3
Profilaksis (200 mg dua kali sehari). Pada akhir bulan6, 88% pasien mendapat profilaksis
Itrakonazol masih disembuhkan secara mikologis, sementara hanya 57% pasien yang
menerima plasebo sebagai profilaksis disembuhkan secara mikologis (p <0,001). Selain itu,
gejala klinis (eritema, deskuamasi, gatal,
Dan hipopigmentasi) secara signifikan lebih sedikit pada pasien itraconazole profilaksis (p
<0,001)

3.2. Fluconzole
Flukonazol adalah antijamur triazole, menghambat sintesis ergosterol sitokrom P450 yang.
Untuk itrakonazol dan ketokonazol .Penelitian telah menunjukkan bahwa flukonazol setara
dengan atau lebih efektif daripada,ketokonazol oral dalam mengobati PV. Uji coba acak besar
dilakukan olehAmer (1997) menunjukkan keefektifan rejimen flukonazol mingguan: 150 mg
atau 300 mg per minggu untuk4 minggu, atau 300 mg dua kali seminggu selama 4 minggu.
Empat minggu setelah perawatan terakhir, penyembuhan mikologi rejimen 300 mg
flukonazol (mingguan 93%, dua mingguan 87%) secara signifikan lebih tinggi dari 150
mgFlukonazol (73%, p <0,0001). Dua dosis mingguan 300 mg flukonazol
direkomendasikanJ. Fungi 2015, Pengobatan untuk PV. Regimen ini menghasilkan tingkat
kesembuhan mycological yang jauh lebih tinggi (97%) dibandingkandosis flukonazol 450 mg
tunggal (p = 0,012) [57] dan dalam penelitian terbuka,minggu setelah dimulainyapengobatan,
semua pasien yang mengalami penyembuhan lengkap dan mikologi pada minggu ke 4 tidak
menunjukkan relaps.

Baru-baru ini, khasiat dosis tunggal 400 mg flukonazol dalam mengobati PV telah
diteliti.Dosis tunggal 400 mg flukonazol menghasilkan tingkat kesembuhan mikologi secara
signifikan lebih besar daripada satudosis 400 mg ketokonazol empat minggu setelah
pengobatan (82% vs 53%, p <0,01.Pengobatan mingguandengan 150 mg flukonazol selama
empat minggu juga menghasilkan tingkat kesembuhan mikologi yang tinggi (64%).
PasienDitindaklanjuti 12 bulan setelah perawatan untuk menilai kekambuhan, dengan 0% dan
7% pasien menerima Flukonazol dosis tunggal atau mingguan mengalami gejala berulang.
Kambuh ditemukan secara signifikan lebih banyak pasien yang menerima dosis tunggal
itrakonazol dibandingkan dengan dosis tunggal flukonazol delapan minggu. Setelah
pengobatan (60% vs 35%, p <0,05). Dalam penelitian ini, relaps didefinisikan sebagai
kemunculan / pemburukangejala klinis atau mycology positif mengikuti tes negatif. Selain
itu, secara signifikan lebih besar tingkat kesembuhan mycological ditunjukkan untuk
flukonazol pada 8 minggu dibandingkan dengan itrakonazol (65% vs 20%, p <0,05).
Meskipun telah ditetapkan bahwa dosis tunggal itrakonazol tidak ideal, satu dosis
flukonazolmungkin pengobatan yang efektif untuk PV.

Dehghan et al. (2010) melakukan percobaan klinis double blind yang membandingkan dosis
tunggal400 mg flukonazol sampai dua kali sehari krim klotrimazol 1 hari selama 14 hari.
Khasiat diukur sebagaiPersen lesi yang sembuh, dengan kategori lengkap ( 95% lesi
clearance), tidak lengkap (50% -95%Lesi clearance), dan tidak ada respon klinis (<50% lesi
clearance). Empat minggu setelah perawatan,jumlah pasien yang mengalami respons klinis
lengkap atau tidak lengkap secara signifikan lebih besardengan krim clotrimazol
dibandingkan dengan flukonazol (95% lengkap vs 82% dan tidak lengkap 19% vs 5%P =
0,044); Namun, pada 12 minggu, respon klinis lengkap tidak signifikan secara signifikan
untukkelompok flukonazol dibandingkan kelompok klotrimazol (92% banding 82%) [13].
Kekambuhan antara minggu ke 4 dan 12 atau tidak ada respon klinis pada minggu ke 12 yang
diamati pada 3 pasien yang menerima flukonazol dan 10 pasien yang menerimaKlotrimazol.
Ini tidak meyakinkan jika clotrimazole topikal lebih efektif daripada flukonazol, namun jelas
flukonazol 300 mg setiap minggu selama 2 minggu dan dosis flukonazol 450 mg tunggal
sesuai untuk PV. Pasien mungkin menganggap alternatif ini lebih menarik daripada
perawatan topikal atau oral lainnya.

3.3. Pramiconazole
Pramiconazole adalah triazol yang relatif baru yang mengganggu sintesis ergosterol pada sel
jamur. MemilikiTelah terbukti aktif secara in vitro terhadap dermatofit, spesies Candida, dan
spesies Malassezia.Pada konsentrasi <1 g / mL, aktivitas pramiconazole dua kali lipat dari
itrakonazol terhadap CandidaSpesies, dan 10 kali lebih besar dari ketokonazol terhadap
spesies Malassezia. Percobaan Tahap II dari19 pasien dengan PV mengevaluasi keamanan
dan khasiat pramononazol 200 mg setiap hari selama 3 hari dan pasien dipantau selama 30
hari (Hari ke 4, 10, 30). Sepanjang durasi penelitian, klinis tanda / gejala (eritema, gatal, dan
deskuamasi masing-masing dinilai pada skala lima poin untuk klinis global evaluasi)
berkurang secara signifikan dibandingkan dengan baseline, p <0,001. Sepuluh hari setelah
dimulainyapengobatan, 8 pasien KOH-negatif; Dengan 30 hari, semua 19 pasien KOH-
negatif. (AEs) dilaporkan terjadi namun sembilan pasien (47%) melaporkan AEs, dengan
sakit kepala paling umum.Investigasi lebih lanjut mengevaluasi lima rejimen pramiconazole
dibandingkan dengan plasebo: 100, 200, atau400 mg dosis tunggal pramiconazole, atau 200
mg pramiconazole setiap hari selama 2 atau 3 hari. Pasien
dievaluasi pada hari ke 14 dan 28 untuk penyembuhan mikologi (KOH-negatif) dan gejala
klinis (eritema,gatal, dan deskuamasi masing-masing diberi nilai pada skala lima poin).
Pengobatan lengkap (skor 0 untuk semua klinis gejala dan KOH negatif) secara signifikan
lebih tinggi pada dosis tunggal 200 mg (59%), 400 mg tunggaldosis (52%), 200 mg selama 2
hari (72%), dan 200 mg selama 3 hari (85%) dibandingkan kelompok plasebo (16%P = 0,003,
p = 0,013, p <0,001, p <0,001, masing-masing). sSemua perawatan, dengan pengecualian dari
dosis tunggal 100 mg, menghasilkan penyembuhan mikologi secara signifikan lebih tinggi
daripada pengobatan plasebo(Semua kelompok p <0,001, Tabel 4). Proporsi pasien yang
melaporkan setidaknya satu pengobatan AES yang munculTidak tergantung dosis dan
berkisar antara 31% (dosis tunggal 100 mg) sampai 46% (200 mg selama 3 hari).Diare dan
mual adalah pengobatan AE yang paling umum terjadi, dengan formulasi obat
penelitian(Hydroxypropyl--cyclodextrin) yang mungkin berkontribusi. Secara keseluruhan,
Pengobatan pramiconazole mungkin yang menjanjikan untuk PV (Tabel 5); Namun, tetap
harus ditentukan kemanjuran klinisnyaPramiconazole dalam kaitannya dengan antijamur oral
yang ada

4. Kesimpulan
PV adalah salah satu kondisi dermatologis kulit yang paling umum di seluruh dunia. Sebagai
spesies Malassezia endogen ke flora kulit, kondisi ini sangat sulit untuk diberantas.
Mencegah kekambuhaninfeksi penting ke depan. Sementara itu, ada sejumlah pengobatan
topikal dan oral antijamur yang efektif dalam mengurangi gejala klinis dan menghasilkan
penyembuhan mikologi.Terapi topikal adalah lini pengobatan pertama untuk PV dan mungkin
termasuk selenium sulfida, zinc pyrithione, ketokonazol, dan terbinafin. Bila pengobatan
topikal tidak layak atau diinginkan, itrakonazol danflukonazol adalah pilihan yang tepat,
dengan pramiconazole merupakan terapi baru yang potensial. PV akan bertahan jika
dibiarkantidak diobati. Pasien harus sadar munculnya hiperpigmentasi atau hiperopigmentasi
bisa berlanjut dan butuh beberapa bulan untuk memulihkan penampilan kulit normal.
TABEL 4
Investigasi klinis telah menunjukkan keefektifan klinis berbagai antijamur topikal obat dalam
merawat PV ,termasuk ketokonazol topikal dan terbinafin. Busa ketokonazol adalah Pilihan
yang lebih baru untuk perawatan dan mungkin menguntungkan, sampo atau krim karena
aplikasi yang lebih mudah dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Berdasarkan akumulasi
bukti, pengobatan sekali atau dua kali sehari selama 14 hari dengan krim ketoconazole
topikal atau busa, dan sekali seminggu menggunakan sampo ketokonazol Mungkin
pengobatan yang efektif untuk PV, dengan krim atau busa menunjukkan keefektifan jangka
panjang. Begitu pula topikal Krim terbinafin harus dioleskan dua kali sehari selama 7 hari.
Pengobatan khasiat topikal mungkin lebih rendah di iklim tropis. Karya terbaru menunjukkan
kemanjurannya Pengobatan topikal kombinasi dapat memberikan pengobatan alternatif.
Tampaknya semakin lamanya pengobatan dengan agen topikal, semakin menguntungkan.
Sementara durasi dan dosis tidak mempengaruhi penyembuhan mycological untuk
itrakonazol dan flukonazol. Untuk pengelolaan PV yang efektif dengan pengobatan antijamur
oral, rejimen yang didukung adalah: 200 mg itrakonazol setiap hari selama 5 atau 7 hari, 300
mg flukonazol seminggu selama 2 minggu, atau 200 mg Pramiconazole setiap hari selama 2
hari. Panel medis merekomendasikan penggunaan flukonazol, jika memungkinkan, lebih dari
itrakonazol karena interaksi obat .Tinjauan sistematis dan meta-analisis mengkonfirmasi
bahwa keduanya topikal dan oral lebih unggul daripada pengobatan plasebo; Namun, data
tidak mencukupintuk menilai kemanjuran pengobatan satu sama lain. Dalam prakteknya,
pengalaman dokter dan pasien akan menentukan pengobatan mana yang dipilih.

Keuntungan untuk perawatan topikal adalah bahwa mereka bertindak cepat dan dapat
ditoleransi dengan baik. Ada sedikit resikoefek samping yang serius dan interaksi obat yang
terbatas. Hal ini terutama terlihat dari sejarahpenggunaan ketokonazol, di mana formulasi
ketokonazol topikal merupakan pengobatan utama untuk PV, namunrisiko yang terkait
dengan penggunaan oral telah menyebabkan pelabelan ulang yang ketat. Beberapa aplikasi
obat topikal mungkin tidak nyaman dan membatasi kepatuhan pasien, terutama pada kasus
PV dimana area tubuh besar beradaTerpengaruh dalam kasus ini, antijamur oral mungkin
lebih baik daripada banyak pasien dan kursus singkat oralPengobatan dapat membantu
menengahi beberapa risiko yang terkait dengan obat ini.Pengobatan profilaksis mungkin
diperlukan untuk mengurangi gejala terutamaDalam kasus yang lebih parah. Penelitian
terbatas tentang efektivitas pengobatan profilaksis antijamur telah dilakukan
untukmenunjukkan bahwa itrakonazol satu kali sebulan dan selenium sulfida
mungkinmngurangi relaps.

Anda mungkin juga menyukai