Anda di halaman 1dari 114

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status gizi merupakan gambaran keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat
gizi untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan
fungsi normal tubuh dan untuk produksi energi dan intake zat gizi lainnya. Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin
(Almatsier, 2002).

Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Notoatmodjo, 2003). Kelompok


bayi, umur 0-1 tahun, kelompok dibawah lima tahun (Balita) 1-5 tahun, kelompok
anak sekolah umur 6-12 tahun, kelompok remaja umur 13-20 tahun, kelompok ibu
hamil dan menyusui, dan kelompok lansia (lanjut usia).

Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah
digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab
timbulnya kurang gizi anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung dan
pokok masalah. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan dikeluarga,
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya
ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya
sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga
faktor yang saling berhubungan. Makin tersedianya air bersih yang cukup untuk
keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana
kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko
anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998). Sedangkan penyebab
mendasar atau akar masalah gizi diatas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan
sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak seimbangan antara
asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi
status gizi balita (Soekirman, 2000).
Prevalensi nasioanal Gizi Buruk pada Balita Indonesia adalah 5,4% dan Gizi
Kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target
Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan
gizi (20%), maupun target Millenium Depelovment Goals pada 2015 (18,5%) telah
tercapai pada tahun 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai
prevalensi gizi buruk dan gizi Kurang diatas prevalensi nasional, kabupaten/kota
dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita tertinggi adalah aceh
tenggara (48,7%). Sedangkan kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan
Gizi kurang pada Balita terendah adalah kota Tomohon (4,8%). Prevalensi Naional
Gizi Lebih pada Balita adalah 4,3%. Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi
Gizi Lebih pada Balita diatas prevalensi nasional, yaitu Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,
Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi selatan, Maluku
dan Papua. Secara bersama-sama, prevalensi nasional Balita Pendek dan Balita
Sangat Pendek (stunting) adalah 36,8%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai
prevalensi Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek diatas prevalensi nasional, yaitu
DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku,
Maluku Utara dan Papua Barat (Naurarc, 2012).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 prevalensi


status gizi balita diprovinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks BB/TB atau
BB/PB WHO NCHS gizi buruk sebesar 6% gizi kurang 16,8% gizi baik 73,1% dan
gizi lebih sebesar 4%. Dari 33 provinsi di Indonesia, provinsi Kalimantan Selatan
menduduki peringkat 22 terbanyak prevalensi status gizi balita.

Data dinas kesehatan Banjar tahun 2013 menunjukkan prevalensi gizi buruk
pada balita sebesar 1,76%, gizi kurang 15,73% dan sangat kurus 2,25% yang berada
dibawah target RPJMN yakni sebesar 5% untuk gizi buruk dan sangat kurus serta
20% untuk gizi kurang, sedangkan diwilayah puskesmas Paramasan menunjukkan
angka 0,94% kejadian gizi buruk pada balita, 16,98% gizi kurang serta 2,8% balita
yang sangat kurus.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam


penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi status gizi balita di Desa Tambak
Baru Kecamatan Martapura?

2. Apakah ada hubungan anatara tingkat konsumsi energy, protein, vitamin A dan
zat besi dengan status gizi balita di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

3. Apakah ada hubungan antara penyakit Infeksi dengan status gizi balita di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura?

4. Apakah ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi
balita di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

5. Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

6. Apakah ada hubungan antara ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga


dengan status gizi balita di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

7. Apakah ada hubungan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

8. Apakah ada hubungan antara kesehatan lingkungan dengan status gizi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor


yang mempengaruhi status gizi di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.
1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi data responden berdasarkan karakteristik keluarga


sampel di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

2. Menilai status gizi balita di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

3. Mengidentifikasi adanya penyakit infeksi balita di Desa Tambak Baru


Kecamatan Martapura.

4. Menilai tingkat konsumsi energi, protein, vitamin A dan zat besi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

5. Menilai pendapatan keluarga balita di Desa Tambak Baru Kecamatan


Martapura.

6. Menilai pengetahuan ibu balita di Desa Tambak Baru Kecamatan


Martapura.

7. Menilai ketersediaan pangan keluarga di Desa Tambak Baru Kecamatan


Martapura.

8. Menilai pelayanan kesehatan di Desa Tambak Baru Kecamatan


Martapura.

9. Menilai kesehatan lingkungan di Desa Tambak Baru Kecamatan


Martapura.

10. Menganalisa hubungan tingkat konsumsi energi, protein, vitamin A dan


zat besi dengan status gizi di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

11. Menganalisa hubungan antara penyakit Infeksi dengan status gizi balita
di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

12. Menganalisa hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita di


Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.
13. Menganalisa hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura.

14. Menganalisa hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan status gizi


balita di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

15. Menggambarkan hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita


di Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

16. Menganalisa hubungan kesehatan lingkungan denagn status gizi balita di


Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

1.4 Hipotesis

1. Ada hubungan antara tingkat konsumsi dengan status gizi balita di Desa Tambak
Baru Kecamatan Martapura.

2. Ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

3. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Desa Tambak
Baru Kecamatan Martapura.

4. Ada hubungan antara kebiasaan makan keluarga dengan status gizi balita di
Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura.

5. Ada hubungan antara ketersediaan pangan dengan status gizi balita di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura.

6. Ada hubungan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi balita di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura.

7. Ada hubungan antara kesehatan lingkungan dengan status gizi balita di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura.
1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Untuk menambah pengalaman dan meningkatkan pemahaman tentang


faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Desa Tambak
Baru Kecamatan Martapura.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Sebagai masukan bagi masyarakat tentang status gizi yang baik sehingga
setiap keluarga termotivasi untuk memperbaikinya guna mencapai derajat
kesehatan yang lebih baik.

1.5.3 Bagi Instansi Kesehatan atau Puskesmas

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi instansi


kesehatan khususnya program gizi puskesmas dalam perbaikan gizi
masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak
masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti
mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah
bertambah baik, namun kemampuan lain masih terbatas.

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat


sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya.Anak
balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat
kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup
anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008).

Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk


penyakit kurang energi protein (KEP) dan defisiensi vitamin A serta anemia
defisiensi Fe.Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan
perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat
berkumpul yang ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk
semua (Sediaoetama 2008).

2.2 Status Gizi

2.2.1 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik,
dan gizi lebih (Almatsier, 2006 yang dikutip oleh Simarmata 2009).

Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level
yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah
asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada
tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, dan
lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan
kesehatan (Riyadi, 2001 yang dikutip oleh Simarmata, 2009).

Status gizi adalah bagian tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara gizi buruk, kurang, baik, dan
lebih (Almatsier, 2009 dalam Devi sulviana 2012). Status gizi menjadi
penting karena merupaka salah satu faktor untuk terjadinya kesakitan dan
kematian. Status gizi yang baik pada seseorang akanberkontribusi terhadap
kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan
(achadi, 2007 dalam Devi Sulviana 2012).

Abas Basuni Jahari (2002) dalam buku praktis ahli gizi Politeknik
Kesehatan Depkes Malang (2008) mengungkapkan bahwa status gizi adalah
keadaan keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement)
zat gizi. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan,
yaitu berat badan, tinggi badan, panjang badan,lingkar kepala, lingkar
lengan, dan panjang tungkai. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan
gizi sesuai dengan yang dibutuhkan status gizi tidak seimbang dapat
dipresentasikan dalam bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat gizi
kurang dari yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi
melebihi dari yang dibutuhkan. Status gizi adalah keadaan tubuh akibat dari
oenggunaan zat-zat essensial ( zat gizi baik, buruk, dan lebih).istilah-istilah
malnutrisi adalah keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara
absolute satu atau lebih zat gizi. Ada 4 bentuk malnutrisi:

- Under nutrition (gizi kurang)

- Spesific Defeciency (kekurangan gizi spesifik)

- Over nutrition (gizi lebih)

- Imbalance (ketidakseimbangan)
2.2.2 Macam-Macam Status Gizi

Status gizi anak balita dapat dibedakan menjadi:

1. Gizi Baik

Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai
dengan kebutuhan aktifitas tubuh. Adapun ciri-ciri anak berstatus gizi
baik dan sehat adalah sebagai berikut (Zulaikhah, 2010) :

- Tumbuh dengan normal

- Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya

- Mata bersih dan bersinar

- Bibir dan lidah tampak segar

- Nafsu makan baik

- Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering

- Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan

2. Gizi Kurang

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.


Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan
kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak


terpenuhinya asupan makanan (Sampoerno, 1992). Gizi kurang dapat
terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau
lebih didalam tubuh (Almatsier, 2001).

Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain


menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi),
terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan,
kekurangan energy yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja,
dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan
mengenai gizi (Jalal dan Atmojo, 1998).

Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak


dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembbang. Hal ini dapat
terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang
mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah
kekurangan gizi antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI
(Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB)
(Apriadji, 1986).

3. Gizi Lebih

Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang


mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah
asupan energy yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada
yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan.
Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu
dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus,
penyakit jantung coroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak
lagi (Soerjodibroto, 1993).

Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas.
Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 27,0
kg/m2, sedangkan obesitas adalah 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas)
dapat terjad Mukai dari masa bayi, anak-anak, sampai usia dewasa.
Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak
selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita
kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan
pula.

Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut


berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap
akan terus mengalami kegemukan dari masa anak-anak terjadi sejak anak
tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara
bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa.
Kegemukan pada manusia dewasa terjadi karena seseorang telah
mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Suyono, 1986).

2.2.3 Kelompok Rentan Masalah Gizi

Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Notoatmodjo,2003) :

1. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun

2. Kelompok dibawah 5 tahun (balita); 1-5 tahun

3. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun

4. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun

5. Kelompok ibu hamil dan menyusui

6. Kelompok lansia (lanjut usia)

Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut ( Sediaoetama, 2004:255):

1. Bayi (0-1 tahun)

2. Balita (1-5 tahun)

3. Anak sekolah (6-13 tahun)

4. Remaja (14-20 tahun)

5. Ibu hamil dan ibu menyusui

6. Manula (usia lanjut)

Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Rimbawan dan Baliwati,


2004:24):

1. Lokasi tempat tinggal (rawan ekologis/daerah terpencil)

2. Rawan biologis (umur dan jenis kelamin)

3. Bayi dan anak sekolah

4. Wanita hamil dan menyusui


5. Penderita penyakit dan orang yang sedang dalam penyembuhan

Penderita cacat

2.2.4 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan
suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun
gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari
dua jenis, yaitu :

1. Penilaian Langsung

a. Antropometri

Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam


pengukuran dimensi tubuh dan komposisi dari berbagai tingkat umur
dan tingkat gizi. Secara umum digunakan untuk melihat
ketidkseimbangan asupan proteindan energi. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Pengukuran antropometri memliki beberapa kelebihan,yaitu :

1. Prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel


yang besar

2. Relative tidak membutuhkan tenaga ahli

3. Alatnya murah, mudh dibawa dan tahan lama

4. Metode ini tepat dan akurat

5. Dapat menggambarkan riwayat gizi di masa lampau

6. Umumnya dapat mengidentifikasikan status gizi sedang, kurang


dan buruk

7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.


Disamping itu pengukuran antropometri juga memiliki
kelemahan, yaitu :

1. Tidak sensitive

2. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik) dapat menurunkan


spesifikasi dan sensitifitas pengukuran

3. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat


mempengaruhi presisi dan akrasi serta validasi pengukuran
antropometri

4. Kesalahan dapat terjadi karena pengukuran, perubahan hasil


pengukuran, baik fisik maupun komposisi jaringan

5. Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan petugas yang


tidak ukup, kesalahan alat dan kesulitan pengukuran.

Ada 2 jenis ukuran antropometri yaitu ukuran linier dan ukuran


massa jaringan. Ukuran linier adalah yang berhubungan dengan
panjang. Contoh ukuran linier adalah panjang badan, lingkar dada
dan lingkar kepala. Ukuran linier yang rendah biasanya menunjukkan
keadaan gizi yang kurang baik akibat kekurangan energi dan protein
yang diderita waktu lampau (Poltekkes Depkes Malang, 2008).

Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh


ukuran massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas, dan
tebal lemak dibawah kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil,
menujukkan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan
protein yang diderita pada waktu pengukuran dilkukan (Poltekkes
Depkes Malang, 2008).

2. Penilaian Tidak Langsung

a. Survey Konsumsi Makanan

Survey Konsumsi Makanan adalah suatu metode penentuan status


gizi secara tidak langsungdengan melihat jumlah dan jenis zat gizi
yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada
masyarakat, keluarga, dan individu. Survey ini dapat
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa,2012).

Secara umum survey konsumsi makanan dimaksudkan untuk


mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bhan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan
perorangan serta factor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi
makanan tersebut. Secara lebih khusus, survey konsumsi digunakan
untuk berbagai macam tujuan yaitu menentukan tingkat kecukupan
konsumsi pangan nasional dan kelompok masyarakat, menentukan
status kesehatan dan gizi keluarga dan individu, menentukan
pedoman kecupan makanan dan program pengadaan pangan,
sebagaidasar perencanaan dan program pengembangan gizi, sebagai
sarana pendidikan gizi masyarakat, khususnya golongan yang
berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi dan menentukan
perundang-undangan yang berkenaan dengan makanan, kesehatandan
gizi masyarakat (Supariasa.2012).

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran


konsumsi makanana menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu
bersifat kualitatif dan kuantitatif :

a) Metode Kualitatif

Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk


mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis
makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food
habits) serta cra-cara memperoleh bahan makanan tersebut.
Metode-metode pengukuran konsumsi makanan bersifat antara
lain :

- Metode frekuensi makanan (food frequency)


- Metode dietary history

- Metode telepon

- Metode pendaftran makanan (food list)

b) Metode Kuantitatif

Untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi


dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar
kompoisis bahan makanan (DKBM) atau daftar lainyang
diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar
konversi Mentah- Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan
Minyak. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara
lain :

- Metode recall 24 jam

- Perkiraan makanan (estimated food records)

- Penimbangan makanan (food weighing)

- Metode food account

- Metode inventaris (inventoru method)

- Pencatatan (Household food record)

2.2.5 Jenis dan Parameter Status Gizi

Parameter antropometri adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia.


Dalam antropometri gizi, beberapa parameter yang banyak dikenal, yaitu :
umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar
kepala,dan jaringan lunak (Poltekkes Depkes Malang, 2008).

Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks


antropometri bisa merupakan rasio dari suatu pengukuran terhadap satu atau
lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi.
Parameter yang berkaitan dengan pengukuran indeks massa tubuh, terdiri
dari :
a. Berat Badan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan


mineral pada tulang.Pada remaja, lemak tubuh cenderung meninggkat,
dan protein otot menurun. Berat badan adalah salah satu memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan yang sangat mendadak.Berat badan adalah parameter
antropometri sangat labil.

Dengan keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan


keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat
badan berkembang mengikuti pertambahan umur.Sebaliknya dalam
keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan besar badan,
yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Supariasa, 2012).

Cara mengukur berat badan yaitu lrtakkan timbangan pada lantai


yang datar, pakaian seminimal mungkin, sepatu atau sendal harus
dilepaskan, periksa timbangan yang akan dipakai, harus selalu diingat
bahwa jarum harus menunjukkan skala 0 (nol), sampel berdiri diatas
timbangan. Sampel harus berdiri tegak dengan pandangan kedepan, lihat
angka pada timbangan yang menunjukkan berat badan dan catat berat
badan yang didapat dengan teliti Kelebihan parameter berat badan adalah
lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik
untuk mengukur status gizi akut dan kronis, berat badan dapat
berkualitas, sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dapat
mendeteksi kegemukan, sedangkan, kelemahan parameter berat badan
adalah dapat mengakibatkan interprestasi staus gizi yang keliru bila
terdapat edema maupun asites, didaerah pedesaan yang masih terpencil
dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara baik karena pencatatan
umur yang belum baik, memerlukan data umur yang akurat, terutama
untuk anak dibawah usia lima tahun, sering terjadi kesalahan dalam
pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan pada saat
pertimbangan, secara operasional sering mengalami hambatan karena
masalah social budaya setempat (Supariasa, 2012).

Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat


yang digunakan dilapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan
yaitu mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang
lainnya, mudah diperoleh dan relatif murah harganya, ketelitian
penimbangan sebaiknya maksimal 0,1 kg, skalanya mudah dibaca.

b. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan salah satu parameter yang penting bagi


keadaan yang telah lalu dan keadaan yang sekarang. Disamping itu tnggi
badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan
menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quick stick), faktor
umum dapat dikesampingkan (Supariasa, 2012).

Cara mengukur tinggi badan yaitu tempelkan mikroba dengan


paku pada dinding yang lurus datar setinggi 2 meter. Angka 0 (nol) pada
lantai yang datar rata, sepatu atau sendal dilepas, responden harus berdiri
tegak seperti sikap siap dalam baris-berbaris, kaki lurus, tumit, pantat,
punggung, dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding
dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan, turunkan
mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus
menempel pada dinding, baca angka pada skala yang nampak pada
lubang dalam gulungan mikrotoa. Angka tersebut menunjukkan tinggi
responden yang diukur (Supariasa,2012).

Keuntungan parameter tinggi badan adalah baik untuk menilai


status gizi masa lalu, ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan
mudah dibawa. Sedangkan, kelemahan parameter tinggi badan adalah
tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun, pengukuran
relatif sulit dilakukan karena harus berdiri tegak, sehingga diperlukan
dua orang untuk melakukannya, ketepatan umur sulit didapat, Indeks
Massa Tubuh (IMT) (Supariasa, 2012).

c. LILA

Pengukurann LILA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko


kekurangan energi protein (KEP) wanita usia subur (WUS). Pengukuran
LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi
dalam jangka pendek. Pengukuran LILA digunakan karena
pengukurannya sangat mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja.
Beberapa tujuan pengukuran LILA adalah mencakup masalahWUS baik
ibu hamil maupun calon ibu, masyarakat umum dan peran petugas lintas
sektoral.

Ambang Batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia


adalah 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut
mempunyai risiko KEK dan diperkirakan akan melahirkanberat bayi
lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang,
gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak.

Pengukuran LILA dilakukan melalui urut-urutan yang telah


ditetapkan. Ada 7 urutan pengukuran LILA, Yaitu:

1. Tetapkan posisi bahu dan siku

2. Letakkan pita antara bahu dan siku

3. Tentukan titik tengah lengan

4. Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan

5. Pita jangan terlalu ketat

6. Pita jangan terlalu longgar

7. Cara pembacaan skala harus benar

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah


pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri
(kecuali orang kidal kita ukur lengan kanan). Lengan harus dalam posisi
bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang dan
kencang. Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau
sudah dilipat-lipat sehingga permukaanya sudah tidak rata.

Rumus (Adisty, 2012) :

- Umur 2 bulan sampai 5 tahun (Standard Deviation ( z-score ))

Z score:

Persentel = x 100%

- Cut off Point :

Z-score :

Obesitas : > + 3 SD

Overweight : > + 2 SD s/d + 3 SD

Gizi Baik : - 2 SD s/d + 2 SD

Gizi Kurang : < - 2 SD s/d + 2 SD

Gizi Buruk : < - 3 SD

Percentile :

Gizi Baik : 85%

Gizi Kurang : 70 - < 85%

Gizi Buruk : < 70%

Tabel persentil LILA

Usia (Tahun) Persentil 50% (cm)


Laki-laki Perempuan
1 1,9 15,9 15,6
2 2,9 16,2 16,0
3 3,9 16,7 16,7
4 4,9 17,1 16,9
5 5,9 17,5 17,3
6 6,9 17,9 17,6
7 7,9 18,7 18,3
8 8,9 19,0 19,5
9 9,9 20,0 20,0
10 10,9 21,0 21,0
11 11,9 22,3 22,4
12 12,9 23,2 23,7
13 13,9 24,7 25,2
14 14,9 25,3 25,2
15 15,9 26,4 25,4
16 16,9 27,8 25,8
17 17,9 28,5 26,4
18 18,9 29,7 25,8
19 24,9 30,8 26,5
25 34,9 31,9 27,7
35 44,9 32,6 29,0
45 54,9 32,2 29,9
55 64,9 31,7 30,3
65 74,9 30,7 29,9
Sumber : Buku Harvard (WHO-NCHS) menggunakan persentil ke-50

2.2.6 Klasifikasi Status Gizi

a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

ndeks BB/U adalah pengukuran total berat badan, termasuk air,


lemak, tulang, dan otot, dan diantara beberapa macam indeks
antropometri, indeks BB/U merupakan indikator yang paling umum
digunakan. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat
ini (saat diukur) karena mudah berubah Untuk anak pada umumnya,
indeks ini merupakan cara baku yang digunakan untuk mengukur
pertumbuhan. Kurang berat badan tidak hanya menunjukkan konsumsi
pangan yang tidak cukup tetapi juga mencerminkan keadaan sakit yang
baru saja dialami, seperti mencret yang mengakibatkan berkurangnya
berat badan Pengukuran berat badan menurut umur secara teratur dan
seing dapat dipergunakan sebagai indikator kurang gizi.Hasil pengukuran
ini dapat menunjukkan keadaan kurang gizi akut atau gangguan-
gangguan yang mengakibatkan laju pertumbuhan terhambat.
b. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan kurang peka dipengaruhi oleh pangan dibandingkan


dengan berat badan . Oleh karena itu tinggi badan menurut umur yang
rendah biasanya akibat dari keadaan kurang gizi yang kronis, tetapi
belum pasti memberikan petunjuk bahwa konsumsi zat gizi pada waktu
ini tidak cukup TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu.
Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (7 th) menggambarkan
status gizi pada masa balita adalah sama dengan seperti pada yang sudah
dibahas sebelumnya yang menyangkut pengukuran itu sendiri maupun
ketelitian data umur. Masalah-masalah ini akan berkurang bila dilakukan
terhadap anak yang lebih tua dimana proses pengukuran dapat lebih
mudah dilakukan dan penggunaan selang 11 (range). Umur yang lebih
panjang (setengah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan
kesalahan data umur. Indeks TB/U disamping dapat memberikan
gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya
dengan masalah sosial ekonomi (Beaton dan Bengoa, 1973). Oleh karena
itu indeks TB/U selain digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula
digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi
masyarakat.

c. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Ukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan BB/TB


karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif
dan spesifik.Berat badan memiliki hubungan linier dengan berat
badan.dalam keadaan normal akan searah dengan pertambahan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu. Pada tahun 1966 Jelliffe
memperkenalkan penggunaan indeks BB/TB untuk identifikasi status
gizi, indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menanyakan
status gizi saat ini, terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh
karena itu indeks BB/TB disebut pula indikator status gizi yang
independen terhadap umur. Karena indeks BB/TB dapat memberikan
gambaran tentang proporsi berat badan relatif terhadap indikator
kekurangan, seperti halnya dengan indeks BB/U.

d. Indeks Masa Tubuh (IMT)

IMT digunakan untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada


kategori batas IMT yang digunkan, seperti yang terlihat pada tabel yang
merupakan ambang batas IMT untuk Indonesia.

IMT Anak (IMT/U)

IMT/U adalah indicator yang terutama bermafaat untuk


penapisan kelebihan berat badan dan kegemukan.Biasanya IMT tidak
meningkat dengan bertambahnya umur seperti yang terjadi pada berat
badan dan tinggi badan, tetapi pada bayi peningktan IMT naik secara
tajam karena terjadi peningkatan berat badan secara relative terhadap
anjang badan pada enam bulan kehidupan.IMT menurun pada bayi
setelah enam bulan dan tetap stabil pada umur 2 5 tahun. Idikator
IMT/U hampir sama dengan BB/PB atau BB/TB (Adisty, 2012).

IMT Dewasa

IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi


orang dewasa khususnya ang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih
panjang (Adisty, 2012)

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :2

BB
IMT = (TB)2

Untuk kepentingan Indonesia, ambang batas dimodifikasi lagi


berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian dibeberapa Negara
berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang batas IMT untuk
Indonesia adalah seperti tabel berikut (Adisty, 2012)
Kategori IMT untuk umur 5-18 tahun

Kategori Status Gizi Z score ambang batas


Sangat kurus <- 3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan <- 2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
(Sumber : WHO, 2005 dalam Kemenkes 2010)

e. Z-Score

Z-score merupakan indeks antropometri yang digunakan secara


internasional untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan, yang
diekspresikan sebagai satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan.
Untuk pengukuran z-score pada populasi yang didistribusinya normal,
umumnya digunakan pada indicator panjang atau tinggi badan anak.
Dengan rumus sebagai berikut :

(nilaiyangdiamatireferensimedian)
Z-score = zscorepopulasireferensi(SD )

2.2.7 Katergori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagai mana terdapat
pada tabel di bawah ini:

Tabel Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Ambang Batas (Z-score)


Gizi
Berat Badan Menurut Umur Gizi Buruk < - 3 SD
(BB/U) Anak Umur 0-60 Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD
Bulan Gizi Baik -2 sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD
Panjang Badan Menurut Sangat Pendek < - 3 SD
Umur (PB/U) atau Tinggi Pendek -3 SD sampai dengan -2 SD
Badan Menurut Umur
Normal -2 sampai dengan 2 SD
(TB/U) Anak Umur 0-60
Bulan Tinggi > 2 SD
Berat Badan Menurut Sangat Kurus < - 3 SD
Panjang Badan (BB/PB) atau Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi Normal -2 sampai dengan 2 SD
Badan (BB/TB) Anak Umur Gemuk > 2 SD
0-60 bulan
Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus < - 3 SD
Menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Anak Umur 0-60 bulan Normal -2 sampai dengan 2 SD
Gemuk > 2 SD
Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus < - 3 SD
Menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak Umur 5-18 Tahun Normal -2 sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber : Buku Harvard (WHO-NCHS) 2005

2.3 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

2.3.1 Karakteristik Keluarga

a. Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan


kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau
penelitian.Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain,
tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang
memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan
dapat dianggap pendidikan. Pendidikan sangat mempengaruhi status gizi
seseorang terutama bagi seorang ibu, semakin tinggi pendidikan ibu
maka semakin baik status gizi anak-anaknya begitu pule sebaliknya,
semakin rendah pendidikan seorang ibu maka semakin rendah pula status
gizi anak-anaknya.

Pendidikan orangtua mempengaruhi pertumbuhan dan


perkembangan anak antara lain dalam alokasi sumber daya untuk
pemeliharaan anak-anak ( Sotato, 1990). Latar belakang pendidikan ibu
berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga,
termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga sehari-hari.selain itu ibu
dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung akan memilih makan
yang lebih murah tetapi nilai gizi yang baik.

b. Pekerjaan

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh


kembang anak karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan zat
gizi pada tingkat keluarga ( Soetjiningsih, 1995). Penduduk golongan
miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan
makanan.Faktor yang dominan sebagian determinan konsumsi pangan
adalah pendapatan keluarga dan harga.Meningkatnya pendapatan berarti
memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan
menyebabkan kualitas dan kuantitas pangn yang dibeli (Baliwati, dkk
2004).

c. Suku

Dalam pengertian suku bangsa, suku ialah unit sosial MADAT


tertinggi, yang terdiri dari satu atau lebih marga (dalam Bahasa Ambon)
dikenal sebagai mataruma). Setiap marga atau mataruma atau fam
memiliki minimal satu keluarga. Dalam kasus unik, khususnya di antara
bangsa Papua ada contoh di mana satu marga hanya terdiri dari satu
keluarga atau satu suku memiliki satu marga saja. Masing masing marga
mempunyai pola makan yang berbeda dengan marga yang lain. Beberapa
marga ada yang terbiasa dengan sagu sebagai makanan pokoknya, dan
ada pula yang terbiasa jagung sebagai makan pokoknya, namun ada pula
marga yang vegetarian yang hanya mengkonsumsi satu jenis bahan
pangan sebagai makanan sehari-hari. Hal ini tentu bisa menjadi faktor
yang mempengaruhi status gizi seseorang terutama anak balita yang
sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan.
d. Agama

Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur


hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya,
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama
didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-
tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan
dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang
eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia
dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-
tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya dalam
memilih pangan yang akan dikonsumsi oleh keluarganya. Bagi agama
tertentu agama bisa mempengaruhi status gizi seseorang karena ada
beberapa agama yang melarang dan menganjurkan memakan makanan
tertentu yang mengandung nilai gizi tinggi.

e. Jumlah keluarga dan balita

Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan


keluarga. Pada tingkat penghasilan yang berbeda akan menghasilkan
tingkat ketersediaan pangan yang berbeda pula. Jumlah anak yang
banyak pada keluarga dengan status ekonomi yang rendah mempunyai
peluang anak menderita gizi buruk.Keterlibatan ibu ikut mencari nafkah
untuk membantu perekonomian keluarga menyebabkan pemenuhan gizi
balita terabaikan.(Faradevi, 2011).Jumlah anggota keluarga yang besar
akan mempengaruhi distribusi makanan terhadap anggota keluarga
terutama pada keluarga miskin yang terbatas kemampuannya dalam
penyediaan pangan, sehingga akan beresiko terhadap keadaan gizi
kurang.

Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap


kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, anak yang paling kecil
yang akan terpengaruh oleh karena kekurangan pangan, apabila anggota
keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang, asupan
makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab langsung
karena dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan
atau terhambat pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak
merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita (Faradevi,
2011).

Penelitian Bittikara, (2011) hubungan antara jumlah anak dengan


status gizi karena terjadi persaingan sarana dan prasarana, perbedaan
makanan, dan waktu perawatan anak berkurang. Penelitian Nurjana dan
Septiani, (2013) memiliki anak terlalu banyak menyebabkan kasih
sayang pada anak terbagi. Kondisi ini akan memburuk jika status
ekonomi keluarga tergolong rendah sumber daya yang terbatas, termasuk
bahan makanan harus dibagi rata kepada semua anak. Jumlah keluarga
merupakan variabel penting dalam menganalisis gizi, karena jumlah anak
dalam rumah tangga mempengaruhi sumber daya yang tersedia, jumlah
anak yang lebih besar dapat meningkatkan pajanan infeksi yang
mempengaruhi gizi buruk pada anak, serta ibu mengalami kesulitan
dalam membagi waktu dalam mengurus anak terutama jika ada salah satu
anak yang sakit (Olii, 2010).

2.3.2 Tingkat Konsumsi

Konsumsi pangan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi


status gizi secara langsung. Konsumsi pangan yang cukup akan membentuk
status gizi yang baik atau sebaliknya, konsumsi pangan yang tidak cukup
akan menimbulkan status gizi yang buruk pula. Menurut radhardja. P (2001)
yang dikutip Harper, Dkk (1985) bagi sebagian negara yang sedang
berkembang ada empat faktor yang sangat berpengaruh terhsdap konsumsi
pangan sehari-hari, yaitu produksi untuk keperluan rumah tangga,
pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan
tersedianya pangan.

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status


gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan
fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum
pada tingkat setinggi mungkin.

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi


makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif.

a. Metode Kualitatif

Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui


frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis makanan dan
menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-
cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode-metode pengukuran
konsumsi makanan bersifat antara lain :

1) Metode frekuensi makanan (food frequency)

2) Metode dietery history

3) Metode telepon

4) Metode pendaftaran makanan (food list)

b. Metode Kuantitatif

Untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi dapat


dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar komposisi bahan
makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan sepeti Daftar Ukuran
Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan
Daftar Penyerapan Minyak. Metode pengukuran konsumsi secara
kuantitatif antara lain :

1) Metode recall 24 jam

2) Perkiraan makanan (estimated food records)

3) Metode food account

4) Metode investaris (inventoru method)

5) Pencatatan (Household food record)

c. Metode Kualitatif dan Kuantitatif

Beberapa metode pengukuran bahkan dapt menghasilkan data


yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Metode tersebut antara lain :

1) Metode recall 24 jam

Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat


semua jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi pada periode 24
jam yang lalu. Dalam metode ini responden disuruh menceritakan
semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu
(kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bagun pagi kemarin sampai ia
istirahat tidur dimalam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu
saaat dilakukan wawancara mundur kbelakang sampai 24 jam
penuh.wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan
menggunakan kuisioner struktur. Apabila pengukuran dilakukan
hanya 1 kali 24 jam, makan data yang diperoleh kurang refresentatif
untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu
recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak
berturut-turut (Supariasa, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24


jam tanpa berturut-turut, dapat menggambarkan asupan zat gizi lebih
optimal dn memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian
individu. Adapun langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam yaitu :
- Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat
semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam
URT selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Untuk membantu
responden mengingat apa yang dimakan, perlu diberi penjelasan
waktu kegiatannya seperti waktu baru bangun, sesudah
sembahyang, pulang dari sekolah / bekerja, sesudah tidur siang
dan sebagainnya. Selainnya dari makanan utama, makanan kecil
atau makanan jalanan juga dicatat. Termasuk makanan yang
dimakan diluar rumah seperti restoran, kantor dan lain-lain.
Petugas melakukan konversi dari URT kedalam ukuran berat
(gram). Dalam perkiraan ukuran berat (gram) pewawancara
menggunakan berbagai alat bantu seperti contoh URT (piring,
gelas, sendok dan lain-lain) atau model dari makanan (food
model). Makanan yang dikonsumsi dapat dihitung dengan alat
bantu atau komposisi makanan jadi.

- Menganalisis bahan makanan kedalam zat gizi dengan


menggunakan DKBM

- Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan


(DKAG) atau AKG untuk Indonesia.

Kelebihan metode recall 24 jam adalah mudah melaksanakannya


serta tidak terlalu membebani responden, biaya relative murah karena
tidak memerlukan alat khusus dan tempat yang luas untuk
wawancara, cepat sehingga dapat mencakup banyak responden, dapat
digunakan untuk responden yang buta huruf, dan dapat memberikan
gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga
dapat dihitung intake gizi sehari. Sedangkan kakurangan metode
recall 24 jam adalah tidak dapat menggambarkan asupan makan
sehari-hari bila dilakukan recall satu hari, ketetapannya sangat
bergantung pada daya ingat responden, kecenderungan bagi
responden kurus melaporkan konsumsinya lebih banyak dan untuk
responden gemuk melaporkan konsumsinya lebih sedikit, dan
membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil,
responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tuuan dari
penelitian, dan untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan
sehari-hari recall jangan dilakukan saan panen, hari pasar, hari akhir
pecan, pada saat melakukan upacara keagamaan, selamatan dan lain-
lain (Supariasa, 2012).

Keberhasilan metode recall 24 jam ini sangat ditentukan oleh


daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari
pewawancara, maka untuk meningkatkan mutu data recall 24 jam
dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak
berturut-turut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke
hari (Supariasa, 2012).

A. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita

Energi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan,


perkembangan, aktivitas otot, fungsi metabolic lainnya (menjaga suhu
tubuh, menyimpan lemak tubuh). Sumber energi makanan berdasarkan
dari karbohidrat, protein dan lemak (Soetjiningsih 2007).

Karbohidrat terutama terdapat dalam bahan makanan yang


berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hanya sedikit yang termasuk bahan
makanan hewani. Umumnya karbohidrat nabati yang dimakan manusia
berasal dari biji, batang dan akar tumbuhan dimana karbohidrat ini
tertimbun. Jenis buah-buahan seperti pisang, nangka, beras, gandum,
maupun ubi (Santoso dan Rianti, 2004 dalam Dewi Sulviana 2012).

Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya


(ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak adalah kurang perhatian,
gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan
tubuh terhadap penyakit infeksi (Almatsier, 2001).
Balita membutuhkan energy (sebagai kalori) untuk
memungkinkan mereka untuk beraktifitas serta untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh mereka. Tubuh mendapatkan energi terutama dari
lemak dan karbohidrat tetapi juga beberapa dari protein. Anak-anak usia
balita membutuhkan kalori yang cukup banyak disebabkan bergeraknya
cukup aktif pula. Mereka membutuhkan setidaknnya 1500 kalori setiap
harinya. Dan balita bisa mendapatkan kalori yang dibutuhkan pada
makanan-makanan yang mengandung protein, lemak dan gula.

Protein disebut juga zat pembangun, sangat diperlukan untuk


pertumbuhan, perkembangan badan, pembentukan jaringan tubuh dan
pemeliharaan tubuh. Protein bermanfaat menjernihkan pikiran dan
meningkatkan pikiran dan meningkatkan kecerdasan. (Badrian, 2011).

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan


bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang
tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta
memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2001). Protein
diperlukan untuk pembentukan dan perbaikan jaringan tubuh termasuk
darah, enzim, hormon, kulit, rambut, dan kuku. Angka energi yang
ditunjukkan akan demikian tergantung dari macam dan jumlah bahan
makanan nabati dan hewani. Protein hewani mengandung lemak jenuh,
sedangkan protein nabati mengandung lemak tak jenuh. Bahan makanan
hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun
mutu, tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi protein rata-rata
penduduk Indonesia. Sedangkan bahan makanan nabati yang kaya dalam
protein adalah kacang-kacangan, dengan kontribusinya rata-rata terhadap
konsumsi protein 9,9% (Almatsier, 2001). Kekurangan protein murni
pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah
lima tahun (Almatsier, 2001).

Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan dan


perbaikan jaringan tubuh, serta untuk membuat enzim pencernaan dan
zat kekebalan yang bekerja untuk melindungi tubuh si kecil. Kebutuhan
protein secara proporsional lebih tinggi untuk anak-anak daripada orang
dewasa. Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pad makanan
yang mengandung protein. Karena protein sendiri bermanfaaat sebagai
perkusor untuk neurotransmitter demi perkembangan otak yang baik
nantinya. Protein bisa didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan,
susu, telur, 2 butir, daging 2 ons dan sebagainya.

B. Kategori Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Tingkat konsumsi anak balita diolah dengan mengkonversi bahan


makanan yang diperoleh dari hasil recall dengan bantuan DKBM
kedalam dua macam zat gizi yaitu energi dan protein. Angka yang
diperoleh tersebut dibandingkan dengan AKG untuk Indonesia, yaitu :

- Konsumsi Energi:

Lebih : > 105% AKE

Baik : 100 105% AKE

Kurang : 70 99% AKE

Defisit : <70% AKE

(Ariani, et al. 2006 dalam Widajanti 2009)

- Konsumsi Protein:

Lebih : >100% AKE

Baik : 80 100% AKE

Kurang : <80% AKE

(Ariani, et al. 2006 dalam Widajanti 2009)

Tingkat konsumsi anak balita diolah dengan mengkonversi bahan


makanan yang diperoleh dari hasil Recall dengan bantuan DKBM
kedalam 4 macam zat gizi yaitu energi, vitamin A, dan zat besi. Angka
yang diperoleh tersebut kemudian dihitung dan dibandingkan dengan
kebutuhan gizi per individu.

Rumus :

energi recall
AKG individu* untuk energi = AKG individu 100%

proteinrecall
AKG individu untuk protein = AKG individu 100%

vit A recall
AKG individu untuk vitamin A = AKG individu 100%

Fe recall
AKG individu untuk Fe = AKG individu 100%

Kemudian hasil presentasi dikategorikan menjadi :

Baik : 100% AKG

Sedang : 80% s/d 99% AKG

Kurang : 70% s/d 80% AKG

Defisit : 70% AKG

*AKG individu : Angka Kebutuhan Gizi Individu

2.3.3 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi menurut Notoatmojo (2007) infeksi adalah terjadinya


suatu penyakit pada seseorang sebagai akibat kekebalan/resistensinya yang
menurun. Bayi sangat rentan untuk terjangkit penyakit infeksi. Oleh sebab
itu, sangat peru menjaga kesehatan balita karena status kesehatan anak akan
mempengaruhi tumbuh kembangnya. Anak yang sering sakit infeksi akan
terganggu tumbuh kembangnya (Kemenkes RI, 2010).

Pada penyakit infeksi yang dibarengi dengan demam, terjadinya banyak


kehilangan nitrogen dari perombakan protein tubuh. Agar seseorang pulih
pada keadaan kesehatan yang normal, diperlukan peningkatan dalam protein
makanan. Infeksi juga meningkatkan keperluan akan energy dan beberapa
zat gizi lain. Meskipun demikian,selama dalam keadaan sakit, selera makan
seseorang sering menurun atau bahkan hilang. Jika seseorang yang
menderita penyakit infeksi tersebut tidak makan cukup secara teratur, maka
gangguan gizi yang parah dapat terjadi pada waktu sakit. Infeksi dan jenis
penyakit lainnya menambah kemungkinan timbulnya kurang energy dan
protein. Selain itu mereka yang sakit atau sedang dalam penyembuhan
penyakit, memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang
buruk. Hal ini disebabkan karena infeksi dan adanya demam dapat
menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan
meneladankan mencernakan makanan (Suhardjo, 1989).

Hal yang sama dikatakan pula oleh Soetardjo, dkk, (1990) bahwa pada
penderita penyakit infeksi seringkali terjadi kehilangan nafsu makan, tingkat
konsumsinya rendah. Oleh karena itu, penderita penyakit infeksi harus
diberikan makanan dengan energy dan protein yang tinggi untuk mengurangi
kerusakan jaringan tubuh yang lebih lanjut karena penyakitnya. Kebutuhan
energy dan protein yang meningkat pada penyakit infeksi disebabkan karena
adanya infeksi dan demam.

Sayogyo, dkk (1994) juga mengatakan bahwa protein selain digunakan


untuk pertumbuhan, juga diperlukan untuk menggantikan sel-sel yang rusak.
Pada waktu sakit, alat-alat dalam badan akan bekerja lebih keras dan lebih
banyak sel-sel mati dalam masa menderita penyakit infeksi. Ini pun
merupakan sebab lebih banyak protein yang diperlukan dalam masa
memulihkan kembali kesehatan. Kemudian menurutMustafa (1990)
dikatakan bahwa pada anak yang terserang penyakit infeksi, makanan
berfungsi untuk pertumbuhan sel-sel baru, sehingga pertumbuhan balita akan
terganggu.

Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan dan


perkembangan. Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang erat
hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Apabila seorang anak
terkena defisiensi gizi maka kemungkinan besar sekali anak akan mudah
terkena infeksi. Gizi ini sangat berpengaruh terhadap nafsu makan,
kehilangan bahan makanan misalnya melalui diare dan muntah-muntah, serat
metabolism makanan pada anak. Selain itu juga dapat diketahui bahwa
infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan
sumber-sumber energy tubuh (Proverawati, dkk 2010).

Secara umum, defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan


system kekebalan tubuh. Gizi kurang dan infeksi, kedua-duanya dapat
bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi
buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi menghambat rekasi
imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energy di
tubuh. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaiknya. Gangguan gizi dan
infeksi sering saling bekerja bersama-sama dan bila bekerja bersama-sama
akan memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan bila
kedua factor tadi masing-masing bekerja sendiri-sendiri . infeksi
memperburuk taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi memperburuk
kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi. Kuman-kuman yang
kurang berbahaya bagi anak-anak dengan gizi buruk (Santoso, dkk, 2004).

Bayi yang memperoleh ASI biasanya jarang mengalami sakit karena ASI
mengandung zat protektif, diantaranya adalah : Lactobacillus bifidus,
Lactoferin, antibody dan tidak menimbulkan alergi. Lactobacillus bifidus
berperan dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang biasanya
dapat menyebabkan diare. Lactobacillus lebih mudah tumbuh pada usus bayi
yang mendapat ASI karena ASI mengandung polisakarida yang berikatan
dengan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan Lactobacillus bifidus
(Sulistyoningsih, 2011)

- Penyakit Infeksi pada Balita

Penyakit infeksi adalah penyakit yang diakibatkan oleh masuknya


dan berkembangnya mikroorganisme pathogen ke dalam tubuh yang
mengakibatkan radang. Infeksi pada balita dapat menyebabkan
merosotnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan
mencerna makanan. Penyakit infeksi meningkatkan keperluan akan zat
gizi. Pada keadaan ini, untuk beberapa hari konsumsi makanan biasanya
berkurang. Dengan demikian, tubuh kehilangan zat gizi yang perlukan.
Anak- anak yang sehat dan jarang sakit biasanya akan memiliki tubuh
lebih berat dan lebih tinggi (status gizi yang baik) daripada anak yang
sakit. Tingkat keadaan gizi yang baik akan memberikan resistensi yang
tinggi dari tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi misalnya ISPA dan
Diare. Sebaliknya penyakit infeksi akan memperpendek tingkat keadaan
gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan
oleh tubuh.

Beberapa penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kurang gizi


seperti, TB paru, ISPA/pneumonia.

Diare

Diare merupakan penyakit yang berhubungan dengan


pencernaan. Diare adalah Keadaan frekuensi buang air lebih dari 4
kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak,konsistensi feces encer
dapat berwarna hijau atau dpata pula bercampur lendir dan darah atau
lendir saja. Gejalannya adalah mula-mula pasien cengeng, gelisah,
suhu tubuh biasanya meningkat,nafsu makan berkurang atau tak ada,
kemudian timbul diare, tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir
dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijauan karena
bercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet
karena sering defeksi dan tinja makin lama makin asam sebagai
akibat makin banyak asam laktat yang berasal dari laktosa yang
diabsorsi oleh usus selama diare.

TB Paru
Selain itu penyakit infeksi lainnya adalah penyakit tuberculosis
merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (microbacterium tuberculosis), sebagian besar kumar TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainya.
Setelah infeksi primer kuman yang masih ada besarnya respon daya
tahan tubuh (imunitas seluler), ada beberapa kuman akan menetap
sebagai kuman persisten atau dormant (tidur) kadang- kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan menjadi
penderita tuberculosis.

2.3.4 Social Ekonomi

Social adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat ( Pius Dan


Dahlan, 2001 ). Ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan guna mencapai kemakmuran hidupnya , pengaturan rumah tangga
( Pius Dan Dahlan, 2001 ).

Social ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur social


ekonomi keluarga harus melalui variabel-variabel pendapatan keluarga,
tingkat pendidikan dan pekerjaan ( Notoadmodjo, 2005 ).

Keadaan social ekonomi pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai


masalah kesehatan yang dihadapi, hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan dan ketidaktahuan dalam mengatasi berbagai masalah
tersebut ( Effendi Nasrul, 1998 )

Variable yang diukur dalam social ekonomi:

1. Pendapatan keluarga

Kemiskinan sebagai salah satu determinan social ekonomi


merupakan penyebab gizi kurang yang pada umumnya mernduduki
posisi pertama (Suhardjo, 2008). Menurut Emil Salim ( Hartomo, 2004 )
bahwa kemiskinan merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai
kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling
pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dll. Salah satu akibat
dari kurangnya kesempatan kerja adalah rendahnya pendapatan
masyarakat. Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia tidak lepas dari
struktur perekonomian Indonesia yang sebagian besar masih tergantung
pada sector pertanian termasuk masyarakat yang sebagian besar hidup
dari hasil pertanian dan pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris hanya
bersifat sambilan sebagai pengisi waktu luang ( Ahmadi Abu,1997 ).
Tolak ukur yang umumnya digunakan untuk penggolongan seseorang
atau masyarakat dikatakan miskin adalah tingkat pendapatan ( Ahmadi
Abu,1997).

Dalam pengertian umum pendapat adalah hasil pencarian usaha,


Budiono ( 1992 :1) mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil
penjualan faktor-faktor produksi yang dimilikinya kepada sektor
produksi. Sedangkan menurut Winardi (1992:171) pendapatan adalah
hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai dari seluruh
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu badan usaha dalam suatu
periode tertentu.

Sedangkan yang dimaksud pendapatran keluarga pada penelitian


ini adalah pendapatan berupa uang dan barang yang diperoleh orang tua
dan anggota keluarga lainnya yang bersumber dari kerja pokok dan kerja
sampingan ( Soedjiningsih, 1995 ). Pendapatan merupakan factor yang
mempengaruhi dan menentukan kebutuhanakan kualitas dan kuantitas
kebutuhan makanan dengan jumlah dan mutu yang memadai. Keluarga
dengan pendapatan kurang akan membelanjakan sebagian pendapatannya
untuk membeli makanan ( Berg, 1986 ). Tingkat pendapatan keluarga
dapat dilihat dari besar pendapatan yang berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi pangan termasuk zat gizi (Berg, 1986 ). Pendapatan keluarga
akan menentukan daya beli makanan, tersedia untuk tidaknya makanan
dalam keluarga akan mempengaruhi asupan zat gizi ( Prawirohartono
1996 ).
Perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh berbagai
golongan penerimaan pendapatan.Penggolongan ini didasarkan pada
besarnya pendapatan yang mereka terima.

Tabel Persentase Penduduk dan Jumlah PendapatanMenurut Golongan


Pendapatan di Kabupaten Banjar Tahun 2012

Persentase Kumulatif
Kumulati
Persentase Jlh Pendapatan Jlh Persen
Gol. Pendapatan f Persen
Penduduk (Rp) Pendapata Pendapata
Penduduk
n n
<350.000 12,48 12,48 19.584.949.226,77 4,69 4,69
350.000-449.999 15,57 28,25 32.955.638.774,36 7,89 12,57
450.000-549.999 11,09 39,34 28.797.005.278,15 6,89 19,46
550.000-649.999 13,67 52,41 41.354.087.975,35 9,90 29,36
650.000-749.999 10,11 62,52 37.210.360.249,67 8,90 38,27
750.000-849.999 8,53 71,05 35.909.311.115,13 8,59 46,89
850.000-949.999 5,67 76,72 26.571.524.877,33 6,39 53,22
950.000 195.403.609.886,1
23,28 100,00 46,78 100,00
7
Kab. Banjar 417.876.487.382,9
100,00 100,00
2

2. Cara Mengukur Pendapatan

Definisi : penghasilan setiap bulan dari seluruh anggota keluarga ( dalam


rupiah ) yang didekati dengan pengeluaran pangan dan non pangan
keluarga bagi seluruh anggota keluarga.

Cara mengukur : data diperoleh dari hasil kuisioner yang ditanyakan


pada responden.

2.3.5 Pengetahuan Ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setalah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal
dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku
petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebgainya
(Notoatmojo 2003), bisa juga melalui proses pembelajaran seperti
penyuluhan, pelatihan atau kursus (Istiarti, 2000).

Pengetahuan gizi memegang peranan sangat penting dalam menggunkan


mkanan yang baik sehingga daapt mencapai keadaaan gizi yang cukup.
Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagai pengelola rumah tangga berpengaruh
pada jenis bahan makanan yang dikonsumsi rumah tangga sehari-hari.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan
non formal. Pengetahuan gizi memegang peranan sangat penting dalam
menggunakan makanan dengan tepat, sehingga dapat tercapai keadaan dan
status gizi yang baik (Suhardjo, 1989).

Menurut hasil penelitian Ikhwansyah (2004) di Kecamatan Y Kabupaten


Z, terdapat hubungan secara bermakna (p > 0,05) antara pengetahuan ibu
dengan status gizi anak balita. Serta sejalan dengan Penelitian Yudi (2008) di
Kecamatan Y Kota Z.

- Pendidikan Ibu

Menurut Slope (1989), pendidikan adalah jenjang pendidikan


formal yang pernah dialami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang dalam kesehatan terutama pada pola asuh anak,
alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya. Rendahnya
tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam
menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya (Herman,
1990).

Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang


ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga,
serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan
khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuan dan
mampu menerapkan dalam kehidupan seharihari (Depkes RI, 1990).

Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan.


Mulai dari usia anakanak sampai dewasa karena itu memerlukan
beraneka cara dan sumber (Depkes RI, 1990). Tingkat pendidikan
merupakan salah satu indikator social dalam masyarakat karena melalui
pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah
citra sosialnya. Di samping itu, tingkat pendidikan dapat juga dijadikan
sebagai cermin keadaan social ekonomi didalam masyarakat (Soekirman,
1994). Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya adalah untuk
menghilangkan faktorfactor perilaku dan social budaya yang
merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menumbuhkan perilaku
dan social budaya yang positif sehinggabaik individu maupun
masyarakat itu dapat meningkatkan sendiri taraf kesehatan masyaraka
(Soekirman, 1994).

Tingkat pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat


bagi penambahan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang
dimilikinya, tetapi juga merupakan bekal atau sumbangan dalam upaya
memenuhikebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung padanya.

Pendidikan ibu merupakan factor yang sangat penting. Tinggi


rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengertahuan terhadap perawatan kesehatan, pemeriksaan kehamilan dan
pasca persalinan, serta kesadaran terhada kesehatan dan gizi anakanak
dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada factor
social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup,
makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan
untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan
gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap
terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil
tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).
2.3.6 Ketersedian Pangan Ditingkat Rumah Tangga

A. Ketersediaan Pangan

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi


merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi.
Keterbatasanapapun yang diakibatkan kemiskinan dan kekurangan
pangan kecualidalam keadaan tertentu, penggunaan yang lebih baik dari
pangan yangtersedia dapat dilakukan penduduk yang memehami
penggunaanyauntuk membantu peningkatan status gizi, sehingga
membantupenduduk untuk balajar cara menanam, menyimpan dan
menggunakanpangan untuk memperbaiki konsumsi makanan
(Suharjo,1999).

Metode pencatatan dilakukan dengan cara keluarga mencatat


setiap hari semua makanan yang dibeli, diterima dari orang lain ataupun
dari hasil produksi sendiri. Jumlah makanan dicatat dalam URT,
termasuk harga eceran bahan makanan tersebut. Cara ini tidak
memperhitungkan makanan cadangan yang ada di rumah tangga dan juga
tidak memperhatikan makanan dan minuman yang dikonsumsi di luar
rumah dan rusak, terbuang/tersisa atau diberikan pada binatang piaraan.
Lamanya pencatatan umumnya tujuh, hari (Gibson, 1990). Pencatatan
dilakukan pada formulir tertentu yang telah dipersiapkan.

Langkah-langkah pencatatan (food account)

1. Keluarga mencatat seluruh makanan yang masuk ke rumah yang


berasal dari berbagai sumber tiap hari dalam URT (ukuran rumah
tangga) atau satuan ukuran volume atau berat.

2. Jumlahkan masing-masing jenis bahan makanan tersebut dan


konversikan kedalam ukuran berat setiap hari.

3. Hitung rata-rata perkiraan penggunaan bahan makanan setiap hari.


B. Cara Mengukur Ketersediaan

Ketersediaan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)


dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidak cukupan
energi yang mennjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh
defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energy yang
dianjurkan ( < 70% ). Berdasarkan ukuran tersebut, akan dikatakan
kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan
disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan pangan tidak
berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak
disertai penurunan berat badan , bila tingkat kecukupan energinya 70
80% maka dikatakan rawan pangan sedang, bila tingkat kecukupan
energy 81 90% maka dikatakan rawan pangan ringan, dan bila tingkat
kecukupan energy lebih dari 90% maka dikatakan tahan pangan.
Kemiskinan identik dengan ketidak tahanan pangan. Sajogyo secara
monumental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara
beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan 480 kg di perkotaan.Khomsan
(1997) dalam Khomsan (2002) mengkaji indicator kemiskinan,
ditemukan bahwa konsumsi daging sapi <4 kali sebulan dan konsumsi
telur <4 kali seminggu dapat dimasukkan dalam kategori miskin.Dengan
ikan asin sebagai indikator, seseorang dikatakan miskin bila
konsumsinya 110 gr/kapita/minggu.Semakin banyak mengkonsumsi
ikan asin semakin besar peluangnya untuk masuk ke dalam kategori
sebagai orang miskin.Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh
masyarakat sebagai komoditas inferior.Padahal dari segi gizi, ikan asin
sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35 40%.

C. Klasifikasi Ketersediaan Pangan

Kriteria ketahanan pangan rumah tangga dapat diklasifikasikan


sebagai berikut :
Tahan pangan : proporsi pengeluaran pangan ( 60%), konsumsi
cukup (> 80% AKG)

Rentan pangan : proporsi pengeluaran pangan (> 60%), konsumsi


cukup (> 80% AKG)

Kurang pangan : proporsi pengeluaran pangan ( 60%), konsumsi


kurang ( 80% AKG)

Rawan pangan : proporsi pengeluaran pangan (> 60%), konsumsi


kurang ( 80% AKG)

AKG yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada widyakarya


Nasional Pangan dan Gizi (WNPKG) 2004.

2.3.7 Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau


keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positip terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimum pula (Notoatmodjo, 2003).
Sedangkan kesehatan lingkungan menurut WHO adalah ilmu dan
keterampilan yang memusatkan perhatiannya pada usaha pengendalian
semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan
menimbulkan/akan menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan
fisiknya, kesehatannya, maupun kelangsungan hidup (Adnani, 2001).

Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi


hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat
akan memperngaruhi sikap dan perilaku manusia (Widyati, 2002).

Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi (adnani, 2001) :

1. Masalah perumahan

Masalah perumahan yang mengalami perkembangan dari jaman


manusia purba sampai ke zaman modern adapun :

a. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun rumah.


- Faktor lingkungan fisik dan biologis

- Tingkat ekonomi masyarakat

- Teknologi yang dimiliki masyarakat

- Kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur yang menyangkut tata


guna tanah

b. Syarat-syarat rumah yang sehat

- Bahan bangunan : lantai, dinding, atap genteng dan lain-lain.

- Ventilasi : alamiah dan buatan

- Cahaya : alamiah dan buatan

- Luas bangunan rumah 2,5-3 m2

- Fasilitas-fasilitas didalam rumah sehat : penyediaan air bersih


yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan air limbah,
pembuangan sampah, fasilitas dapur dan ruang berkumpul.

2. Pembuangan kotoran manusia (tinja)

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai
lagi oleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang
harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feses), air seni
(urin), dan CO2 sebagai proses dari pernapasan. Pembuangan kotoran
manusia di dalam tulisan ini dimaksudkan hanya tempat pembuangan
tinja dan urin, yang pada umumnya disebut latrin (jamban atau kakus).
Proses pembuangan kotoran dapat terjadi (bergantung pada individu dan
kondisi) antara sekali setiap dua hari hingga beberapa kali dalam satu
hari.

Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia


melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan disepanjang
sistem saluran pencernaan (tractus digestifus). Pengertian tinja ini juga
mencakup seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia
termasuk karbon monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari
proses pernapasan, keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya
(Soeparman, 2002). Ekskreta manusia yang berupa feses dan air seni
(urin) merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh
manusia yang menyebabkan pemisahan dan pembuangan zat-zat yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh (Chandra, 2007).

Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan


menurut Ehlers dan Steel adalah (Entjang, 2000) :

- Tidak boleh mengotori tanah permukaan

- Tidak bleh mengotori air permukaan

- Tidak boleh mengotori air dalam tanah

- Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat


bertelur atau perkembang biakan vektor penyakit lainnya

- Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain

- Pembuatannya mudah dan murah

3. Penyediaan air bersih

Penyediaan air bersih sangat komplek untuk minum, masak,


mandi, mencuci dan sebagainya. Menurut WHO di negara-negara maju
tiap orang memerlukan air diantara 120-160 liter perhari, sedangkan di
negara berkembang tiap orang memerlukan 30-60 liter per hari.

Syarat syarat air minum yang sehat :

- Syarat fisik : bening, tidak terasa, suhu di bawah suhu udara di


luarnya

- Syarat bakteriologis : bebas bakteri patogen secara pemeriksaan


dengan memeriksa sampel jika dalam 100 cc air terdapat > 4 bakteri
e coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat
- Tidak mengandung kuman penyakit seperti desentri, tipus, kolera,
dan bakteri patogen penyebab penyakit

- Syarat kimia : bahan-bahan atau zat kimia yang ideal terdapat di


dalam air

Pada umunya kualitas air baku akan menentukan besar kecilnya


investasi instalasi penjerrnihan air dan biaya operasi serta
pemeliharaannya. Sehingga semakin jelek kualitas air semakin berat
beban masyarakat untuk membayar harga jual air bersih. Air bersifat
universal dalam pengertian bahwa air mampu melarutkan zat-zat yang
alamiah dan buatan manusia untuk menggarap air alam, menigkatkan
mutunya sesuai tujuan, pertama kali harus diketahui dahulu kotoran dan
kontaminan yang terlarut di dalamnya. Pada umunya kadar kotoran
tersebut tidak terlalu besar. Dengan berlakunya baku mutu air untuk
badan air, air limbah dan air bersih, maka dapat dilakukan penilaian
kualitas air untuk berbagai kebutuhan.

4. Pengolahan sampah

Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan,


tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari
kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2007).
Banyak sampah organik masih mungkin digunakan kembali/pendaur
ulangan (reusing), walaupun akhirnya akan tetap merupakan
bahan/meterial yang tidak dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).

Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh


negara di dunia. Tidak hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga di
negara-negara maju, sampah selalu jadi masalah. Rata-rata setiap harinya
dikota-kota besar di Indonesia mengahasilkan puluhan ton sampah.
Sampah-sampah itu diangkut oleh truk-truk khusus dan dibuang atau
ditumpuk begitu saja di tempat yang sudah disediakan tanpa diapa-
apakan lagi. Dari hari ke hari sampai itu terus menumpuk dan terjadilah
bukit sampah seperti sering kita lihat.

a. Karakteristik Sampah

Garbage yaitu jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa potongan


hewan atau sayuran dari hasil pengolahan yang sebagian besar
terdiri dari zat-zat yang mudah membusuk, lembab, dan
mengadung sejumlah air bebas.

Rubbish terdiri dari sampah yang dapat terbakar atau yang


tidak dapat terbakar yang berasal dari rumah-rumah, pusat-pusat
perdagangan, kantor-kantor, tapi yang tidak termasuk garbage.

Ashes (Abu) yaitu sisa-sisa pembakaran dari zat-zat yang


mudah terbakar baik di rumah, di kantor, industri.

Street Sweeping ( sampah jalanan ) berasalah dari pembersihan


jalan dan trotoar baik dengan tenaga manusia maupun dengan
tenaga mesin yang terdiri dari kertas-kertas, daun-daunan.

Dead Animal (bangkai binatang) yaitu bangkai-bangkai yang


mati karena alam, penyakit atau kecelakaan.

Houshold Refuse yaitu sampah yang terdiri dari rubbish,


garbage, ashes, yang berasal berasal dari perumahan.

Abandonded Vehicles (Bangkai Kendaraan) yaitu bangkai-


bangkai mobil, truk, kereta api.

Sampah industri terdiri dari sampah padat yang berasal dari


industri-industri, pengolahan hasil bumi.

Demolition Wastes yaitu sampah yang berasal dari


pembongkaran gedung.

Construction Wastes yaitu sampah yang berasal dari sisa


pembangunan, perbaikan dan perbaharuan gedung-gedung.
Sawage Solid terdiri dari benda-benda kasar yang umumnya zat
organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengolahan
air buangan.

Sampah Khusus yaitu sampah yang memerlukan penanganan


khusus misalnya kaleng-kaleng cat, zat radioaktif.
(Mukono,2006).

2.3.8 Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian Pelayanan Kesehatan

Definisi pelayanan kesehatan menurut (Depkes RI,2009) adalah


setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan per
orangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.

2. Tujuan Pelayanan Kesehatan

Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan


masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat,
melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan, pada institusi
pelayanan yang diselenggarakan secara efisien. Interaksi ketiga pilar
utama pelayanan kesehatan yang serasi, selaras, dan seimbang,
merupakan panduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini merupakan
pelayanan kesehatan yang memuaskan (Ahmad, Djojosugitjo, 2001).

3. Bentuk pelayanan kesehatan

- Puskesmas

Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang


merupakan suatu pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang
juga membina peran serta masyarakat yang memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat diwilayah
kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (Depkes RI,1991).
- Posyandu

Posyandu pelayanan terpadu (posyandu) merupakan pelayanan


berbasis masyarakat. Kegiatan posyandu antara lain berupa kegiatan
imunisasi, penimbangan, pemberian makanan tambahan serta
penyuluhan gizi dan kiesehatan. Oleh karena itu upaya ibu balita
untuk membawa ke posyandu merupakan sesuatu aktifitas yang
positif agar kesadaran untuk membawa ke tempat pelayanan
kesehatan dapat mencegah terjadinya masalah gizi dan kesehatan
balita. Pada kegiatan reskesdas telah dilakukan pengambilan data
status gizi balita secara keseluruhan.

Kegiatan posyandu yang paling masyarakat dewasa ini adalah


dengan lima program pokok prioritas mencakup pelayanan
gizi,kesehatan ibu dan anak (KIA), KB 9keluarga berencana),
imunisasi dan penanggulangan diare.

A. Pelayanan gizi

Tujuan pelayanan gizi yang utama adalah untuk menurunkan


angka kurang kalori protein (KKP) dan kebutaan karena kekurangan
vitamin A pada balita, serta anemia gizi pada ibu hamil. Tujuan ini dapat
tercapai lebih efekti dan efesien dengan jalan memadukan kegiatan
kegiatan penyuluhan gizi, pelayanan kesehatan dasar dan keluarga
berencana di posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui,
dan pasangan usia subur (PUS). Pelayanan gizi di posyandu meliputi :
pemantauan pertumbuhan melalui penimbangan berat badan balita,
pendistribusi kapsul vitamin A, Zat besi (Fe), pemberian larutan oralit,
penyuluhan gizi dan pemberian makanan tambahan (Sepkes RI, 1990).

1. Vitamin A

Pemberian kapsul vitamin A kepada anak anak di bawah umur 5


tahun vitamin A dapat memperkuat kekebalan tubuh balita terhadap
beberapa penyakit. Pemberian vitamin A pada balita pada bulan
agustus di posyandu. Ada dua jenis kapsul vitamin A:

1. Untuk umur 6-11 bulan diberikan 2 kali setahun.

2. Untuk anak umur 1-5 tahun di berikan dua kali setahun.

2. KIA

- Ibu hamil

Pelayanan meliputi :

1. Penimbangan berat badan dan pemberian tablet besi yang


dilakukan oleh kader kesehatan .

2. Bila ada petugas kesehatan di puskesmas di tambah dengan


pengukuran tekanan darah, pemeriksaan hamil bila ada
tempat atau ruang pemeriksaan dan pemberian imunisasi
tetanus toxoid. Bila ditemukan kelainan maka segera dirujuki
ke puskesmas .

3. Bila kemungkinan di selenggarakan kelompok ibu hamil pada


hari buka posyandu yang kegiatannya antara lain:

a. Penyuluhan tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan,


persiapan menyusui,KB dan gizi ibu hamil.perawatan
payudara dan pemberian ASI.

b. Peragaan perawatan bayi baru lahir dan senam ibu hamil .

- Penimbangan berat badan balita

Status gizi balita dapat di pantau melalui penimbangan


berat badan dan pengukuran berat badan dan pengukuran tinggi
badan di posyandu. Apabila 2 kali berturut turut berat badan tidak
naik, orang tua dan kader serta petugas kesehatan patut
mencurigai keadaan kesehatan (farhat, 2011)
Hasil reskendes (2010) juga menerangkan kondisi status
gizi balita secara nasional bahwa prevalensi berat badan kurang
pada tahun 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk
dan 13,0% gizi kurang.

3. Imunisasi

Tujuan dari imunisasi adalah untuk menguranggi angka


penderitaan suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan
bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya.
Beberapa penyakit yang dapat di hindari dengan imunisasi yaitu:

- Hepatitis

- Campak

- Polio

- Difteri

- Tetanus

- Batuk Rejan

- Gondongan

- Cacar air

- TBC

Jenis-Jenis Imunisasi :

1. Imunisai BCG adalah prosuder memasukkan vaksin BCG yang


bertujuan memberi kekebalan tubuh terhadap kuman
mycobakterium tuberculosis dengan cara menghambat
penyebaran kuman.

2. Imunisasi hepatitis B adalah tindakan imunisasi dengan


pemberian vaksin hepatitis B ke tubuh bertujuan memberi
kekebalan dari penyakit hepatitis.
3. Imunisasi polio adalah tindakan memberi vaksin poli (dalam
bentuk oral)atau di kenal dengan nama oral polio vaccine (OPV)
bertujuan memberi kekebalan dari penyakit poliomelitis.
Imunisasi dapat di berikan empatkali dengan 4-6 minggu.

4. Imunisasi DPT adalah merupakan tindakan imunisasi dengan


memberi vaksin DPT (difteri pertusis tetanus) /DT (difteri
tetanus) pada anak yang bertujuan memberi kekebalan dari
kuman penyakit difteri, pertusis, dantetanus. Pemberian vaksin
pertama pada usia 2 bulan dan berikutnyadengan interval 4-6
minggu.

5. Imunisasi campak adalah tindakan imunisasi dengan memberi


vaksin campak pada anak yang bertujuan memberi kekebalan dari
penyakit campak. Imunisasi dapat di berikan pada usia 9 bulan
secaras ubkutan,kemudian ulang dapat diberikan dalam waktu
interval 6 bulan atau lebih setelah suntikan pertama.
(Asuhanneonatus bayi dan balita :98-101)

Umur Pemberian Vaksinasi


Jenis Vaksin Bulan Tahun
LHR 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 10 12 18
BCG 1 Kali
Hepatitis B 1 2
Polio 1 2 3 4 5
DPT 1 2 3 4 5 6 (td) 7 (td)
Campak 1 5
Hib 1 2 3 4
Pneumokokus 1 2 3 4
Influenza Diberikan 1 kali dalam 1 tahun
Varisela 1 kali
MMR 1 2
Tifoid Setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali - interval 6-12 bulan
HPV 3 kali
Keterangan:
Imunisasi BCG: Ditujukan untuk memberikan kekebalan bayi
terhadap bakteri tuberkolosis (TBC)

Imunisasi DPT: Memberikan kekebalan bagi bayi terhadapat


penyakit Dipteri, Pertusis (batuk rejan) dan tetanus.

Imunisasi Polio: Memberikan kekebalan bagi bayi terhadap


penyakit polio (kelumpuhan)

Imunisasi Hib: Mencegah bayi terkena infeksi Haemophils


influenza tipe b yang dapat menyebabkan penyakit meningitis,
infeksi tenggorokan dan pnemonia. Imunisasi Hib ini sangat
mahal, maka belum di wajibkan.

Imunisasi Pneumokokus: melindung bayi dari bakteri penyebab


infeksi pada telinga. Selain itu bakteri ini bisa menimbulkan
permasalah serius seperti meningits dan infeksi pada darah
(bakteremia)

Influenza : vaksin influenzadapat diberikan setahun sekali sejak


usia anak 6 bulan bahkan bisaditeruskan hingga usia seseorang
dewasa.

Varisela : imunisasi tambahan yang dapat melindungi bayi dari


virus cacar air selama 5 tahun.

MMR : imunisasi yang memberikan manfaat untuk melindungi


tubuh dari virus campak, gondok, dan rubella. Vaksin MMR
dapat diberikan pada usia 15 bulan bahkan dapat diulang pada
usia anak 6 tahun.

Tifoid : vaksin imunisasi tambahan yang bertujuan untuk


melindungi tubuh dari bakteri salmonella typhy yang dapat
menyebabkan penyakit tifus. Imunisasi ini diberikan pada usia 2
tahun dan diulang setelah anak berusia 3 tahun.
Hepatitis A : vaksin ini bertujuan untuk melindungi tubuhdari
virus hepatitis A yang dapat menyebabkan penyakit pada bagian
hati manusia. Pemberian vaksin hepatitis A dilakukan pada bayi
berumur diatas 2 tahun 2 kali dengan interval 6 sampai 12 bulan.

HPV : salah satu imunisasi tambahan yang berfungsi untuk


melindungi tubuh dari paparan virus human papiloma yang
memicu kanker mulut rahim.

4. Keluarga berencana

Pemerintah dalam rangka mengupayakan kesejahteraan


manyarakat selain melalui pembangunan dalam bidang ekonomi,
pembangunan fisik maka upaya yang tidak kalah penting adalah
melalui pertumbuhan penduduk supaya tidak kalah penting adalah
melalui pertumbuhan penduduk supaya tidak berlebihan. Upaya yang
menyangkut pertumbuhan penduduk tersebut adalah melalui program
keluarga berencana (Depkes RI, 2006).

Dalam pelayanan kluarga berencana di posyandu antara lain


pembagian pil KB atau kondom, suntikan KB, konsultasi KB, alat
konstrasepsi dalam rahim dan inflan (susuk) (Defkes RI, 2006).
Pelayanan KB di posyandu yang di selenggarakan oleh kader adalah
pemberian pil dan kondom bila petugas kesehatan maka dapat diyani
KB suntik dan konseling KB.

- Alat ber KB untuk istri:

a. Pil, diminum secara teratur setiap secara terus menerus ,


untuk ibu yang sedang menyusui minum pil KB khusus.

b. Suntik, disuntikkan pada pantat sebelah kanan/kiri/ atau 3


bulan sekali tergantung dari jenis suntikan.

c. Implans, di pasang dilengan atas ibu.


d. IUD, dipasang di rahim 2 hari atau 6-8 menggu setelah
persalinan

e. Tubektomi , dokter akan melakukan oprasi kecil untuk


menjepit /memotong saluran telur.

5. Penanggulangan penyakit diare

Pelayanan diare di posyandu dilakukan antara lain dengan


penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) penanggulangan
diare antara lain dengan cara penyuluhan tentang diare dan pemberian
oralit atau larutan gula garam. Apabila diperlukan penanganan lebih
lanjut akan diberikan obat zine oleh petugas kesehatan . salah satu
bentuk PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat ) yang bisa dilakukan
untuk mencegah diare adalah dengan mencuci tangan menggunakan
sabun sebelum dan sesudah makan atau setelah buang air besar.
(syafirudin, dkk.2009 ,152-153).

B. Hubungan Antara Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi

Upaya pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan


kesehatan dan status gizi anak sehingga terhindar dari kematian dini dan
mutu fisik yang rendah (Irianto, 2003).

Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk


memperbaiki status gizi. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap
kesehatan dengan adanya penanganan yang cepat terhadap masalah
kesehatan terutama masalah gizi. Pelayanan yang selalu siap dan dekat
dengan masyarakat akan sangat membantu dalam meningkatkan derajat
kesehatan (Bumi, 2005).

Dalam rangka perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah


Indonesia dalam hal ini Departemen Kesehatan telah menyediakan
fasilitas kesehatan masyarakat dalam bentuk pusat pelayanan kesehatan
masyarakat (Puskesmas). Tidak kurang dari 7.000 puskesmas tersebar
diseluruh Indonesia. Namun pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat
belum optimal. (Notoatmodjo, 2007).

Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang dilakukan selama


ini dititikberatkan pada penggunaan pesan-pesan gizi sederhana melalui
kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat sendiri. Kegiatan tersebut
dipusatkan di posyandu, yang merupakan UKBM (Upaya Kesehatan
Bersumber Daya Masyarakat) yang paling memasyarakat dewasa ini.
Posyandu yang meliputi lima program prioritas yaitu : KB, KIA, Gizi,
Imunisasi, dan penanggulangan diare dengan sasaran bayi, anak balita,
pasangan usia subur dan ibu hamil. Penyuluhan kesehatan, pemberian
makanan tambahan, tablet vitamin A dosis tinggi, pemberian oralit, dan
terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap angka kematian bayi
(Supariasa, 2001).

Keaktifan keluarga pada setiap kegiatan posyandu tentu akan


berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya, Karena salah
satunya tujuan posyandu adalah memantau peningkatan status gizi
masyarakat terutama anak balita dan ibu hamil (Adisasmito, 2007)

Puslitbang Gizi Bogor (2007), menyebutkan ada enam tahap


dalam konsep yang diujicobakan dalam membuat status gizi balita
meningkat melalui sebuah penelitian di Kabupaten Pandeglang, Banten.
Pertama pengorganisasian masyarakat, kedua pelatihan, ketiga
penimbangan balita, keempat penyuluhan gizi, kelima pemberian
makanan tambahan, dan keenam penggalangan dana. Dari hasil
penelitian tersebut, disimpulkan bahwa konsep ini bisa meningkatkan
status gizi balita dengan tingkat keberhasilan 50%, bahkan lebih. Hal ini
terbukti pada awal penelitian terdapat 90.6% anak dengan status gizi
kurang dan 9.4% anak dengan status gizi buruk, dan pada akhir
penelitian didapatkan hasil yaitu tidak ada lagi anak balita dengan status
gizi buruk, sedangkan balita dengan status gizi kurang turun menjadi
45.3%. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Puslitbang Gizi
Bogor (2007) dan Djukarni (2001) dapat diketahui bahwa penimbangan
balita secara rutin dan diimbangi dengan penyuluhan serta pemberian
makanan tambahan pada setiap bulan penimbangan di posyandu dalam
kurun waktu 3 bulan dapat menurunkan angka status gizi kurang.
2.4 Definisi Operasional

Hasil Ukur dan


Variabel Sub Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala
Kategori
Status Gizi Status Gizi Balita Keadaan tubuh yang Menimbang berat badan Microtoise, BB/U Ordinal
diakibatkan oleh Mengukur tinggi badan Dacin, Formulir Gizi lebih : +2 SD
keseimbanagan antara Wawancara pengukuran TB Gizi Baik : -2
asupan zat gizi dengan dan BB anak SD s/d< +2 SD
kebutuhan sesuai Balita Gizi Kurang : <-3 SD s/d
indikator BB/U, TB/U, <-2 SD
BB/TB Gizi buruk : <-3 SD
PB/U atau TB/U
Tinggi : >2 SD
Normal : -2 SD s/d
+2SD
Pendek : -3 SD
Sangat Pendek : <-3, 0
SD
BB/PB atau BB/TB
Gemuk : >2 SD
Normal :> -2, 0 SD s/d 2
SD
Kurus : >-2 SD s/d -3 SD
Sangat Kurus : <3 SD
IMT/U 0-60 bulan
Tingkat Konsumsi Konsumsi pangan Data diperoleh dengan Formulir Recall Baik : 100% Ordinal
adalah asupan zat gizi Recall 2 24 Jam (2 hari) 24 Jam AKG
yang dikonsumsi balita dikonversikan dengan Sedang : 80-99%
dalam satu hari (energy, bantuan DKBM. Angka AKG
protein) perolehan tersebut Kurang : 70-
kemudian dibandingkan 80% AKG
dengan kebutuhan gizi
Defisit : <70%
individu
AKG
Penyakit Infeksi Infeksi adalah Wawancara dan Kuisioner Kuisioner Data yang diperoleh dari Ordinal
terjadinya suatu wawancara
penyakit pada anak menggunakan kuisioner,
balita sebagai akibat dikategorikan menjadi:
kekebalan atau Anak balita pernah
resistensinya yang terkena penyakit
menurun infeksi
Anak balita tidak
pernah terkena
penyakit infeksi
Kemudian data
yang diperoleh
diolah dengan
paragraf
deskripsi
Pekerjaan Sebuah kegiatan aktif Wawancara Kuesioner 1. PNS Nominal
yang dilakukan oleh 2. Wirausaha
manusia yang 3. Karyawan Swasta
menghasilkan sebuah 4. Pensiunan
karya bernilai imbalan 5. Buruh
dalam bentuk uang bagi 6. Petani
seseorang 7. TNI
8. POLRI
9. IRT
10. Lainnya
Pendapatan Penghasilan yang Wawancara Kuesioner 1. Diatas rata-rata Ordinal
dimiliki dalam satu 2. Dibawah rata-rata
bulan yang didapat oleh
kepala keluarga maupun
anggota keluarga yang
lain.
Pengetahuan Pemahaman ibu Wawancara Kuesioner 1. Baik, jika pernyataan Ordinal
mengenai makanan benar 80%
yang berkaitan dengan 2. Sedang, jika
balita yang meliputi pernyataan benar 60
guna makanan, 79 %
pemberian makanan 3. Kurang, jika
sesuai umur, kaitan pernyataan benar <
makanan dengan 60%
tumbuh kembang balita,
pengolahan makanan.
Pendidikan Jenjang pendidikan Wawancara - Kuesioner Tidak Sekolah Ordinal
formal terakhir yang - Ijazah Tidak tamat SD
berhasil diselesaikan Terakhir SD
oleh responden yang SLTP/MTs
dibutikan dengan ijazah SMA/SMK
terakhir. D3/S1
Ketersedian Ketersedian pangan Ketersedian pangan Wawancara - Metode Kreteria Depkes (1990) : Ordinal
pangan tingkat rumah tangga - Inventaris 1. Baik ; 100%
artinya tersediannya AKG
pangan disebuah rumah 2. Sedang 80-
tangga baik stok 99,9% AKG
dimiliki, hasil dari 3. Kurang 70-
kebun sendiri, 79,9% AKG
memancing, beburu, dll Deficit : <70% AKG
serta diberi oleh orang
lain
Kesehatan Status kesehatan suatu Wawancara, kuisioner, dan Kuisioner - baik : hasil persentase Orinal
Lingkungan lingkungan yang observasi 76-100 %
mengcakup perumahan, - cukup : hasil persentase
pembuangan kotoran, 56-75 %
penyediaan air bersih - kurang : hasil
dan pembuangan air persentase <56
limbah
Pelayanan Upaya yang Wawancara Kuesioner Ordinal
kesehatan diselenggrakan untuk
memelihara dan
meningktakan
kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan
penyakit
per orangan, keluarga,
kelompok atau
masyarakat
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan penjelasan dari bab sebelumnya, maka kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tingkat konsumsi Status gizi

Penyakit Infeksi

Pendapatan

Pengetahuan dan
Pendidikan

Ketersediaan
pangan

Kesehatan
lingkungan

Layanan kesehatan
2.6 Kerangka Konsep

PENDAPATAN

PENGETAHUAN
GIZI

KONSUMSI
PENDIDIKAN

KETERSEDIAAN
PANGAN
STATUS GIZI

PELAYANAN
KESEHATAN
PENYAKIT INFEKSI

KESEHATAN
LINGKUNGAN
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian adalah observasional dengan desain ( rancangan ) Cross Sectional. Studi
Cross Sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara factor-
faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan obsevasi atau pengumpilan data sekaligus
pada suatu saat ( poin time approach ). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable subjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama.
Tujuan penelitian ini untuk mengamati hubungan antara factor resiko dengan akibat yang
terjadi berupa penyakit atau keadaan kesehatan tertentu dalam waktu yang bersamaan,
ditanya masalah ( akibat ) sekaligus penyebab ( factor resiko ).

Kelebihan penelitian Cross Sectional :

Mudah dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu, dan hasil dapat diperoleh
dengan cepat dan dalam waktu bersamaan dapat dikumpulkan variable yang banyak, baik
variable resiko maupun variable efek.

Kekurangan penelitian Cross Sectional.

Diperlukan subjek penelitian yang besar.

Tidak dapat menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat.

Tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan.

Kesimpulan korelasi factor resiko dengan factor efek paling lemah bila dibandingkan
dengan dua rancangan epidemiologi.

3.2 Tempat dan Waktu

Tempat : Tempat pengumpulan data dasar yang diambil adalah Desa Tambak Baru,
Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar

Waktu : Pengumpulan data dasar dilaksanakan pada tanggal 14 18 November 2016

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi

Populasi adalah semua ibu yang mempunyai balita usia 1 5 tahun di Desa
Tambak Baru Kecamatan Martapura.

3.3.2 Sampel

Penentuan sampel menggunakan metode Proporsional Sampling. Besar


sampel untuk masing-masing mahasiswa 10 responden sehingga untuk 5 mahasiswa
diperoleh 50 responden.

RT. 1 RT. 2 RT. 3 RT. 4


15 org 14 org 24 org 18 org

Populasi = 71

Sampel = 50

(50/71) x 100% = 70,5%

Pengambilan sampel per daerah

1. 70,5% x 15 = 10 org

2. 70,5% x 14 = 10 org

3. 70,5% x 24 = 17 org

4. 70,5% x 11 = 13 org

3.4 Instrument Penelitian

Instrument penelitian pada penelitian ini adalah kuesioner, kuesioner recall 2x24 jam,
kuesioner inventaris, timbangan berat badan, dacin, mikrotoa, alat ukur panjang badan, food
model, formulir pengukuran tinggi badan dan berat badan balita.
3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Jenis Data

a. Data Primer

Data yang dikumpulkan meliputi :

Data umum keluarga

- Umur

- Tingkat pengetahuan

- Pendidikan

Status Gizi : BB/U Anak balita, TB/U Anak balita, BB/TB Anak balita

Konsumsi : Recall 1 24 Jam sehari selama 2 hari

Penyakit Infeksi : Dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.

Pendapatan : Tingkat pendapatan

Ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga

Kesehatan Lingkungan : Keadaan Lingkungan tempat tinggal responden.

Pelayanan Kesehatan : Keaktifan ibu membawa balita ke posyandu, pemberian


vit A, kesehatan ibu dan anak, imunisasi dan keluarga berencana

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam pengumpulan data dasar meliputi data umum desa
yang mencakup data geografis, mata pencarian, jumlah penduduk serta agama dan
kepercayaan. Dikumpulkan melalui informasi dari kepala desa dan sekertaris desa.
3.5.2 Cara Pengumpulan Data

a. Data Umum

Pengumpulan data dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.

b. Tingkat Konsumsi

Recall 1 24 Jam sehari selama 2 hari.

c. Status Gizi

Pengumpulan data dengan cara pengukuran antropometri menggunakan


microtoa, dacin dan formulir pengukuran TB dan BB anak balita.

d. Ketersediaan Pangan

Data ketersediaan pangan setiap keluarga diperoleh dengan cara


memberikan formulir pencatatan dimana keluarga mencatat setiap hari semua
makanan yang dibeli, diterima dari orang lain atau hasil dari produksi sendiri.
Jumlah makanan dicatat dalam URT termasuk harga eceran bahan makanan
tersebut. Cara ini tidak memperhitungkan makanan cadangan yang ada dirumah
tangga dan juga tidak memperhatikan makanan dan minuman yang dikonsumsi
diluar rumah dan rusak, terbuang atau tersisa atau diberikan pada binatang piaraan
selama 3 hari .

Rumus perhitungan :

jumlah kalori keluarga


- Ketersediaan pangan kalori = AKG kalori keluarga x 100%

jumlah proteinkeluarga
- Ketersediaan pangan protein = AKG kalori keluarga x 100%

Keterangan :

- Jumlah kalori dan protein keluarga : jumlah yang didapatkan dari hasil kalori
dan protein yang dikonsumsi.

- AKG kalori dan protein keluarga : hasil dari penjumlahan AKG kalori dan
protein dari anggota keluarga (Ayah, Ibu, anak dan anggota keluarga).
e. Kesehatan Lingkungan

Wawancara menggunakan kuesioner.

f. Pelayanan Kesehatan

- Data Umum Keluarga : Wawancara menggunakan kuesioner

- Pelayanan Kesehatan : Wawancara menggunakan kuesioner

3.6 Pengolahan Data

3.6.1 Karakteristik Keluarga

a. Umur KK dan Ibu

Data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner dikategorikan


menjadi :

17 tahun

17 35 tahun

35 tahun

b. Pekerjaan KK dan ibu dikategorikan menjadi :

PNS/TNI/POLRI

Wiraswasta

Pensiunan

Buruh

Petani

Honorer

IRT

Dan lain-lain

c. Pendidikan KK dan ibu dikategorikan menjadi :


SD

SLTP (sederajat)

SLTA (sederajat)

Diploma

Sarjana

Tidak sekolah

d. Suku KK dan ibu dikategotikan menjadi :

Banjar

Jawa

Madura

Batak

Dayak

Dan lain-lain

3.6.2 Status Gizi Anak Balita

Dilakukan pengukuran antropometri pada anak balita dengan menggunakan


indikator berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur, dan berat badan
menurut berat badan. Kemudian dikonversikan dengan pedoman pada baku standar
WHO 2005 dikategorikan dan rumus:

( BBuBBr)
Skor_Z BB/U = SDr

Dengan beberapa kriteria :

- Gizi baik : -2 SD dan < +2 SD

- Gizi kurang : -3 SD dan < -2 SD

- Gizi buruk : < -3 SD


- Gizi lebih : +2 SD

Status gizi anak balita menurut BB/TB atau BB/PB diukur dengan melakukan
rumus sebagai berikut :

(BBTbBBr)
Skor_Z BB/TB = SDr

Dengan beberapa kriteria :

- Gemuk : 2 SD

- Normal : -2 SD s/d 2 SD

- Kurus : < -2 SD s/d -3 SD

- Sangat Kurus : < -3 SD

Status gizi anak balita menurut TB/U diukur dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :

(BBTbBBr)
Skor_Z TB/U = SDr

Dengan beberapa kriteria :

- Sangat pendek : -3 SD

- Pendek : -3 SD s/d < -2 SD

- Normal : -2 SD s/d 2 SD

- Tinggi : 2 SD

3.6.3 Tingkat Konsumsi

Tingkat konsumsi anak balita diolah dengan mengkonversi bahan makanan


yang diperoleh dari hasil Recall dengan bantuan DKBM kedalam 4 macam zat gizi
yaitu energi, vitamin A, dan zat besi. Angka yang diperoleh tersebut kemudian
dihitung dan dibandingkan dengan kebutuhan gizi per individu.

Rumus :
energi reca
- AKG individu untuk energy = AKG individu 100%

proteinrecall
- AKG individu untuk protein = AKG individu 100%

vit A recall
- AKG individu untuk vitamin A = AKG individu 100%

Fe recall
- AKG individu untuk Fe = AKG individu 100%

Kemudian hasil presentasi dikategorikan menjadi :

- Baik : 100% AKG

- Sedang : 80% s/d 99% AKG

- Kurang : 70% s/d 80% AKG

- Defisit : 70% AKG

*AKG individu : Angka Kebutuhan Gizi Individu

3.6.4 Penyakit Infeksi

Data yang diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner, dikategorikan


menjadi :

1. Anak balita pernah terkena penyakit infeksi

2. Anak balita tidak pernah terkena penyakit infeksi

Kemudian data yang diperoleh diolah dengan tabel frekuensi.

3.6.5 Pendapatan

Menjumlahkan pendapatan dari semua anggota keluarga dalam satu bulan


dalam rupiah, kemudian dikategorikan menjadi:

a. Cukup ( Rp.2.281.000,-)

b. Kurang ( RP.2.281.000,-)
3.6.6 Pengetahuan Ibu

Data ini diperoleh dari hasil pengisian kuesioner. Setiap jawaban yang benar
diberi nilai 1, sedangkan yang diberi nilai 0, kemudian dijumlahkan.

jumlah jawaban yan g benar


X 100
Rumus = jumlah soal

Dikatagorekan menjadi :

- Baik : 80 % jabawan benar

- Sedang : 60-79 % jawaban benar

- Kurang : > 60% jawaban benar

3.6.7 Ketersediaan Pangan

Data ini diperoleh dengan wawancara menggunakan formulir food account.


Untuk mengetahui ketersediaan pangan, masing-masing makanan dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur-sayuran, dan
buah-buahan lalu dikonversikan kedalam kalori dan protein (gram). Menghitung zat
gizi baru dirata-rata selama 3 hari dibagi dengan AKG keluarga. Dikali 100%.

Hasil nilainya dikategorikan sebagai berikut,:

- Cukup: ketersediaan energi dan protein : 100 %

- Kurang : ketersediaan energi dan protein : < 100 %

3.6.8 Kesehatan Lingkungan

Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan data dalam bentuk


tabel frekuensi. Jawaban yang paling benar sampai jawaban salah diberi skor 3, 2 dan
1. Lalu dijumlahkan kemudian dibagi dengan total skor maksimal dan dikali 100%.
Sehingga dikategorikan menjadi :

- Baik : hasil presentase 76 100%

- Cukup : hasil presentase 56 75%

- Kurang : hasil presentase < 56%


3.6.9 Pelayanan Kesehatan

Data yang diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner, dikategorikan


menjadi :

1. Pemberian vitamin A, dikategorikan menjadi :

Ya : Apabila mengkonsumsi kapsul vitamin A sesuai jadwal

Tidak : Apabila tidak mengkonsumsikapsul vitamin A sesuai jadwal

2. Pelayanan KIA, dikategorikan menjadi :

Lengkap : Apabila 90 tablet tambah darah dikonsumsi secara teratur

Tidak Lengkap : Apabila konsumsi < 90 tablet tambah darah / tidak teratur

3. Pelayanan imunisasi, dikategorikan menjadi :

Lengkap : Apabila mengikuti semua jadwal imunisasi

Tidak Lengkap : Apabila tidak mengikuti salah satu jadwal imunisasi

4. Pelayanan KB ( Keluarga Berencana), dikategorikan menjadi :

Ya : Apabila menggunakan alat kontrasepsi

Tidak : Apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi

5. Pelayanan P2D (Penanggulangan Penyakit Diare), dikategorikan menjadi:

Ya : Apabila mendapatkan penyuluhan tentang P2D

Tidak : Apabila tidak mendapatkan penyuluhan tentang P2D

Memberi skor 1 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah.
Jawaban yang benar dijumlahkanlalu dibagi dengan jumlah soal dan dikalikan 100%.
Kemudian dikategorikan menjadi :

- Baik : >80%

- Sedang : 60%-80%

- Kurang : <60%

3.7 Analisis Data


Dari hasil pengolahan data dilakukan analisis dengan cara analisis univariat dan
bivariate.

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi
dan presentasi setiap variabel.

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat.


Kemudian dianalisis secara statistik menggunakan komputer program statistik SPSS
uji korelasi Sperman..

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Desa

4.1.1 Geografis dan Demografis


Luas wilayah desa Tambak Baru kecamatan martapura seluas 200 ha. Jumlah
penduduk Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura sebanyak 856 jiwa yang
tersebar di 4 (empat) wilayah Rukun Tetangga dengan lokasi pemukima
disepanjang jalan Bina Karyaa dan jalan Mufakat Tambak Baru.
4.2 Kependudukan
Adapun jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki 438
presentase 52% dan perempuan 418 presentase 48% dan 99% penduduk banjar asli.

Tabel Jumlah penduduk menurut usia

No Golongan umur Jumlah jiwa


1 0-10 133
2 11-20 144
3 21-30 147
4 31-40 167
5 41-50 168
6 51-ke atas 93
Jumlah 852

Tabel tingkat pendidikan


No Tingkat pendidikan Jumlah jiwa
1 SD 392
2 SLTP 113
3 SLTA 47
4 Belum Sekolah 80
5 7 th-45 th tidak pernah sekolah 30

4.3 Mata Pencaharian


Mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari terdiri
dari berbagai macam profesi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Adapun jumlah
penduduk serta jenis usaha yang dijalankannya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

No Jenis pekerjaan Jumlah tenaga kerja


1 Guru Swasta 15
2 Pedagang 10
3 Petani 50
4 Peternak 20
5 Penjahit/Bordir 6
6 Tukang Kayu 20
7 Tukang Batu 20
8 Pengrajin anyaman 30
9 Buruh Harian lepas 100

4.4 Sarana dan Prasarana


a. Sarana pelayanan kesehatan

Untuk sarana pelayanan kesehatan yang terdapat di desa Tambak Baru

terdiri dari 1 posyandu untuk 4 RT.

b. Sarana Ibadah

Untuk sarana ibadah dikarenakan tambak baru letaknya paling jauh sehingga
yang ada hanya ada 1 musholla saja dan letaknya dipojok yaitu di RT 4.

c. Sarana Pendidikan

Sara pendidikan yang ada di desa tambak baru hanya ada 2 saja yaitu TK Quran
dan Madrasah Adiniyah yang letaknya berada di RT 2 dan keduanya saling berdekatan.

d. Sarana Transfortasi

Ada 1 buah kendaraan untuk menangkut sampah dan kepentingan di desa tambak
baru yaitu bernama tossa.

4.5 Bidang Sosial dan Keagamaan

Dari segi keagamaan penduduk desa Tambak Baru tergolong masyarakat yang
agamis. Seluruh penduduk Tambak Baru beragama islam atau 100%.

Untukumat islam yang melakukan ibadah islam ada prasarana yang bisa
digunakann yaitu musholla yang terletak di RT 4.
4.6 Bidang Kesehatan
Untuk meningkatkan kesehatan warga desa tambak baru juga menyediakan
pelayanan kesehatan berupa posyandu yang letaknya dipertengahan RT 1. RT 2, RT 3,
RT 4. Posyandu tersebut membuka berbagai macam pelayanan diantaranya diare,
pelayanan kb, imunisasi, dan melakukan berbagai macam pengobatan ringan.
4.1 Gambaran Umum Responden

4.1.1 Potensi Wilayah

Potensi diwilayah Kelurahan Pesayangan adalah pedagang.

Struktur organisasi pemerintah Kelurahan Pasayangan.

KS
aee
spk
iar
Pl e
eat
ma
edr
rei
iss
nana
t
a
h
4.1.2 Data Demografi

a. Jenis Kelamin Balita

Tabel 4.1 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di Desa Tambak Baru Martapura
Tahun 2016

Jenis Kelamin Balita N %


Laki-laki 30 60
Perempuan 20 40
Jumlah 50 100

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tambak BaruMartapura Kabupaten


Banjar Tahun 2016 diketahui bahwa dari 50 balita yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 60% dan balita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 40%. Ini terlihat
bahwa jumlah balita laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan balita perempuan.

b. Agama

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tambak Baru Martapura Tahun
2016 diketahui bahwa seluruh keluarga responden menganut agama Islam.

4.1.3 Karakteristik Keluarga

a. Umur Kepala Keluarga

Tabel 4.2 Distribusi Berdasarkan Umur Kepala Keluarga di Desa Tambak Baru
Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Usia kepala keluarga
N %
17 35 tahun 33 32
> 35 tahun 16 66
Jumlah 49 98

Dari data diatas didapat usia kepala keluarga di Desa Tambak Baru
Martapura Tahun 2016 yaitu usia 17 35 tahun sebanyak 32% orang sedangkan
usia >35 tahun sebanyak 66%. Hal ini menunjukkan lebih banyak kepala keluarga
berusia 17 - 35 tahun.
b. Umur Ibu

Tabel 4.3 Distribusi Berdasarkan Umur Ibu di Desa Tambak Baru Martapura Tahun

2016

Jumlah responden
Usia Ibu
N %
17 35 tahun 40 80
> 35 tahun 9 18
Jumlah 49 98

Dari data diatas didapat usia ibu di Desa Tambak Baru Martapura Tahun
2016 yaitu usia 17 35 tahun sebanyak 80% orang sedangkan usia >35 tahun
sebanyak 18%. Hal ini menunjukkan lebih banyak ibu berusia 17 35 tahun.

c. Pendidikan Terakhir Kepala Keluarga

Tabel 4.4 Distribusi Berdasarkan Pendidikan Terakhir Kepala Keluarga di Desa

Tambak BaruMartapura Tahun 2016

Pendidikan Terakhir KK N %
Rendah (SD-SLTP) 45 90
Menengah (SLTA) 4 8
Tinggi (Diploma-Sarjana) 0 0
Jumlah 49 98
Dari data diatas didapat Pendidikan terakhir kepala keluarga di Desa Tambak Baru
Martapura Tahun 2016 yaitu rendah SD-SLTP sebanyak 90% dan menengah SLTA 8%. Hal ini
menunjukkan persentase paling banyak adalah kepala keluarga dengan pendidikan terakhirnya
rendah (SD-SLTP.

d. Pendidikan Terakhir Ibu

Tabel 4.5 Distribusi Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu di Desa Tambak Baru

Martapura Tahun 2016

Pendidikan Terakhir Ibu N %


Rendah (SD-SLTP) 44 88
Menengah (SLTA) 5 10
Tinggi (Diploma-Sarjana) 0 0
Jumlah 50 100
Dari data diatas didapat Pendidikan terakhir Ibu di Desa Tambak Baru MartapuraTahun
2016 yaitu rendah SD-SLTP sebanyak 88% dan menengah SLTA 10% Hal ini menunjukkan
persentase paling banyak adalah ibu dengan pendidikan terakhirnya rendah SD-SLTP.

e. Suku Kepala Keluarga

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pasayangan Kecamatan

Martapura Tahun 2016 diketahui bahwa seluruh kepala keluarga bersuku Banjar.

f. Suku Ibu

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tambak Baru Martapura Tahun

2016 yaitu suku Banjar sebanyak 96% dan suku Jawa 2%.
4.1.4 Status Gizi Balita

Status Gizi adalah keadaaan tubuh yang diakibatkan makanan, penyerapan dan
penggunaan makanan dalam tubuh. Jika seseorang makan-makanan yang tidak
mencukupi kebutuhan gizi dalam waktu lama maka orang tersebut akan mengalami
kekurangan zat gizi.

a. Status Gizi Balita Menurut BB/U

Tabel 4.6 Distribusi Berdasarkan Status Gizi Balita Menurut BB/U di Desa Tambak
Baru Martapura Tahun 2016

Status Gizi Balita (BB/U) N %


Gizi Buruk 4 8
Gizi Kurang 21 42
Gizi Baik 24 48
Gizi Lebih 1 2
Jumlah 50 100
Dari data diatas didapat status gizi balita (BB/U) dengan kategori statu gizi buruk
sebanyak 8%, status gizi Kurang sebanyak 21%, status gizi baik sebanyak 24%, dan status gizi
lebih sebanyak 1%. Hal ini menunjukkan status gizi balita di Desa Tambak Baru terdapat 52%
yang masing-masing mengalami status gizi kurang, buruk dan lebih.

b. Status Gizi Balita Menurut TB/U

Tabel 4.7 Distribusi Berdasarkan Status Gizi Balita Menurut TB/U di Desa Tambak
Baru Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Status Gizi Balita (TB/U)
N %
Sangat pendek 2 4
Pendek 18 36
Normal 29 58
Tinggi 1 2
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat status gizi balita (TB/U) dengan kategori sangat
pendek sebanyak 4%, pendek sebanyak 36%, normal sebanyak 58%, dan tinggi
sebanyak 2%. Hal ini menunjukkan status gizi balita di Desa Tambak Baru terdapat
40% yang masing-masing mengalami status gizi sangat pendek dan pendek.
c. Status Gizi Balita Menurut BB/TB

Tabel 4.8 Distribusi Berdasarkan Status Gizi Balita Menurut BB/TB di Desa

Tambak Baru Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Status Gizi Balita (BB/TB)
N %
Sangat Kurus 2 4
Kurus 15 30
Normal 32 64
Gemuk 1 2
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat status gizi balita (BB/TB) dengan kategori Status
Gizi sangat kurus sebanyak 4%, kurus sebanyak 30%, status gizi baik sebanyak
64%, dan status gizi lebih/gemuk sebanyak 2%. Hal ini menunjukkan ada 34%
balita dengan status gizi sangat kurus dan kurus.

4.1.5 Penyakit Infeksi

Tabel 4.9 Distribusi Berdasarkan Penyakit Infeksi di Desa Tambak Baru Martapura

Tahun 2016

Penyakit Infeksi Jumlah responden


N %
Diare 14 63,6
TB Paru 0 0
ISPA 0 0
Tipus 8 36,4
Dan lain-lain 0 0
Jumlah 22 100

Dari data diatas didapat balita dengan penyakit infeksi diare sebanyak 63,6% dan

Tipus sebanyak 36,4%.

4.1.6 Tingkat Konsumsi

a. Tingkat Konsumsi Energi

Tabel 4.10 Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi di Desa Tambak Baru

Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Tingkat konsumsi energi
N %
Defisit 32 64
Kurang 5 10
Sedang 6 12
Baik 7 14
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat tingkat konsumsi energi pada balita dengan
kategori defisit sebanyak 64%, kurang sebanyak 10%, sedang sebanyak 12%, dan
baik sebanyak 14%. Untuk balita yang memiliki tingkat konsumsi energi yang
defisit dan kurang, hal ini mungkin dikarenakan pengetahuan ibu di Desa Tambak
Baru masih relatif cukup, sehingga penyediaan makanan yang bergizi kurang
diperhatikan mengingat pengetahuan ibu yang terbatas dan bisa juga dikarenakan
daya beli keluarga terhadap bahan makanan yang juga dapat mempengaruhi
penyediaan makanan dirumah, sehingga akan mempengaruhi tingkat konsumsi
dari balita tersebut. Menurut Hadiansyah, dkk (2014) dalam bukunya
menyebutkan pada umumnya anak balita merupakan kelompok umur yang paling
sering menderita kekurangan gizi. Hal ini disebabkan anak balita dalam periode
transisi dari makanan bayi kemakanan orang dewasa sering kali tidak begitu
diperhatikan lagi sedangkan balita tidak bisa mengurus dirinya sendiri dengan
baik terutama dalam hal makanan. Pada umur tersebut anak juga mengalami
pertumbuhan yang pesat sehingga perlu diperhatikan asupan energi makanannya.

b. Tingkat Konsimsi Protein

Tabel 4.11 Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein di Desa Tambak

BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
Kategori
N %
Defisit 16 32
Kurang 3 6
Sedang 9 18
Baik 22 44
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat Tingkat konsumsi proteinBalita di Desa Tambak


Baru Tahun 2016 dengan kategori deficit sebesar 32%, kurang yaitu sebesar 6%,
sedang sebesar 18% dan baik sebesar 4%. Hal ini dikarenakan di Desa Tambak
Baru penyediaan bahan makanan sumber protein lebih mudah diakses, serta
sumber protein khususnya untuk lauk hewani merupakan keharusan dalam menu
sehari-hari keluarga. Kemudian terdapat pula balita yang masih mengkonsumsi
susu sehingga turut berkontribusi untuk asupan protein yang baik.

c. Tingkat Konsumsi Vitamin A

Tabel 4.12 Distribusi Berdasarkan Tingkat Vitamin A di Desa Tambak

BaruMartapura Tahun 2016


Jumlah responden
Kategori
N %
Defisit 11 22
Sedang 5 10
Kurang 5 10
Baik 29 58
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat tingkat konsumsi Vitamin A pada balita dengan
kategori defisit sebanyak22%, sedang sebanyak 10%, kurang sebanyak 10 dan
baik sebanyak 58%. Hal ini dikarenakan balita di Desa Tambak Baru sudah
mendapatkan kapsul vitamin A yang diberikan melalui posyandu / puskesmas.

d. Tingkat Konsumsi Fe

Tabel 4.13 Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Fe di Desa Tambak

BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
Tingkat konsumsi Fe
N %
Defisit 27 54
Kurang 1 2
Sedang 3 6
Baik 19 38
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat tingkat konsumsi Fe pada balita dengan kategori
baik sebanyak 38%, sedang sebanyak 6%, kurang sebanyak 2% dan defisit
sebanyak 54%. Hal ini dikarenakan kurangnya konsumsi sayur dan buah yang
diberikan ibu kepada balita di Desa Tambak Baru.

4.1.7 Sosial Ekonomi


Keadaan sosial ekonomi keuarga merupakan salah satu faktor yang

menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut

menentukan status gizi keluarga tersebut.

a. Pendapatan Keluarga

Tabel 4.14 Distribusi Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Desa Tambak Baru

Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Pendapatan
N %
Dibawah rata-rata 30 60
Diatas rata-rata 20 40
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat tingkat pendapatan keluarga yang dibawah rata-
rata sebanyak 60% dan yang diatas rata-rata sebanyak 40%. Hal ini dikarenakan
kebanyakan dari masyarakat yang bekerja hanyalah kepala keluarga sedangkan
ibu hanya menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus rumah dan keluarga, serta
pekerjaannya kebanyakan hanya sebagai pedagang / waraswasta karena
kebanyakan pendidikan terakhir kepala keluarga hanya sampai tingkat SD.

b. Pekerjaan Kepala Keluarga


Tabel 4.15 Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Kepala Keluarga di Desa Tambak

Baru Martapura Tahun 2016

Pekerjaan Kepala
N %
Keluarga
PNS/TNI/POLRI 0 0
Wiraswasta 23 46
Buruh 23 46
Petani 1 2
Honorer 1 2
Dan lain-lain 0 0
Meninggal 1 2
Jumlah 50 100
Dari data diatas didapat Pekerjaan kepala keluarga di Desa Tambak
BaruTahun 2016 yaitu Wiraswasta 46 %,Buruh 46 %,Petani 2 %,Honorer 2
%,Dan lain-lain 2 %, meninggal 8%. Hal ini menunjukkan persentase paling
banyak adalah Wiraswasta dan Buruh.

c. Pekerjaan Ibu
Tabel 4.16 Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Desa Tambak BaruMartapura

Tahun 2016

Pekerjaan Kepala
N %
Keluarga
Wiraswasta 1 2
Petani 1 2
IRT 47 94
Meninggal 1 2
Jumlah 50 100
Dari data diatas didapat Pekerjaan Ibu di Desa Tambak BaruTahun 2016 yaitu Wiraswasta
2 %, Petani 2% dan IRT 94 %. Hal ini menunjukkan persentase paling banyak adalah IRT.

4.1.8 Pengetahuan Ibu

Tabel 4.17 Distribusi Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu diDesa Tambak


BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
Kategori
N %
Baik 0 0
Sedang 0 0
Kurang 50 100
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat tingkat pengetahuan Ibu dengan kategori kurang

sebanyak 100%. Hal ini menunjukkan seluruh responden ibu yang memiliki tingkat

pengetahuan yang kurang di Desa Tambak Baru.

4.1.9 Ketersediaan Pangan


a. Ketersediaan Energi
Tabel 4.18 Distribusi Berdasarkan Ketersediaan Energi di Desa Tambak

BaruMartapura Tahun 2016

Kategori ketersediaan Jumlah responden


energi N %
Kurang 43 86
Cukup 7 14
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat ketersediaan energi keluarga di Desa Tambak

Baru Tahun 2016 dengan kategori kurang sebesar 86% dan cukup sebesar 14%.
b. Ketersediaan Protein
Tabel 4.19 Distribusi Berdasarkan Ketersediaan Protein di Desa Tambak

BaruMartapura Tahun 2016

Kategori ketersediaan Jumlah responden


protein N %
Kurang 47 94
Cukup 3 6
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat ketersediaan protein keluarga di Desa Tambak


BaruTahun 2016dengan kategori kurang sebesar 94% dan cukup sebesar 6%.

4.1.10 Pelayanan Kesehatan

Tabel 4.20 Distribusi Berdasarkan Keaktifan Ibu Membawa Balitanya Setiap Bulan

Ke Posyandu Di Desa Tambak BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
Keaktifan
N %
Tidak 0 0
Ya 50 100
Jumlah 50 100
Dari data diatas didapat keaktifan ibu membawa balitanya setiap bulan ke
Posyandu di Desa Tambak BaruTahun 2016 dengan kategori membawa balita ke
posyandu sebesar 100% . Dengan kata lain lebih banyak ibu yang hadir dan ikut serta
dalam kegiatan posyandu dan jarang ditemui ibu tidak mengikuti kegiatan posyandu..

Tabel 4.21 Distribusi Responden Berdasarkan Balita Yang Mendapatkan Kapsul


Vitamin A Dari Posyandu Di Desa Tambak BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
Kapsul Vitamin A
N %
Tidak 3 6
Ya 47 94
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat balita yang mendapatkan kapsul Vitamin A dari Posyandu
di Desa Tambak Baru Tahun 2016 dengan kategori tidak mendapatkan yaitu sebesar
6% dan mendapatkan sebesar 94% . Dengan kata lain lebih banyak balita yang
mendapatkan kapsul Vitamin A dibandingkan balita yang tidak mendapat kapsul
Vitamin A.

Tabel 4.22 Distribusi Responden Berdasarkan IbuMengkonsumsi Tablet Fe Ketika


HamilDari Posyandu Di Desa Tambak Baru Tahun 2015.

Konsumsi Tablet Zat Jumlah responden


besi (Fe) N %
< 90 tablet 24 48
90 tablet 25 50
Tidak sama sekali 1 2
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat ibu yang mengkonsumsi tablet Fe di Desa Tambak Baru
Tahun 2016 dengan kategori tidak lengkap mengkonsumsi yaitu sebesar 48% dan
lengkap menngkonsumsi sebesar 50%.

Tabel 4.23 Distribusi Responden Berdasarkan Balita yang Mendapatkan


ImunisasiLengkap Di Desa Tambak BaruMartapura Tahun 2016
Jumlah responden
Imunisasi
N %
Tidak lengkap 3 6
Lengkap 47 94
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat balita yang mendapatkan imunisasi lengkap di Desa
Tambak BaruTahun 2016dengan kategori tidak lengkap mendapatkan yaitu sebesar
6% dan mendapatkan sebesar 94%.

Tabel 4.24 Distribusi Responden Berdasarkan Ibu yang Mengikuti Program KB Di


Desa Tambak BaruMartapura Tahun 2016

Jumlah responden
KB
N %
Tidak 0 0
Ya 50 100
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat ibu yang mengikuti program KB di Desa Tambak
BaruTahun 2016 dengan kategori mengikuti KB yaitu sebesar 100%. Dengan kata
lain seluruhibu di Desa Tambak Barumengikuti program KB.

Tabel 4.25 Distribusi Responden Berdasarkan Alat Kontrasepsi Yang Digunakan Ibu
BalitaDi Desa Tambak BaruKecamatan Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Jenis alat kontrasepsi
N %
Pil KB 27 54
Suntikan 20 40
Implan 2 4
Tidak Menggunakan 1 2
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat jenis alat kontrasepsi yang digunakan Ibu balita di Desa
Tambak Baru Tahun 2016 dengan kategori Pil KB sebesar 54%, Suntikan sebesar
40%, tidak menggunakan sebesar 2%. Dengan kata lain jenis alat kontrasepsi yang
banyak digunakan oleh ibu di Desa Tambak Baruadalah jenis pil KB dan suntikan.
Tabel 4.26 Distribusi Responden Berdasarkan Ibu mendapatat penyuluhan
Pencegahan Diare di posyandu Di Desa Tambak BaruMartapura Tahun 2016

Mendapat Penyuluhan Jumlah responden


P2D N %
Tidak 16 32
Ya 34 68
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat responden yang telah memdapatkan penyuluhan


pencegahan penyakit diare (P2D)di posyandu di Desa Tambak BaruTahun 2016
sebesar 32% sedangkan yang tidak memdapatkan penyuluhan pencegahan penyakit
diare (P2D) di posyandu di Desa Tambak BaruTahun 2016 sebesar 68%.

4.1.11 Kesehatan Lingkungan


Tabel 4.27 Distribusi Berdasarkan Kesehatan Lingkungan di Desa Tambak

BaruKecamatan Martapura Tahun 2016

Jumlah responden
Kesehatan Lingkungan
N %
Baik 18 36
Cukup 0 0
Kurang 32 64
Jumlah 50 100

Dari data diatas didapat responden dengan kesehatan lingkungan yang baik
sebesar 36% dan kurang sebesar 64% di Desa Tambak BaruTahun 2016.

4.2 Gambaran Umum Ibu Hamil

4.2.1 Status Gizi Ibu Hamil

a. Status Gizi Balita Menurut LILA : 28 cm (Normal)

b. Status Gizi Balita Menurut BB/U :124,00 (Gizi Lebih)

c. Status Gizi Balita Menurut TB/U :41,96 (Normal)

d. Status Gizi Balita Menurut BB/TB :3,95 (Gemuk)


4.2.2 Tingkat Konsumsi Ibu Hamil

Asupan gizi sangat menentukan ksehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
Kebutuhan gizi pada masa kehamilan akan meningkat sebesar 15% dibandingkan
dengan kebutuhan wanita normal. Peningkatan gizi ini dibutuhkan diantaranya untuk
pertumbuhan rahim (uterus) dan janin. Makanan yang dkonsumsi ibu hamil akan
digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan janin sebesar 40% dan sisanya 60% untuk
pertumbuhan ibunya.

a. Tingkat Konsumsi Energi Ibu Hamil

Dari hasil Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pasayangan Kecamatan


Martapura Tahun 2016 tingkat konsumsi energy ibu hamil menunjukkan tingkat
konsumsi energi lebih (157,11%), hal ini dikarenakan Ibu Hamil tidak mengalami
mual muntah dan nafsu makan yang baik.

b. Tingkat Konsumsi Proteini Ibu Hamil

Dari hasil Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Kecamatan Martapura


Tahun 2016 tingkat konsumsi protein ibu hamil menunjukkan tingkat konsumsi
protein lebih (184,40%), hal ini dikarenakan Ibu Hamil tidak mengalami mual
muntah dan nafsu makan yang baik.

c. Tingkat Konsumsi Vitamin A Ibu Hamil

Dari hasil Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Kecamatan Martapura


Tahun 2016 tingkat konsumsi vitamin A ibu hamil menunjukkan tingkat konsumsi
vitamin A lebih (306,95%), hal ini dikarenakan Ibu Hamil tidak mengalami mual
muntah dan nafsu makan yang baik.

d. Tingkat Konsumsi Fe Ibu Hamil

Dari hasil Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Kecamatan Martapura


Tahun 2016 tingkat konsumsi vitamin A ibu hamil menunjukkan tingkat konsumsi
Fe difisit (37,82%), hal ini dikarenakan Ibu Hamil dalam menu makanannya dari
hasil recall sangat sedikit mengkonsumsi makanan yang mengandung Fe seperti
sayur dan buah, meski asupan proteinnya lebih dan juga dikarenakan ibu hamil
tidak mengkonsumsi pil zat besi yang diberikan oleh pihak posyandu/puskesmas.
Kebutuhan zat besi / Fe selama kehamilan sangat tinggi, khususnya trimester 2
dan 3. Kebutuhan zat besi dapat terpenuhi dengan tambahan pil besi dengan dosis
100 mg/hari. Zat besi penting untuk pembentukkan hemoglobin yang merupakan
suatu komponen darah yang berfungsi membawa oksigen keseluruh tubuh
termasuk plasenta pada saat ibu hamil. Kekurangan zat besi dapat meningkatkan
resiko kelahiran bayi premature atau bayi lahir berat badan rendah dan ibunya
menderita anemia (Soekirman,2006).
4.3 Analisis Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

4.3.1 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi (BB/U)

a. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,624> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi energi dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak
BaruMartapuratahun 2016.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan tingkat konsumsi energi balita di desa
tersebut terutama konsumsi sumber bahan makanan pokok tidak adekuat. Akan
tetapi balita lebih banyak mengkonsumsi bahan makanan sumber protein seperti
ikan, telur, snack (makanan ringan) yang memberikan sumber energi lebih sedikit
dan hanya akan memberikan rasa kenyang dalam waktu yang sebentar saja. Atau
juga disebabkan oleh pengambilan data yang bias baik dari pewawancara recall 2
x 24 jam atau dari responden sehingga data yang diperoleh tidak efektif dan tidak
berhubunganserta hal ini juga diduga yang menyebabkan Tingkat konsumsi energi
yang kurang bukan hanya dari faktorstatus gizinya, ada lagi faktor-faktor lain
seperti tingkat konsumsi energi, pola asuh dan lain-lain.

b. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Protein

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,773> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi protein dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016. Hal ini diduga yang menyebabkan tingkat konsumsi
protein yang kurang bukan hanya dari faktor status gizinya, ada lagi faktor-faktor
lain seperti tingkat konsumsi energi, pola asuh dan lain-lain.

c. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Vitamin A

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,029< (0,05) maka
H ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi
vitamin A dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru tahun
2016. Hal ini diduga yang menyebabkan tingkat konsumsi Vitamin A yang Baik
bukan hanya dari faktor status gizinya, ada lagi faktor-faktor lain seperti pola
asuh, pelayanan kesehatan, keaktifan ibu keposyandu dan lain-lain.

d. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Fe

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,297> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi Zat Besi atau Fe dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa
Tambak Baru Martapura tahun 2016. Hal ini diduga yang menyebabkan tingkat
konsumsi protein yang kurang bukan hanya dari faktor status gizinya, ada lagi
faktor-faktor lain seperti pola asuh, pelayanan kesehatan dan lain-lain.

e. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Infeksi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,152> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit
infeksi dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.Hal ini diduga yang menyebabkan tingkat konsumsi protein yang
kurang bukan hanya dari faktor status gizinya, ada lagi faktor-faktor lain seperti
pola asuh, pelayanan kesehatan dan lain-lain.

f. Hubungan Status Gizi dengan Pendapatan Keluarga

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,929> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan
keluarga dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena bias saat pengambilan data karena hanya
diambil selama 2 hari jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak
berhubungan.

g. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Pengetahuan Ibu

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,482> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
ibu dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun
2016.

Ketidakadaannya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status


gizi balita menurut BB/TB ini mungkin karena kesalahan pada saat pengambilan
data tentang pengetahuan ibu tentang zat gizi. Atau bisa juga karena responden
mengetahui tentang zat gizi namun mengabaikan arti pentingnya. Dan juga karena
bias saat pengambilan data koesioner jadi data yang diperoleh menjadi kurang
efektif dan tidak berhubungan.

h. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,227> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan
pangan energi dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.

Ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan


seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. (Happer;
1996). Daya beli keluarga biasanya dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan
keluarga. Ketersediaan energi di Kelurahan Pasayangan cukup bagus. Karena
sebagian besar keluarga disana merupakan pedagang jadi ketersediaan energi
berupa sumber makanan pokok selalu tersedia. Sehingga kebutuhan akan zat gizi
sumber energi sudah cukup terpenuhi dengan baik. Penyebab jadi tidak adanya
hubungan bisa terjadi karena bias saat pengambilan data selama 3 hari jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

i. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Protein

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,258> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
ketersediaan protein dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.

Hal ini mungkin disebabkan ketersediaan bahan makanan sumber protein


hewani dan nabati yang masih kurang beragam karena ketersediaan sumber
protein dibeli setiap hari di pasar atau tempat pedagang sayur keliling yang setiap
hari datang ke kelurahan tersebut. Pasar tradisional yang menjual berbagai pangan
dan kebutuhan lainnya buka setiap hari. Dan juga karena bias saat pengambilan
data selama 3 hari jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak
berhubungan.

j. Hubungan Status Gizi dengan Pelayanan Kesehatan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,190< (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pelayanan
kesehatan dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.

Hal ini karena pelayanan kesehatan yang baik memperhatikan balita di


desa tersebut.

k. Hubungan Status Gizi dengan Kesehatan Lingkungan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,277> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kesehatan
lingkungan dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini karena kesehatan lingkungandengan status gizi BB/U di desa


tersebut tidak berhubungan. Dan pada data yang didapat menunjukkan status gizi
yang buruk belum tentu dipengaruhi oleh kesehatan lingkungan tidak baik.

4.3.2 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi (TB/U)

a. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,476> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak adahubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi energi dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan penyebab tidak adanya hubungan bisa
terjadi karena bias saat pengambilan data yang diambil selama 2 hari, jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

b. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Protein

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,395> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi protein dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan penyebab tidak adanya hubungan bisa
terjadi karena bias saat pengambilan data yang diambil selama 2 hari, jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

c. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Vitamin A

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,019> (0,05) maka
H ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi
vitamin A dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak
BaruMartapura tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena baiknya konsumsi balita terhadap sumber
makanan yang mengandung vitamin A. Sebab ada beberapa anak balita yang suka
mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan sumber vitamin A
lainnya. Sumber vitamin A terbesar yang biasa dikonsumsi balita berupa vitamin
A dosis tinggi yang biasa dibagikan pada saat posyandu atau puskesmas setiap 2
kali dalam setahun. Hal ini juga bisa disebabkan karena teknik pengolahan
makanan ibu yang baik.

d. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Fe

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,107> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi Zat Besi atau Fe dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa
Tambak Baru Martapura tahun 2016.
Hal ini mungkin disebabkan kurangnya konsumsi sumber zat besi pada
anak balita dikarenakan kurangnya perhatian ibu terhadap manfaat dari zat gizi
terutama sumber zat besi. Keterbatasan biaya juga dapat mempengaruhi daya beli
ibu terhadap bahan makanan sumber zat besi. Dan juga karena bias saat
pengambilan data karena hanya diambil selama 2 hari jadi data yang diperoleh
menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

e. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Infeksi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,276> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit
infeksi dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Hal ini mungkin karena bias saat pengambilan data karena hanya diambil,
jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

f. Hubungan Status Gizi dengan Pendapatan Keluarga

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,166> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan
keluarga dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena bias saat pengambilan data karena hanya
diambil, jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

g. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Pengetahuan Ibu

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,072> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
ibu dengan status gizi balita menurut TB/U di Kelurahan Pasayangan
KecamatanMartapura tahun 2016.

Ketidakadaannya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status


gizi balita menurut TB/U ini mungkin karena kesalahan pada saat pengambilan
data tentang pengetahuan ibu tentang zat gizi. Atau bisa juga karena responden
mengetahui tentang zat gizi namun mengabaikan arti pentingnya. Dan juga karena
bias saat pengambilan data, jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan
tidak berhubungan.

h. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,021< (0,05) maka
H ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan pangan
energi dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Adanya hubungan Ketahanan Pangan dengan status gizi dikarenakan


tingakat ketersedian yang ada dirumah sangat memadai dan bisa dikatakan status
gizi akan membaik jika pengelolaan dalam panagn yang baik pula.Ketahanan
pangan disini adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. (Happer; 1996).
Daya beli keluarga biasanya dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan
keluarga. Ketersediaan energi di Kelurahan Pasayangan cukup bagus. Karena
sebagian besar keluarga disana merupakan pedagang jadi ketersediaan energi
berupa sumber makanan pokok selalu tersedia. Sehingga kebutuhan akan zat gizi
sumber energi sudah cukup terpenuhi dengan baik.

i. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Protein

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,834> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidakada hubungan yang bermakna antara tingkat
ketersediaan protein dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini mungkin disebabkan karena ketersediaan bahan makanan sumber


protein hewani dan nabati yang sudah cukup beragam karena ketersediaan sumber
protein di desa tersebut kadang membeli dan kadang pula mengkonsumsi
makanan yang sudah ada didalam rumah atau biasa disebut memiliki ketersediaan
makanan. Dan pada saat dilapangan hasil recall 24 jam kebanyakkan masyarakat
mengkonsumsi sumber protein hewani dari sungai dan sumber protein nabati
seperti tahu dan tempe.
j. Hubungan Status Gizi dengan Pelayanan Kesehatan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,471< (0,05) maka
H ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pelayanan kesehatan
dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun
2016.

Hal ini karena pelayanan kesehatan yang sangatdiperhatikandi Desa


tersebut tersebut.

k. Hubungan Status Gizi dengan Kesehatan Lingkungan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,005< (0,05) maka
H diterima, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara kesehata
lingkungan dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini karena pengolahan sampah yang sangat kurang diperhatikan di


desa tersebut. Sampah tidak tertutup rapat hanya dimasukkan kedalam kantong
kresek ataupun karung bekas gula. Tempat pembuangan akhirnya pun bukan
tempat pembuangan akhir yang berstandar. Sampah dikumpulkan lalu dibuang ke
sungai.

4.3.3 Analisis Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi (BB/TB)

a. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,517> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi energi dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan penyebab tidak adanya hubungan bisa
terjadi karena bias saat pengambilan data yang diambil selama 2 hari, jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan..

b. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Protein


Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,163> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi protein dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun2016.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan penyebab tidak adanya hubungan bisa
terjadi karena bias saat pengambilan data yang diambil selama 2 hari, jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

c. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Vitamin A

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,824> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
konsumsi vitamin A dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak
Baru Martapura tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengambilan data, mungkin


responden tidak menyebutkan dengan benar ukuran dan banyaknya makanan yang
dikonsumsi pada saat diwawancarai dengan metode recall sehingga data yang
diperoleh pewawancara kurang efektif.

d. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Konsumsi Fe

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,040> (0,05) maka
H ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi
Zat Besi atau Fe dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini mungkin disebabkan kurangnya konsumsi sumber zat besi pada
anak balita dikarenakan kurangnya perhatian ibu terhadap manfaat dari zat gizi
terutama sumber zat besi. Keterbatasan biaya juga dapat mempengaruhi daya beli
ibu terhadap bahan makanan sumber zat besi. Dan juga karena bias saat
pengambilan data karena hanya diambil selama 2 hari jadi data yang diperoleh
menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

e. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Infeksi


Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,973> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit
infeksi dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengambilan data, mungkin


responden tidak menyebutkan dengan benar ukuran dan banyaknya makanan yang
dikonsumsi pada saat diwawancarai dengan metode recall sehingga data yang
diperoleh pewawancara kurang efektif.

f. Hubungan Status Gizi dengan Pendapatan Keluarga

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,410> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan
keluarga dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi karena bias saat pengambilan data karena hanya
diambil, jadi data yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

g. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Pengetahuan Ibu

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,507> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
ibu dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura
tahun 2016.

Ketidakadaannya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status


gizi balita menurut BB/TB ini mungkin karena kesalahan pada saat pengambilan
data tentang pengetahuan ibu tentang zat gizi. Atau bisa juga karena responden
mengetahui tentang zat gizi namun mengabaikan arti pentingnya.

h. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Energi

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,110> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan
pangan energi dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan


seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. (Happer;
1996). Daya beli keluarga biasanya dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan
keluarga. Ketersediaan energi di Kelurahan Pasayangan cukup bagus. Karena
sebagian besar keluarga disana merupakan pedagang jadi ketersediaan energi
berupa sumber makanan pokok selalu tersedia. Sehingga kebutuhan akan zat gizi
sumber energi sudah cukup terpenuhi dengan baik. Penyebab jadi tidak adanya
hubungan bisa terjadi karena bias saat pengambilan data selama 3 hari jadi data
yang diperoleh menjadi kurang efektif dan tidak berhubungan.

i. Hubungan Status Gizi dengan Ketersediaan Pangan Protein

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,182> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
ketersediaan protein dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak
Baru Martapura tahun 2016.

Hal ini mungkin disebabkan karena ketersediaan bahan makanan sumber


protein hewani dan nabati yang sudah cukup beragam karena ketersediaan sumber
protein di desa tersebut kadang membeli dan kadang pula mengkonsumsi
makanan yang sudah ada didalam rumah atau biasa disebut memiliki ketersediaan
makanan. Dan pada saat dilapangan hasil recall 24 jam kebanyakkan masyarakat
mengkonsumsi sumber protein hewani dari sungai dan sumber preotein nabati
seperti tahu dan tempe.

j. Hubungan Status Gizi dengan Pelayanan Kesehatan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,243> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pelayanan
kesehatan dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.
Hal ini karena pelayanan kesehatan yang sangat diperhatikandi Desa
tersebut tersebut.

k. Hubungan Status Gizi dengan Kesehatan Lingkungan

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p=0,620> (0,05) maka
H diterima, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kesehatan
lingkungan dengan status gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru
Martapura tahun 2016.

Hal ini karena kesehatan lingkungandengan status gizi BB/TBdi desa


tersebut tidak berhubungan. Dan pada data yang didapat menunjukkan status gizi
yang buruk belum tentu dipengaruhi oleh kesehatan lingkungan tidak baik.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan di desa tambak baru adalah
salah satu dari kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar
Jumlah penduduk Desa Tambak Baru Kecamatan Martapura sebanyak 856 jiwa yang tersebar
di 4 (empat) wilayah Rukun Tetangga dengan lokasi pemukima disepanjang jalan Bina
Karyaa dan jalan Mufakat Tambak Baru. Pada tanggal 14 18 November 2016, dapat ditarik
kesimpulan :

1. Satatus gizi BB/U di desa Tambak baru pada tahun 2016 diketahui bahwa
balita dengan gizi buruk 4 (8 %) responden, balita dengan kasus gizi kurang
sebanyak 21 (42 %) responden, balita dengan kasus gizi baik 44 (48 %)
responden, dan balita dengan kasus gizi lebih 1 (2%) responden, secara
nasional ,prevalensi berat kurang pada 2010 adalah 17,9 % yang terdiri dari
4.9 % gizi buruk 13,0 gizi kurang. Serta menurut batas non-public health
problem WHO gizi kurang yaitu 10.0%.hal ini menunjukkan status gizi balita
tambak baru untuk status gizi kurang, buruk dan lebih masih menjadi
masalah.

2. Satatus gizi BB/U di desa Tambak baru pada tahun 2016 diketahui bahwa
balita sangat pendek 2 4 %)responden, balita pendek sebanyak 18(36 %)
responden, balita normal baik 29 (58%) responden, dan balita tinggi 1 (2%)
responden, secara nasional ,prevalensi berat kurang pada 2010 adalah 35,6
% yang terdiri dari 18.5% sangat pendek dan 17.1 pendek. Serta menurut
batas non-public health problem WHO gizi kurang yaitu 20.0%.hal ini
menunjukkan kasus gizi diTambak Baru untuk status gizi pendek masih
menjadi masalah.

3. Penyakit infeksi didesa Tambak Baru kecamatan Martapura 2016 diare


sebanyak 14 (63,6%) responden ,dan tipus 8(36.5%) responden.

4. Tingkat konsumsi energi balita yang deficit sebanyak 32 (64%) responden,


kurang 5 (10%) responden sedang 6 (12%) responden dan baik 7 (14%).

5. Tingkat konsumsi protein desa Tambak Baru pada tahun 2016 dengan
katogori defisit 16 (32%)responden, kurang 3 (6%) responden,sedang 9(18%)
dan baik 22(44% )respondeb.

6. Tingkat konsumsi vit A desa Tambak Baru pada tahun 2016 Dengan katagori
defisit 11(22%) responden, sedang 5(10%) responden, kurang 5(10%)
responden dan baik 29 (58%).

7. Tingkat konsumsi Fe desa Tambak Baru pada tahun 2016 Dengan katagori
defisit 27(54%) responden, kurang 1(2%) responden ,sedang 3 (6%)
responden, baik sebanyak 19 (38%).

8. Tingkat pendapatan keluarga dibawah rata-rata sebanyak 30(60%)


responden dan yang diatas rata-rataadalah 20 (40%) responden.

9. Jenis pekerjaan kepala keluarga didesa Tambak Baru dengan katagori


TNILPOLRI( 0) responden Wirasawata 23(46 %) responden , buruh 23 (46%)
responden, petani 1 ( 2%) responden. Hal ini menunjukkan rata-rata jenis
pekerjaan kepala keluarga didesa Tambak Baru sebagian besar buruh dan
wiraswasta.

10.Jenis pekerjaan ibu rumah tangga didesa Tambak Baru dengan katagori
wirasawata 1 (2%) Responden petani 1 (2 % )responden.dan ibu rumah
tangga sebesar 47(94%). Sebagian besar adalah ibu rumah tangga.

11.Jumlah pengetahuan ibu didesa tambak baru dengan katagor kurang


sebanyak 50 % Dari toatal semua responden

12.Ketersedian pangan didesa tambak baru dengan katagori

13.Ketersedian pangan didesa tambak baru dengan katagor kurang 43( 86%)
responden dan cukup 7 (14 % responden).

14.Ketersediaan protein keluarga didesa tambak baru kurang 47 (94%)


responden, cukup 3 (6%) responden.

15.Keaktifan ibu membawa balitasetiap bulan keposyandu di desa Tambak Baru


dengan katagori 50 (100%) responden aktif membawa balitanya keposyandu,

16.Balita yang mendapat kapsul vitamin A di desa Tambak Baru tidak 3 (6%)
responden dan YA 47 (94%) reponden.

17.Frekuensi ibu yang mengkonsumsi tablet FE adalah kurang dari 90 24 (48%)


responden, dan 90 tablet 25 (50%) responden.

18.Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dedesa Tambak Baru 2016


sebesar tidak lengkap 3 (6%) dan lengkap 47 (94%).

19.Distribusi ibu yang mengikuti KB didesa tambak baru tahun 2016 adalah
tidak 0 (0%) responden dan YA 50 (100%) responden.

20.Jenis alat kontsasepsi yang digunakan adalah pil Kb 27 (54%) Responden

Suntikan 20 (40%) responden implan 2 (4%) responden dan yang tidak


menggunakan 1 (2%) responden.
21.Ibu mendapat menyuluhan tentang pencegahan diare di posyandu di desa
Tambak Baru martapura tahun 2016 adalah tidak 16 (32%) reponden dan YA
34 (68%) responden.

22.Kesehatan lingkungan didesa Tambak Baru tahun 2016 dengan kategori baik 18
(36%) responden, cukup 0% responden dan kurang 32 (64%) responden.

23. tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi balita
menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapuratahun 2016.

24. yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan
status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016 .

25. yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi vitamin A dengan status
gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru tahun 2016.

26. , yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi Zat Besi atau Fe
dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

27. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan status gizi balita
menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016

28. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi
balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

29. tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita
menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.

30. yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan pangan energi
dengan status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.

31. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat ketersediaan protein dengan
status gizi balita menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.

32. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pelayanan kesehatan dengan status gizi
balita menurut BB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.
33. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kesehatan lingkungan dengan status gizi
balita menurut BB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

Status Gizi

1. berarti tidak adahubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dengan status
gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.
2. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan status
gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.

3. ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi vitamin A dengan status gizi
balita menurut TB/U di Desa Tambak BaruMartapura tahun 2016.

4. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi Zat Besi atau Fe
dengan status gizi balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016

5. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan status gizi
balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

6. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi
balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

7. tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita
menurut TB/U di Kelurahan Pasayangan KecamatanMartapura tahun 2016.

8. ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan pangan energi dengan status gizi balita
menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

9. tidakada hubungan yang bermakna antara tingkat ketersediaan protein dengan status gizi
balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

10. ada hubungan yang bermakna antara pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

11. berarti ada hubungan yang bermakna antara kesehata lingkungan dengan status gizi
balita menurut TB/U di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

12. tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.
13. tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun2016.

14. tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi vitamin A dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

15. ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi Zat Besi atau Fe dengan status
gizi balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

16. tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan status gizi balita
menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

17. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

18. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

19. tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan pangan energi dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

20. tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat ketersediaan protein dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016

21. berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pelayanan kesehatan dengan status gizi
balita menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

22. tidak ada hubungan yang bermakna antara kesehatan lingkungan dengan status gizi balita
menurut BB/TB di Desa Tambak Baru Martapura tahun 2016.

SARAN
1. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pola hidup sehat guna menghindari
masalah-masalah yang berkaitan dengan gizi balita

2. Perlu adanya tempat pembuangan sampah sementara disetiap RT , sehingga


masyarakat tidaklagi membuang sampah ldi sungai

3. Perlu adanya tempat penampungan air bersih untuk masak dan minum

4. Perlu adanya pembuatan toilet umum disetiap RT. Sehingga Masyarakat tidak
lagi melakukan kegiatan MCK Disungai.

Anda mungkin juga menyukai