Anda di halaman 1dari 10

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

SENGKETA KEPULAUAN SPARTLY DI LAUT CINA SELATAN

Bagus Arya Krisna (1416051095)

Gede Resa Ananda (1416051094)

Fakultas Hukum

Universitas Udayanna

1
2016/2017

1. Profil Kepulauan Spartly Dan Proses Persengketaan menjadi Konflik

Kepulauan Spratly diperkirakan memiliki luas 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar
350 pulau, yang kebanyakan merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas
langsung negara Cina dan negara-negara ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di sebelah
Selatan Cina dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah Barat Filipina, sebelah utara
Indonesia, sebelah utara Malaysia dan Brunei Darussalam. Kepulauan ini sebenarnya bukan
merupakan yang layak huni, akan tetapi pulau ini memiliki banyak potensi sumber daya alam
dan geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara
bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu kawasan ini
merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung
perekonomian negara.

Penemuan minyak dan gas bumi pertama di kepulauan ini adalah pada tahun 1968.
Menurut data The Geology and Mineral Resources Ministry of the Peoples Republic of
China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly
adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 10 10 kg). Fakta tersebut menempatkan Kepulauan
Spratly sebagai tempat tidur cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Letak strategis
lintas laut kapal dan kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang
juga sangat mempengaruhi sengketa dan konfilk di antara negara-negara bersengketa. Kapal-
kapal penangkap ikan yang menangkap ikan di sana menjadi salah satu penyebab konflik
akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah
tersebut.

Setidaknya ada 6 negara yang mengklaim wilayah kepulauan Spratly yaitu Cina,
Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kelima negara di atas, kecuali
Brunei Darussalam mempunyai klaim dan pemberian nama terhadap pulau-pulau di
kepulauan Spratly, sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut di
Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negaranya.
Kepulauan Spratly memang mempunyai cerita panjang dalam kaitannya dengan sengketa
wilayah negara di atas dalam konteks ZEE dan historis serta penamaan pulau-pulau dan nama
Laut Cina Selatan. Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan nama Kalayaan (tanah
kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha

2
Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik
negara yang memberikan nama.

Tahun 1947 Republik Rakyat Cina (RRC) adalah Negara pertama yang mengklaim
Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau,
tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan.
Meskipun demikian belum ada tanda-tanda pendudukan yang dilakukan oleh RRC di wilayah
tersebut pada saat itu. Negara yang lebih dahulu melakukan pendudukan justru antara lain
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Taiwan.

Vietnam mengklaim dan langsung melakukan pendudukan di Kepulauan Paracel dan


Spratly setelah perang dunia kedua berakhir. Kepulauan Paracel juga merupakan salah satu
kepulauan yang banyak diklaim selain Kepulauan Spratly. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Taiwan setelah perang dunia kedua.

Filipina juga melakukan klaim dengan menduduki kepulauan Spratly pada tahun 1971.
Filipina beralasan bahwa kepulauan tersebut merupakan wilayah bebas. Filipina juga
merunjuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas
haknya terhadap Kepulauan Spartly. Hal tersebut tak lepas kaitannya dengan asas laut
tertutup yang menyatakan bahwa bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara
saja pada periode tertentu saja.

Klaim selanjutnya dilakukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia


melakukan klaim terhadap beberapa pulau di Kepulauan Spratly yang kemudian diberi nama
Terumbu Layang. Pulau tersebut termasuk dalam wilayah landas kontinen Malaysia atas
dasar pemetaan wilayah negara yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979. Tidak mau kalah,
Brunei Darussalam juga melakukan klaim namun bukan terhadap gugusan yakni hanya
wilayah laut di Kepulauan Spratly. Hal itu dilakukan setelah Brunei merdeka dari jajahan
Inggris pada tahun 1984.

Konflik akibat sengketa ini cukup banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata
1974 antara Cina dan Vietnam yang terjadi kedua kalinya pada 1988. Selain itu pernah terjadi
tembak menembak kapal perang antara RRC dan Filipina dekat Pulau Campones tahun 1996.
Situasi yang dapat berujung konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu itu pasukan
militer RRC gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau sengketa.

3
Kemudian Vietnam melayangkan protes kepada Cina atas tindakan tersebut. Namun situasi
makin memanas setelah kapal minyak Petro Vietnam dirusak oleh militer Cina pada Mei dan
Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan dengan mengadakan kegiatan militer rutin
tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011.

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan di antaranya


Declaration On the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada 4 November 2002.
Namun upaya tersebut tidak diindahkan lagi oleh para pihak bersengketa. Ini akibat prinsip
yang keras dan perbedaan pemahaman dalam upaya menyelesaikan sengketa ini. Konflik
bersenjata yang dilancarkan pihak tersebut di atas merupakan salah satu wujud tidak
dipatuhinya DOC tersebut.

Tak hanya Vietnam, Filipina pun kian meradang ketika kapal pengangkut minyak
Filipina ditangkap oleh militer RRC di sekitar perairan Kepulauan Spratly yang berangkat
dari provinsi Guangdong Selatan menuju Singapura. Rute yang dilalui memang berdekatan
dengan wilayah-wilayah yang diklaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Filipina
pun mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal masalah ini. Dari penjelasan
panjang di atas sudah dapat disimpulkan bahwa Kepulauan Spratly menjadi rebutan klaim
oleh negara-negara bersengketa tersebut karena potensi ekonomi, politis dan geostrategis. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan konflik panjang yang hingga sekarang. Oleh karena itu
sangat diperlukan upaya yang tepat untuk menangani kasus ini untuk meminimalisir konflik
yang terjadi, terutama sesama anggota ASEAN.

Sejarah membuktikan, sengketa Laut China Selatan berpotensi menjadi perang.


Tahun 1974, China dan Vietnam berkonflik di Paracel, padahal sebelumnya mereka tenang
menduduki bagian masing-masing di kepulauan itu. Menurut BBC, konflik itu menewaskan
lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China. Setelah perang itu, China menguasai
Paracel. Juni lalu China membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan
Paracel sebagai bagian kota tersebut. Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali
ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. China memenangi konflik ini dan 60
orang tewas di pihak Vietnam.

4
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa negara-negara yang termasuk secara langsung
dalam sengketa ini adalah Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.

2. Proses Klaim penuh dari sudut pandang beberapa negara

Klaim yang dilakukan Cina adalah atas dasar sejarah. Secara geografis jarak antara
RRC dengan Kepulauan Spratly sangat jauh dan tidak terjangkau dengan menggunakan
konsep landas kontinen dan ZEE. Tetapi Cina melakukan klaim terhadap gugusan pulau di
Kepulauan Spratly atas dasar sejarah.

Sebelum zaman modern, konon telah ada jejak kehidupan Dinasti Cina di Kepulauan
Spratly. Menurut Cina sejak 2000 tahun yang lalu Kepulauan Spratly sudah menjadi jalur
perdagangan Cina. Selain itu, argumen itu didukung dengan fakta-fakta sejarah di antaranya
penemuan bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206-220 SM).

Konon pada abad ke-19 klaim sudah dilakukan oleh RRC tepatnya pada tahun 1876.
Namun terjadi tumpang tindih klaim saat terjadi Perang Dunia I antara Perancis, Inggris
dan Jepang yang melakukan ekspansi ke Laut Cina Seltan. Klaim yang lebih kuat adalah
penerbitan peta dengan memasukkan hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan ke dalam
peta wilayah RRC.Baru sekitar tahun 1988, RRC melakukan ekspansi ke Kepulauan
Spratly. Ekspansi dilakukan dengan mengadakan instalasi militer secara besar-besaran di
Kepulauan Spratly. Pada tahun ini pula tercatat konflik Cina-Vietnam di mana pada saat itu
terjadi pendudukan di Kepulauan Spratly dan Paracel dengan mengusir paksa tentara
Vietnam. Hal ini semakin diperkuat dengan upaya de jure yaitu dengan menerbitkan UU
tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai
wilayahnya.Hal tersebut terus gencar dilakukan RRC bahkan hingga sekarang. Berbagai
upaya yang dicoba oleh RRC di antaranya adalah perjanjian bilateral, dan perjanjian
multilateral.

Taiwan juga tak luput dalam melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly. Klaim
dibuktikan dengan pendudukan pada tahun 1956 di Kepulauan Spratly. Sebelumnya pada
tahun 1947 Taiwan telah menerbitkan peta wilayah yang memasukkan Kepulauan Spratly di

5
dalam wilayahnya. Salah satu klaimnya adalah pulau terbesar di kepulauan tersebut yaitu
Pulau Aba alias Taiping Island.

Vietnam melakukan klaim juga atas dasar historis. Vietnam menyatakan sudah
menduduki Kepulauan Spratly dan Paracel pada abad 17. Selain itu ada fakta sejarah yang
menunjukkan bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam wilayah distrik Binh Son Vietnam.
Vietnam Selatan menegaskan haknya atas Kepulauan Spratly dalam Konferensi San
Francisco. Kemudian Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Kepulauan Spratly
pada tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau di Kepulauan tersebut.

Konflik-konflik yang terjadi yang melibatkan Vietnam sebagaimana sempat dijelaskan


sebelumnya telah berlangsung beberapa kali. Konflik disebabkan bersikeras antara para
pihak, terutama Vietnam dan RRC. Hingga sekarang Vietnam terus memperkuat militer di
wilayah Kepulauan Spratly.

Filipina mulai menduduki Kepulauan Spratly diawali pada tahun 1970. Prinsip
utama yang digunakan dalam klaim Filipina adalah hukum Res Nullius. Filipina
berpendapat klaim mereka Res Nullius karena tidak ada kedaulatan efektif atas pulau-pulau
sampai tahun 1930, sejak Perancis dan kemudian Jepang mengambil alih pulau. Ketika
Jepang meninggalkan kedaulatan mereka atas pulau-pulau sesuai dengan Perjanjian San
Francisco , ada pelepasan hak atas pulau-pulau tanpa penerima khusus. Klaim juga
dilakukan karena prinsip ZEE yang dianggap Filipina bahwa Kepulauan Spratly termasuk
di dalamnya.

Malaysia melakukan klaim terhadap Kepulauan Spratly atas dasar Peta Batas
Landas Kontinen. Memang secara jelas bahwa sebagian wilayah Kepulauan Spratly masuk
ke dalam wilayah landas kontinen Malaysia. Selain itu Malaysia pun melakukan upaya-
upaya lain seperti pendudukan, klaim serta penamaan terhadap gugusan pulau di Kepulauan
Spratly.

Pendudukan yang dilakukan Malaysia oleh pasukan militernya dimulai pada tahun
1977. Pada tanggal 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke
Terumbu Layang, dan pada tahun yang sama Malaysia melakukan survey dan kembali

6
menyatakan bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Hingga saat ini
penguatan basis militer di pulau-pulau tersebut semakin gencar dilakukan Malaysia,
mengingat kencangnya upaya klaim dari negara lain terutama RRC.

Klaim yang dilakukan Brunei Darussalam bukan terhadap gugusan pulau tetapi
hanya pada wilayah laut Kepulauan Spratly. Brunei merupakan satu-satunya negara yang
menahan diri untuk klaim dan pendudukan militer di wilayah gugusan Kepulauan Spratly.
Brunei melakukan klaim atas dasar konsep ZEE di mana sebagian wilayah dari Kepulauan
Spratly masuk dalam ZEE Brunei Darussalam.

3. Usaha menyelesaikan sengketa dan konflik antara pihak Negara yang terlibat

Dalam rencana penyelesaiannya sudah dilakukan, di antaranya adalah pada tahun


1991, RRC melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak
bersama yang berlangsung di Singapura. Pada tahun 1992, Cina mengadakan pertemuan
bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus
dalam menangani sengketa perbatasan teritorial.

Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina melakukan hal yang sama dengan
menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi selama 40 tahun di
wilayah yang disengketakan. RRC dan Filipina juga melakukan pertemuan untuk
bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly. Dan Pemerintah
Malaysia dan Brunei Darussalam juga sudah bertemu untuk membicarakan hak
pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah.

Sedangkan beberapa perjanjian multilateral yang pernah dilakukan dalam upaya


penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly, antara lain Deklarasi Kuala Lumpur 1971, yang
membahas tentang kawasan damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom and
Neutrality) atau ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, yang
dihasilkan dan disetujui pada KTT ASEAN I pada tahun 1976, Pembentukan ASEAN
Regional Forum (ARF), yang dibentuk pada tahun 1994. Pertemuan ARF pertama kali
dilangsungkan di Bangkok, KTT ASEAN V tahun 1995, yang menghasilkan traktat
mengenai kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia

7
Zone-Nuclear Free Zone) dan Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study
Groups, yang dipelopori oleh Indonesia.

Dalam rangka meredakan konflik mengenai kepemilikan Spratly, negara-negara


yang terlibat sengketa berusaha melalukan perundingan dan dialog bilateral. Pertemuan
bilateral dilakukan oleh negara-negara yang berkonflik sejak 1988 untuk menyelesaikan
sengketa tersebut melalui diskusi dan konsultasi. Dari pertemuan-pertemuan ini, terlihat
bahwa negara-negara tersebut setuju untuk mencari penyelesaian secara damai melalui
konsultasi, membangun rasa percaya, membentuk berbagai kerja sama, dan berusaha untuk
tidak menggunakan kekuatan senjata. Selain itu, ketiga negara tersebut (Cina, Vietnam dan
Filipina) setuju untuk mengakui atau menyelesaikan sengketa mereka atas dasar prinsip-
prinsip hukum Internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut 1982 (KLH 1992).

Dialog ini melibatkan aktor-aktor non-negara seperti ahli-ahli kelautan dan para
akademisi. Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua
pihak yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring
ekosistem, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi di Laut Cina Selatan. Dalam
dialog ini kemudian disepakati proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman
hayati ( Ekosistem ).

Dibawanya permasalahan ini oleh Indonesia ke ASEAN Post-Ministerial


Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik.

Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of


Parties in South China Sea. Pada bulan Maret 2005, Cina-Vietnam-Filipina
menandatangani MoU kerjasama dalam bidang eksplorasi energi dan sepakat untuk
menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly. Pada tahun 2006 China-
ASEAN Joint Working Group melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan
bahwa kedua belah pihak (RRC dan ASEAN) berkomitmen menjaga perdamaian dan
stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.

Upaya ini memang cukup efektif dalam penyelesaian sengketa jika dilihat dari
situasi setelah perjanjian. Selain itu beberapa perjanjian multilateral juga berupa mediasi

8
yang dipelopori oleh mediator sehingga perjanjian dapat berjalan lebih baik. Namun tidak
sepenuhnya berjalan dengan baik lagi-lagi karena tidak dicapainya peta kepemilikan
pulau, dan banyaknya pihak yang melanggar sendiri perjanjian tersebut, seperti terjadinya
perusakan kapal oleh pihak-pihak tertentu.

Salah satu yang belum dilakukan dalam penjanjian multilateral itu adalah
kemungkinan untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama.
Padahal perjanjian ini dapat menjadi usaha alternatif untuk meredam konflik di
Kepulauan Spratly.

Dalam hukum internasional, hal ini memang dimungkinkan untuk dilakukan.


Perjanjian semacam ini dapat dilihat misalnya : perjanjian Indonesia dengan Australia
dalam pengelolaan dan pembagian di Blok Cepu. Upaya ini dapat menjadi solusi karena
jika dilihat latar belakang permasalahan ini adalah karena potensi minyak dan gas bumi
yang berlimpah.

Upaya penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa masih saja
berlanjut hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara negara bersengketa
yang sebenarnya merupakan negara bertetangga, bahkan beberapa di antaranya konflik
bersenjata. Dalam perkembangan terakhir, Amerika Serikat di bawah Presiden Barack
Obama tidak malu-malu lagi menampakkan minatnya terhadap wilayah Laut Cina Selatan
dengan akan mengerahkan 60% kekuatan militernya di Asia. Dan Filipina sebagaimana
banyak diberitakan, bersedia menyediakan beberapa pelabuhannya untuk pangkalan
militer Amerika. Hal ini membuat RRC khawatir dan mulai membangun kekuatan
militernya dengan antara lain membangun kapal induk dan mempercepat pembangunan
rudal jarak jauhnya.

Kepulauan Spaartley di Laut Cina Selatan, berpotensi untuk menjadi tempat pertama
meletusnya konflik bersenjata di wilayah Asia Tenggara. Penyebabnya adalah sengketa
wilayah antar Negara yang sudah puluhan tahun belum terselesaikan dan camput
tangannya negara-negara adidaya yang sarat dengan kepentingan ekonomi globalnya.
(Tkr-dari berbagai sumber).

9
10

Anda mungkin juga menyukai