Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Pembimbing:

dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

Disusun oleh:

Ricky Julianto, S.Ked

(030.10.236)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 1 DESEMBER 2014 3 JANUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Ricky Julianto


NIM : 030.10.236
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Judul Referat : Epilepsi Pada Perempuan
Pembimbing : dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

Jakarta, Desember 2014

dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Epilepsi Pada
Perempuan. Referat ini disusun selama menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf
di RSUD Budhi Asih pada periode kepaniteraan 1 Desember 2014 3 Januari 2014
sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan. Penulis menyadari bahwa
penyusunan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama
menjalankan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Budhi Asih
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan baik.
2. Orang tua, saudara-saudara, serta teman sekelompok yang telah memberikan segala
doa dan dukungan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
sekalian.

Jakarta, Desember 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II EPILEPSI PADA PEREMPUAN 2

2.1 Sistem hormonal mempengaruhi kejang pada epilepsi 2

2.2 Hormon steroid 2

2.3 Mekanisme molekular hormon steroid ovarium 3

2.4 Gangguan sistem reproduksi pada perempuan dengan epilepsi 3

2.5 Gangguan sistem endokrin pada perempuan dengan epilepsi 4

2.6 Mekanisme gangguan sistem reproduksi pada perempuan


dengan epilepsi 4

2.7 Pengaruh epilepsi pada pubertas 5

2.8 Kejang catamenial 5

2.9 Epilepsi pada kehamilan 6

2.10 Kontrasepsi hormonal dan epilepsi 8

2.11 Epilepsi pada menopause 8

2.12 Terapi 8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA EPILEPSI 10

3.1 Definisi 10

3.2 Klasifikasi 10

3.3 Etiologi 12
iii
3.4 Diagnosis 13

3.5 Diagnosis banding 16

3.6 Terapi 18

3.7 Komplikasi 21

3.8 Prognosis 22

BAB IV STATUS EPILEPTIKUS 23

BAB V KESIMPULAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan masalah kesehatan yang sering kali mencetuskan berbagai


masalah baik di bidang medis, sosial, psikososial maupun ekonomi.1 Epilepsi berasal dari
kata Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Menurut
PERDOSSI 2012, epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang yang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Gejala dan tanda
klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron kortikal yang
mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus serangan biasanya
berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya
bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi.2
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang,
dibandingkan dengan di negara industri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa angka
kejadian epilepsi cukup tinggi dengan prevalensi yang berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata
prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di
negara berkembang mencapai 40-70 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini belum diketahui
secara pasti penyebabnya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya
perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan
penyakit infeksi.3 Menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih
banyak dari perempuan.4 Namun, epilepsi pada perempuan dianggap spesial karena
sebagian besar perempuan yang menderita epilepsi akan mengalami serangan kejang saat
terjadi perubahan hormonal pada dirinya, misalnya saat pubertas, saat fase ovulasi dalam
siklus menstruasi, saat kehamilan dan menopause. Estrogen mempunyai efek epileptogenik
(prokonvulsi) dan menurunkan ambang kejang, sedangkan progesteron merupakan anti-
epileptogenik (anti-konvulsi) dan meningkatkan ambang kejang.5 Angka kejadian epilepsi
pada perempuan menurut data dari rochester study, minnesota amerika, pada tahun 2011
ada 41 kasus dari 100.000 perempuan per tahunnya.6
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai epilepsi pada pubertas, menstruasi,
kehamilan dan persalinan, saat menopause dan epilepsi yang berhubungan dengan
penggunaan kontrasepsi.

1
BAB II
EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronik yang sering ditemukan,
dan mempengaruhi 1% atau lebih penduduk dunia disemua kalangan usia. Ada
kepentingan klinis dari perbedaan gender baik dalam ekspresi maupun dampak dari
penyakit. Pada perempuan, hormon steroid yang dihasilkan ovarium akan mempengaruhi
tingkat keparahan dan frekuensi dari kejang epilepsi. Sistem hormonal mempengaruhi tipe
kejang dan epilepsi.5

2.1 Sistem hormonal mempengaruhi kejang pada epilepsi


Sebagian besar perempuan dengan epilepsi mengalami perubahan pada
pengeluaran phenotypic sebagai respons jika terjadi epilepsi saat masa reproduksi dan
siklus reproduksi menjadi berlebihan. Frekuensi dan tingkat keparahan kejang mungkin
akan meningkat saat pubertas, saat menstruasi, kehamilan dan menopause. Peningkatan ini
terjadi akibat hormon steroid yang dihasilkan ovarium berpengaruh pada saraf-saraf di
sistem saraf pusat.5

2.2 Hormon steroid


Hormon merupakan media pengangkut yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dan
disekresikan ke dalam sitem sirkulasi tubuh untuk bekerja sebagai reseptor di target organ.
Terdapat dua jenis steroid hormon, adrenal dan gonadal, yang berasal dari pregnenolone,
yang merupakan sebuah produk dari kolesterol. Ovarium akan memproduksi hormon
steroid pada perempuan, yaitu estrogen yang berasal dari folikel ovarium dan progesteron
yang berasal dari korpus luteum.5
Dampak klasik dari estrogen adalah membentuk karakteristik seksual pada
perempuan, mempengaruhi metabolisme dan distribusi lemak. Sedangkan progesteron
mempengaruhi perkembangan uterus dan kelenjar mammae, memelihara kehamilan dan
menghambat perilaku seksual. Hormon tersebut terikat pada reseptor DNA intranuklear
yang menyebabkan modifikasi dan transkripsi gen RNA serta sintesis protein. Hormon
steroid ini juga mempengaruhi hubungan antar membran sel. Pengaruh terhadap membran
sel dimediasi oleh GABAA (alfa- asam aminobutirat) reseptor. Pada reseptor GABAA,
terdapat beberapa tempat untuk diduduki oleh hormon steroid, yaitu tempat untuk
barbiturat dan benzodiazepin, yang merupakan antiepileptik agen.5

2
2.3 Mekanisme molekular hormon steroid ovarium
Estrogen memiliki pengaruh secara genom dan membran, dapat memicu
pengeluaran dan menurunkan efek hambatan. Ketika estrogen menduduki GABA A
reseptor, klorida akan menurun yang menyebabkan efek inhibisi GABA tidak bekerja.
Estrogen juga berfungsi sebagai agonis reseptor N-methyl- D-aspartat (NMDA) untuk
memediasi pengeluaran CA-1 di hipokampus. Efek terhadap genom, estrogen mengubah
mRNA sebagai kode untuk GABA amino decarboxylase (GAD), sebuah enzim yang
mengatur kadar sintesis dari neurochemical GABA. Estrogen juga menurunkan kadar
sintesis reseptor GABAA. Secara keseluruhan estrogen mengatur kadar jumlah GABA A,
reseptor GABAA sekaligus menurunkan jumlah konsentrasi GABAA. Progesteron memiliki
efek yang berkebalikan dengan estrogen, meningkatkan efek GABA sebagai penghambat
neurontransmitter dan menurunkan pengeluaran glutamat di lobus temporal. Secara
genom, progesteron meningkatkan sintesis GABA dan jumlah reseptor GABA A. Pada
beberapa perempuan dengan epilepsi, estrogen akan meningkatkan aktivitas epileptiform
pada EEG. Penurunan jumlah progesteron akan meningkatkan ambang kejang.5
Faktor lainnya yang mungkin berhubungan dengan pengaruh hormon pada epilepsi
adalah perbedaan yang signifikan pada distribusi anatomi dari reseptor steroid di otak saat
postpubertal (mature) dengan pada saat prepubertal. Reseptor progesteron disebarkan
sepanjang neurokorteks. Pada infant atau pada otak prepubertal, reseptor estrogen juga
disebar sepanjang neurokorteks. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah reseptor
estrogen pada neurokorteks berkurang dan berpusat di korteks limbik (amygdala dan
hipokampus). Yang penting secara klinis akibat perubahan distribusi ini adalah perbedaan
pengaruh hormon terhadap epilepsi pada berbagai tahap perkembangan pada perempuan.5

2.4 Gangguan sistem reproduksi pada perempuan dengan epilepsi


Perempuan dengan epilepsi mengalami masa anovulasi lebih lama dibandingkan
perempuan pada umumnya. Hal ini terjadi karena perempuan dengan epilepsi mengalami
gangguan di daerah lobus temporal. Perempuan dengan epilepsi juga mengalami gangguan
perkembangan endokrin, termasuk gangguan produksi luteinizing hormone (LH). Kondisi
perempuan dengan sindroma polikistik ovarium dan keadaan abnormal dari morfologi
ovarium serta hiperandrogenisme juga ditemukan pada lebih dari 40% perempuan dengan
epilepsi yang mendapat asam valproat.5
2.5 Gangguan sistem endokrin pada perempuan dengan epilepsi

3
Perempuan dengan epilepsi mengalami abnormalitas pada korteks serebri yang
menyebabkan perubahan input terhadap hipotalamus sebagai penghasil hormon pituitari,
yakni FSH dan LH. FSH berperan saat awal siklus menstruasi dimulai dan LH yang
merangsang terjadinya ovulasi. Perempuan dengan epilepsi yang memiliki gangguan pada
lobus temporal memiliki risiko terjadinya abnormal sistem endokrin. Ini terjadi akibat
struktur lobus temporal, termasuk amygdala, memiliki koneksi dengan hipotalamus yang
akan menyebabkan perubahan pengeluaran hormon hipotalamus Perempuan dengan
epilepsi mengalami gangguan produksi LH, kadarnya bisa menurun atau meningkat
tergantung lokasi dari epileptogenik yang mendominasi terhadap rangsangan atau
hambatan terhadap aktivitas hipotalamus. Kadar steroid dalam plasma dapat berubah
tergantung stimulasi dari lobus temporal.5
Perempuan dengan epilepsi mengalami gangguan hormon steroid akibat
penggunaan obat anti epilepsi. Estrogen, progesteron, testosteron di metabolisme oleh
sistem enzim sitokrom P450. Obat anti epileptik yang menginduksi sistem enzim seperti
barbiturat, karbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin dan topiramat meningkatkan
metabolisme kedua kelenjar gonad dan kelenjar adrenal sehingga kadar hormon steroid
dalam plasma menurun. Obat ini juga menyebabkan ikatan steroid sebagai protein yang
beredar dalam sirkulasi. Asam valproat sebagai penghambat sitokrom P450 memiliki efek
yang berbeda yakni menyebabkan penurunan metabolisme hormon steroid sehingga
kadarnya dalam plasma akan meningkat. Perempuan yang mengkonsumsi obat anti
epilepsi yang tidak memiliki efek terhadap enzim tersebut, menunjukkan tidak ada
perbedaan kadar hormon steroid antara perempuan yang mengkonsumsi obat anti epilepsi
dengan perempuan pada umumnya.5

2.6 Mekanisme gangguan sistem reproduksi pada perempuan dengan epilepsi


Etiologi gangguan sistem reproduksi pada perempuan dengan epilepsi sangat
beragam. Epilepsi sering berdampak pada beberapa regio otak, sebagai contoh lobus
temporal, lobus frontal dan termasuk hipotalamus yang mengatur regulasi siklus
reproduksi agar berjalan baik. Fungsi otak mungkin mengalami gangguan akibat
perubahan struktural dan fungsional akibat adanya lesi epileptogenik atau akibat adanya
kejang.5
Beberapa obat anti epilepsi memiliki risiko tinggi untuk menyebabkan gangguan
pada sistem reproduksi. Beberapa obat anti epilepsi yang berdampak pada gangguan

4
reproduksi akibat efeknya terhadap neurotransmitter dan hormon neuroaktif. Asam
valproat berhubungan dengan sindroma polikistik ovarium, mungkin karena adanya
peningkatan androgen (karena gangguan pada enzim) dan berhubungan dengan berat
badan. Perubahan psikologis berhubungan dengan epilepsi juga menjadi faktor yang
menyebabkan gangguan reproduksi, namun penyebabnya masih belum diketahui. Depresi
dan kecemasan berhubungan dengan epilepsi juga menyebabkan gangguan siklus
reproduksi.5

2.7 Pengaruh epilepsi pada pubertas


Pada saat pubertas terjadi perubahan pengeluaran phenotypic epilepsi. Kebanyakan
sindrom epilepsi genetik muncul sebagai respons pubertas. Epilepsi primer umum
berkembang menjadi juvenile myoclonic epilepsy (JME) dan sindrom epilepsi
photosensitifitas, merupakan dua tipe epilepsi yang sering terjadi pada wanita. Epilepsi
primer yang muncul saat pubertas adalah tipe absence dan benign rolandic epilepsi.
Sebagian besar perempuan (kurang lebih 30%) mengalami eksaserbasi kejang pada saat
menarche. Eksaserbasi kejang ditemukan pada perempuan dengan epilepsi terkait lokasi.
Lebih dari satu per tiga perempuan dengan kejang primer generalisata memiliki onset
kejang dalam 6 bulan dari menarche.5

2.8 Kejang catamenial


Pada siklus menstruasi perempuan, fase ovulasi ditandai dengan peningkatan
estrogen, sedangkan saat perimenstrual atau saat menstruasi terjadi penurunan kadar
progesteron. Selama menstruasi kadar estrogen relatif tinggi terus-menerus, sedangkan
kadar progesteron semakin menurun. Epilepsi catamenial merupakan epilepsi yang terjadi
akibat pengaruh perubahan hormonal saat siklus menstruasi tersebut, dan terjadi pada
sepertiga sampai setengah dari jumlah perempuan dengan epilepsi. Kejang biasa terjadi
saat perimenstrual, terkadang terjadi juga pada saat fase ovulasi.5
Penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara fase dalam siklus
menstruasi dengan bangkitan epilepsi. Kebanyakan bangkitan terjadi selama periode
perimenstrual (sekitar 3 hari sebelum menstruasi) dan pada saat fase ovulasi. Bentuk
kejang ini tidak ditemukan saat fase anovulasi, dimana saat fase anovulasi perbandingan
jumlah antara estrogen dan progesteron relatif konstan.5
Epilepsi catamenial dapat terjadi akibat penurunan konsentrasi obat anti epilepsi
dalam plasma. Beberapa pendapat mengatakan bahwa epilepsi catamenial terjadi akibat
5
perubahan siklus yang berhubungan dengan neuroaktif steroid. Peningkatan estrogen saat
ovulasi, penurunan kadar progesteron dan peningkatan perbandingan kadar estrogen
dengan progesteron pada saat fase anovulasi menjadi mekanisme hormonal yang utama.5

2.9 Epilepsi pada kehamilan


Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu yang sebelumnya sudah
menderita epilepsi dan yang berkembang menjadi epilepsi selama hamil. Perempuan yang
mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat terjadi secara insidentil pada
kehamilan (Laidlaw, 1988). Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada
perempuan epilepsi yang hamil adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang perempuan
yang hamil kadar estrogen dalam darah akan menurun, sehingga merangsang aktifitas
enzim asam glutamat dekarboksilase, dan oleh karena itu sintesa gamma amino butiric
acid (GABA) akan menurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak
akan merangsang bangkitan epilepsi (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992).7
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus
berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma
akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian
eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan (Plum, 1982: Laidlaw, 1988).7
Pada perempuan epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga terjadinya
bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe bangkitan selama
menderita epilepsi (Yerby, 1991; Lander, 1992). Terjadinya suatu bangkitan sangat
berbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma yang timbul. Supresi detak jantung
janin selama proses persalinan akibat bangkitan yang timbul.7
Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid dan kawan-kawan, dari 122
perempuan hamil, ditemukan bahwa kehamilan tidak berpengaruh terhadap frekuensi
bangkitan pada 68 kehamilan (50%), jumlah bagkitan meningkat 37%, dan frekuensi
bangkitan menurun pada 13% (Laidlaw, 1988).7
Studi terdahulu menemukan pasien-pasien dengan epilepsi yang berat
kemungkinan akan bertambah buruk, dan kadar obat anti epilepsi yang diminum tidak
sesuai, tetapi studi yang baru membuktikan bahwa perburukan tidak terjadi (Holmes, 1985;
Liadlaw, 1988).7

6
Pada perempuan hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada
trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan dan angka penurunan
dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda utuk setiap jenis obat. Penurunan kadar obat
dalam darah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada trisemester pertama, juga serupa
dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar penurunannya pada trisemester ketiga
(Yerby,1991).7
Pada perempuan hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat dalam darah, EEG, CT Scan (bila ada
kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan). Perubahan-perubahan
konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap bulan.7
Perempuan dengan epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik
dalam masa kehamilan dari pada perempuan pada umumnya. Pengaruh epilepsi terhadap
kehamilan yaitu:7
1. Melahirkan bayi prematur (pada 4-11%)
2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr (pada 710%)
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991).
Neonatus dalam perempuan epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko
karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering
terjadi pada perempuan epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi
uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus
perempuan epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan forsep
atau vakum sering dilakukan, begitu pula seksio saesar. Komplikasi persalinan untuk ibu
dan bayi adalah:7
1. Frekuensi bangkitan meningkat 33%
2. Perdarahan post partum meningkat 10%
3. Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
4. Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 10%
terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992).

2.10 Kontrasepsi hormonal dan epilepsi


Belum ada data jelas yang dapat menunjukkan hubungan kontrasepsi oral dengan
serangan epilepsi. Progesteron telah diketahui dapat menghambat epilepsi. Secara teori

7
pada pil kombinasi dengan adanya progesteron di dalam kandungan pil tersebut dapat
menyeimbangkan efek estrogen sebagai prokonvulsi.8

2.11 Epilepsi pada menopause


Menopause menunjukkan suatu proses yang memiliki variasi onset dan masa akhir.
Menopause dapat dibagi menjadi perimenopause (ditandai dengan siklus menstruasi yang
tidak teratur, rasa panas dan perubahan mood) dan menopause (ditandai dengan tidak
adanya siklus menstruasi selama 1 tahun). Selama perimenopause, kadar estrogen secara
bertahap menurun dan siklus luteal yang didominasi oleh progesteron juga ikut menurun.
Perbandingan estrogen dan progesteron secara keseluruhan menjadi meningkat dan tak
dapat diduga. Pada akhir menopause, produksi estrogen oleh ovarium tidak dapat
terdeteksi dan dapat menimbulkan efek yang berarti. Tidak ada data yang menjelaskan
mengenai risiko munculnya bangkitan epilepsi baru saat menopause dan hingga saat ini
sangat sedikit penemuan mengenai pengaruh menopause pada bangkitan epilepsi.9

2.12 Terapi
Fenitoin dan karbamazepin sering digunakan sebagai lini pertama untuk terapi
kejang parsial. Asam valproat efektif untuk semua jenis kejang dan biasanya juga
digunakan sebagai lini pertama. Fenitoin dan karbamazepin memiliki efek samping yaitu
menurunkan efektivitas dari penggunaan hormonal kontrasepsi. Asam valproat dapat
menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh, hiperandrogenisme dan polikistik ovarium
serta kerontokan rambut. Fenitoin, karbamazepin dan asam valproat juga merupakan obat
anti epilepsi yang teratogenik.5
Beberapa obat anti epilepsi terbaru termasuk lamotrigine, yang berperan dalam
penghambatan kanal sodium, dapat menghambat pelepasan glutamate, aspartate, dan
GABA dari sistem saraf pusat. Hal ini sangat efektif untuk membantu obat anti epilepsi
yang sedang digunakan untuk mengobati kejang parsial. Lamotrigine juga efektif untuk
mengobati kejang tonik-klonik umum dan kejang tipe campuran, seperti Lennox-Gastaut
syndrome. Gabapentin dan lamotrigine tidak bersifat teratogenik dan sangat efektif untuk
perempuan dengan epilepsi.5
Seorang perempuan epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu khawatir
terhadap janin, kehamilan, perkembangan danperawatan bayi. Hal ini membutuhkan
pengawasan khusus, baik sebelum dan selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsi haruslah
merupakan bagian yang penting untuk pencegahan dan persiapan (Laidlaw, 1988).7
8
Perempuan epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil yang
berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa
serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian
mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan.
Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin
paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan.
Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan
neonatal (Laidlaw, 1988; Warta Epilepsi,1992).7
Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsi bersifat
teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsi misalnya fenitoin, berakibat
malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikus dan dosis yang diberikan. Salah satu
bentuk malformasi tersebut adalah palatum yang terbelah dan ini merupakan malformasi
yang terbanyak tampak pada epilepsi (Laidlaw, 1988; Hirano, 1989). Umumnya obat anti
epilepsi yang digunakan adalah fenitoin, karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan
dengan malformasi konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang
distal. Trimetadion dihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat
anti epilepsi yang paling rendah toksisitasnya (laidlaw, 1988; Adams, 1989; Johnston,
1992).7
Asam valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin kemungkinan tidak
ditransfer ke ASI dalam jumlah yang bermakna secara klinis. Apabila bayi dari ibu yang
menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka dianjurkan untuk memberikan susu
botol berseling dengan ASI.10

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA EPILEPSI

3.1 Definisi
Epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai gangguan fungsi otak
sementara bersifat paroksismal yang dimanifestasi berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodik, fenomena motorik abnormal, gangguan psikis atau sensorik, atau
perturbasi sistem saraf otonom; gejala-gejalanya disebabkan oleh kelainan aktivitas listrik
otak (Dorland, 1998).11
Pada awalnya epilepsi didefenisikan sebagai kekacauan sistem saraf yang bersifat
intermiten akibat pelepasan jaringan nervus cerebral secara berlebihan dan tidak teratur.
Pernyataan ini merupakan postulat yang dikemukakan oleh Hughlings Jackson, seorang
ahli neurologi Inggris yang sangat terkenal, pada tahun 1870. Pelepasan tersebut mungkin
segera menyebabkan kehilangan kesadaran, perubahan persepsi atau kerusakan fungsi
psikis, kejang, gangguan rangsangan, atau kombinasi beberapa gangguan tersebut.12

3.2 Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh
International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua jenis, yaitu
klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.10

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi10,13


1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

2. Bangkitan umum
10
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi10,13


1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood
epilepsi with centrotemporal spikesI)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikows
Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
11
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)

3.3 Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu idiopatik,
kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah
idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada umumnya mempunyai predisposisi
genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simptomatik yang
penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi
epilepsi yang ketiga yaitu simptomatik yang disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf
pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi

12
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan
kelainan neurodegeneratif.10,14
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak, pencarian etiologi epilepsi yang
terjadi saat dewasa tak begitu penting, dengan pengertian bahwa proses penyebab tak aktif
lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun, maka pencarian
etiologi menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih
progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.10

3.4 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.10,14 Ada tiga langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi,14
1. Langkah pertama : pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Langkah kedua : tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga : tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai


berikut,
1. Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait
dibawah ini:15
a. Gejala dan tanda sebelum, saat, dan pasca-bangkitan
Sebelum bangkitan/gajala prodomal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
Selama bangkitan/iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
o Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video
saat bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
13
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.

Pasca bangkitan/ post- iktal:


Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todds paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
i. Jenis obat antiepilepsi
ii. Dosis OAE
iii. Jadwal minumOAE
iv. Kepatuhan minum OAE
v. Kadar OAE dalam plasma
vi. Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya: 15
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang berhubungan
dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan

14
tampak pasca-bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti:16
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
o Membatu menentukanmenentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi
(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous
sclerosiss.17
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel
Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan
mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di
otak berkaitan dengan bangkitan.17
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada
kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk
mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan
untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di
lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi
sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi
sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif
dibandingkan CT scan kepala.18
Pemeriksaan laboratorium

15
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau
bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.19

o Pemeriksaan kadar OAE


- Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.19

Pemeriksaan penunjang lainnya18


Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
o Punksi lumbal
o EKG

3.5 Diagnosis banding


Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti
pingsan (Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini sering
membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Tabel 2.1
menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan berbagai kondisi yang
menyerupainya.19
Apabila diagnosis epilepsi sudah dapat ditegakkan, maka kita akan dihadapkan
pada berbagai sindrom epilepsi. Penentuan sindrom yang tepat sangat mempengaruhi
keberhasilan terapi. Sindrom epilepsi memiliki beberapa perbedaan (lihat gambar 2.1).10

16
Hiperventilasi
Non epileptic
Kejang epileptik Syncope Aritmia cardiac atau serangan
attack disorder
panik
Riwayat penyakit
dahulu
Riwayat:
Trauma kepala,
alkohol,
ketergantungan Menggunakan obat
Wanita (3:1)
obat, kejang antihipertensi, anti Penyakit jantung
Ketergantungan Ansietas
demam yang depresan (terutama kongenital
seksual dan fisik
berkepanjangan, trisiklik)
meningitis,
encephalitis, stroke
Riwayat keluarga
(+)
Faktor pencetus
serangan
Perubahan posisi
Prosedur medis
Sleep deprivation
Berdiri lama Stress
Putus alkohol Olahraga Situasi sosial
Gerakan leher Distress sosial
Stimulasi fotik
(carotis
baroreseptor)
Karakteristik klinis
menjelang
serangan
Stereotipi,
Lightheadedness Ketakutan
paroksismal Gejala awal tidak
Gejala visual Palpitasi Perasaan tidak
(detik), bisa khas
Gelap, kabur realistis
disertai aura
Karakteristik klinis
pada saat serangan
Gerakan tonik Mirip dengan
(kaku) diikuti kejang epileptik,
gerakan jerking akan tetapi gerakan Agitasi
Pucat Pucat
yang ritmis tangan tidak Napas cepat
Bisa disertai kaku Bisa disertai kaku
Gerakan otomatism beraturan, Kaku pada tangan
atau menghentak- atau menghentak-
Cyanosis pengangkatan (carpopedal
hentak sebentar hentak sebentar
Bisa terjadi di pelvis, kadang spasm)
mana saja dan tidak bergerak
kapan pun sama sekali
Gejala sisa setelah
serangan
Mengantuk
Lidah tergigit
Nyeri anggota
gerak Lesu Lesu
Defisit neurologis
fokal (Todds
paralisis)
Tabel 3.1 Diagnosis banding kejang epilepsi19

17
Gambar 3.1 Diagnosis banding sindrom epilepsi10

3.6 Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Adapun prinsip terapi farmakologinya sebagai berikut,10
1. OAE mulai diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
c. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
18
d. Pasien dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
yang timbul dari OAE.
e. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)

2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan sindrom epilepsi (Tabel 3.2).
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping (Gambar 3.3), kadar obat plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

OAE Lain yang OAE yang


Jenis OAE Lini OAE Lini
dapat sebaiknya
Bangkitan Pertama Kedua
dipertimbangkan dihindari
Sodium
Clonazepam
Bangkitan Valproate Clobazam
Phenobarbital
umum tonik Lamotrigine Levetiracetam
Phenytoin
klonik Topiramate Oxcarbazepine
Acetazolamide
Carbamazepine
Sodium Carbamazepine
Bangkitan Clobazam
Valproate Gabapentin
lena Topiramate
Lamotrigine Oxcarbazepine
Clobazam
Sodium Topiramate Carbamazepine
Bangkitan
Valproate Levetiracetam Gabapentin
mioklonik
Topiramate Lamotrigine Oxcarbazepine
Piracetam
Sodium Clobazam
Bangkitan Phenobarbital Carbamazepine
Valproate Levetiracetam
tonik Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate
Sodium Clobazam Carbamazepine
Bangkitan Phenobarbital
Valproate Levetiracetam Oxcarbazepine
atonik Acetazolamide
Lamotrigine Topiramate Phenytoin
Carbamazepine
Bangkitan Clobazam
Oxcarbazepine
fokal Gabapentin Clonazepam
Sodium
dengan/tanpa Levetiracetam Phenobarbital
Valproate
umum Phenytoin Acetazolamide
Topiramate
sekunder Tiagabine
Lamotrigine
Tabel 3.2 Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan10

19
Gambar 3.2 dibawah ini memuat dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa.

Gambar 3.2 Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa10


Gambar 3.3 dibawah ini memuat efek samping dari obat anti epilepsi.

Gambar 3.3 Efek samping OAE10

20
Penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan bila setelah minimal 3
tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal. Penghentian OAE juga dapat dilakukan
apabila telah disetujui oleh pasien atau keluarganya. Penghentian OAE ini harus dilakukan
secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan. Bila
dilakukan penghentian lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.10
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:21,22,23
Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
Epilepsi simtomatis
Gambaran EEG yang abnormal
Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.
Penggunaan lebih dari satu OAE.
Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih kecil
pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima
tahun).23
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali. Rujukan ke spesialis saraf perlu
ditimbangkan bila:24
Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
Berencana untuk hamil
Dipertimbangkan untuk penghentian terapi

3.7 Komplikasi
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
Aspirasi atau muntah
Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit

21
Status epileptikus
Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP)
SUDEP terjadi pada sebagian kecil penderita epilepsi. Dari hasil autopsi, tidak
ditemukan penyebab fisik dari SUDEP. Hal ini mungkin terjadi karena edema
pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko yang lebih tinggi
dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum tonik klonik yang
tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien yang
menggunakan dua atau lebih obat anti kejang mungkin memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk SUDEP.

3.8 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum
obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena
atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya
mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif lebih buruk.

22
BAB IV
STATUS EPILEPTIKUS

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai
bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan
kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikan
bangkitan (dalam waktu 30 menit). Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan
motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).10,20

Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif


Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.10

Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif


Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk
perubahan perilaku atau awareness.10

SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik
yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Klasifikasi Status Epileptikus


Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
Berdasarkan durasi:
- SE Dini (5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )
Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:
- SE-NK Umum
- SE-NK fokal

23
Patofisiologi dari terjadinya status epileptikus belum diketahui secara pasti, namun
awal terjadinya impuls kejang abnormal kemungkinan karena terdapat ketidakseimbangan
antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Teori lain mengatakan bahwa status
epileptikus dapat terjadi karena adanya aktivasi dari hipokampus yang terjadi secara
persisten. Hilangnya GABA-mediated inhibitory synaptic transmission pada hipokampus
juga disebut sebagai salah satu faktor utama kejadian status epileptikus. Glutamatergic
excitatory synaptic transmission menyebabkan serangan menetap dan bahkan dapat
menyebabkan kematian neuron.20
Diagnosis status epileptikus didapat dari anamnesis dan pemeriksaan klinis. Dari
anamnesis didapatkan adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau
SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan metabolik, keracunan, putus alkohol, dan banyak
kondisi lain yang memberikan petunjuk penyebab tercetusnya kejang. Riwayat putus obat
atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma kepala mungkin juga
dapat ditemukan dalam anamnesis.20
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu
bangkitan umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.
Menetapnya takikardi, hipertensi, berkeringat dan hipersalivasi merupakan gambaran
umum status epileptikus.20

24
Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit. Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:10
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan konvulsivus
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang digunakan
sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau phenobarbital telah
diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena
dengan monitor kadar obat dalam serum. OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis
loading per oral. Bila pasien sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar
obat dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan. 10 Gambar
dibawah ini (gambar 4.1) akan menjelaskan mengenai terapi OAE untuk status epileptikus
konvulsif.

Gambar 4.1 OAE untuk status epileptikus konvulsif

Adapun protokol penanganan status epileptikus konvulsif yang dimuat dalam gambar
4.2 dibawah ini.
25
Gambar 4.2 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif10

Gambar 4.3 berikut ini memuat alur penanganan status epileptikus konvulsif.

26
Gambar 4.3 Alur penanganan status epileptikus10

Status Epileptikus Non Konvulsif10


Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus pada
penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar
Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam macam sesuai
jenis bangkitan (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Terapi status epileptikus (SE) non konvulsivus10


Dosis OAE pada SE Non Konvulsif10

27
SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam 0,2-
0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07
mg/kg (0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif,
mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak,
terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol.
Kondisi ini sering disebabkan oleh putus obat (khususnya obat psikotropik atau
benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi
rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan. SE parsial kompleks paling baik
diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian
intravena pada kasus ini, pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup
baik. Beberapa rekomendasi terapi SE-NK dapat dilihat pada gambar 4.5 dan gambar 4.6.

Gambar 4.5 Dosis obat pada status epileptikus non konvulsif10

28
Gambar 4.6 Dosis obat pada status epileptikus non konvulsif (lanjutan tabel)10

29
BAB V
KESIMPULAN

Kejang karena pengaruh hormon dan gangguan sistem reproduksi adalah masalah
utama pada perempuan dengan epilepsi. Penelitian mengenai masalah ini sangat
dibutuhkan terutama untuk melihat terapi apa yang paling efektif untuk digunakan. Selama
ini epilepsi pada perempuan diobati dengan obat anti epilepsi pada umumnya. Efek
teratogenik dari beberapa obat anti epilepsi harus dipertimbangkan dalam pemberiannya,
terutama pemberian obat anti epilepsi yang terbaru. Penggunaan obat anti epilepsi jangka
panjang maupun jangka pendek harus diperhatikan karena adanya risiko terjadinya
sindroma polikistik ovarium dan hiperandrogenisme terutama pada penggunaan asam
valproat. Hal ini menjadi penting karena sindroma polikistik ovarium berhubungan dengan
beberapa penyakit keganasan, termasuk didalamnya kanker endometrium dan kanker
payudara.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ela K, Panggabean R, Aminah S, Wibisono Y. Pengukuran Kualitas Hidup Anak


Epilepsi Dengan Mengunakan Kuesioner Modifikasi QOLCE (The Quality Of Life
In Childhood Epilepsy Questionnaire). Neurona. 2005; 22; 20-6.
2. Purba JS. Epilepsi Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. MSJ phar Dev
Med App. 2008; 21(4): 1979-91.
3. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. p. 1-3.
4. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurology. 8th ed. Jakarta: Erlangga. 2005. p.79-88.
5. Morrell MJ. Epilepsy in women: the science of why it is special. Neurology. 1999;
53(4): S42-8.
6. Epilepsy Society. Women and epilepsy. 2011. Available at:
th
http://www.epilepsysociety.org.uk. Accessed on December, 7 2014 at 7:00 PM.
7. Japardi I. Epilepsi Pada Kehamilan. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1963/1/bedah-iskandar
%20japardi10.pdf. Accessed on December, 13rd 2014 at 9:47 PM.
8. Guberman A. Hormonal contraception and epilepsy. Neurology. 1999; 53(Suppl 1):
S38-40.
9. Lee MA. Epilepsy in the menopause. Neurology. 1999; 53(Suppl 1): S41.
10. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, Editors. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR (AUP). 2014. p. 1-47.
11. Dorland WAN, Kumala P. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 25th ed. Jakarta:
ECG. 1998. p. 391.
12. Allan R, Robert B. Epilepsy and Other Seizure Disorders: Adams and Victors
Prinsiples of Neurology. 8th edition . New York: The McGraw-Hill Companies.
2005. p. 271-313.
13. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification
of Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501.
14. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management.
Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.
15. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience 2004;
400-8.
16. Engel J, Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J,
Pedley TA, Editors. Epilepsi A Comprehensive Textbook. 2nd ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2008. p. 767-72.
17. Molshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostik Evaluation. In Engel J, Pedley TA,
Editors. Epilepsi, A Comprehensive Texbook. 2nd ed. Lippincott Williams &
Wilkins. 2008. p. 783-4.
18. Leppik IE. Laboratory Tests. In Engel J, Pedley TA, Editors. Epilepsi, A
Comprehensive Texbook. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2008. p. 791-6.
19. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of
Epilepsi in Adults A National Clinical Guideline. SIGN. 2003.

31
20. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis &
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2007. p. 85-91.
21. Dulac O, Leppik IF. Initiating and Discontinuing Treatment in Comprehensive
Textbook Epilepsi. 1st ed. Philadelphia: Lippincott-Raven. 1998. p. 1237-46.
22. Devinsky O. Patient with Refractory seizures. N Eng J Med. 1999; 340: 1565-70.
23. Medical Research Council anti epileptic drug withdrawal in patients in remission.
Lancet 1991; 337: 1175-80.
24. Brodie MJ, Schacter SC, Kwan P. Fast Facts: Epilepsi. 3rd Ed. UK: Health Press
Limited. 2005. p. 37-84.

32

Anda mungkin juga menyukai