Pembimbing:
Disusun oleh:
(030.10.236)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 1 DESEMBER 2014 3 JANUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Epilepsi Pada
Perempuan. Referat ini disusun selama menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf
di RSUD Budhi Asih pada periode kepaniteraan 1 Desember 2014 3 Januari 2014
sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan. Penulis menyadari bahwa
penyusunan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama
menjalankan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Budhi Asih
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan baik.
2. Orang tua, saudara-saudara, serta teman sekelompok yang telah memberikan segala
doa dan dukungan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu
penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
sekalian.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan i
Kata Pengantar ii
BAB I PENDAHULUAN 1
2.12 Terapi 8
3.1 Definisi 10
3.2 Klasifikasi 10
3.3 Etiologi 12
iii
3.4 Diagnosis 13
3.6 Terapi 18
3.7 Komplikasi 21
3.8 Prognosis 22
BAB V KESIMPULAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
EPILEPSI PADA PEREMPUAN
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronik yang sering ditemukan,
dan mempengaruhi 1% atau lebih penduduk dunia disemua kalangan usia. Ada
kepentingan klinis dari perbedaan gender baik dalam ekspresi maupun dampak dari
penyakit. Pada perempuan, hormon steroid yang dihasilkan ovarium akan mempengaruhi
tingkat keparahan dan frekuensi dari kejang epilepsi. Sistem hormonal mempengaruhi tipe
kejang dan epilepsi.5
2
2.3 Mekanisme molekular hormon steroid ovarium
Estrogen memiliki pengaruh secara genom dan membran, dapat memicu
pengeluaran dan menurunkan efek hambatan. Ketika estrogen menduduki GABA A
reseptor, klorida akan menurun yang menyebabkan efek inhibisi GABA tidak bekerja.
Estrogen juga berfungsi sebagai agonis reseptor N-methyl- D-aspartat (NMDA) untuk
memediasi pengeluaran CA-1 di hipokampus. Efek terhadap genom, estrogen mengubah
mRNA sebagai kode untuk GABA amino decarboxylase (GAD), sebuah enzim yang
mengatur kadar sintesis dari neurochemical GABA. Estrogen juga menurunkan kadar
sintesis reseptor GABAA. Secara keseluruhan estrogen mengatur kadar jumlah GABA A,
reseptor GABAA sekaligus menurunkan jumlah konsentrasi GABAA. Progesteron memiliki
efek yang berkebalikan dengan estrogen, meningkatkan efek GABA sebagai penghambat
neurontransmitter dan menurunkan pengeluaran glutamat di lobus temporal. Secara
genom, progesteron meningkatkan sintesis GABA dan jumlah reseptor GABA A. Pada
beberapa perempuan dengan epilepsi, estrogen akan meningkatkan aktivitas epileptiform
pada EEG. Penurunan jumlah progesteron akan meningkatkan ambang kejang.5
Faktor lainnya yang mungkin berhubungan dengan pengaruh hormon pada epilepsi
adalah perbedaan yang signifikan pada distribusi anatomi dari reseptor steroid di otak saat
postpubertal (mature) dengan pada saat prepubertal. Reseptor progesteron disebarkan
sepanjang neurokorteks. Pada infant atau pada otak prepubertal, reseptor estrogen juga
disebar sepanjang neurokorteks. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah reseptor
estrogen pada neurokorteks berkurang dan berpusat di korteks limbik (amygdala dan
hipokampus). Yang penting secara klinis akibat perubahan distribusi ini adalah perbedaan
pengaruh hormon terhadap epilepsi pada berbagai tahap perkembangan pada perempuan.5
3
Perempuan dengan epilepsi mengalami abnormalitas pada korteks serebri yang
menyebabkan perubahan input terhadap hipotalamus sebagai penghasil hormon pituitari,
yakni FSH dan LH. FSH berperan saat awal siklus menstruasi dimulai dan LH yang
merangsang terjadinya ovulasi. Perempuan dengan epilepsi yang memiliki gangguan pada
lobus temporal memiliki risiko terjadinya abnormal sistem endokrin. Ini terjadi akibat
struktur lobus temporal, termasuk amygdala, memiliki koneksi dengan hipotalamus yang
akan menyebabkan perubahan pengeluaran hormon hipotalamus Perempuan dengan
epilepsi mengalami gangguan produksi LH, kadarnya bisa menurun atau meningkat
tergantung lokasi dari epileptogenik yang mendominasi terhadap rangsangan atau
hambatan terhadap aktivitas hipotalamus. Kadar steroid dalam plasma dapat berubah
tergantung stimulasi dari lobus temporal.5
Perempuan dengan epilepsi mengalami gangguan hormon steroid akibat
penggunaan obat anti epilepsi. Estrogen, progesteron, testosteron di metabolisme oleh
sistem enzim sitokrom P450. Obat anti epileptik yang menginduksi sistem enzim seperti
barbiturat, karbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin dan topiramat meningkatkan
metabolisme kedua kelenjar gonad dan kelenjar adrenal sehingga kadar hormon steroid
dalam plasma menurun. Obat ini juga menyebabkan ikatan steroid sebagai protein yang
beredar dalam sirkulasi. Asam valproat sebagai penghambat sitokrom P450 memiliki efek
yang berbeda yakni menyebabkan penurunan metabolisme hormon steroid sehingga
kadarnya dalam plasma akan meningkat. Perempuan yang mengkonsumsi obat anti
epilepsi yang tidak memiliki efek terhadap enzim tersebut, menunjukkan tidak ada
perbedaan kadar hormon steroid antara perempuan yang mengkonsumsi obat anti epilepsi
dengan perempuan pada umumnya.5
4
reproduksi akibat efeknya terhadap neurotransmitter dan hormon neuroaktif. Asam
valproat berhubungan dengan sindroma polikistik ovarium, mungkin karena adanya
peningkatan androgen (karena gangguan pada enzim) dan berhubungan dengan berat
badan. Perubahan psikologis berhubungan dengan epilepsi juga menjadi faktor yang
menyebabkan gangguan reproduksi, namun penyebabnya masih belum diketahui. Depresi
dan kecemasan berhubungan dengan epilepsi juga menyebabkan gangguan siklus
reproduksi.5
6
Pada perempuan hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada
trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan dan angka penurunan
dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda utuk setiap jenis obat. Penurunan kadar obat
dalam darah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada trisemester pertama, juga serupa
dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar penurunannya pada trisemester ketiga
(Yerby,1991).7
Pada perempuan hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat dalam darah, EEG, CT Scan (bila ada
kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan). Perubahan-perubahan
konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap bulan.7
Perempuan dengan epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik
dalam masa kehamilan dari pada perempuan pada umumnya. Pengaruh epilepsi terhadap
kehamilan yaitu:7
1. Melahirkan bayi prematur (pada 4-11%)
2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr (pada 710%)
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991).
Neonatus dalam perempuan epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko
karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering
terjadi pada perempuan epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi
uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus
perempuan epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan forsep
atau vakum sering dilakukan, begitu pula seksio saesar. Komplikasi persalinan untuk ibu
dan bayi adalah:7
1. Frekuensi bangkitan meningkat 33%
2. Perdarahan post partum meningkat 10%
3. Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
4. Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 10%
terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992).
7
pada pil kombinasi dengan adanya progesteron di dalam kandungan pil tersebut dapat
menyeimbangkan efek estrogen sebagai prokonvulsi.8
2.12 Terapi
Fenitoin dan karbamazepin sering digunakan sebagai lini pertama untuk terapi
kejang parsial. Asam valproat efektif untuk semua jenis kejang dan biasanya juga
digunakan sebagai lini pertama. Fenitoin dan karbamazepin memiliki efek samping yaitu
menurunkan efektivitas dari penggunaan hormonal kontrasepsi. Asam valproat dapat
menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh, hiperandrogenisme dan polikistik ovarium
serta kerontokan rambut. Fenitoin, karbamazepin dan asam valproat juga merupakan obat
anti epilepsi yang teratogenik.5
Beberapa obat anti epilepsi terbaru termasuk lamotrigine, yang berperan dalam
penghambatan kanal sodium, dapat menghambat pelepasan glutamate, aspartate, dan
GABA dari sistem saraf pusat. Hal ini sangat efektif untuk membantu obat anti epilepsi
yang sedang digunakan untuk mengobati kejang parsial. Lamotrigine juga efektif untuk
mengobati kejang tonik-klonik umum dan kejang tipe campuran, seperti Lennox-Gastaut
syndrome. Gabapentin dan lamotrigine tidak bersifat teratogenik dan sangat efektif untuk
perempuan dengan epilepsi.5
Seorang perempuan epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu khawatir
terhadap janin, kehamilan, perkembangan danperawatan bayi. Hal ini membutuhkan
pengawasan khusus, baik sebelum dan selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsi haruslah
merupakan bagian yang penting untuk pencegahan dan persiapan (Laidlaw, 1988).7
8
Perempuan epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil yang
berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa
serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian
mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan.
Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin
paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan.
Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan
neonatal (Laidlaw, 1988; Warta Epilepsi,1992).7
Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsi bersifat
teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsi misalnya fenitoin, berakibat
malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikus dan dosis yang diberikan. Salah satu
bentuk malformasi tersebut adalah palatum yang terbelah dan ini merupakan malformasi
yang terbanyak tampak pada epilepsi (Laidlaw, 1988; Hirano, 1989). Umumnya obat anti
epilepsi yang digunakan adalah fenitoin, karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan
dengan malformasi konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang
distal. Trimetadion dihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat
anti epilepsi yang paling rendah toksisitasnya (laidlaw, 1988; Adams, 1989; Johnston,
1992).7
Asam valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin kemungkinan tidak
ditransfer ke ASI dalam jumlah yang bermakna secara klinis. Apabila bayi dari ibu yang
menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka dianjurkan untuk memberikan susu
botol berseling dengan ASI.10
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA EPILEPSI
3.1 Definisi
Epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai gangguan fungsi otak
sementara bersifat paroksismal yang dimanifestasi berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodik, fenomena motorik abnormal, gangguan psikis atau sensorik, atau
perturbasi sistem saraf otonom; gejala-gejalanya disebabkan oleh kelainan aktivitas listrik
otak (Dorland, 1998).11
Pada awalnya epilepsi didefenisikan sebagai kekacauan sistem saraf yang bersifat
intermiten akibat pelepasan jaringan nervus cerebral secara berlebihan dan tidak teratur.
Pernyataan ini merupakan postulat yang dikemukakan oleh Hughlings Jackson, seorang
ahli neurologi Inggris yang sangat terkenal, pada tahun 1870. Pelepasan tersebut mungkin
segera menyebabkan kehilangan kesadaran, perubahan persepsi atau kerusakan fungsi
psikis, kejang, gangguan rangsangan, atau kombinasi beberapa gangguan tersebut.12
3.2 Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh
International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua jenis, yaitu
klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.10
2. Bangkitan umum
10
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
3.3 Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu idiopatik,
kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah
idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada umumnya mempunyai predisposisi
genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simptomatik yang
penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi
epilepsi yang ketiga yaitu simptomatik yang disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf
pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi
12
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan
kelainan neurodegeneratif.10,14
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak, pencarian etiologi epilepsi yang
terjadi saat dewasa tak begitu penting, dengan pengertian bahwa proses penyebab tak aktif
lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun, maka pencarian
etiologi menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih
progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.10
3.4 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.10,14 Ada tiga langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi,14
1. Langkah pertama : pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Langkah kedua : tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga : tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang berhubungan
dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan
14
tampak pasca-bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti:16
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
o Membatu menentukanmenentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi
(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous
sclerosiss.17
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel
Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan
mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di
otak berkaitan dengan bangkitan.17
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada
kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk
mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan
untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di
lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi
sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi
sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif
dibandingkan CT scan kepala.18
Pemeriksaan laboratorium
15
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau
bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.19
16
Hiperventilasi
Non epileptic
Kejang epileptik Syncope Aritmia cardiac atau serangan
attack disorder
panik
Riwayat penyakit
dahulu
Riwayat:
Trauma kepala,
alkohol,
ketergantungan Menggunakan obat
Wanita (3:1)
obat, kejang antihipertensi, anti Penyakit jantung
Ketergantungan Ansietas
demam yang depresan (terutama kongenital
seksual dan fisik
berkepanjangan, trisiklik)
meningitis,
encephalitis, stroke
Riwayat keluarga
(+)
Faktor pencetus
serangan
Perubahan posisi
Prosedur medis
Sleep deprivation
Berdiri lama Stress
Putus alkohol Olahraga Situasi sosial
Gerakan leher Distress sosial
Stimulasi fotik
(carotis
baroreseptor)
Karakteristik klinis
menjelang
serangan
Stereotipi,
Lightheadedness Ketakutan
paroksismal Gejala awal tidak
Gejala visual Palpitasi Perasaan tidak
(detik), bisa khas
Gelap, kabur realistis
disertai aura
Karakteristik klinis
pada saat serangan
Gerakan tonik Mirip dengan
(kaku) diikuti kejang epileptik,
gerakan jerking akan tetapi gerakan Agitasi
Pucat Pucat
yang ritmis tangan tidak Napas cepat
Bisa disertai kaku Bisa disertai kaku
Gerakan otomatism beraturan, Kaku pada tangan
atau menghentak- atau menghentak-
Cyanosis pengangkatan (carpopedal
hentak sebentar hentak sebentar
Bisa terjadi di pelvis, kadang spasm)
mana saja dan tidak bergerak
kapan pun sama sekali
Gejala sisa setelah
serangan
Mengantuk
Lidah tergigit
Nyeri anggota
gerak Lesu Lesu
Defisit neurologis
fokal (Todds
paralisis)
Tabel 3.1 Diagnosis banding kejang epilepsi19
17
Gambar 3.1 Diagnosis banding sindrom epilepsi10
3.6 Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Adapun prinsip terapi farmakologinya sebagai berikut,10
1. OAE mulai diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
c. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
18
d. Pasien dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
yang timbul dari OAE.
e. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan sindrom epilepsi (Tabel 3.2).
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping (Gambar 3.3), kadar obat plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
19
Gambar 3.2 dibawah ini memuat dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa.
20
Penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan bila setelah minimal 3
tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal. Penghentian OAE juga dapat dilakukan
apabila telah disetujui oleh pasien atau keluarganya. Penghentian OAE ini harus dilakukan
secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan. Bila
dilakukan penghentian lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.10
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:21,22,23
Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
Epilepsi simtomatis
Gambaran EEG yang abnormal
Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.
Penggunaan lebih dari satu OAE.
Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih kecil
pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima
tahun).23
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali. Rujukan ke spesialis saraf perlu
ditimbangkan bila:24
Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
Berencana untuk hamil
Dipertimbangkan untuk penghentian terapi
3.7 Komplikasi
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
Aspirasi atau muntah
Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
21
Status epileptikus
Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP)
SUDEP terjadi pada sebagian kecil penderita epilepsi. Dari hasil autopsi, tidak
ditemukan penyebab fisik dari SUDEP. Hal ini mungkin terjadi karena edema
pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko yang lebih tinggi
dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum tonik klonik yang
tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien yang
menggunakan dua atau lebih obat anti kejang mungkin memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk SUDEP.
3.8 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum
obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena
atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya
mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif lebih buruk.
22
BAB IV
STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai
bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan
kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikan
bangkitan (dalam waktu 30 menit). Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan
motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).10,20
SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik
yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
23
Patofisiologi dari terjadinya status epileptikus belum diketahui secara pasti, namun
awal terjadinya impuls kejang abnormal kemungkinan karena terdapat ketidakseimbangan
antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Teori lain mengatakan bahwa status
epileptikus dapat terjadi karena adanya aktivasi dari hipokampus yang terjadi secara
persisten. Hilangnya GABA-mediated inhibitory synaptic transmission pada hipokampus
juga disebut sebagai salah satu faktor utama kejadian status epileptikus. Glutamatergic
excitatory synaptic transmission menyebabkan serangan menetap dan bahkan dapat
menyebabkan kematian neuron.20
Diagnosis status epileptikus didapat dari anamnesis dan pemeriksaan klinis. Dari
anamnesis didapatkan adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau
SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan metabolik, keracunan, putus alkohol, dan banyak
kondisi lain yang memberikan petunjuk penyebab tercetusnya kejang. Riwayat putus obat
atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma kepala mungkin juga
dapat ditemukan dalam anamnesis.20
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu
bangkitan umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.
Menetapnya takikardi, hipertensi, berkeringat dan hipersalivasi merupakan gambaran
umum status epileptikus.20
24
Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit. Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:10
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan konvulsivus
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang digunakan
sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau phenobarbital telah
diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena
dengan monitor kadar obat dalam serum. OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis
loading per oral. Bila pasien sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar
obat dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan. 10 Gambar
dibawah ini (gambar 4.1) akan menjelaskan mengenai terapi OAE untuk status epileptikus
konvulsif.
Adapun protokol penanganan status epileptikus konvulsif yang dimuat dalam gambar
4.2 dibawah ini.
25
Gambar 4.2 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif10
Gambar 4.3 berikut ini memuat alur penanganan status epileptikus konvulsif.
26
Gambar 4.3 Alur penanganan status epileptikus10
27
SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam 0,2-
0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07
mg/kg (0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif,
mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak,
terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol.
Kondisi ini sering disebabkan oleh putus obat (khususnya obat psikotropik atau
benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi
rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan. SE parsial kompleks paling baik
diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian
intravena pada kasus ini, pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup
baik. Beberapa rekomendasi terapi SE-NK dapat dilihat pada gambar 4.5 dan gambar 4.6.
28
Gambar 4.6 Dosis obat pada status epileptikus non konvulsif (lanjutan tabel)10
29
BAB V
KESIMPULAN
Kejang karena pengaruh hormon dan gangguan sistem reproduksi adalah masalah
utama pada perempuan dengan epilepsi. Penelitian mengenai masalah ini sangat
dibutuhkan terutama untuk melihat terapi apa yang paling efektif untuk digunakan. Selama
ini epilepsi pada perempuan diobati dengan obat anti epilepsi pada umumnya. Efek
teratogenik dari beberapa obat anti epilepsi harus dipertimbangkan dalam pemberiannya,
terutama pemberian obat anti epilepsi yang terbaru. Penggunaan obat anti epilepsi jangka
panjang maupun jangka pendek harus diperhatikan karena adanya risiko terjadinya
sindroma polikistik ovarium dan hiperandrogenisme terutama pada penggunaan asam
valproat. Hal ini menjadi penting karena sindroma polikistik ovarium berhubungan dengan
beberapa penyakit keganasan, termasuk didalamnya kanker endometrium dan kanker
payudara.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
20. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis &
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2007. p. 85-91.
21. Dulac O, Leppik IF. Initiating and Discontinuing Treatment in Comprehensive
Textbook Epilepsi. 1st ed. Philadelphia: Lippincott-Raven. 1998. p. 1237-46.
22. Devinsky O. Patient with Refractory seizures. N Eng J Med. 1999; 340: 1565-70.
23. Medical Research Council anti epileptic drug withdrawal in patients in remission.
Lancet 1991; 337: 1175-80.
24. Brodie MJ, Schacter SC, Kwan P. Fast Facts: Epilepsi. 3rd Ed. UK: Health Press
Limited. 2005. p. 37-84.
32