Paper Penyadapan-1
Paper Penyadapan-1
#serirancangankuhap
Erasmus Napitupulu, SH
Researcher Associate
Institute for Criminal Justice Reform
erasmus@icjr.or.id
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: infoicjr@icjr.or.id website: http://icjr.or.id/
I. Pendahuluan
Rancangan KUHAP yang disampaikan oleh pemerintah juga disambut positif oleh
para anggota DPR, setidanya Himmayatul Alyah, Fraksi Partai Demokrat,
mengatakan bahwa Komnas HAM telah menerima lebih dari 6.000 pelanggaran
yang dilakukan penegak hukum terhadap masyarakat terkait dengan
penanganan kasus. Sementara itu Paskalis Kossay, Fraksi Partai Golkar,
mengatakan, baik KUHAP maupun KUHP memang layak diubah untuk
menyesuaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia . 4
Desmon J. Mahesa, Fraksi Partai Gerindra, bahkan sangat optimis untuk dapat
menyelesaikan pembahasan Rancangan KUHAP akan selesai dalam tiga kali
masa sidang. Ia menilai aturan baru tentang hukum acara pidana penting untuk
memberikan panduan yang jelas kepada aparat penegak hukum. 5Namun rona
optimisme itu sepertinya ditanggapi negatif oleh kalangan organisasi non
pemerintah, salah satunya adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang
pesimis jika pembahasan Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP akan dapat
diselesaikan oleh DPR periode 2009 2014. 6
Febri Diansyah, Peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW) bereaksi keras. Ia
mengatakan bahwa Pasal 83 ayat (3) RUU KUHAP akan sangat rentan
melemahkan kewenangan penyadapan KPK. Ia menganggap bahwa aturan
menyadap harus mendapatkan ijin tidak dapat diterapkan pada kondisi
sekarang. Karena menurutnya potensi kebocoran sangat mungkin terjadi. 10
Reaksi senada juga datang dari Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan
HAM, yang menyatakan bahwa pasal penyadapan dalam RUU KUHAP tak berlaku
bagi KPK. Ia menganggap bahwa KPK tidak tunduk pada RUU KUHAP. Oleh
karenanya apabila KPK akan melakukan penyadapan, KPK tak perlu meminta ijin
dari Pengadilan.11
10 Ssst RUU KUHAP yang Digodok Pemerintah dan DPR Batasi Penyadapan KPK
http://news.detik.com/read/2013/03/20/083728/2198519/10/ssst-ruu-kuhap-yang-digodok-
pemerintah-dpr-batasi-penyadapan-kpk
Perdebatan pro dan kontra mengenai penyadapan ini tentu akan berdampak
positif terhadap proses bagaimana mengatur tata cara dan mekanisme
penyadapan. Pada 6 Januari 2009, Pemerintah diketahui tengah menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi karena RPP ini
dimandatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.13 Namun pada 24 Februari 2011, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan No 5/PUU-VIII/2010 telah membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE
tersebut. Situasi ini diperkirakan yang mendorong pemerintah untuk mengatur
ulang ketentuan penyadapan melalui Rancangan KUHAP. Kemenkominfo juga
pada saat ini tengah mempersiapkan RUU Intersepsi sebagai respon atas
putusan MK tersebut.14
Bagaimanapun juga penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara
tetap menjadi kontroversial karena dianggap sebagai invasi atas hak-hak privasi
warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan
keluarga maupun korespondensi. Namun penyadapan juga sangat berguna
sebagai salah satu metode penyidikan, penyadapan merupakan alternatif jitu
dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun
kejahatan yang sangat serius, dalam hal ini, penyadapan merupakan alat
pencegahan dan pendeteksi kejahatan. Cukup banyak pelaku kasus-kasus
kejahatan berat dapat dibawa ke meja hijau berkat hasil penyadapan.
Oleh karena itu hak ini harus dijamin untuk semua campur tangan dan serangan
yang berasal dari pihak berwenang negara maupun orang-orang biasa atau
hukum. Dan negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk mengadopsi langkah-
langkah legislatif dan lainnya untuk memberikan dampak pada pelarangan
terhadap campur tangan dan serangan tersebut serta perlindungan atas hak ini.
Dalam paradigma inilah hukum penyadapan harus diletakkan.
Secara khusus, Pasal 17 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976,
sebagaimana telah dilakukan pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12
Tahun 2005 menyatakan,
Meski privasi baru dikenal luas setelah amandeman UUD 1945, namun ketentuan
yang dapat dirujuk salah satu bentuk perlindungan privasi di Indonesia adalah
Pasal 551 KUHP. Pasal 551 KUHP menyebutkan bahwa
Pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menyatakan bahwa
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan
adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan
Setelah keberadaan keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli 1893 No 36, dalam
perjalanan pengaturan penyadapan di Indonesia, muncul beragam regulasi yang
mengatur penyadapan. Setidaknya terdapat 16 deretan regulasi yang
memberikan kewenangan kepada sejumlah institusi negara untuk melakukan
tindakan penyadapan, dengan batasan yang seringkali berlainan, antara satu
ketentuan dengan ketentuan lainnya.
Secara umum penyadapan yang diatur pada pasal 430 sampai dengan pasal 434
ketentuan ini, melarang para pejabat yang berwenang untuk melakukan
penyadapan, pengawasan, merampas, mendapatkan informasi,
memperliahatkan kepada orang lain secara melawan hukum dan melampaui
kekuasaanya suatu informasi yang ada di dalam atau termuat didalam benda-
benda yang dapat menyimpan data-data telekomunikasi seperti surat, telegraph
atau isi percakapan telephon. Meskipun pengaturan terhadap terhadap benda
benda yang mampu menympan data informasi masih sangat minim mengingat
dari keterbatasan pada saat penyusunan KUHAP, namun pada prinsipnya dapat
dipahami semangat perlindungan hak privasi dan pembatasan serta pengawasan
terhadap perbuatan penyadapan yang melawan hukum. 15
16 Pasal 55 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Penjelasan
Pasal 55 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
17 Pasal 26 dan 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Penjelasan Pasal 26 dan 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
19 Pasal 31 Ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
20 Pasal 31 Ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
21 Pasal 31 Ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
22 Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
24 Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
25 Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Secara prinsipil, Undang-Undang ini melarang praktik penyadapan terhadap
informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu. 26 Namun kemudian Undang-Undang ini
melakukan pengecualian terhadap penyadapan demi kepentingan penegakan
hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. 27 Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang ini juga memberikan amanah terkait pembentukan Peraturan
Pemerintah terkait tata cara intersepsi/penyadapan, namun kemudian pasal ini
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-
VIII/2010.28
26 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
27 Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
28Lihat http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/simpp/Risalah/risalah_sidang_2964_Putusan
%20No.%201%20%26%205.PUU-VIII.2010,%20tgl.%2024%20Feb%202011.pdf
Penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara
dan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dan
dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.35 Penyadapan yang dilakukan oleh BIN ini
dapat dilaksanakan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan
yang cukup.36 Pengawasan terhadap praktik penyadapan dilakukan dengan
upaya pengaturan ketentuan pidana terhadap penyadapan secara melawan
hukum.37
Dalam pasal 20 Ayat (3) Undang-Unang ini dikatakan bahwa Komisi Yudisial
dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. 38 Secara umum tidak
ada pengatuan yang spesifik dan meknisme lain yang diatur dalam Undang-
Undang ini.
32 Penjelasan Pasal 75 huruf (i) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
35 Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan
Penjelasan Pasal 32 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen
Negara
36 Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara
Terkait dengan penyadapan, Peraturan Pemerintah ini mengatur mulai dari pasal
87 sampai pasal 89. Pada dasarnya Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan
mengenai perekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi. Permintaan informasi dan hasil rekaman
tersebut dilakukan secara tertulis oleh Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. 40 Permintaan perekaman
informasi tersebut disampaikan secara tertulis dan sah kepada penyelenggara
jasa telekomunikasi dengan tembusan kepada Menteri. 41 Peraturan Pemerintah
ini juga memuat hal-hal yang perlu dimuat dalam permintaan tertulis
sebagaimana dimaksudkan di atas, yaitu harus memuat obyek yang direkam,
masa rekaman dan priode waktu laporan hasil rekaman. 42 Penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memenuhi permintaan perekaman informasi selambat-
lambatnya dalam waktu 1 kali 24 jam terhitung sejak permintaan diterima. 43
38 Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UndangUndang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
39 Pasal 11 Ayat (5) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
42 Pasal 89 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi
43 Pasal 89 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi
Republik Indonesia dan atau Penyidik selambat-lambatnya 6 (enam) jam setelah
diterimanya permintaan tersebut.44 Terkait dengan prosedur paska penyadapan,
Peraturan Pemerintah ini hanya menggarisbawahi terkait Hasil rekaman
informasi harus disampaikan secara rahasia kepada Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian dan atau Penyidik.45
44 Pasal 89 Ayat (3), (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
45 Pasal 89 Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi
46 Pasal 3 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi
47 Pasal 17 Ayat (1) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
48 Pasal 5 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi
49 Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun
2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
penyadapan informasi secara sah.50 Peraturan Menteri ini juga mengandung
prosedur paska penyadapan yang mengharuskan hasil penyadapan dilebeli
rahasia, dengan melarang Penyelenggara telekomunikasi, Aparat Penegak
Hukum, dan pihak-pihak yang terkait, baik dengan sengaja atau tidak sengaja
menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer dan/atau menyebarkan
informasi penyadapan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan
komunikasi elektronik kepada pihak manapun.51
50 Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun
2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
51 Pasal 17 Ayat (2) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
57 Amandemen ke-4 berbunyi : "the right of the people to be secure in their persons, houses,
papers and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no
Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly
describing the place to be searched, and the persons or things to be seized."
(the PATRIOT Act) yang dibentuk satu setengah bulan tepat setelah peristiwa 11
september di tahun 2001.
Komponen kedua adalah FISA (The Foreign Intelligence Surveillance Act), aturan
ini memberikan kewenangan penyadapan terhadap kekuatan asing atau untuk
data intelijen dalam memperoleh informasi pihak asing. Informasi penyadapan
ini didefenisikan dalam hal keamanan nasional AS, pertahanan terhadap
serangan yang actual atau potensial, sabotasi, terorisme internasional, dan
kegiatan intelijen lainnya. Sama halnya dengan Buku III, FISA mengatur
mengenai penyadapan konten dari komunikasi, hanya saja, target dari FISA
adalah pengawasan terhadap kekuasaan asing atau untuk leperluan agen AS,
atau fasilitas yang berada dibawah kekuasaan asing. FISA tidak harus bertujuan
untuk melakukan penyadapan yang berkaitan dengan suatu kejahatan meskipun
hasil penyadapan tersebut dapat menjadi bukti penuntutan pidana. Namun,
tujuan yang terpenting adalah untuk mendapatkan informasi intelijen.
Komponen ketiga adalah The Pen Registers and Trap and Trace Devices chapter
of Title 18, berbeda dengan Buku II dan FISA, aturan ini bertujuan untuk
mengumpulkan alamat dan informasi non-konten lainnya dari suatu sambungan
dan alat komunikasi elektronik, seperti nomor telephon yang masuk dan keluar
dari suatu percakapan atau informasi non-konten lainnya.
59 Yang dimaksud dengan salah satu dari pejabat yang berwenang adalah yaitu : (1) Jaksa Agung,
(2) Wakil/Deputi Jaksa Agung, (3) Anggota berwenang dari Jaksa Agung, (4) Penanggung jawab
jabatan dibawah Jaksa Agung atau Pemegang wewenang kusus di bawah wakil Jaksa Agung, Lihat :
Pasal 2516 buku III USC.
jangka waktu izin penyadapan di AS tidak lebih dari jangka waktu 30 hari. 60
Secara aturan perpanjangan waktu penyadapan dapat dilakukan, namun waktu
yang diberikan tidak lebih dari 30 hari dan harus berakhir pada saat tujuan dari
peyadapan tersebut telah selesai. Hakim yang mengeluarkan perintah
penyadapan biasanya memerintahkan kepada lembaga yang melakukan
penyadapan untuk melakukan laporan berkala terkait kemajuan dari
pelaksanaan penyadapan setiap tujuh sampai sepuluh hari. Untuk tetap menjaga
Hak dari warga negara, dalam jangka waktu yang wajar namun tidak melebihi
dari 90 hari setelah berakhirnya masa izin penyadapan dari pengadilan, hakim
yang memberi perintah berkewajiban untuk memastikan bahwa subjek atau
orang-orang yang berkepentingan dalam perintah penyadapan tersebut harus
diberikan laporan terkait kapan penyadapan tersebut dilakukan dan bagian apa
saja yang disadap. Semua materi dalam penyadapan harus diajukan dalam
persidangan sebagai alat bukti dan semua pihak harus mendapatkan salinan dari
perintah pengadilan tidak kurang dari 10 hari sebelum persidangan dimulai. 61
Pada bulan April setiap tahunnya, laporan juga harus diserahkan kepada kongres,
jumlah aplikasi permohonan dan jumlah perintah pengadilan serta jumlah
perpanjangan waktu yang diberikan ataupun ditolak selama setahun sebelumnya
serta analisis dari data tersebut. 63 Dan hal terpenting terkait mekanisme ini
adalah adanya peluang komplai yang dapat dilakukan oleh masyarakat terkait
proses penyadapan dari mulai system perizinan sampai dengan validasi alat
bukti penyadapan.
61 Pasal 2515 dan pasal 2518 ayat (9) buku III USC.
62 Pasal 2518 ayat (8) huruf (a) dan (b) buku III. USC.
Untuk surat perintah penyadapan dalam hal penegakan hukum, hanya dapat
diterbitkan dalam penyidikan Kejahatan Kelas 1 dan Kelas 2. Kejahatan
Kelas 1 seperti pembunuhan, penculikan, narkotika, dan kejahatan terroisme,
serta termasuk perbantuan, penyertaan, dan konspirasi dan kejahatan kelas 1
lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 5 (1) TIA Act. Untuk kejahatan kelas 2
seperti kejahatan yang melibatkan hilangnya nyawa orang lain, penganiayaan,
pembakaran serius, perdagangan narkoba, penipuan, penyuapan, korupsi,
pencucian uang, kejahatan cyber, serta kejahatan lain yang ancaman
hukumannya adalah hukuman mati atau 7 tahun penjara , dan pelanggaran lain
yang diatur dalam pasal 5D TIA Act. Terhadap surat perintah untuk penegakan
hukum ini, hakim AAT harus mempertimbangjan sejauh mana metode alternative
dalam penyidikan telah digunakan, atau yang tersedia bagi aparat penegak
hukum.
Dalam hukum penyadapan di Australia, TIA Act mengatur mengenai durasi atau
jangka waktu dalam melakukan penyadapan. Untuk surat perintah penyadapan
dalam hal keamanan nasional durasinya tidak boleh melebihi 6 bulan dan surat
perintah dapat dicabut oleh Jaksa Agung setiap saat sebelum batas waktu
penyadapan. Jangka waktu untuk surat perintah penegakan hukum adalah 90
hari dan dapat diperpanjang dengan dasar dan mekanisme yang sama dengan
pengajuan awal.
3. UK (United Kingdom)
Di UK, penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah telah lama diketahui oleh
public, sebelum tahun 1985 tidak ada suatu kerangka hukum yang mengatur
secara keseluruhan mekanisme dan praktek penyadapan, pada saat itu aturan
dibuat terpisah di masing-masing ketentuan. Kewenangan dipegang oleh Menteri
Dalam Negeri UK (the Secretary of State) untuk mengeluarkan perintah dalam
menyadap sambungan pos dan komunikasi telegraph, dengan mekanisme ini
maka pada saat itu aturan penyadapan tunduk pada pengaturan eksekutif dan
bukan peraturan perundang-undangan.
Semua surat perintah, baik yang normal atau yang bersertifikat, berlaku hanya
untuk waktu 3 bulan. Pada dasarnya, dengan alasan dan syarat yang sama
seperti pada awal pengajuan, surat perintah dapat diperpanjang, perpanjangan
hanya dapat dilakukan dengan alasan kejahatan serius dan berlaku untuk jangka
waktu 3 bulan. Apabila perpanjangan dengan alasan keamanan nasional atau
kesejahteraan ekonomi, perpanjangan dapat dilakukan dalam jangkan 6 bulan.
Surat perintah untuk kasus-kasus yang sifatnya darurat berlaku selama 5 hari
kerja kecuali diperpanjang oleh Menteri Dalam Negeri. Surat perintah dapat
dibatalkan jika dianggap tidak lagi proporsional dan tidak lagi perlu seperti
alasan awalnya dikeluarkan.
Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian
Kelima tentang Penyadapan pada Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan
KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang. Tindakan
penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan
tindak pidana serius ataupun diduga keras akan terjadi tindak pidana serius. 69
Jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.76
Selama ini izin penyadapan merupakan salah satu instrument yang disorot. Pro
kontra HPP sebagai pemberi izin penyadapan menjadi meruncing dikarenakan
fokus terhadapan penyadapan lebih dititik beratkan pada sudut pandang
lembaga, bukan skema besar pengawasan dan pembagian kekuasaan. Apabila
fokus pemberian izin dititik beratkan pada skema pengawasan maka seharusnya
kepada lembaga manapun penyadapan dimintakan izin, dalam hal ini tidak
mutlak pada HPP, bukan menjadi inti permasalahan, melainkan harus ada
lembaga yang nantinya dapat melakukan pengawasan dan dimintakan
pertanggungjawaban. Terkait hal tersebut, maka seharusnya sorotan lebih tajam
pada persoalan validitas alat bukti yang memang murni ada ditangan
pengadilan.
VII. Rekomendasi
1. Pengaturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang tersedia saat ini tidak
cukup mengakomodir amanah putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang mengandung sembilan persoalan penting yang
seharusnya diatur secara rinci dan tegas serta pengaturan lain yang harus
diperhatikan. Memperhatikan potensi kesewenang-wenangan dari negara
serta ancaman pelanggaran HAM akibat penyadapan tersebut, maka merujuk
pada amanah yang di berikan oleh Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya
Penyadapan diatur secara lebih baik dan ketat.
4. Apabila KUHAP sebagai dasar dari hukum acara pidana di Indonesia telah
mengatur terkait prinsip-prinsip penyadapan, maka akan lebih tepat apabila
prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di tataran Undang-
Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dan pengaturan penting lainnya. Undang-Undang dibutuhkan untuk
menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan
penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi
negara Republik Indonesia.