Anda di halaman 1dari 28

Briefing Paper 2/2013

#serirancangankuhap

PENYADAPAN DALAM RANCANGAN


KUHAP
Dipersiapkan dan disusun oleh:

Erasmus Napitupulu, SH
Researcher Associate
Institute for Criminal Justice Reform
erasmus@icjr.or.id

Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported


License.

Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: infoicjr@icjr.or.id website: http://icjr.or.id/
I. Pendahuluan

Setelah menunggu lama dan di desak oleh berbagai kalangan, Pemerintah


melalui Kementerian Hukum dan HAM dalam rapat kerja dengan DPR pada 6
Maret 2013 telah menyampaikan Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP ke
DPR.1 DPR sendiri telah merespon pada saat yang sama dengan menyetujui
usulan pemerintah untuk membahas Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP. 2
Beleid yang telah mengendap selama 49 tahun ini dianggap oleh Menteri Hukum
dan HAM sangat penting karena banyaknya perubahan terhadap Rancangan
KUHAP dan juga Rancangan KUHP3

Rancangan KUHAP yang disampaikan oleh pemerintah juga disambut positif oleh
para anggota DPR, setidanya Himmayatul Alyah, Fraksi Partai Demokrat,
mengatakan bahwa Komnas HAM telah menerima lebih dari 6.000 pelanggaran
yang dilakukan penegak hukum terhadap masyarakat terkait dengan
penanganan kasus. Sementara itu Paskalis Kossay, Fraksi Partai Golkar,
mengatakan, baik KUHAP maupun KUHP memang layak diubah untuk
menyesuaikan perkembangan yang terjadi di Indonesia . 4

Desmon J. Mahesa, Fraksi Partai Gerindra, bahkan sangat optimis untuk dapat
menyelesaikan pembahasan Rancangan KUHAP akan selesai dalam tiga kali
masa sidang. Ia menilai aturan baru tentang hukum acara pidana penting untuk
memberikan panduan yang jelas kepada aparat penegak hukum. 5Namun rona
optimisme itu sepertinya ditanggapi negatif oleh kalangan organisasi non
pemerintah, salah satunya adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang
pesimis jika pembahasan Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP akan dapat
diselesaikan oleh DPR periode 2009 2014. 6

1 Pemerintah Serahkan Draft RUU KUHP & RUU KUHAP ke DPR


http://news.detik.com/read/2013/03/06/131458/2187254/10/pemerintah-serahkan-draft-ruu-kuhp-
ruu-kuhap-ke-dpr

2 DPR Setujui Revisi KUHAP dan KUHP


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/06/063465473/DPR-Setujui-Revisi-KUHAP-dan-KUHP

3 Ini Curhat Menteri Amir Soal Revisi KUHP


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/07/078465662/Ini-Curhat-Menteri-Amir-Soal-Revisi-KUHP

4 DPR Setujui Revisi KUHAP dan KUHP


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/06/063465473/DPR-Setujui-Revisi-KUHAP-dan-KUHP

5 Pembahasan RUU KUHAP Diharapkan Tuntas Tahun Ini


http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi3/2013/jan/07/4839/Pembahasan-RUU-KUHAP-Diharapkan-
Tuntas-Tahun-Ini

6 Tanpa Disiplin Kuat Pembahasan RUU KUHAP Takkan Selesai


http://gresnews.com/mobile/berita/Hukum/2317113-tanpa-disiplin-kuat-pembahasan-ruu-kuhap-
takkan-selesai
Salah satu perubahan yang dianggap cukup penting dalam Rancangan KUHAP
adalah adanya pengaturan tunggal mengenai prosedur dan tata cara
penyadapan. Secara khusus Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP menyatakan
bahwa :

Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang


lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan
tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius
tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan." 7

Pengaturan tunggal tentang penyadapan ini segera membawa kontroversi ke


hadapan masyarakat. Salah satu sebabnya adalah dalam Naskah Akademik
Rancangan KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa KPK dalam melakukan
penyadapan harus dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. 8 Tidak didapat
informasi kenapa hanya KPK yang disebutkan secara khusus dalam Naskah
Akademik Rancangan KUHAP ini. Andi Hamzah, Ketua Tim Perumus RUU KUHAP,
juga menyatakan bahwa KPK harus mendapat izin dari hakim kalau ingin
melakukan penyadapan. Namun, dalam keadaan mendesak, KPK cukup
melaporkan kepada Hakim. Akan tetapi apabila Hakim tidak menyetujui makan
penyadapan harus dihentikan.9

Febri Diansyah, Peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW) bereaksi keras. Ia
mengatakan bahwa Pasal 83 ayat (3) RUU KUHAP akan sangat rentan
melemahkan kewenangan penyadapan KPK. Ia menganggap bahwa aturan
menyadap harus mendapatkan ijin tidak dapat diterapkan pada kondisi
sekarang. Karena menurutnya potensi kebocoran sangat mungkin terjadi. 10

Reaksi senada juga datang dari Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan
HAM, yang menyatakan bahwa pasal penyadapan dalam RUU KUHAP tak berlaku
bagi KPK. Ia menganggap bahwa KPK tidak tunduk pada RUU KUHAP. Oleh
karenanya apabila KPK akan melakukan penyadapan, KPK tak perlu meminta ijin
dari Pengadilan.11

7 Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP http://icjrid.files.wordpress.com/2012/12/r-kuhap.pdf

8 Lihat Naskah Akademik Rancangan KUHAP hal 16

9 RUU KUHAP: KPK Tak Bebas Lagi Menyadap


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/20/063468179/RUU-KUHAP-KPK-Tak-Bebas-Lagi-Menyadap

10 Ssst RUU KUHAP yang Digodok Pemerintah dan DPR Batasi Penyadapan KPK
http://news.detik.com/read/2013/03/20/083728/2198519/10/ssst-ruu-kuhap-yang-digodok-
pemerintah-dpr-batasi-penyadapan-kpk

11 Pasal Penyadapan RUU Tak Berlaku bagi KPK


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/20/063468181/Pasal-Penyadapan-RUU-KUHAP-Tak-
Berlaku-bagi-KPK
Reaksi negatif lain juga datang dari Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya
tak perlu meminta izin ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk melakukan
penyadapan, meski aturan izin penyadapan ini tercantum dalam pasal
penyadapan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP).12

Perdebatan pro dan kontra mengenai penyadapan ini tentu akan berdampak
positif terhadap proses bagaimana mengatur tata cara dan mekanisme
penyadapan. Pada 6 Januari 2009, Pemerintah diketahui tengah menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi karena RPP ini
dimandatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.13 Namun pada 24 Februari 2011, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan No 5/PUU-VIII/2010 telah membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE
tersebut. Situasi ini diperkirakan yang mendorong pemerintah untuk mengatur
ulang ketentuan penyadapan melalui Rancangan KUHAP. Kemenkominfo juga
pada saat ini tengah mempersiapkan RUU Intersepsi sebagai respon atas
putusan MK tersebut.14

Bagaimanapun juga penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara
tetap menjadi kontroversial karena dianggap sebagai invasi atas hak-hak privasi
warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan
keluarga maupun korespondensi. Namun penyadapan juga sangat berguna
sebagai salah satu metode penyidikan, penyadapan merupakan alternatif jitu
dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun
kejahatan yang sangat serius, dalam hal ini, penyadapan merupakan alat
pencegahan dan pendeteksi kejahatan. Cukup banyak pelaku kasus-kasus
kejahatan berat dapat dibawa ke meja hijau berkat hasil penyadapan.

Namun penyadapan sebagai alat pencegah dan pendeteksi kejahatan juga


memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada
pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan) dan tangan yang
salah (karena tiada kontrol). Penyadapan rentan disalahgunakan, lebih-lebih bila
aturan hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip prinsip Hak Asasi
Manusia

II. Ruang Lingkup Penyadapan

12 Mahfud MD: KPK Tak Perlu Izin Menyadap


http://www.tempo.co/read/news/2013/03/22/063468617/Mahfud-MD-KPK-Tak-Perlu-Izin-Menyadap

13 Lihat RPP Tata Cara Intersepsi di http://www.scribd.com/doc/23549619/RPP-Tata-Cara-Intersepsi-


versi-061009

14 Revisi UU ITE Jadi Prioritas Kemenkominfo Tahun Ini


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50f3cfa58f676/revisi-uu-ite-jadi-prioritas-kemenkominfo-
tahun-ini
Di berbagai negara yang telah maju dalam menggunakan kewenangan
penyadapan, penyadapan hanyalah digunakan terbatas untuk mencegah dan
mendeteksi dalam hal kejahatan-kejahatan yang sangat serius dengan syarat:
(1) dipergunakan karena metode investigasi kriminal lainnya telah mengalami
kegagalan, atau (2) tiada cara lainnya yang dapat dgunakan selain penyadapan
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan (3) harus ada alasan yang
cukup kuat dan dipercaya bahwa dengan penyadapan maka bukti-bukti baru
akan di temukan dan sekaligus dapat digunakan untuk mengukum pelaku pidana
yang disasar.

Di samping itu di beberapa negara, penyadapan dapat juga digunakan dengan


dasar kepentingan khusus bagi keamanan negara (interest of national security),
dan digunakan dalam hal menjaga keamanan dan stabilitas ekonomi di sebuah
negara.

Tren ketentuan pembatas penyadapan bagi aparatus negara di berbagai dunia


juga telah demikian berkembangan. Penyadapan hanya dapat digunakan dalam
kondisi dan prasyarat yang khusus misalnya: (1) adanya otoritas resmi yang jelas
berdasarkan UU yang memberikan izin penyadapan (mencakup tujuan yang jelas
dan objektif ) (2) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan
penyadapan (3) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan (4)
pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan dan
pembatasan-pembatasan lainnya.

Hal yang terpenting adalah disediakannya mekanisme komplain bagi warga


Negara yang merasa bahwa dirinya telah disadap secara ilegal yang dilakukan
oleh otoritas resmi, yang diduga dilakukan tanpa prosedur yang benar dan
dengan menyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan.

Pembatasan-pembatasan seperti ini diperlukan karena penyadapan berhadapan


langsung dengan perlindungan hak privasi individu. Konvensi Hak Sipil Politik
telah memberikan hak bagi setiap orang untuk dilindungi dari campur tangan
yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dalam masalah pribadi,
keluarga, rumah atau korespondensinya, serta serangan yang tidak sah terhadap
kehormatan dan nama baiknya.

Oleh karena itu hak ini harus dijamin untuk semua campur tangan dan serangan
yang berasal dari pihak berwenang negara maupun orang-orang biasa atau
hukum. Dan negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk mengadopsi langkah-
langkah legislatif dan lainnya untuk memberikan dampak pada pelarangan
terhadap campur tangan dan serangan tersebut serta perlindungan atas hak ini.
Dalam paradigma inilah hukum penyadapan harus diletakkan.

III. Penyadapan dan Perlindungan Privasi : Kerangka Hukum Internasional


dan Domestik

Dalam khazanah hukum HAM internasional, telah berkali-kali disebutkan bahwa


hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights) bagi setiap orang
untuk tidak dikenakan tindakan sewenangwenang ataupun serangan yang tidak
sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk di
dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan
proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Penegasan
ini sebagaimana juga tertera di dalam Universal Declaration of Human Rights
1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa,

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy,


family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and
reputation. Everyone has the right to the protection of the law against
such interference or attacks.

Secara khusus, Pasal 17 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976,
sebagaimana telah dilakukan pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12
Tahun 2005 menyatakan,

Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara


tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluaraganya, rumah
tangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemati
kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah";

Dalam Komentar Umum No 16 mengenai Pasal 17 ICCPR yang disepakati oleh


Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada persidangan
ke dua puluh tiga, Tahun 1988, yang memberikan komentar terhadap materi
muatan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik, pada point 8 dinyatakan,

"...bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara


de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang
dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu.
Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya,
penyadapan telepon, telegram, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya,
serta perekaman pembicaraan harus dilarang";

Meski privasi baru dikenal luas setelah amandeman UUD 1945, namun ketentuan
yang dapat dirujuk salah satu bentuk perlindungan privasi di Indonesia adalah
Pasal 551 KUHP. Pasal 551 KUHP menyebutkan bahwa

Barang siapa tanpa wewenang berjalan atau berkendaraan di atas tanah


yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam
dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah

Setelah reformasi Hak atas Privasi di Indonesia dijamin perlindungannya secara


eksplisit dalam berbagai peraturan perundang undangan dan juga Konstitusi

Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menyatakan,


Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan:

"Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk


hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu,
kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan"

Pasal 40 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan bahwa :

"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi


yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun;
dimana di dalam penjelasan Pasal 40 Telekomunikasi disebutkan bahwa,
"yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan
memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi
untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada
dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus
dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang

Pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menyatakan bahwa

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.

Pasal 31 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan,

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan
adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan

Untuk Indonesia, instrumen penyadapan sebagai sebuah kewenangan aparat


hukum sebetulnya telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Pada masa
Kolonial di Hindia belanda (Berdasarkan keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli
1893 No 36) bisa dianggap sebagai peraturan tertua di Indonesia mengenai
penyadapan informasi yang terbatas digunakan pada lalu lintas surat di kantor
pos seluruh Indonesia (mail interception).

IV. Pengaturan dan Mekanisme Penyadapan di Indonesia

Setelah keberadaan keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli 1893 No 36, dalam
perjalanan pengaturan penyadapan di Indonesia, muncul beragam regulasi yang
mengatur penyadapan. Setidaknya terdapat 16 deretan regulasi yang
memberikan kewenangan kepada sejumlah institusi negara untuk melakukan
tindakan penyadapan, dengan batasan yang seringkali berlainan, antara satu
ketentuan dengan ketentuan lainnya.

Sejumlah peraturan yang memuat aturan aturan penyadapan dapat dijumpai


dalam peraturan peraturan di bawah ini:

1. Bab XXVII KUHP Tentang Kejahatan Jabatan

Secara umum penyadapan yang diatur pada pasal 430 sampai dengan pasal 434
ketentuan ini, melarang para pejabat yang berwenang untuk melakukan
penyadapan, pengawasan, merampas, mendapatkan informasi,
memperliahatkan kepada orang lain secara melawan hukum dan melampaui
kekuasaanya suatu informasi yang ada di dalam atau termuat didalam benda-
benda yang dapat menyimpan data-data telekomunikasi seperti surat, telegraph
atau isi percakapan telephon. Meskipun pengaturan terhadap terhadap benda
benda yang mampu menympan data informasi masih sangat minim mengingat
dari keterbatasan pada saat penyusunan KUHAP, namun pada prinsipnya dapat
dipahami semangat perlindungan hak privasi dan pembatasan serta pengawasan
terhadap perbuatan penyadapan yang melawan hukum. 15

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada penyidik dalam hal ini


Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyadapan harus bertujuan untuk
mengumpulkan informasi terkait pembicaraan yang diduga atau diduga keras
membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana Psikotropika.
Izin untuk menyadap didapat atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri) atau pejabat yang ditunjuknya, masih belum jelas siapa yang
dimaksud dengan pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri. Aturan ini mengatur
mengenai jangka waktu penyadapan yaitu penyadapan hanya dapat
berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari, namun tidak mengatur jangka
waktu perpanjangan, serta prosedur paska penyadapan yang erat kaitannya
dengan jangka waktu dan pengawasan. Pengaturan ini tertuang dalam Pasal 55
huruf c dan penjelasan dari Undang-Undang tersebut 16

15 Pasal 430-434 KUHP

16 Pasal 55 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Penjelasan
Pasal 55 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Undang-Undang ini kewenangan penyadapan oleh penyidik justru


diletakkan dibagian penjelasan Undang-Undang ini yang terkait dengan
kewenangan penyidik, kewenangan penyadapan tersebut dispesifikkan sebagai
kewenangan penyidik dengan tujuan dalam rangka mempercepat proses
penyidikan. Tidak ada pengaturan lebih lanjut dari mulai jangka waktu sampai
dengan penanganan hasil panyadapan. Pengaturan dalam Undang-undang ini
tercantum dalam Pasal 26 dan Pasal 30 beserta penjelasannya dari Undang-
Undang tersebut.17

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Undang-Undang ini mengatur tentang larangan melakukan penyadapan yang


tercantum tegas dalam pasal 40 Undang-Undang ini. 18 selain mengatur tentang
penyadapan, Undang-Undang ini juga mengatur tentang kewajiban perusahaan
jasa telekomunikasi untuk mempunyai kemampuan dalam menyimpan data-data
komunikasi yang dilakukan oleh penggunanya, namun ketentuan ini diatur untuk
memberikan kewenangan bagi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi untuk
melakukan perekaman terhadap data komunikasi sebagai bukti penggunaan
fasilitas jasa telekomunikasi dan/atau untuk keperluan peradilan pidana.

5. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme

Dalam Perpu yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, diatur tentang kewenangan penyidik,
berdasarkan bukti permulaan yang cukup, diberikan hak untuk melakukan
penyadapan, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari suatu alat
komunikasi yang diduga digunakan untuk mempersipakan, merencanakan dan
melakukan tindak pidana terorisme. 19 Penyadapan hanya dapat dilakukan atas
atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun,20 dan harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan
penyidik.21

17 Pasal 26 dan 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Penjelasan Pasal 26 dan 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

18 Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

19 Pasal 31 Ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

20 Pasal 31 Ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

21 Pasal 31 Ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-Undang yang kemudian melahirkan KPK ke dalam system


peradilan pidana di Indonesia ini, KPK diberikan kewenangan untuk melakukan
penyadapan yang dituangkan dalam pasal 12 ayat (1) Undang-Undang ini, 22
tidak secara spesifik mengatur penggunaan penyadapan sebagai bagian upaya
paksa di KPK, namun kemudian, aturan enyadapan tersebut diatur dalam SOP
(Standart Oprasional prosedur) KPK yang tidak dapat diakses publik secara
umum.

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Dalam Undang-Undang ini, mengatur mengenai larangan penyadapan, yang


dipandang sebagai bagian perlindungan terhadap Advokat terkait dengan hak
nya untuk dapat berkomunikasi dengan kliennya. Dikatakan bahwa Advokat
berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan
atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan
perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. 23

8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang ini mengatur tentang kewenangan penyidik untuk melakukan


penyadapan terhadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan
untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
perdagangan orang berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 24 Tindakan
penyadapan tersebut hanya dapat dilakukan atas izin tertulis Ketua Pengadilan
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 25

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik

22 Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

23 Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

24 Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang

25 Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Secara prinsipil, Undang-Undang ini melarang praktik penyadapan terhadap
informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu. 26 Namun kemudian Undang-Undang ini
melakukan pengecualian terhadap penyadapan demi kepentingan penegakan
hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. 27 Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang ini juga memberikan amanah terkait pembentukan Peraturan
Pemerintah terkait tata cara intersepsi/penyadapan, namun kemudian pasal ini
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-
VIII/2010.28

10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang ini memberikan kewenangan bagi penyidik, dalam hal ini


Penyidik BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan penyidikan terhadap
dugaan adanya peredaran gelap narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup.29 Penyadapan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat
penyadapan diterima penyidik, dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama, penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari
Ketua Pengadilan.30

Undang-Undang ini juga merinci mengenai penyadapan dalam keadaan


mendesak, yaitu penyadapan yang dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua
pengadilan negeri lebih dahulu,dan setelah itu, dalam waktu paling lama 1 x 24
(satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis Kepada
Ketua Pengadilan Negeri mengenai penyadapan dalam keadaan mendesak
tersebut.31 Selain itu, dalam penjelasannya, juga diatur singkat mengenai

26 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik

27 Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik

28Lihat http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/simpp/Risalah/risalah_sidang_2964_Putusan
%20No.%201%20%26%205.PUU-VIII.2010,%20tgl.%2024%20Feb%202011.pdf

29 Pasal 75 huruf (i) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

30 Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

31 Pasal 78 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


beberapa cara penyadapan.32 Selebihnya Undang-Undang ini mengaitkan tata
cara penyadapan dengan peraturan perundang-undangan lain. 33

11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen


Negara

Undang-Undang ini memberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan


kepada BIN (Badan Intelijen Negara), dengan tujuan untuk penggalian informasi
terhadap Sasaran yang terkait dengan kegiatan yang mengancam kepentingan
dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk
pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup dan/atau kegiatan
terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan,
keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses
hukum.34

Penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara
dan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dan
dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.35 Penyadapan yang dilakukan oleh BIN ini
dapat dilaksanakan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan
yang cukup.36 Pengawasan terhadap praktik penyadapan dilakukan dengan
upaya pengaturan ketentuan pidana terhadap penyadapan secara melawan
hukum.37

12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan


UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Dalam pasal 20 Ayat (3) Undang-Unang ini dikatakan bahwa Komisi Yudisial
dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. 38 Secara umum tidak
ada pengatuan yang spesifik dan meknisme lain yang diatur dalam Undang-
Undang ini.

32 Penjelasan Pasal 75 huruf (i) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

33 Pasal 77 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

34 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara

35 Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan
Penjelasan Pasal 32 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen
Negara

36 Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara

37 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara


13. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang ini hanya memuat ketentuan terkait kewenangan penyidik untuk


melakukan penyadapan.39 Tidak ada pengaturan lain maupun penjelasan terkait
kewenangan tersebut.

14. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang


Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi

Terkait dengan penyadapan, Peraturan Pemerintah ini mengatur mulai dari pasal
87 sampai pasal 89. Pada dasarnya Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan
mengenai perekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi. Permintaan informasi dan hasil rekaman
tersebut dilakukan secara tertulis oleh Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. 40 Permintaan perekaman
informasi tersebut disampaikan secara tertulis dan sah kepada penyelenggara
jasa telekomunikasi dengan tembusan kepada Menteri. 41 Peraturan Pemerintah
ini juga memuat hal-hal yang perlu dimuat dalam permintaan tertulis
sebagaimana dimaksudkan di atas, yaitu harus memuat obyek yang direkam,
masa rekaman dan priode waktu laporan hasil rekaman. 42 Penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memenuhi permintaan perekaman informasi selambat-
lambatnya dalam waktu 1 kali 24 jam terhitung sejak permintaan diterima. 43

Kemudian, Dalam hal teknis rekaman tidak dimungkinkan, penyelenggara jasa


telekomunikasi wajib memberitahukan kepada Jaksa Agung, Kepala Kepolisian

38 Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UndangUndang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

39 Pasal 11 Ayat (5) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

40 Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa


Telekomunikasi

41 Pasal 88 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa


Telekomunikasi

42 Pasal 89 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi

43 Pasal 89 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi
Republik Indonesia dan atau Penyidik selambat-lambatnya 6 (enam) jam setelah
diterimanya permintaan tersebut.44 Terkait dengan prosedur paska penyadapan,
Peraturan Pemerintah ini hanya menggarisbawahi terkait Hasil rekaman
informasi harus disampaikan secara rahasia kepada Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian dan atau Penyidik.45

15. Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11


Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi

Sedikit banyak, justru pengaturan penyadapan paling banyak diatur dalam


Peraturan Menteri ini dibandingkan dengan Undang-Undang yang sudah ada
sekalipun, Penyadapan dapat dilakukan dengan tujuan untuk keperluan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa
tindak pidana, namun tindak pidana yang dimaksudkan tidak secara spesifik
disebutkan.46 Informasi yang nantinya didapatkan melalui hasil penyadapan ini
bersifat rahasia dan dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum unun
mengungkap suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan sebelumnya. 47
Penyadapan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang melalui alat
dan/atau perangkat penyadapan informasi, alat dan/atau perangkat penyadapan
dan proses identifikasi sasaran dikendalikan oleh aparat penegak hukum yang
berwenang.48

Mekanisme teknis penyadapan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri ini


melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara jasa telekomunikasi,
disesuaikan dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang merupakan
ketentuan tertulis, bersifat baku dan mengatur tentang tata cara pelaksanaan
penyadapan informasi oleh masing-masing aparat Penegak Hukum. 49 Pengawan
terhadap penyadapan dilakukan oleh Tim Pengawas yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal untuk melakukan verifikasi aspek legal dan teknis pelaksanaan

44 Pasal 89 Ayat (3), (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi

45 Pasal 89 Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi

46 Pasal 3 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi

47 Pasal 17 Ayat (1) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Teknis Penyadapan Terhadap Informasi

48 Pasal 5 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi

49 Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun
2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
penyadapan informasi secara sah.50 Peraturan Menteri ini juga mengandung
prosedur paska penyadapan yang mengharuskan hasil penyadapan dilebeli
rahasia, dengan melarang Penyelenggara telekomunikasi, Aparat Penegak
Hukum, dan pihak-pihak yang terkait, baik dengan sengaja atau tidak sengaja
menjual, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer dan/atau menyebarkan
informasi penyadapan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan
komunikasi elektronik kepada pihak manapun.51

16. Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun


2008 tentang Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan
Keamanan Negara

Peraturan Menteri ini mengatur bahwa perekaman Informasi untuk kepentingan


pertahanan dan keamanan negara harus dilakukan atas permintaan Intelijen
Negara kepada Penyelenggara Telekomunikasi dengan tembusan kepada
Menteri.52 Tujuan penyadapan dan perekaman dalam peraturan menteri ini
spesifik untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara hanya dapat
dilakukan oleh Badan Intelijen Negara. 53 Tata cara penyadapan diatur
berdasarkan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang ditetapkan oleh Badan
Intelijen Negara sesuai karekteristik kepentingannya. 54 Seluruh informasi bersifat
rahasia dan hanya dipergunakan oleh Badan Intelijen Negara untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan negara.55

V. Pengaturan dan Mekanisme Penyadapan di Berbagai Negara


1. Amerika Serikat

50 Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun
2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi

51 Pasal 17 Ayat (2) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Teknis Penyadapan Terhadap Informasi

52 Pasal 5 Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun 2008 tentang


Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara

53 Pasal 4 Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun 2008 tentang


Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara

54 Pasal 9 Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun 2008 tentang


Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara

55 Pasal 13 Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun 2008


tentang Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara
Tehknik penyadapan oleh pemerintah AS merupakan sebuah sejarah panjang.
tehknik ini telah diterapkan pada saat AS sadar akan penemuan dari telegraf
komunikasi pada tahun 1844, dan penyadapan telepon sejak awal 1890 56. Pada
awal tahun 1862, aturan di AS melarang adanya penyadapan pembicaraan. Pada
tahun 1928 Mahakamah Agung (MA) AS, berdasarkan kasus Olmstead Vs. US
melarang penggunaan hasil penyadapan sebagai barang bukti, diakibatkan
penafsiran dari amandemen ke-457 konstitusi AS yang mengamanahkan
perlindungan terhadap penyelidikan dan penyidikan yang tidak beralasan dan
penyitaan terhadap benda-benda berwujud, dimana pada saat itu hasil
pembicaraan dianggap bukanlah benda berwujud.

Pada tahun 1934, berdasarakan Undang-Undang Komunikasi Federal Tahun 1934,


dimana merupakan aturan pertama yang melarang penyadapan pembicaraan
dan pembongkaran rahasia tanpa kesepakatan dari pengirim, serta pembatasan
penggunaan alat bukti penyadapan dalam persidangan. UU ini tidak bertahan
lama, selama 30 tahun kemudian, badan penyidik federal terus melakukan
penyadapan terhadap dugaan kejahatan yang melibatkan tersangka dari orang
asing berdasarkan hak konstitusional presiden atas dasar keamanan nasional.

Pada tahun 1960an, Mahkamah Agung AS berusaha untuk melindungi hak


individu dari penyidikan tidak beralasan dan perampasan hak terhadap peradilan
yang berdasarkan pada alat bukti penyadapan. Berdasarkan kasus Katz Vs. US
pada tahun 1967, pengadilan mengeluarkan doktrin tentang penyadapan yang
beralasan terhadap hak individu dengan aturan bahwa penyadapan tanpa
adanya perintah adalah melanggar amandemen ke-4 konstitusi AS. Doktirn ini
bertentangan dengan putusan tahun 1928 Hakim Olmstead, dan pengailan
mengatur bahwa penyadapan diizinkan selama tidak bertentangan dengan
konstitusi.

Pada tahun 1968, Kongres AS menetapkan Buku III tentang Undang-Undang


keamanan (Title III of the Omnibus Safe Streets and Crime Control Act 1968) dan
Kontrol kejahatan, umumnya disebut Buku III/ Title III, aturan ini merupakan
aturan spesifik pertama mengenai penyadapan. Setelah itu, Kongres banyak
melakukan pembaharuan mengenai hukum penyadapan di AS. Bebarapa aturan
yang dikeluarkan adalah The Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA), the
Electronic Communications Privacy Act (ECPA),dan the Communications
Assistance for Law Enforcement Act (CALEA) yang dibentuk pada tahun 1978,
1986, dan 1994. Udaha terakhir yag dilakukan oleh AS dalam menyempurnakan
aturan mengani penyadapan adalah melalui salah satu aturan baru yaitu
Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act

56 The New Encyclopaedia Britannica, 1994, hlm 437

57 Amandemen ke-4 berbunyi : "the right of the people to be secure in their persons, houses,
papers and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no
Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly
describing the place to be searched, and the persons or things to be seized."
(the PATRIOT Act) yang dibentuk satu setengah bulan tepat setelah peristiwa 11
september di tahun 2001.

Secara aturan, mekanisme penyadapan diatur dalam ketiga komponen tersebut,


komponen pertama diatur dalam buku III U.S.C (United Nation Code) pasal 18
ayat 2510-2522 dan amandemennya mengenai ECPA. Bagian yang paling
penting dari aturan ini adalah menyangkut penyadapan pada saat terjadi
percakapan (real time interception of communications) untuk tujuan penegakan
hukum federal AS. Aturan ini lebih menyangkut penyadapan pada saat terjadi
percakapan antara subjek yang akan di sadap dan bukan untuk pengambil alihan
percakapan yang sudah tersimpan.

Komponen kedua adalah FISA (The Foreign Intelligence Surveillance Act), aturan
ini memberikan kewenangan penyadapan terhadap kekuatan asing atau untuk
data intelijen dalam memperoleh informasi pihak asing. Informasi penyadapan
ini didefenisikan dalam hal keamanan nasional AS, pertahanan terhadap
serangan yang actual atau potensial, sabotasi, terorisme internasional, dan
kegiatan intelijen lainnya. Sama halnya dengan Buku III, FISA mengatur
mengenai penyadapan konten dari komunikasi, hanya saja, target dari FISA
adalah pengawasan terhadap kekuasaan asing atau untuk leperluan agen AS,
atau fasilitas yang berada dibawah kekuasaan asing. FISA tidak harus bertujuan
untuk melakukan penyadapan yang berkaitan dengan suatu kejahatan meskipun
hasil penyadapan tersebut dapat menjadi bukti penuntutan pidana. Namun,
tujuan yang terpenting adalah untuk mendapatkan informasi intelijen.

Komponen ketiga adalah The Pen Registers and Trap and Trace Devices chapter
of Title 18, berbeda dengan Buku II dan FISA, aturan ini bertujuan untuk
mengumpulkan alamat dan informasi non-konten lainnya dari suatu sambungan
dan alat komunikasi elektronik, seperti nomor telephon yang masuk dan keluar
dari suatu percakapan atau informasi non-konten lainnya.

investigator federal atau aparat penegak hukum diizinkan untuk melakukan


penyadapan dibawah perintah pengadilan. Perintah pengadilan sebagaimana
diatur oleh Buku III harus dikeluarkan oleh hakim pengadilan distrik atauh hakim
pengadilan banding AS.58 Sebelum persetujan dilakukan oleh hakim, setiap
permintaan penyadapan harus mendapatkan persetujan oleh Kejaksaan Agung
(Department of Justice) atau setidaknya salah satu dari pejabat yang
berwenang59

58 Pasal 2510 ayat (9) buku III USC.

59 Yang dimaksud dengan salah satu dari pejabat yang berwenang adalah yaitu : (1) Jaksa Agung,
(2) Wakil/Deputi Jaksa Agung, (3) Anggota berwenang dari Jaksa Agung, (4) Penanggung jawab
jabatan dibawah Jaksa Agung atau Pemegang wewenang kusus di bawah wakil Jaksa Agung, Lihat :
Pasal 2516 buku III USC.
jangka waktu izin penyadapan di AS tidak lebih dari jangka waktu 30 hari. 60
Secara aturan perpanjangan waktu penyadapan dapat dilakukan, namun waktu
yang diberikan tidak lebih dari 30 hari dan harus berakhir pada saat tujuan dari
peyadapan tersebut telah selesai. Hakim yang mengeluarkan perintah
penyadapan biasanya memerintahkan kepada lembaga yang melakukan
penyadapan untuk melakukan laporan berkala terkait kemajuan dari
pelaksanaan penyadapan setiap tujuh sampai sepuluh hari. Untuk tetap menjaga
Hak dari warga negara, dalam jangka waktu yang wajar namun tidak melebihi
dari 90 hari setelah berakhirnya masa izin penyadapan dari pengadilan, hakim
yang memberi perintah berkewajiban untuk memastikan bahwa subjek atau
orang-orang yang berkepentingan dalam perintah penyadapan tersebut harus
diberikan laporan terkait kapan penyadapan tersebut dilakukan dan bagian apa
saja yang disadap. Semua materi dalam penyadapan harus diajukan dalam
persidangan sebagai alat bukti dan semua pihak harus mendapatkan salinan dari
perintah pengadilan tidak kurang dari 10 hari sebelum persidangan dimulai. 61

AS juga mengatur mengenai prinsip dan protokol internal terkait minimalisasi


prosedur dalam rangka tetap menjaga Hak Asasi Warga Negaranya, untuk
melindungi rekaman dari tindakan menyunting atau merubah konten
percakapan, sesaat setelah dilakakukan suatu penyadapan, rekaman tersebut
harus di segel dibawah perintah pengadilan dan selain perintah dari pengadilan
untuk memusnahkan, rekaman tersebut harus disimpan selama 10 tahun. 62 .

Hukum AS benar-benar ketat terkait pengawasan, laporan menjadi salah satu


alat bagi laporan tersebut. Dalam kurung waktu 30 hari setelah berakhirnya atau
penolakan dari perintah pengadilan atau pada saat permohonan perpanjangan
waktu, hakim yang menerbitkan atau menolak permohonan penyadapan harus
membuat laporan, selain itu, pada bulan januari setiap tahun nya, Jaksa yang
mengajukan permohonan penyadapan pada tahun sebelumnya harus juga
melapor, laporan diberikan ke institusi masing-masing.

Pada bulan April setiap tahunnya, laporan juga harus diserahkan kepada kongres,
jumlah aplikasi permohonan dan jumlah perintah pengadilan serta jumlah
perpanjangan waktu yang diberikan ataupun ditolak selama setahun sebelumnya
serta analisis dari data tersebut. 63 Dan hal terpenting terkait mekanisme ini
adalah adanya peluang komplai yang dapat dilakukan oleh masyarakat terkait
proses penyadapan dari mulai system perizinan sampai dengan validasi alat
bukti penyadapan.

60 Pasal 2518 ayat (5) USC.

61 Pasal 2515 dan pasal 2518 ayat (9) buku III USC.

62 Pasal 2518 ayat (8) huruf (a) dan (b) buku III. USC.

63 Pasal 2519 (3) buku III


2. Australia

Sebelum tahun 1960, tidak ada satupun undang-undang yang melarang


penyadapan di Australia. Penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia
diatur oleh pemerintah. pada awal 1950, penerapan penyadapan sebagai bagian
dari kekuatan eksekutif yang diatur oleh seorang Perdana Menteri (PM). Arahan
resmi yang dikeluarkan oleh PM memperbolehkan penyadapan hanya untuk
kasus-kasus spionase, sabotase, dan kegiatan subversive.

Usaha pertama kali untuk mengatur penyadapan dalam bentuk Undang-undang


terjadi pada tahun 1960 melalui Undang-Undang tahun 1960 mengenai
Komunikasi Hubungan Telephon (UU Penyadapan Australia). Undang-undang ini
memperbolehkan dua alasan dalam penyadapan, yaitu penyadapan yang
diajukan oleh Jaksa Agung dalam hal keamanan nasional dan oleh Badan Intelijen
Australia dalam hal-hal yang sifatnya darurat. Penyadapan dengan tujuan
penegakan hukum tidak diperbolehkan.

UU Penyadapan Australia tahun 1960 kemudian diganti oleh UU penyadapan


baru tahun 1979 (the Telecommunications (Interception) Act 1979 (the
Interception Act)) yang menciptakan monopoli penyadapan untuk tujuan hukum.
Sturktur yang deiperbolehkan untuk melakukan penyadapan hanya ada di
tingkatan nasional atau negara. Dibawah undang-undang ini untuk pertama kali
lembaga penegak hukum seperti kepolisian Federal Australia dan Kepolisian
Negara Australia diperbolehkan untuk melakukan penyadapan telephon dalam
keadaan tertentu. Kemudian UU tahun 1979 ini beberapa kali diamandemen dan
mengakibatkan kejahatan yang dapat diselidiki meningkat, jumlah instansi untuk
melakukan penyidikan juga bertambah dan tujuan dilakukannya penyadapan
juga diperluas.

Aturan mengenai Penyadapan di Australia didasarkan kepada pasal 51 Konstitusi


Persemakmuran Australia, yang menyatakan bahwa parlemen memiliki
kekuasaan untuk membuat hukum untuk perdamaian, ketertiban dan
pemerintahan yang baik dari persemakmuran sehubungan dengan pos, telegraf,
telephon, dan layanan lainnya. Secara khusus aturan untuk menyadap dimuat
dalam Interception warrant system under the Telecommunications (Interception)
Act 1979 by the Telecommunications (Interception) Amendment Act 2006 (TIA
Act) ada dua jenis perintah dalam penyadapan, yaitu perintah layanan
telekomunikasi (telecommunications service warrants) dan perintah kepada
subjek (named person warrants) perintah pertama ditujukan sehubungan
dengan identifikasi jasa layanan telekomunikasi dimana penyadapan hanya
diizinkan untuk suatu layanan komunikasi yang akan digunakan atau yang
digunakan oleh target, pada tahun 2006, amandemen Undang-Undang ini
memungkinkan penyadapan kepada layanan bagi pihak lain yang menghubungi
subjek dimana hal ini menjadi kontroversi publik. Sedangkan yang kedua
ditujukan untuk penggunaan secara individu lebih dari satu jasa layanan
komunikasi, dimana penyadapan hanya diizinkan untuk komunikasi yang
digunakan oleh target.
Penyadapan di Australia didasarkan pada dua alasan utama, yaitu keamanan
nasional dan penegakan hukum. Untuk tujuan keamanan nasional, badan yang
memiliki kewenangan untuk menerbitkan perintah penyadapan adalah Jaksa
Agung yang diangkat oleh seorang Perdana Menteri, dimana berdasarkan hukum
Australia adalah merupakan Menteri yang bertanggung jawab untuk Kepolisian,
Urusan Hukum dan Organisasi Intelijen Australia (Australian Security Intelligence
Organization (ASIO)).

Dalam hal keamanan nasional, perintah penyadapan dapat dikeluarkan oleh


ASIO dengan jangka waktu berlaku tidak lebih dari 48 jam harus memberikan
laporan kepada Jaksa Agung, 64 Sedangkan dalam hal penegakan hukum,
perintah penyadapan harus dikeluarkan oleh seorang hakim yang merupakan
anggota dari Pengadilan Banding Administratif (Administrative Appeals Tribunal
(AAT)) Australia.

Untuk surat perintah penyadapan dalam hal penegakan hukum, hanya dapat
diterbitkan dalam penyidikan Kejahatan Kelas 1 dan Kelas 2. Kejahatan
Kelas 1 seperti pembunuhan, penculikan, narkotika, dan kejahatan terroisme,
serta termasuk perbantuan, penyertaan, dan konspirasi dan kejahatan kelas 1
lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 5 (1) TIA Act. Untuk kejahatan kelas 2
seperti kejahatan yang melibatkan hilangnya nyawa orang lain, penganiayaan,
pembakaran serius, perdagangan narkoba, penipuan, penyuapan, korupsi,
pencucian uang, kejahatan cyber, serta kejahatan lain yang ancaman
hukumannya adalah hukuman mati atau 7 tahun penjara , dan pelanggaran lain
yang diatur dalam pasal 5D TIA Act. Terhadap surat perintah untuk penegakan
hukum ini, hakim AAT harus mempertimbangjan sejauh mana metode alternative
dalam penyidikan telah digunakan, atau yang tersedia bagi aparat penegak
hukum.

Dalam hukum penyadapan di Australia, TIA Act mengatur mengenai durasi atau
jangka waktu dalam melakukan penyadapan. Untuk surat perintah penyadapan
dalam hal keamanan nasional durasinya tidak boleh melebihi 6 bulan dan surat
perintah dapat dicabut oleh Jaksa Agung setiap saat sebelum batas waktu
penyadapan. Jangka waktu untuk surat perintah penegakan hukum adalah 90
hari dan dapat diperpanjang dengan dasar dan mekanisme yang sama dengan
pengajuan awal.

Untuk menjaga tetap terlindunginya hak asasi manusia, hukum penyadapan di


Australia menerapkan sejumlah perlindungan dan jaminan pada proses
penyadapan. Pertama adalah pendaftaran umum perintah penyadapan,
Komisaris Kepolisian Federal Australia harus menjaga daftar umum perintah
penyadapan serta data lengkap dari proses penyadapan, 65 dan menyerahkan
daftar ke Jaksa Agung untuk melakukan pemeriksaan setiap tiga bulan. Selain
daftar umum, dikenal juga daftar khusus perintah penyadapan, pada

64 Pasal 10 The Interception Act

65 Pasal 81A The Interception Act


pendaftaran ini, komisaris kepolisian federal juga harus menyimpan daftar
khusus perintah penyadapan dengan melampirkan keterangan dari setiap
perintah atau perintah yang telah diperbaharui yang mana telah gagal untuk
diproses di pengadilan. Daftar khusus ini diserahkan bersamaan dengan daftar
umum setiap tiga bulan sekali.

Pada dasarnya bukti komunikasi dari penyadapan tidak diperbolehkan untuk


dibuka dimuka umum atau dihadapan pengadilan sekalipun, namun tetap ada
pengecualian dalam keadaan tertentu.66 Keadaan yang memungkinkan
pengecualian diantaranya bukti akan digunakan dalam suatu persidangan yang
mengadili suatu kejahatan yang telah ditentukan dalam perundangan (seperti
kejahatan kelas 1 dan kelas 2) atau telah dikomunikasikan kepada orang lain
untuk suatu tujuan tertentu seperti penyidikian terhadap suatu kejahatan
tertentu yang telah ditentukan dalam perundangan. Selain itu, ada pengecualian
lain untuk dibukanya penyadapan kepada orang-orang tertentu dalam suatu
keadaan tertentu pula seperti petugas yang menyadap, Kepala Agen, dan
Anggota Kepolisian.

Secara khusus pengawasan penyadapan di Australia dilakukan oleh Legislatif dan


Ombudsman. Legislatif dapat meminta laporan dan pembahsan Undang-undang
terkait, melalui komisi yang dibentuk khusus untuk pengawasan tersebut, serta
pengawasan lain melalui Ombudsman. Berdasarkan TIA Act Ombudsman
diperlukan untuk memeriksa setidaknya dua kali setiap satu tahun anggran
keuangan Kepolisian Federal Australia dan Komisi kejahatan Australia (Australian
Crime Commission (ACC)), pemeriksaan dilakukan mengenai pengajuan perintah
dan penyadapan. Ombudsman harus melaporkan secara tertulis salam waktu 3
bulan setiap akhir dari tahun anggaran lembaga-lembaga tersebut kepada Jaksa
Agung tentang hasil inspeksi yang dilakukan, apabila diperlukan Ombudsman
bahkan dapat melakukan laporan inspeksi kepada Jaksa Agung setiap saat.
Dalam menjalankan tugasnya, ombudsman memiliki kewenangan dan akses
penuh pada semua data dan informasi yang dibutuhkan. Selain pengawasan
yang dilakukan oleh lembaga bentukan parlemen dan senat, hukum Australia
mengaharuskan adanya laporan tahunan terkait penyadapan dari Jaksa Agung
dalam hal penegakan hukum kepada Parlemen.

3. UK (United Kingdom)

Di UK, penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah telah lama diketahui oleh
public, sebelum tahun 1985 tidak ada suatu kerangka hukum yang mengatur
secara keseluruhan mekanisme dan praktek penyadapan, pada saat itu aturan
dibuat terpisah di masing-masing ketentuan. Kewenangan dipegang oleh Menteri
Dalam Negeri UK (the Secretary of State) untuk mengeluarkan perintah dalam
menyadap sambungan pos dan komunikasi telegraph, dengan mekanisme ini
maka pada saat itu aturan penyadapan tunduk pada pengaturan eksekutif dan
bukan peraturan perundang-undangan.

66 Pasal 67, 68 dan 74 The Interception Act


Antara tahun 1957 sampai 1981, pemerintah UK memiliki tiga laporan resmi
yang dibuat terbuka untuk umum, yaitu The 1957 Birkett Report, The 1980
White Paper dan The 1981 Diplock Report. Birkett Report disusun oleh
Committee of Privy Councillors (Komite Penasehat Anggota Dewan) dibawah
pimpinan Lord Birkett, laporan ini berisikan perinsip yang mengatur masalah
perintah kepada Dinas Keamanan (Security Service). Pada tahun 1980
penjelasan lebih lanjut dalam Brikett Report diperinci dan diperbaiki oleh White
Paper, dan mengkonfirmasi kewenangan eksekutif untuk mengeluarkan surat
perintah penyadapan. Setelah itu dikenal Diplock Report yang berisikan
pemeriksaan independen tentang apakah penyadapan yang dilakukan sudah
sesuai dengan tujuan dan prosedur yang diterapkan atau belum. Namun. Dari
ketiga laporan ini yang merekomendasikan adanya dasar hukum yang dapat
melingkupi semua materi penyadapan.

UK baru terpicu untuk membuat suatu undang-undang terkait penyadapan pada


saat pengadilan HAM Eropa mengeluarkan putusan tentang kasus Malone vs. UK
pada tahun 1984. Dalam putusannya pengadilan mengatakan bahwa meskipun
negara telah memiliki prosedur hukum namun belum menunjukkan secara jelas
apa saja yang menjadi unsur kewenangan menyadapan yang terdapat dalam
satu Undang-Undang yang juga mengatur mengenai elemen kebijakan negara.
Kemudian mahkamah tersebut menyatakan bahwa penyadapan merupakan
pelanggaran berdasarkan pasal 8 ECHR (European Convention on Human
Rights).

Barulah setelah itu UK mengeluarkan Undang-Undang dengan nama the


Interception of Communications Act 1985 (IOCA). IOCA pertama kali mengatur
mengenai penyadapan melalui pos dan system telekomunikasi public lainnya.
IOCA juga mengatur mengenai penyadapan yang tidak sah serta memuat
tentang perlindungan, pengawasan dan mekanisme pengaduan. Semenjak IOCA
diberlakukan telah terjadi perubahan besar dalam tekhnologi telekomunikasi
seperti peningkatan penggunaan sambungan via internet, telephon, perluasan
jaringan telekomunikasi non-publik, dan peningkatan jumlah perusahaan swasta
yang menawarkan paket dan jasa pengiriman dokumen. Perubahan ini
menimbulkan kekhawatiran baru tentang HAM dan melampaui pengaturan yang
ada di IOCA. Dengan demikian, pemerintah UK menyadari kebutuhan akan
Unang-Undang baru, dengan menjawab kebutuhan itu terbitlah aturan baru
dengan nama the Regulation of Investigatory Powers Act 2000 (RIPA) yang
kemudian menjadi dasar pengaturan penyadapan di UK. RIPA berisi lima
bagian,terdiri dari bagian I dan IV yang membentuk kerangka kerja untuk
penyadapan. Tujuan utama dari bagian I adalah untuk menentukan penyadapan
yang tidak sah, menetapkan keadaan dimana penyadapan sah, membuat suatu
system pengajuan perintah penyadapan, membuat persyararatan untuk
penyadapan, dan memberlakukan pembatasan penggunaan hasil penyadapan.
Sedangkan bagian ke IV berkaitan dengan pengawasan terhadap kekuatan
investigasi, termasuk pembentukan pengawasan pengadilan yang independen
dan pengadilan sebagai lembaga komplain.
Ada dua tipe surat perintah penyadapan, yang pertama disebut dengan
perintah normal mengharuskan adanya satu nama atau yang menggambarkan
subjek penyadapan atau suatu tempat dimana penyadapan akan
berlangsung.67 Tipe kedua adalah perintah bersertifikat, memerlukan
persetujuan dari Menteri Dalam Negeri dan hanya diterapkan untuk komunikasi
eksternal yang diterima atau dikirim dari UK, persyaratan ini dibebaskan dari
atau antara lain dari persyaratan adanya orang atau tempat yang ditargetkan.
Kedua jenis surat perintah di atas harus dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri,
Karena Menteri Dalam Negeri adalah menteri yang bertanggung jawab atas
hukum dan ketertiban di Uk. Bahkan dalam keadaan mendesak, dimana surat
perintah dapat ditandatangani oleh pejabat senior, Menteri dalam Negeri harus
tetap memepertimbangkan aplikasi permohonan tersebut sebelum
ditandatangani. UK merinci secara tegas lembaga apa saja yang diberikan
kewenangan untuk menyadap.

Semua surat perintah, baik yang normal atau yang bersertifikat, berlaku hanya
untuk waktu 3 bulan. Pada dasarnya, dengan alasan dan syarat yang sama
seperti pada awal pengajuan, surat perintah dapat diperpanjang, perpanjangan
hanya dapat dilakukan dengan alasan kejahatan serius dan berlaku untuk jangka
waktu 3 bulan. Apabila perpanjangan dengan alasan keamanan nasional atau
kesejahteraan ekonomi, perpanjangan dapat dilakukan dalam jangkan 6 bulan.
Surat perintah untuk kasus-kasus yang sifatnya darurat berlaku selama 5 hari
kerja kecuali diperpanjang oleh Menteri Dalam Negeri. Surat perintah dapat
dibatalkan jika dianggap tidak lagi proporsional dan tidak lagi perlu seperti
alasan awalnya dikeluarkan.

RIPA mengharuskan lembaga-lembaga penyadap membuat system pengamanan


internal pada semua materi hasil penyadapan. Mekanisme yang pertama adalah
mengenai pembatasan penggunaan materi hasil peyadapan. Pengungkapan,
penyalinan, dan retensi materi hasil penyadapan harus terbatas apada batas
minimum yang diperlukan untuk tujuan resmi, tujuan yang dimaksud termasuk
untuk memfasilitasi pelaksanaan fungsi dari Komisaris Intersepsi Komunikasi
(Interception of Communications Commissioner) 68 dan untuk memastikan
penuntutan yang adil. Untuk materi penyadapan yang sifatnya komunikasi
eksternal, maka diterapkan pengamanan ekstra pula. Menteri Dalam Negeri
harus memastikan bahan-bahan yang disadap tersebut dibaca, dilihat atau
didengar oleh orang-orang yang berwenang dan tersertifikasi. Hanya orang-
orang tertentu pula yang memiliki akses untuk melihat bahan yang dicegat, dan
masing-masing orang tersebut harus diperiksa.

67 Pasal 8(1), (2), dan (3) RIPA

68 Komisioner Intersepsi Komunikasi (The Interception of Communications Commissioner)


bertanggung jawab untuk meninjau peran Menteri Dalam Negeri dalam perintah penyadapan,
pengoprasian mekanisme untuk memperoleh data, dan unutk memastikan bahwa metari hasil
penyadapan ditangani dengan baik dan benar. Komisioner secara regular dapat mengunjungi
lembaga yang bertugas untuk menyadap, terkhusus aparat penegak hukum, untuk memeriksa
surat perintah penyadapan kepada petugas yang bertanggung jawab dalam penyidikan kasus
Pada prinsipnya, materi penyadapan tidak diterima sebagai bahan bukti di
peradilan, sama halnya dengan mempertanyakan, pernyataan, atau
pengungkapan bahwa penyadapan tersebut sudah mendapatkan izin. Satu-
satunya pengecualiaan adalah bahwa jaksa penuntut pelu meninjau materi hasil
penyadapan untuk memastikan bahwa persidangan berjalan secara adil, atau
jaksa telah berkonsultasi dengan hakim, dan hakim yakin bahwa ada keadaan
mendesak untuk pengungkapan materi penydikan demi kepentingan hukum.

Hukum penyadapan di UK juga memuat mengenai pengawasan yang dilakukan


oleh lembaga lain baik dari eksekutif, yudikatif maupun legislative. Meskipun
tidak ada peranan yudikatif dalam pemberian perintah penyadapan, namun RIPA
memberikan kewenangan kepada Komisioner Intersepsi Komunikasi untuk
melakukan pengawasan terhadap kewenangan penyadapan, Komisioner
Intersepsi Komunikasi harus berlatar belakang hakim Pengadilan Tinggi.
Komisaris wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Perdana Menteri,
laporan ini juga diajukan kepada parlemen dan dapat diakses public.

Untuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislative, setiap penyadapan


yang berkaitan dengan fungsi Intelijen, pengawasannya dilakukan oleh Komite
Parlemen yang dikenal dengan nama The Intelligence and Security Committee
(ISC). Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Intelijen UK, Intelligence Services
Act 1994 (ISA), ISC terdiri dari 9 anggota yang dipilih dari dua kamar parlemen
inggris yaitu the House of Commons and the House of Lords, ISC melakukan
laporan tahunan kepada Perdana Menteri. ISA melakuka pembatasan
keterbukaan informasi intelijen dan badan-badan keamanan kepada ISC.para
kepala lembaga dapat berbagi informasi yang bersifat sensitive kepada ISC,
namun tentu saja dengan pembatasan informasi dan dengan persetujuan dari
Menteri dalam Negeri untuk alasan keamanan.

Selain pengawasan secara kelembagaan, UK membuka peluang untuk


mekanisme komplain yang diajukan oleh masyarakat umum yang merasa
dirugikan atas kegiatan penyadapan oleh pemerintah melalui Pengadilan yanh
disebut Investigatory Powers Tribunal (the Tribunal), pengadilan ini dibentuk
dibawah RIPA. Pengadilan ini beranggotakan 8 orang anggota senior dari profesi
hukum dan peradilan. Anggota pengadilan ini diangkat oleh Ratu dengan surat
pengangkatan. Pengadilan ini memiliki kekuasaan untuk memeriksa dan
memutuskan pengaduan serta peradilan, memberikan ganti rugi, membatalkan
surat perintah dan persetujuan, dan melakukan pelenyapan materi penyadapan.
Pengadilan ini dapat mengatur sendiri setiap proses, komplain, atau referensi
nya, komplain juga ditangani secara rahasia. Ketika menentukan komplain mana
yang akan diproses, pengadilan ini menerapkan prinsip yang sama dengan
pengadilan pada umumnya. Pengaduan tidak memiliki akses terhadap materi
atau data penyadapan, kecuali Menteri Dalam negeri memerintahkan
sebaliknya, putusan bersifat final and binding.

VI. Pengaturan dan Mekanisme Penyadapan di Rancangan KUHAP

Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian
Kelima tentang Penyadapan pada Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan
KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang. Tindakan
penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan
tindak pidana serius ataupun diduga keras akan terjadi tindak pidana serius. 69

Secara khusus Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana


dimana penyadapan dapat dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana
dimana penyadapan sah digunakan yaitu: a. kejahatan terhadap keamanan
negara; b. perampasan kemerdekaan/Penculikan; c. pencurian dengan
kekerasan; d. pemerasan; e. pengancaman; f. perdagangan orang; g.
penyelundupan; h. korupsi; i. pencucian Uang; j. pemalsuan uang; k.
keimigrasian; l. mengenai bahan peledak dan senjata api; m. terorisme; n.
pelanggaran berat HAM; o. psikotropika dan narkotika; p. Pemerkosaan; q.
pembunuhan; r. penambangan tanpa izin; s.penangkapan ikan tanpa izin di
perairan; dan t pembalakan liar. 70

Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim


Pemeriksa Pendahuluan dengan kondisi bahwa Penyidik bersama sama dengan
Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang didalamnya termuat
alasan alasan untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan.71 Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan
Surat Perintah Penyadapan.72

Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan


terlebih dahulu namun disertai kewajiban untuk memberitahukan penyadapan
tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum. 73
Rancangan KUHAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori
yaitu a.bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak;
b.permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan
negara; dan/atau c.permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak
pidana terorganisasi.74

Terkait dengan Penyadapan dalam keadaan mendesak memang perlu untuk


dikaji ulang, terlebih lagi dalam hal persyaratan dan mekasnisme serta prosedur

69 Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP

70 Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP

71 Lihat Pasal 83 ayat (4) Rancangan KUHAP

72 Lihat Pasal 83 ayat (3) Rancangan KUHAP

73 Lihat Pasal 84 ayat (1) Rancangan KUHAP

74 Lihat Pasal 84 ayat (2) Rancangan KUHAP


yang belum secara lengkap dijabarkan. Singkat dapat dilihat bahwa persyaratan
penyadapan dalam keadaan mendesak milik rancangan KUHAP cukup identik
dengan pengatur keadaan mendesak di Amerika Serikat. 75 Namun dengan
catatan tanpa persyaratan, pengawasan, dan implikasi terhadap validitas alat
bukti yang sama bahkan cenderung tidak diimitasi dari pengaturan di Amerika
Serikat seperti bunyi pasalnya.

Jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.76

Namun demikian, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan ijin


untuk melakukan tindakan penyadapan 77. Namun tidak diperoleh kejelasan
apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak untuk memberikan
persetujuan atas tindakan penyadapan yang telah dilakukan oleh penyidik atas
dasarkeadaan mendesak78.

Selama ini izin penyadapan merupakan salah satu instrument yang disorot. Pro
kontra HPP sebagai pemberi izin penyadapan menjadi meruncing dikarenakan
fokus terhadapan penyadapan lebih dititik beratkan pada sudut pandang
lembaga, bukan skema besar pengawasan dan pembagian kekuasaan. Apabila
fokus pemberian izin dititik beratkan pada skema pengawasan maka seharusnya
kepada lembaga manapun penyadapan dimintakan izin, dalam hal ini tidak
mutlak pada HPP, bukan menjadi inti permasalahan, melainkan harus ada
lembaga yang nantinya dapat melakukan pengawasan dan dimintakan
pertanggungjawaban. Terkait hal tersebut, maka seharusnya sorotan lebih tajam
pada persoalan validitas alat bukti yang memang murni ada ditangan
pengadilan.

Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun


sayangnya Rancangan KUHAP justru tidak mengatur hal hal lain yang justru
menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya adalah (i) wewenang untuk
melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan
penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang
menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, (v)

75 Schott, Richard G. (2003) Warrantless Interception of Communications: When,


Where, and Why It Can be Done.
:http://www.fbi.gov/publications/leb/2003/jan2003/jan03leb.htm/ dan pasal 2518
ayat (7) huruf (b).

76 Lihat Pasal 83 ayat (6) Rancangan KUHAP

77 Lihat Pasal 83 ayat (7) Rancangan KUHAP

78 Lihat Pasal 84 ayat (3) Rancangan KUHAP


tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii)
penggunaan hasil penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi
kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan
tersebut.

VII. Rekomendasi

1. Pengaturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang tersedia saat ini tidak
cukup mengakomodir amanah putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang mengandung sembilan persoalan penting yang
seharusnya diatur secara rinci dan tegas serta pengaturan lain yang harus
diperhatikan. Memperhatikan potensi kesewenang-wenangan dari negara
serta ancaman pelanggaran HAM akibat penyadapan tersebut, maka merujuk
pada amanah yang di berikan oleh Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya
Penyadapan diatur secara lebih baik dan ketat.

2. Secara rinci, KUHAP harus mengatur mengenai bentuk-bentuk dari


penyadapan, secara lebih luas tidak terpaku pada penyadapan pembicaraan
namun semua bentuk intersepsi informasi dan komunikasi, baik dalam bentuk
rekaman, penyadapan dan tehknis intersepsi lain yang berlaku secara umum
dan universal.

3. Pada dasarnya KUHAP dapat memuat pengaturan mengenai penyadapan,


namun merujuk pada amanah dari Mahkamah Konstitusi, pengaturan
menyeluruh di dalam KUHAP memang sulit untuk direalisasikan, sehingga
akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip,
lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin
serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil penyadapan. Terkait
dengan pemberian Izin, maka seharusnya tidak menjadi pokok perdebatan
apakah izin harus dikeluarkan oleh HPP atau lembaga lain, namun titik
sorotnya adalah validasi alat bukti harus berada di tangan pengadilan.

4. Apabila KUHAP sebagai dasar dari hukum acara pidana di Indonesia telah
mengatur terkait prinsip-prinsip penyadapan, maka akan lebih tepat apabila
prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di tataran Undang-
Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dan pengaturan penting lainnya. Undang-Undang dibutuhkan untuk
menjamin tercapainya pengaturan penyadapan yang sesuai dengan
penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi
negara Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai