Anda di halaman 1dari 33

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950.
Pemberlakuan Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut dimulai pada saat Republik
Indonesia Serikat berakhir karena adanya demo besar-besaran dari rakyat yang menuntut
kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada akhirnya
pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat dan kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara sejak 17
Agustus 1950, dengan menganut sistem kabinet parlementer, artinya kabinet bertanggung
jawab pada parlemen.
Pada masa Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diberlakukan, gejolak
politik yang panas menimbulkan berbagai gerakan yang politik yang tidak stabil, sehingga
kabinet pemerintahanpun ikut kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7
kali pergantian kabinet, yaitu : 1950 1951 : Kabinet Natsir, 1951 1952 : Kabinet Sukiman
Suwirjo, 1952 1953 : Kabinet Wilopo, 1953 1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I, 1955
1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap, 1956 1957 : Kabinet Ali Satroamidjojo II, 1957
1959 : Kabinet Djuanda.
Hingga puncaknya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
isinya seperti yang telah ditulis diatas, dan pada masa berakhirnya UUDS 1950 dan kembali
ke Undang Undang Dasar 45, sistem kabinet parlementer ikut juga berakhir menjadi sistem
Demokrasi Terpimpin dimana seluruh keputusan dan pemikiran hanya terpusat pada Presiden.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok
penulisan pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana kehidupan politik pada masa demokrasi liberal ?
2) Bagaimana kehidupan ekonomi pada masa demokrasi liberal ?
3) Bagaimana kehidupan sosial budaya pada masa demokrasi liberal ?
4) Bagaimana kehidupan hankam pada masa demokrasi liberal ?
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah :
1) Untuk mengetahui dan memahami kehidupan politik pada masa demokrasi liberal.
2) Unutk mengetahui dan memahami kehidupan ekonomi pada masa demokrasi liberal.
3) Untuk mengetahiu dan memahami kehidupan sosial budaya pada masa demokrasi liberal.
4) Untuk mengetahui dan memahami kehidupan hankan pada masa demokrasi liberal.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Kehidupan Politik Masa Demokrasi Liberal


Sejak kembalinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1950, Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal, dimana kedaulatan rakyat disalurkan
melalui partai-partai politik. Pada waktu itu ada empat partai besar yang sangat berpengaruh
dalam pemerintahan, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Dalam masa Demokrasi Liberal Indonesia menganut sistem Kabinet Parlementer,
artinya kabinet dipimin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri dan para Menteri
bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR). Dimana jatuh banguanya pemerintah atau
kabinet sangat tergantung kepada DPR. Bila mayoritas dalam parlemen tidak mempercayai
atau mendukung kabinet, maka kabinet harus mengembalikan mandate kepada presiden dan
perlu dibentuk kabinet baru.
Para menteri mewakili partainya. Partai yang wakilnya duduk dalam pemerintahan
disebut partai pemerintah, dan yang tidak duduk dalam pemerintahan disebut partai oposisi.
Partai pemerintah banyak mengurus kepentingan partainya, sehingga timbul mosi tidak
percaya terhadap Kabinet yang sedang berkuasa. Krisis kabinet dan jatuhnya kabinet sering
terjadi. Keadaan seperti ini memberi peluang pada partai oposisi untuk menyatakan
ketidakpercayaan terhadap kabinet yang memerintah, sehingga terjadilah jegal-menjegal
antar partai politik.
a. Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal
1) Periode 1950 - 1955
Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat buah kabinet yang memerintah
sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Kabineet-kabinet tersebut secara
berturut-turut ialah Kabinet Natsir (September 1950 Maret 1951), Kabinet sukiman (April
1951-April 1952), Kabinet Wilopo (April 1952- Juli 1953), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(Juli 1953 Agustus 1955). Dapat digambarkan, dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak
ada kabinet yang dapat melaksanakan programnya, karena Parlemen terlalu sering
menjatuhkan kabinet jika kelompok oposisi kuat. Bahkan, pernah terjadi partai pemerintah
menjatuhkan kabinetnya sendiri. Boleh dikatakan bahwa semua kabinet, termasuk yang
resminya bersifat Zaken Kabinet (yang menteri-menterinya dianggap ahli pada bidangnya
masing-masing), didukung oleh koalisi diantara perbagai partai. Juga komposisi dipihak
oposisi dapat berubah-ubah. Inilah yang menyebabkan berkecamuknya Instabilitas Politik.

a) Kabinet Natsir memerintah (September 1950 Maret 1951)


Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi, akan tetapi, PNI sebagai partai kedua terbesar
dalam paremen tidak duduk dalam kabinet karena, tidak diberi kedudukan yang sesuai. Inti
kabinet ini adalah Masyumi, walaupun diantara para menterinya terdapat juga tokoh-tokoh
nonpartai. Banyak di antara mereka yang cukup terkenal dan dianggap ahli pada bidangnya,
sehngga sesungguhnya formasi kabinet ini termasuk kuat. Tokoh-tokoh terkenal diantaranya
adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Assaat(bekas Pejabat Presiden RI, Ir. Djuanda, dan
Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo. Diantara program-programnya yang paling penting
adalah :
(1) Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;
(2) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan Pemerintahan
(3) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota-anggota tentara
dan gerilya ke dalam masyarakat;
(4) Memperjuangkan penyelesaian soal irian secepatnya,
(5) Menegembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar untuk
melakanakan ekonomi nasional yang sehat.
Selain soal keamanan, yang menjadi beban pemerintah adalah perjuangan Irian Barat
ke tangan Indonesia. Belanda rupa-rupanya tidak bermaksud untuk mengembalikan wilayah
ini kepada Indonesia. Perundingan antara Indonesia dengan belanda dimulai pada tanggal 4
Desember 1950 semasa kabinet Natsir, tetapi menemui jalan buntu. Baik Indonesia ataupun
Belanda tidak beranjak dari pendirian masing-masing. Hal ini menimbulkan mosi tidak
percaya dari parlemen terhadap kabinet. Krisis menjadi lebih mendalam dengan adanya mosi
Hadikusumo(PNI) sekitar pencabutan PP No.39/1950 tentang pemilihan anggota perwakilan
daerah supaya lebih demokratis. Kabinet Hatta mengeluarkan mosi yang diterima parlemen
yang menyebabkan menteri dalam negeri Assaat mengundurkan diri, tetapi pengunduran
diriitu ditolak oleh kabinet. Natsir mengingatkan parlemen bahwa pembentukan lembaga-
lembaga perwakilan daerah menurut PP No.39 itu sudah diseujui oleh Parlemen. Hubungan
kabinet dan parlemen menjadi tegang. Semetara itu, tanggal 20 Maret 1951 Partai Indonesia
Raya (PIR) yang merupakan partai pendukungb kabinet menarik menteri-menterinya dari
kabinet. Sehari kemudian, 21 Maret, Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno.
Presiden Soekarno akhirnya menunjuk Mr.Sartono dari PNI untuk membentuk kabinet
baru. Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi PNI-Masyumi, sebab kedua partai ini
merupakan partai yang terkuat dalam DPR saat itu. Akan tetapi, usaha Mr. Sartono menemui
kegagalan dan pada tanggal 18 April 1951 ia mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Presiden Soekarno pada hari itu juga menunjuk da orang formatur baru, untuk dalam waktu
lima hari membentuk kabinet koalisi atas dasar nasional an luas. Akhirnya setelah diadakan
perundingan, dan pada tanggal 26 April diumumkan susunan kabinet baru dibawah pimpinan
dr. Sukiman Wiryosandjojo(Masyumi) dan Suwirjo (PNI).

b) Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952)


Pada tanggal 26 April diumumkan susunan kabinet baru dibawah pimpinan dr.
Sukiman Wiryosandjojo(Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Yang terpenting dalam program
kabinet ini adalah:
(1) Keamanan, akan menjalankan tindakan tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketrentraman;
(2) Sosial-ekonomi, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani, serta mempercepat usaha penempatan bekas
pejuang dilapangan usaha;
(3) Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum.
(4) Polik luar negeri, menjalankan politik luar negeri secara bebas-aktif serta memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kabinet ini juga tidak berusia lama karena banyak soal yang medapat tantangan dalam
parlemen termasuk dari Masyumi dan PNI sendiri. Konflik politik muncul akibat Menteri
Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) mengistruksikan penonaktifan dewan-dewan perwakilan
daerah yang dibentuk berdasarkan PP No.39. Konflik kepentingan bertambah tajam ketika
Iskaq mengangkat tokoh PNI menjadi gubernur di Jawa Barat dan Sulawesi. Sementara itu,
Menteri kehakiman Muh.Yamin, tanpa persetujuan kabinet,membebaskan 950 orang tahanan
SOB. Tindakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan golongan Militer. Akibatnya,
Yamin mengundurkan diri. Akan tetapi, penyebab jatuhnya Kabnet Sukiman ialah mosi
Sunario (PNI) berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Matual Security Act (MSA) oleh
menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dan Duta Besar Amerika Serikat, Merle Cochran.

c) Kabinet Wilopo (April 1952- Juli 1953)


Program kabinet wilopo terutama ditunjukkan kepada persiapan pelaksanaan
pemilihan umum untuk konstituante, DPR, dan DPRD, kemakmuran, pendidikan rakyat, dan
keamanan. Program luar negeri, terutama ditujukan pada penyelesaian masalah hubungan
Indonesia-Belanda dan pengembalian Irian Barat ke Indonesia serta menjalankan politik
bebas aktif menuju perdamaian dunia. Wilopo dengan kabinetnya berusaha melaksanakan
program itu sebaik-baiknya.
Selain soal kedaerahan dan kesukuan, pada tanggal 17 oktober 1952 timbul soal
dalam Angkatan Darat yang terkenal dengan nama Peristiwa 17 oktober. Peristiwa ini dimulai
dengan perdebatan sengit di DPR selama berbulan-bulan mengenai masalah pro dan kontra
kebijakan Menteri Pertahanan dan pimpinan Angkatan Darat. Aksi pihak kaum politisi itu
akhirnya menimbulkan reaksi keras dari pihak angkatan darat.
Untuk membentuk kabinet baru, yang diharapkan mendapat dukungan yang cukup
dari parlemen, pada tanggal 15 juni 1953 Presiden Soekarno menunjuk Sarmidi
Mangunsarkoro (PNI) dan Moh.Roem (Masyumi) sebagai formatur. Kedua formatur gagal
mencapai kesepakatan dengan beberapa partai. Pada tanggal 24 Juni 1953 mereka
mengembalikan mandat kepada Presiden.

d) Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 Agustus 1955)


Setelah mukarto mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 juli Presiden Soekarno
menunjuk Mr. Wongsonegoro (PIR) sebagai formatur. Ia berhasil menghimpun partai-partai
kecil untuk mendukungnya. Pada tanggal 30 juli kabinet baru dilantik tanpa
mengikutsertakan Masyumi, tetapi memunculkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan
baru. Ali Sastroamijoyo diangkat sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal dengan nama
Kabinet Ali I atau kabinet Ali Wongso.
Walaupun kabinet Ali Wongso dapat dikatakan merupakan kabinet yang paling lama
bertahan, akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955 Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya.
Penyebab yang utama adalahh persoalan dalam TNI AD sebagai lanjutan dari Peistiwaa 17
oktober dan soal pimpinan TNI AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri
Pertahanan Iwa Kusumasumantri tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku didalam
lingkungan TNI-AD. Selain itu, juga karena keadaan ekonomi yang semakin buruk dan
korupsi yang mengakibatkan kepercayaan rakyat merosot.
Pada tanggal 20 juli 1955, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-
menterinya, yang kemudian diikuti oleh partai-partai lain. Terjadinya keretakan dalam
kabinetnya memaksa Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya. Kabinet ini merupakan
kabinet terakhir sebelum diadakan pemilihan umuml. Prestasi menonjol kabinet Ali Wongso
adalah dilangsungkanya Konferensi Asia Afrika bulan april 1955.
2) Periode tahun 1955 -1959
Masa lamanya empat tahun ini mengalami tiga kabinet yang silih berganti, yaitu
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamijoyo II,
(Maret 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda(Maret 1957-Juli 1959). Pada periode 1955-
1959 ditandai dengan telah dilaksanakanya pemilihan umum, berikut pergantian kabinet pada
tahun 1955 1959 :
a) Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 24 Maret 1956 )
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 12 Agustus 1955 yang dipimpin oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Program kerja Kabinet Burhanuddin
diantaranya adalah sebagai berikut :
(1) Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat
dan masyarakat
(2) Akan dilaksankan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi
(3) Perjuangan mengembalikan Irian Barat.
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di
Indonesia tahun 1955. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan
umum terbentuk pada bulan Maret 1956.

b) Kabinet Ali II ( 24 Maret 1956 9 April 1957 )


Kabinet Ali II terbentuk pada tanggal 24 Maret 1956 di pimpin oleh Perdana Menteri
Mr. Ali Satroamijoyo (koalisi PNI, NU dan Masyumi). Alasan teerbentuknya kabinet ini
adalah karena munculnya pemberontakan di daerah-daerah, serta ditarik mundurnya menteri-
menteri dari Masyumi Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama hasil pemilihan umum.
Program kerja dari Kabinet Ali II :
(1) Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
(2) Menyelesaikan masalah Irian Barat
(3) Pembentukan provinsi Irian Barat
(4) Menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Ali II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan
oleh kabinet Juanda.

c) Kabinet Juanda atau Kabinet Karya ( 9 April 1957 5 Juli 1959 )


Kabinet Djuanda resmi terbentuk pada tanggal 9 April 1957 merupakan zaken
kabinet, Perdana Menteri ir. Juanda ( dari Non Partai atau ekstra parlementaer). Selain harus
menghadapi pergolakan daerah juga perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi
keadaaan ekonomi keuangan yang buruk dengan merosotnya devisa an rendahnya eksport.
Program kabinet Djuanda terdiri dari lima pasal atau Panca Karya yaitu :
(1) Membentuk Dewan Nasional
(2) Normalisasi keadaan Republik
(3) Melancarkan pelaksanakan pembatalan KMB
(4) Perjuangan Irian
(5) Mempergia pembangunan
Dari sini ternyata, walaupun sudah diadakan pemilihan umum sesuai dengan aturan
permainan demokrasi barat yang menurut peninjau-peninjau luar negeri berjalan dengan
bersih, pemerintahan yang stabil tetap tidak tercapai. Rata-rata kabinet memerintah selama 1
tahun. Dengan demikian, kiranya terbukti bahwa demokrasi Liberal tidak cocok dengan atau
tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia.

b. Pemilihan Umum Tahun 1955 dan Susedahnya


Periode ini dimulai dengan diadakannya pemilu 1955 dan berakhir dengan
diumumkannya Dekrit Presiden tahun 1959 tentang kembaliu ke UUD 1945.
1) Pelaksanaan Pemilu 1955
Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, namun baru
dapat terlaksana pada masa Kabinet Burhanudin Harahap yang sebelumnya pada masa
kabinet Ali I panitianya sudah terbentuk. Pemilhan umum ini dilaksanakan dalam dua tahap,
yaitu :
a) Tahap I, tanggala 29 September 1955 memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
b) Tahap II, tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota Badan Kontituante ( Badan Pembuat
Undang-undang Dasar )
Pemilu 1955 berlangsung secara demokratis. Dalam pemilu 1955 telah keluar empat
partai besar pemenang pemilu, yaitu PNI dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi, NU
dengan 45 kursi, dan PKI dengan 39 kursi. Kemudian anggota Konstituante berjumlah 542
0rang. Anggota DPR hasil pemilu 1955 dilantik pada tanggal 20 Maret 1956, sedankan
pelantikan anggota Badan Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Pada semester kedua tahun 1957 diadakan pemilihan anggota Dewan Provinsi. Pada
pemilihan daerah, PKI menjadi partai rakyat yang sangat dikenal terutama di desa-desa. Oeh
karena itu pada pemilihan daerah PKI mengalami peningkatan yang sangatluar biasa dalam
perolehan suara.
Hal ini menunjukkan bahwa PKI makin kuat pengaruhnya di masyarakat. Basis PKI
adalah jawa. Terkait dengat kenyataan ini, Presiden Sukarno berpendapat bahwa PKI harus
diberi peranan dalam pemerintahan. Keadaan yang demikian ini sangat menguntungkan PKI
di masa-masa berikutnya.
Pemilihan umum telah terlaksana dengan baik , namun tidak berhasil membawa
stbilitas politik seperti yang didambakan oleh rakyat.Hal ini ini disebabkan masih adanya
perselisihan antar partai yang masih berlanjut seperti sebelumnya. Merka masih
mempertahankan partai masing-masing. Akhirnya di Indonesia mengalami krisis yan
menghasilkan system politik Demokrasi Terpimpin.

2) Kegagalan Dewan Konstituante dan Dekrit presiden


Pemilu tahun 1955 tahap II telah memilih anggota Dewan Konstituante yang bertugas
membuat Undang-Undang Dasar ( konstitusi ), karena waktu itu Indonesia belum memiliki
Undang-Undang Dasar yang tetap sebab masih enggunakan UUDS
Dewan Konstituante mulai bersidang tanggal 10 November 1956 bertempat di
Bandung. Sidang pertama dipimpin oleh ir. Wilopo. Namun hingga tahun 1959 sidang
Dewan Konstituante tidak mampu menghasilkan UUD baru. Justru dalam siding tersebut
terjadi perpecahan antar partai atau golongan. Setiap partai mempejuangkan partainya
masing-masing sehingga terjadi perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Hal ini membuat
pemerintah tidak stabil. Untuk itu Presiden Sukarno pada tanggal 21 Februari 1957
mengeluarkan Konsepsi Presiden. Adapun isi konsepsi presiden adalah sebagai beerikut :
a) Sistem demokrasi paerlementer model barat tidak sesuai kepribadian Indonesia maka harus
diganti dengan demokrasi terpimpin.
b) Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk cabinet Gotong Royong.
Melihat keadaan yang serba tidak stabil, rakyat merasa tidak puas. Mereka telah lama
mendambakan keadaan yang tenteram, aman dan damai. Melihat kenyataan itu maka timbul
pendapat untuk kembali ke UUD 1945. Presiden Sukarno sendiri mengamanatkan Dewan
Konstituante menetapkan kembali berlakunya UUD 1945. Teapi Dewan Konstituante sendiri
tidak berhasil mengambil kesepakatan dalam menaggapi usulan kembali ke UUD 1945.
Situasi yang demikian dipandang oleh presiden Sukarno sebagai keadaan yang kritis.
Situasi ketatanegaraan Indonesia berada pada tahap yang membahayakan bagi persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh karena itu demi keselamatan bangsa dan negara Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959. Adapun isi Dekrit Presiden adalah:
a) Pembubaran Dewan Konstituante
b) Berlakunya kembali UUD 1945
c) Akan dibentuk DPRS dan DPAS
Dengan dikeluarkannnya Dekrit Presiden berarti UUDS tidak berlaku lagi dan bangsa
Indonesi kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Dekrit Presiden itu
mendapat dukungan dari TNI AD dan sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga rakyat
memiliki harapan besar bangsa ini akan menjadi lebih baik setelah adanya Dekrit Presiden.

c. Politik Luar Negeri Setelah Pengakuan Kedaulatan


Hubungan luar negeri yang dirintis sejak Perang Kemerdekaan berkembang sesudah
pengakuan kedaulatan 1949. Kabinet RIS dibawah Perdana Menteri Hatta melaksanakan
hubungan luar negeri yang dititikberatkan pada negara-negara Asia dan Negara-negara Barat,
karena kepentingan ekonomi Indonesia masih terkait di Eropa. ; pasar hasil bumi Indonesia
masih berpusat di Negeri Belanda dan Eropa Barat pada umumnya. Untuk kepentingan yang
sama pemerintah mengirimkan Djuanda guna mencari bantuan yang tidak mengikat ke
Amerika Serikat. Garis itu diteruskan oleh kabinet penggantiannya yaitu kabinet
Natsir(September 1950-Maret 1951) setelah kembali kepada bentuk negara kesatuan. Adapun
kabinet sukirman(April 1951-Februari 1952) pengganti Kabinet Natsir, menempuh kebijakan
yang menyimpang dari politik bebas-aktif. Pada bulan Januari 1952 Menteri Luar Negeri
Ahmad Subardjo mengadakan pertukaran surat dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran dalam rangka mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan Mutual
Security Act (MSA). Pemerintah dianggap telah meninggalkan politik bebas-aktif dan
memasukkan Indonesia dalam Blok Barat.

d. Konferensi Asia Afrika


Sesudah Perang Dunia II kofigurasi politik dunia mulai ditandai oleh munculnya dua
kekuatan raksasa dunia yang saling bertentangan, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Kedua kekuatan raksasa itu masing-masing mempunyai sistem politik yang masing-masing
mempunyai sistem politik dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Kedua kekuatan itu saling
bertentangan dan berlomba-lomba menyusun dan mengembangkan kekuatannya baik secara
politis maupun militer meliputi pengembangan senjata nuklir. Situasi pertentangan itu disebut
Perang Dingin. Tiap-tiap pihak menuntut supaya semua negara didunia ini menjatuhkan
pilihannya kepada salah satu blok itu. Tidak pro sudah dianggap anti, sedangkan sikap
netral dikutuk.
Republik Indonesia bukan penganut politik luar negeri netral karena menolak untuk
mengaitkan dirinya kepada negara atau kekuatan manapun, betapapun besarnya. Politik dan
sikap indonesia dilandaskan pada kemerdekaan dan bertujuan untuk memperkuat perdamaian.
Terhadap dua blok kekuatan raksasa dunia yang bertantangan itu indonesia tidak mau
memilih salah satu pihak. Indonesia, mengambil jalan sendiri dalam menghadapiu masalah-
masalah internasional. Oleh karena itu, politik ini disebut politik bebas. Sering pula politik
ini diperjelas dengan menambahkan kata aktif dimaksudkan bawa Indonesia berusaha
sekuat-kuatnya untuk memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan-pertentangan
sesuai dengan cita-cita PBB. Politik ini sedapat mungkin diusahakan agar mendapat bantuan
dan dukungan sebanyak mungkin dari negara-negara yang menjadi anggota PBB.

2.2 Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Liberal


a. Pemikiran Ekonomi Nasional
Sejak pengakuan kedaulatan pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah yang
berkaitan dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia. Pemerintah
Indonesia masih menghormati kepentingn historis dunia usaha Belanda di Indonesia. Hal ini
banyak mendapat tentangan dari para pemimpin revolusioner Indonesia. Banyak desakan
agar Indonesia menutup perusahaan-perusahaan swasta Belanda, dan sekaligus mendorong
usaha swasta pribumi.Sehingga diharapkan dapat mengubah ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.
Perhatian tentang perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr.
Sumitro Djojohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi indonesia pada
hakikatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah mengubah
struktur ekonomi umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Sumitro mencoba
mempraktikan pemikirannya itu pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pada bangsa
indonesia harus selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Para pengusaha bangsa
indonesia yang pada umumnya bermodal lemah, diberi kesempatan untuk berpartisipasi
membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para
pengusaha itu, baik dalam bentu bimbingan kongkret maupun dengan bantuan pemberian
kredit karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha pengusaha indonesia pada umumnya
tidak mempunyai modal yang cukup. Jika usaha berhasil maka secara bertahap pengusaha
bangsa indonesia akan dapat berkembang maju, dan tujuan mengubah struktur ekonomi
kolonial dibidang perdagangan akan tercapai. Usaha ini dikenal dengan Program Benteng.
Sasaran program ini adalah pembangunan industri. Menurut Sumitro, Bangsa Indonesia harus
segera dibangun kelas pengusaha, sehingga struktur ekonomi kolonial dalam bidang
perdagangan dapat segera diubah. Program Benteng ini dimulai pada bulan April 1950.
Selama tiga tahun, kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapat bantuan dari
proram ini. Namun program in tidak tepat sasaran karena banyak pengusaha yang
menyalahgunakan. Program ini terjadi pada masa Kabinet Natsir.

b. Sistem Ekonomi Liberal


Sesudah pengakuan kedaulatan, indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan
sebagai akibat ketentuan-ketentuan KMB: beban utang luar negeri sebesar Rp. 1.500 juts dan
utang dalam negeri sejumlah Rp. 2.800 juta. Struktur ekonomi yang diwarisi berat sebelah.
Ekspor masih tergantung kepada beberapa jenis hasil perkebunan. Produksi barang-barang
ekspor ini dibawah produksi sebelum Perang Dunia II.
Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah mengurangi
jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup, sedangkan maslah jangka
panjang adalah masalah biaya hidup, sedangkan masalah pertambahan penduduk dan tingkat
hidup yang rendah. Beban yang berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan.
Defisit pemerintah pada waktu itu dan sejumlah Rp.5,1 miliar. Defisit ini untuk sebagian
berhasil dkurangi dengan pinjaman pemerintah, yaitu dngan cara melakukan tindakan
keuangan pada tanggal 20 Maret 1950. Jumlah yang didapat dari pinjaman wajib sebesar
Rp.1,6 Miliar. Kemudian, dengan kesepakatan sidang Menteri Uni Indonesia Belanda,
diperoleh kredit sebesar Rp. 200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada tanggal 13 Maret
dibidang perdagangan diadakan usaha untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat
devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang eksport.
Sejak tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan oleh
menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang tidak memiliki barang-barang eksport lainnya kecuali hasil perkebunan.
Perkembangan ekonomi indonesia tidak menunjukkan arah yang stabil, bahkan sebaliknya.
Pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik
(perluasan program pemerintah, biaya untuk operasi-operasi keamanan dalam negeri), adalah
sebab utama bagi defisit. Disamping itu, pemerintah sendiri tidak berhasil meningkatkan
produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk peningkatan
pendapatan nasional kecuali itu, kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangan tidak
dibuat di Indonesia tetapi di rancang di Nederland. Jadi, penyebab terjadinya instabilitas tidak
semata-mata terletak pada perluasan program, tetapi dipengaruhi juga oleh dua faktor diatas.
Hal ini karena politik kolonial belanda. Pemerintah Belanda tidak mewariskan ahli-ahli yang
cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
tidak menghasilkan perubahan yang derastis.

2.3 Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Liberal


a. Pendidikan
Setelah diadakan pengalihan pendidikan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah
RIS tahun 1950, oleh mentri pendidikan Dr. Abu Hannifah, disusun sebuah konsep
pendidikan yang menitik beratkan pada spesialisasi. Garis bersar konsep tersebut mencakup
berbagai hal diantaranya adalah pendidikan umum dan pendidikan teknik dilaksanakan
dengan perbandingan 3 : 1. Bagi setiap sekolah umum mulai dari bawah ke atas diadakan 1
sekolah teknik. Sebagai lanjutannya adalah sekolah teknik menengah dan sekplah teknik atas
yang masing-masing ditempuh dalam 3 tahun.
Selain itu, karena Iindonesia adalah negara kepulauan, maka dibeberapa kota didakan
akademik pelayaran. Akademik Oseonografi dan Akademik Reserch Laut yang didirikan di
kota Surabaya, Makasar, Ambon, Manado, Padang dan Palembang. Untuk tenaga pengajar
didatangkan dari luar negeri seperti Inggris, Amerika dan Prancis. Selanjutnya juga didirikan
sekolah tinggi pertanian. Direncanakan diSumatra Barat dekat Payakumbuh diadakan filial
dari Sekolah Tinggi Pertanian Bogor. Namun, konsepsi tersebut hilang saat kabiner Hatta
berhenti. Oleh Menteri Abu Hafiah juga dirancangkan kota universiter untuk kota Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bukittinggi. Direncanakan pula untuk mendirikan
akademik voor wetenschappen.
Sistem pendidikan diadakan dengan titik berat desentralisasi, yaitu dari sekolah dasar
hingga sekolah menengah pertama menjadi urutan daerah dan supervisi pusat. Sekolah
menengah atas menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai masalah keuangan
maupun mata pelajaran. Dalamrangka konsolidasi universitas-universitas negara, dikeluarkan
Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1950 yang mewajibkan Mentri Pendidikn Pengajaran
dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat, jika perlu mengambil tindakan dari peraturan
yang berlaku dan lain lain.
Dalam pelaksanannya tanggal 2 Februari 1950 Ir. Surachman diangkakt menjadi
Rektor Universitas Indonesia. Selama periode domookrasi liberal berdasarkan peraturan
pemerintah No. 57 tahun 1954 yang mulai berlaku tangal 10 November 1954 didirikan
sebuah universitaslain di Jawa, yaitu Universitas Airlangga di Surabaya. Perluasan
universitas-universitas di luar Jawa direalisasikan dengan dikeluarkannya PP No. 23, 1
September yang menetapkan berdirinya Universitas Hasanudin di Makasar, serta PP No. 24
tahun 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Andalas di Bukittinggi. Kemudian
berutrurt-turut berdasarkan PP No. 37 tahun 1957 mulai 1 September 1957 di Bnadung
didirikan Universitas Padjajaran, serta dengan PP No. 48 tahun 1957 tanggal 1 September
1957 didirikan Universitas Sumatra Utara di Medan.
Dalam perkembangan selanjutnya tahun 1958 dibawah Menteri PP dan K. Prof. Prijno
disusun konsepsi pengajaran yang disebut Sapta Usaha Tama yang terdiri atas tujuh ketentuan
yaitu
1) Penertiban aparatur dan usaha-usaha departemen PP dan K
2) Meningkatkan seni dan olahraga
3) Mengharuskan usaha halaman
4) Mengharuskan penabungan
5) Mewajibkan usaha-usaha koperasi
6) Mengadakan kelas masyarakat serta
7) Membentuk regu kerja dikalangan SLA dan universitas
Mengenai sekolah asing, pada tahun 1957 pemerintah menganbil tindakan
pengawasan yang dilasanakan oleh Departemen Pengajaran dan pihak penguasa Perang
Pusat. Sekoah asaing merupakan sekolah partikelir yang mengunakan bahasa asing sebagai
bahasa pengantarnya. Pada pertengahan tahun 1957 sekoalh asing yang terdiri atas 1.800
sekolah Cina dan 125 sekoalh Belanda dinilai mempunyai aspek khusus yaitu
1) Karena Belanda belum bersahabat dengan Indonesia,
2) Timbulnya sengketa politik antara Kou MinTang dan Kung Chang Tang di Cina yang telah
meluas sampai ke masyarakat Cina di indonesia.
Maka dari itu pemerintah mengambil keputusan utuk mencegah merembetnya
persoalan Cina ke Indonesia. Tentang pengawasan pengajaran aing tersebut maka dikeluarkan
Peraturan Penguasaan Militer pada 6 November 1957 No. 4/PMT tahun1957 yang
berlangsung sampai 17 April 1958.
Dalam bidang pendidikan jasmani tanggal 2 Januari 1950 dikeluarkan Undang-
Undang No.4 tahun 1950 tentng pengajaran. Pada bab IV pasal 9 tentang pendidikan jasmani
tercantum Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Dengan adanya ini maka jumlah kantor inspeksi pendidikan
jasmani dan sekolah Gguru Pendidikan Djasmani (SGPD) juga kantor instruktur, aplikasi dari
pendidikan jasmani dinentuk.
b. Bahasa
Gagasan untuk menyempurnakan ejaan bahasa Indonesia timbul pasca diadakan
Kongres Bahasa Indonesia di Medan yang menghasilkan keputusan penyelidikan dan
penetapan dasar-dasar ejaan praktis bagi bahasa Indobesia. Dibentuklah panitia Panitia
Pembahas ejaan Bahasa Indonesia dengan surat keputusan Mentri PP dan K No. 448/S 19 Juli
1956.
Pada 17 April 1957 diadakan perjajian persahabatan antar RI dan Persekutuan Tanah
Melayu. Selanjutnya tanggal 4-7 Desember 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara
Panitia Pelsanaan Kerja sama Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia yang diketuai olelh Prof. Dr.
Slametmuljana dan Kuasa Bahasa Resmi Baharu Persekutuan Tanah Melayu dipimpin Syeh
Nasir bin ismail. Sidang ini menghasilkan pengumuman bersama Ejaan Bahasa Melayu-
Bahasa Iindonesia yang pada tahun 1961 diterbitkan oleh Departemen PP dan K Republik
Indonesia.

c. Seni
Setelah pengakuan kedaulatan, di Yogyakarta berdiri organisasi Pelukis Indonesai
atau PI yang awalnya dipimpin oleh Sumutro kemudian diganti oleh Solihin dan Kusnadi.
Perkumpulan para pelukis muda adalah PIM atau Pelikis Indonesia Muda yang terbentuk
tahun 1954 dengan Widaya senagai ketuanya. Paling awal di Yogyakarta berdiri PTPI atau
Pusat Tenaga Pelukis Indonesia dengan Djajenggasmoro sebagai ketuanya. Oleh pemerintah
didirikan Akademi Seni Rupa Indonesai (ASRI) yang dibagi menjadi lima bagian yaitu seni
lukis, patung, ukir, reklame dan pendidikan guru gambar. Di Solo beberapa pelukis
nergabung dengan Himpunan Budaya Surakarta. Di Madiun berdir Tunas Muda.
Seni tari pada periode tahun 1945-1955 pembaharuannya baru terbatas pada teknik
penyajian. Pada waktu itu pengaruh komunis sangat terasa, tarian klasik yang dianggap
berbau keraton dikesampingkan dan muncuk tarian yang bertema kerakyatan dan kehidupan
sehari-hari, seperti tari tani, tari tenun, tari nelayan dan tari koperasi. Perkembangan semacam
ini berkembang diseluruh tanah air. Pada 27 Agustus 1950 di Surakarta didirikan
Konservatori Karawitan, maksud dari didirikannya konservatori karawitan ini adalah untuk
mempertinggi serta memperkembangkan karawitan.
Selanjutnya muncul tokoh-tokoh seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
merupakan sebuah ormas PKI yang mendukung konsepsi Presiden Soekarno dan mendesak
agar seluruh kehidupan seni diperpolitikan sesuai dengan garis partai mereka. Tokoh-tokoh
tersebut seperti Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Basuki Resobowo, dan Kotot
Sukardi. Dalam tubuh PPFI tinbul ketegangan antara pendukung Konsepsi Presiden dan
golongan yang tidak menyetujui para artis film berpolitik praktis. Akhirnya, golongan
akhitnya golongan komunis (PKI) berhasil mempengaruhi PPFI sehingga ditengah kancah
pergolakan para artis film itu muncul istilah :Artis film yang berpolotik.oleh A.S Bey
diusulakan untuk diadakannya simposium film dengan acara artis film yang berpolitik, yang
kemudian diadakan pada tanggal 8 September 1957 di Aula Univesitas Indonesia.
Mengenai perkembangan seni bangunan dapat dikatakan bahwa keadaan bangunan di
kota-kota pada umumnya mengambil tempat tidak berketentuan dan tidak selaras dengan
keadaan alam. Sekkolah-sekolah, kantor besar. Toko. Gedung tua, dan pondok rakyat
berselang-seling sepanjang jalan atau dalam satu bagian kota yang seharusnya mempunyai
ketentuan pasti. Sedangkan untuk baguanan di desa-desa masih berpegang pada corak lama
hal ini disebabkan karena lemahnya ekonomi rakyat.
d. Media Komunikasi Masa
Ciri umum dari pers pada masa demokrasi liberal adalah ditandai dengan prinsip-
prinsip liberal dalam penulisan berita, tajuk rencana da pojok. Pada umumnya memiliki segi
komersial yang kurang meskipun telah diasuh secara liberal.
Suatu ciri khusus pada masa liberal adalah surat kabar bekas milik Dinas Penerangan
Belanda yang kemudian diambil alih oleh tenaga bangsa Indonesia. Ternyata dalam
pengurusannya jauh lebih baik dibandingkan pers yang diusahakan oleh modal awasta
nasional.
Pada tahun 1957, dengan dinasiolisasikannya perusahaan-perusahaan Belanda,
membuat surat kabar dengan bahasa Belanda lenyap dari peredaran. Peristiwa terpenting
dalam perkembngan surat kabar selama masa demokrasi liberal adalah diselenggarakannya
seminar pers di Tugu, Bogor tanggal 24-26 Juli 1955.
Jika dilihat dari segi komersialnya pers daerahmemang kurang menguntungkan.
Faktor penduduk yang ada disuatu daerah juga memperngaruhi kaitannya dengan kemajuan
surat kabar, selain itu juga faktor ekonomi perdagangan serta taraf kecerdasan penduduk juga
ikut mempengeruhi maju-mundurnya surat kabar.
Dikota-kota besar seperti Medan, Bandung dan Surabaya surat kabar dikatakan
lumayan berkembang jika dibandingkan dengan kota-kota kecil. Keterlambatan kemajuan
pers didaerah disebabkan karena kebangganan akan pers daerah yang kurang. Hal ini
mungkin juga dissebabkan karena pers daerah yang belum memperhatikan sifat-sifat yang
layakuntuk dijadikan kebangaan bagi daerah yang bersangkutan.
Sifat pers Indonesia dapat dikatakan masih regional. Artinya tidak dapat untuk
memusatkan atau konsentrasi surat kabar pada suatu tempat, misalnya saja ibu kota. Disetiap
profinsi terdapat surat kabar besar maupun kecil yang berjumlah 79 surat kabat. 15 harian
terbit di Jakarta, selebihnya terbit didaerah-daerah.
Dalam memberikan kriteria pembedaan pers pusat dan daerah yang ditentukan adalah
tempat berdirinya. Pers pusat terbit di ibu kota dan pers daerah terbit di suatu ibu kota
profinsi atau hanya dalam sauatu kota besar. Sebenarnay tidak ada perbedaan yang esensial
antara keduanya . uang disebut dengan pers daerah kota tempa t terbitnya pers itu dan dan
daerah sekitarnya. Dengan demikian dalam pemberitaanya pers daaerah mau tidak mau harus
memeperhatikan dan mempertimbangkan keinginan pembacanya dalam penyebaran
bereitanya yang meliputi dua macam suasana yaitu kota dan desa.
Hal yang menjadi masalah lain sat itu adalh adanya anggapam umum bahwa pers atau
media masa di tanah air memiliki andil yang besar dalam merusak nahasa Indonesia.
Meskipun demikian tidak sedikit pula yang beranggaan bahwa pers memiliki andil dalam
erkembangan bahasa Indonesia. Dari kedua anggapan ini dapat dilihat bahwa media masa
memiliki peranan besar kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia.
Sarana komunikasi vital lainnya adalah radio, sejak proklamasi kemerdekaan
penyiaran radio dikuasai oleh masyarakat Ondonesia. Setelah pengakuan kedaulatan corak
penyiaran radio mengalami perubahan, yaitu lebih digunakan untuk kepntingan nasional.

2.4 Kehidupan Hankan Masa Demokrasi Liberal


a. Masalah-Masalah Angkatan Perang
1) Peristiwa 17 Oktober 1952
Pada hakikatnya, peristiwa 17 Oktober 1952 mempunyai faktor-faktor penyebab pada
masa-masa sebelumnya. Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, Indonesia menghadapi
banyak persoalan, antara lain:
a) Keadaan politik yang labil dengan sistem demokrasi liberal model eropa Barat(khususnya
Belanda);
b) Keadaan sosial-ekonomi yag semakin memburuk dan korupsi yang semakinmeluas;
c) Persoalan pembebasan Irian-Barat yang tidak cepat selesai;
d) Kemerosotan integritas dan kemampuan aparatur pemerintahan akibat pertentangan antar dan
intern partai-partai serta pergolakan intern angkatan perang.
Setelah pengakuan kedaulatan, pimpinan Angkatan Perang khususnya kepala staf
Angkatan Perang (KSAP) dan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) berusaha mengonsolidasi
dan memajukan TNI. TNI yang terdiri atas pejuang-pejuang yang bermodalkan semangat dan
masih diikat oleh loyalitas pribadi, akan ditingkatkan menjadi Angkatan Perang yang lebih
tinggi mutu teknis militernya dan diikat oleh disiplin yang melembaga. Jika usaha ini
berhasil, angkatan perang akan menjadi suatu kekuatan sosial politik yang kompak yang
dapat mengimbangi kekuasaan partai-partai politik dan golongan politik pada umumnya.
Pada tanggal 18 juli 1952 KSAP mengirim surat kepada pemerintah, mendesak agar
peristiwa tersebut diselesaikan sesuai dengan prosedur militer. Karena tindakan Kolonel
Bambang Supeno dianggap melanggar disiplin, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX membebastugaskannya. Sementara itu, seksi-seksi pertahanan dari parlemen
memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini. Pembebasan tugas Kolonel
Bambang Supeno yang kemudian diajukan kepada Presiden ternyata ditolak.
Akibat peristiwa 17 Oktober ini Angkatan Darat mengalami perpecahan yang
memerlukan waktu bebrapa tahun untuk mengatasinya. KSAP Jenderal Mayor T.B
Simatupang diberhentikan dan jabatan KSAP dihapuskan , sedangkan KSAD Kolonel
A.H.Nasution mengajukan permintaan berhenti, sebagai pertangungjawaban atas terjadinya
peristiwa tersebut. Ia digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng. Pemerintah pada tanggal 22
November 1952 mengeluarkan keterangan bahwa pada tanggal 17 Oktober tidak terjadi coup
atau percobaan coup.

2) Masalah Intern Angkatan Udara


Peristiwa yang hampir serupa dengan yang terjadi di Angkatan Darat pada tanggal 27
Juni 1955 terjadi pula di Angkatan Udara. Di Pangkalan Udara Cililitan (Halim
Perdanakusuma) pada tanggal 14 Desember 1955 terjadi keributan menjelang dilantiknya
Wakil Kepala Stafv Angkatan Udara Komodar Muda Udara Hubertus Suyono. Tidak lama
sebelum komodar Suyono dilantik, secara tiba-tiba 25 orang prajurit dari pasukan kehormatan
pembawa panji-panji Angkatan Udara bersama-sama maju serta berteriak, tidak setuju.tidak
setuju! Secara beramai-ramai mereka meninggalkan barisan.Upacara pelantikan mengalami
kegagalan karena Menteri pertahanan Burhanudin Harahap menolak melantik Komodar
Suyono tanpa panji-panji.
Sementara itu, pada tanggal 2 juli dan 12 juli 1952 di Pangkalan Cililitan (Halim)
diselenggarakan rapat yang membahas masalah pendidikan dan penerbangan yang dipimpin
oleh Komodar Muda Suyono. Terjadinya rentetan rapat-rapat itu menunjukkan bahwa
dikalangan perwira AURI terdapat dua kelompok, sebagian mendukung KSAU dan sebagian
lagi menentang kebijakan KSAU.

b. Gangguan Keamanan Dalam Negeri


Kembalinya ke Negara Kesatuan juga berdampak pada sebagian tokoh dari Negara
bagian ingin tetap mempertahankan sebagai sebuah Negara yang berdiri sendiri dengan cara
mengadakan pemberontakan-pemberontakan.. Sehingga hal ini menjadi gangguan dan
ancaman keamanan dalam negeri. Adapun pemberontakan-pemberontakan itu antara lain:
1) Pemberontakan APRA
Pada masa RIS tidak sedikit kesukaran yang dihadapi oleh pemerintah dan rakyat.
Adanya pembrontakan yang dilakukan dari dalam oleh beberapa dolongan yang mendapatkan
dukungan dari Belanda ataupun mereka yang merasa takut akan kehilangan haknya apabila
Belanda meninggalkan Indonesia.
Pertama adalah gerakan yang dikenal dengan nama APRA atau Angkatan Perang Ratu
Adil dibawah pimpinan bekas Kapten Raymond Westerling. Gerakan ini di dalangi
olehgilongan kolonialis Belanda yang ingin menganmankan kepentingan ekonominya.
Cara yang digunakan oleh Westerling untuk menperoleh dukungan yaitu dengan
memainkan kepercayaan rakyat tentang akan datangnya Ratu Adil. Ia memahami keadaan
rakyat Indonesia sangat mendambakan masa kemakmuran. Tujuan APRA dan kaum
Kolonialisasi yang ada dibelakangnya ialah mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan
tentara tersendiri di negara bagian RIS. Padahal, dalam Konferensi Antar-Indonesia di
Yogyakarta telahdisetujui bahwa APRIS adalah Angkatan Perang Nasional.
Pasukan APRA yang berangotakan lebih dari 523 orang dengan persenjataan lengkap
menyerang kota Bandung pada 23 Januari 1950. Pada gerakan tersebut, pasukan APRA
melucuti anggota anggota polisi di pos Cimindi, Cibeureum, dan pabrik Mekaf. Di dalam
kota mereka membunuh setiap anggota TNI dan berhasilmenduduki Markas Staf Divisi
Ailiwangi setelah membunuh regu jaga dan Kolonel Lembong.
Gerakan APRA di Bandung menyebabkan lebih dari 79 orang tewas, ssehingga
pemerintah RIS segera mengirimkan bantuan ke Bandung yaitu satuan Mobiele Brigade
Polisi (Jawa Timur) dibawah komando Komosaris Polisi II Sudjipto Judodiharjo. Sementara
itu di Jakarta diadakan perundingan antara Perdana Menteri RIS Moh dan Komisariat Tinggi
Belanda. Sesuai dengan hasil perundingan, maka Komisariat Tinngi Belanda memerintahkan
Mayor Jendral Engels untuk memaksa Westerling dan pasukannya meninggalkan Bandung.
Setelah APRA meninggalkan Bandung, APRIS mengadakan razia secara intensif.
Tokoh tokoh seperti Anwar Tjjokroaminoto, R. Jusuf, Djanakum, Surja Kertalegawa, dan
Male Winarakusumah ditangkap.
Selain itu APRA juga merencanakan gerakan di Jakarta. Dimana Westerling
mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II. Menurut rencana pasukan APRA akan
menyerang tempat kabinet mengadakan sidang. Sebagai kamuflase Sultan Hamid II akan
ditembak tepat sikakinya, yang akan dilaksanakan pada 24 Januari. Namun, hal ini telah
diketahui okeh aparat Integent yang menyebankan Sultan Hannid II ditangkap dan
Westerling meninggalakan Indonesia 22 Februari 1950. Dengan bubarnya Westerling maka
para pengikutnyapun ikut bubar.
2) Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan selanjutnya adalah pemberontakan AndiAzis yang dijalankan oleh
Kapten Andi Azis, bekas ajudan Presiden NTT di Makasar. Sebenarnya 30 Maret 1950 Andi
Azis dengan pasukan dibawah komandonya telah mengabungkan diri dalam APRIS pada
upacara resmi didepaan Letnan Kolonel A.J. Mokoginta, Ketua Komisi Militer, dan Teritorial
Indonesia Timur. Naamun, kurang dari satu minggu saat pengabungannya itu, Andi Azis
malah melakukan pemberontakan. Motifnya karena menolak masuknya pasukan APRIS yang
berasal dari TNI ke Makasar. Saat itu situasi politik di Makasar memang tidak stabil. Karena
demonstrasi kedua kelompok yang bersebrangan, yaitu kelompok anti federal yang menuntut
agar NTT secepatnya membubarkan diri dari RI dan kelompok profederal
berdemmonstrasiuntuk tetapmempertahankan NTT.
Dalam keadaan yang cukup tegang tersebut terdebgar kabar bahwa 5 April 1950
pemerintah RIS mengirimkan 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI dibawah komando
Mayor H.V. Worang ke Makasar untuk menjaga keamanan disana. Berita ini menghawatirkan
pasukan KNIL yang merasa akan terdesak dengan datangnya pasukan ini. Mereka bergabing
dan menamakan diri sebagai Pasukan Bebas dibawah pimpinan Kapten Andi Azis. 5 April
1950 Andi Azis dibawah bantuan anggota Koninklijke dan KNIL menyerang markas APRIS
di Makasar. Karena memiliki pasukan yang lebih unggul dengan APRIS maka dengan
seketika mereka dapat menguasai Makasar, selain itu dipihak pasukan APRIS menjadi korban
dan beberapa perwira termasuk Letnan Kolonel A.J. Mokoginta ditawan.
Untuk menghadapi pembrontakan ini, pada 7 April 1950 pemerintah mengirimkan
pasukan ekspedisi ke wilayah Sulawesi dibawah komando Kolonel A.E. Kawilarang. Pada 8
April, pemerintah mengultimatun Andi Azis dalam waktu 2 x 24 jam untuk melaporkan diri
ke Jakarta guna mempertanggungjawankan perbuatannya. Ia berjanji akan datang ke Jakarta
pada 13 April, namun hal ini tidak pernah terjadi dikarenakan desakan dari Soumokil. Pada
akhirnya ia menyerahkan diri pada Letnan Kolonel Mokoginata dan dibawa ke Jakarta untuk
diadili pada 15 April. Sementara itu, Batalion Worang mendarat di Jeneponto dibawah
kawalan Konvet Banteng dan Hang Tuah. Pasukan ini kemudian bergerak ke Makasar dan
pada 22 April berhasil memasuki kota tanpa adanaya perlawanan.
Pada 26 April mendaratlah pasukan ekspedisi yang beranggotakan 12.000 personel
dibawah Kolonel A.E. Kawilarang di pantai timur, tenggara dan barat Sulawesi Selatan.
Untuk membantu kelancara operasi di darat, APRIS mengerahkan dua pesawat pengebom B.
25 Mitchell, markas komando APRIS ditempatkan di Makasar. Disamping kekuatan
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara pihak Kepolisisan Pusat di Jakarta
mengerahkan dua kompi Mobiele Brigade yang berasal dari Jawa Timur.
Dalam rencana pendaratan APRIS di Sulawesi Selatan dilakukan pembangian tugas
sebagai berikut :
1) Batalion Worang mendarar di Jeneponton menuju Makasar
2) Korvet Rajawali menenbaki Pare-Pare dari selat Makasar
3) Batalion Andi Mattalatta mendarat di Pancana kemudian bergerak di Pare-Pare.
4) Pesawat-pesawat AURIS menembaki kota Makasar
5) Korvet Banteng menembaki Bhontain
6) Brigade Garuda Mataram Divisi II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendarat di
Bhonthain menuju Makasar
7) Brigade 18 Devisi I dibawah pimpinan Letnan Kolonel S. Sukowati mendarat di Balangnipa
dan Sinjai.
Dengan datangnya pasukan ekspedisi ini, keamanan di Makasar berhasil dipulihkan.
Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, karena didalam kota masih ter dapat pasukan KL
dan KNIL yang emnunggu penaarikan keluar kota Makasar. Pasukan ini juga mengadakan
provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS. Pertempuran antara APRIS dan
KNIL terjadi pada 15 Mei 1950, dimana APRIS berhasil memukul undur lawannya.
Walaupun demikian bentrokan senjata masih terjadi di Matoangin, Mariso, Boomstraat, dan
Markas Staf KNIL di Hogepad. Kemudian pasukan APRIS mengadakan pengepungan
terhadap tangsi-tangsi KNILkarena mereka tetap bersikap profokatif. Dengan pertimbangan
bahwa pertempuran mungkin akan terjadi di kota Makasar, Komandan APRIS sektor
Makasar Letkol Soeharto memerintahkan tiap-tiap sunsektor untuk mengirimkan satu kompi
pasukan kekota.
Untuk mengatasi kemelut tersebut, 18 Mei 1950 diadakan perundingan antara
pemimpin APRIS dengan Kolonel Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution sebagai
wakilnya dan KNIL diwakili oleh Kolonel Pereira. Dalam perundingan tersebut disepakati
untuk untuk melakukan penjagaan bersama oleh Polisi Militer (PM) dari pihak APRIS dan
MP atau Militer Politie dari pihak KNIL, di daerah-daerah tangsi KNIL. Di daerah tersebut
KNIL tidak boleh keluar dan sebaliknya prajurut APRIS tidak boleh masuk. Hasil ini hanya
ditaati selama beberapa bulan. Pertempuran kembali terjadi, karena tindakan anggota KNIL
menembak mati seorabg perwira APRIS. Letnan Jan Ekel pada 1 Agustus 1950.
Pertempuran meletus pada 5 Agustus ketikaa markas staf Brigade Garuda Mataram
tiba-tiba diserabg oleh KNIL. Tanggal 8 Agustus KNIL-KL sudah sangat lemah, menyadari
kedudukannya yang kurang baik maka 8 Aagustus ppihak KL KNIL meminta untuk diadakan
perundingan, yang diadakan antara Kolonel Kawilarang dan Mayor Jendral Schefellar dari
KL-KNIL. Hasil dari perndingan ini adalah kedua oihak setuju untuk memberhentikan
tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus sudah
meninggalkan Makasar.
3) Pemberontakan RMS
Gerakan separatis Republik Maluku Selatan yang tidak hanya ingin memmisahkan
diri dari NTT, tapi juga dari RIS. Pendiri dari RMS adalah Dr. Christian Robert Steven
Soumokil yang tidaklain adalah bekas Jaksa Agung di NTT.
Pada tanggal 4 April Ir. Manusama mengadakan rapat rajapatoo, dalam rapat tersebut
dikemukakan bahwa pengabungan Maluku selatan dengan wilayan Indonesia lainnya
mengundang bahaya. Untuk memperingatkan hal ini pada seluruh masyarakat Ambom maka
tanggal 18 April 1950 diadakan kembali rapat umum berkat persetujuan dari para rajapati.
Perkembangan setelah rapat ini lebih di dominasi oleh Soumokil, perannya secara
aktif dalam proses pembentukan RMS tampak ketika ia mengadakan rapat rahasia di Tulehu,
yang juga dihadiri para pemuka KNIL dan Ir. Manusama itu Soumokil menganjurkan agar
KNIL bertindak. Seluruh anggita Dewan Maluku Selatan disarankan untuk dibunuh,
kemudian daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah merdeka. Namun sebagian besasr
menolak pembunuhan tersebut, untuk melaksanakan proklamisi disarankan agar pemerintah
daerah lah yang melakukannya. Pada rapat kedua karena paksaan dari pasukan KNIL, J.
Manuhutu hadir dalam rapat tersebut.
Sampai bulan April di Ambon terdapat 2.000 orang anggota KNIL. Terdapat pula
kelompok yang dikirim kesana dengan tujuan lain. Suatu saat terjadi kekacauan antara
anggota KNIL dengan pemimpinnya yang berkebangsaan Belanda. Untuk mengatasinya,
Kementrian Pertahanan RIS menggirim Letkol Tahinya yang mencatat anggota KNIL yang
ingin masuk dalam APRIS.
Sebelum dilaksanakannya prolamasi RMS, dilancarkan propaganda-propaganda oleh
Gabungan Serangkai yang beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar. Menjelang
proklamasi 24 April 1950 Soumokil berhasil menghimpun kekuatan pada masyarakat Maluku
Selatan. Pemerintah RIS berusaha mengatasi masalah ini dengan jalan damai melalui Dr.
Leimena, namun hal ini ditolak oleh Soumokil. Tanggal 12-13 Juni 1950 dalam tujuan untuk
membendung meluasnya pengaruh RMS diadakan Konferensi Maluku di Semarang. Dalam
tersebut para politikus Mbon umumnya adalah tokoh pada masa pergerakan nasional yang
menganjurkan agar masyarakat Maluku mengirmkan misi perdamaian ke Ambon. Gagasan
ini tidak disetujui oleh para pemuda dan kelompok perjuangan dan menyarankan agar
pemerintah melaksanakan operasi militer.
Pada tanggal 14 Juni, pasukan ekspedisi APRIS dibawah pimpinan Kolonel
Kawilarang mendarat di Namlea, Pulau Baru. Pasukan ini berhasil menerobos pos-pos
penting di Pulau Buru, komandan pasukan RMS menyerah dalam perlawanannya dengan
Kolonel Kawilarang. Setelah itu dilanjutkan lagi menuju Seram pada 19 Juni dan dengan
mudah wilayah Seram Barat dapat langsung dikuasai. Tanggal 28 September pasukan
ekspedisi mendara di Ambon, dan dengan demikian wilayah Ambon utara berhasil dikuasai.
Serangan dilanjutkan ke Teluk Passo. Dalam serangan itu pasukan dibagi menjadi tiga grup,
grup I dipimpin Mayor Ahmad Wiranatakusumah, grup II dipimpin Letnan Kolonel Slamet
Riyadi, grup III dipimpin Mayor Surjo Subadrio. Grup III berhasil menguasai lapangan
terbang Laha, grup II mendarat di Tulehu dan pada 3 Novenber grup I berusaha merebut
benteng Nieuw Victoria, pada saat itu juga Ambon dapat ditahlukan melalui pertempuran
yang dramatis.
Dengan jatuhnya Ambon, perlawanan RMS praktis telah ditahlukan. Banyaknya
tokoh yang melarikan diri ke pedalaman pulau Seram dan selama beberapa tahun
mengadakan serangkaian pengacauan.
4) Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII terjadi di beberapa daerah diantaranya adalah sebagai berikut :
a) DI/TII Jawa Barat
Pemberontakan dengan motof agama Islam ini muncul di Jawa Barat dengan
pemimpinnya Sekarmadji Maridjan Kartisuwiryo, tokoh partai PSSI tahun 1930. Tanggal 7
Agustus 1949 ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesi yang kemudian lebih
dikenal dengan Darul Islam di Tasikmalaya. Seletah porolamasi kemerdekaan, Kartosuwiryo
menjadi anggota Partaii Masyumi.
Pada tanggal 14 Agustus 1947, Kartosuwiryo menyatakan perang sucidengan
Belanda. Ia membagi wilayahnya dengan Daerah I, Daerah II dan Daerah III. Dalam
konferensi Cisayong yang diselenggarakan pada Februari 1948 diputuskan untuk merubah
gerakan mereka dari kepartaian menjadi bentuk kenegaraan serta membekukan Masyumi di
Jawa Barat. Melalui Majelis Umum Islam kemudian dibentuk, Kartosuwiryo diangkat
sebagai imam dalam NII. Selanjutnya dibentuk angkatan perang yang diberi nama Tentara
Islam Indonesia.
Pemerintah RIS berusaha menyelesaikan pemberontakan Kartosuwiryo dengan jalan
damai. Dibentuk sebuahpanitia dengan anggota Zainul Arifin, Makmum Sumadipradja dan
Kolonel Saadikin. Namun usaha ini gagal, begitupun dengan usaha wali Alfatah pada masa
Kabinet Natsir. Kartosuwiryo bersedia berunding apabila pemerintah mengakuui eksistensi
NII. Gagalnya usaha damai ini kemudia membuat TNI melancarkan Operasi Merdeka.
Serangan DI/TII belum dihadapi dengan tektik anti griliyanya. Disampin itu kekuatan TNI
juga pecah karena sebagian pasukan dikirim keluar Jawa untuk menghadapi DI/TII Sulawesi
dan Aceh.
Tahun 1957 menjadi titik balik dari DI/TII setelah TNI menyusun Rencana Pokok 21.
Intinya adalah menahan DI/TII di daerah tertentu untuk selanjutnya dihancurkna. Operasi in
dimulai di Banten dan dilanjutkan kearah timur, rakyat juga diikutsertakan untuk mencegah
masuknya anggota DI/TII ke desa-desa. Taktik ini berkembang menjadi Operasi Pagar Betis
yang berhasil membatasi kegiatan gerombolan.
b) DI Jawa Tengah
Pemberontakan didaerah Jawa Tengah khususnya daerah pekalongan dengan
pemimpin Amir Fatah pada bulan Agustus 1948 membawa tiga kompi pasukan Hisbullah ke
daerah pekalongan. Untuk menghimpun kekuatan ia mendirikan Majelis Islam dan pasukan
bersenjata Mujahidin. Ia memproklamasikan berdirinya negara Islan Jawa Tengah sebagai
Negara Islam pimpinan dari Kartosuwiryo. Bumiayu dijadikan sebagai basis pasukan
pertahanannya. Serangan terhadap pos-pos TNI mulai dilakukan termasuk di Pekalongan.
Untuk menghadapi pemberontakan ini, TNI melancarkan operasi terhadap konsentrasi
pasukan DI di Tembangrejo dan Pengarasan. Akibatnya, kekuatan DI melai melemah. Tahun
1950 TNI mulai membentuk komando tempur yang disebut Gerakan Banteng Negara (GBN)
denga pemimpinnya Kolonel Sarabini. Tujuan utamanya adalah memisahlan DI Jawa Tengah
dan DI Jawa Barat. Dalam operasi ini Amir Fatah tewas tanggal 22 Desember 1950 dalam
perjalanan ke Jawa Barat untuk bergabung dengan Kartosuwiryo.
c) DI/TII Aceh
Awal tahun 1951, setelah RIS bubar dan kembali kenegara kesatuan status Aceh
kembali menjadi daerah kepresidenan dalam lingkup provinsi Sumatra Utara. Hal ini sangat
mengecewakan Daud Beureuh dan anggota Pusat Ulang Seluruh Aceh. Sejak itu ia mulai
membangun kekuatan untuk melawan pemerintah.
Pada 21 September 1953 Daud memproklamasikan Aceh sebagai daerah bagian dari
NII dibawah pimpinana Kartosuwiryo. Serangan paling hebat dilancarkan pada kota
Takengon yang dapat dikuasai selama tiga bulan.
Untuk menghadapi pemberontakan ini TNI mendatangkan pasukan dari Sumatra
Utara dan Sumatra Tengah. Begutu pula kepolisian Negara mengerahkan satuan Brigade
Mobil. Pada akhir Nivember 1953, kota-kota yang dikuasai oleh DI direbut kembali oleh
pemerintah. Para pemberontak mengundurkan diri ke hutan dan melakukan sabotase terhadap
alat-alat perhubungan, meneror rakyat. Untuk menangannii hal ini KMDA Letnan Kolonel
Sjamaun Gaharu mengadakan kebijakan yang disebut Konsepsi Prinsipil Bijaksana. Intinya
adalah menerima dengan tangan terbuka para pemberontak yang menghentikan perlawanan
dan menghancurkan mereka yang masih membangkang. Pendekatan persuasif dilakukan
dengan beberapa tokoh DI. Pada tanggal 5-7 Juli 1957 Sjamaun Gaharu dengan M. Insja
mengadakan pertemuan dengan tokoh DI, yakni Hasan Saleh, Hasan Ali, Ghani Mutiara,
Ustad Amin, dan Pawang Leman di Desa Lamteh. Yang menghasilkan ikrar Lamteh yang
intinya adalah kedua pihak bersedia untuk menghentikan bakutembak dan mengusahakan
jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh.
Ikrar Lamtehmenyebabkan perpecahan di kalangan DI. Kelompok Hasan Saleh
bersedia berundiing dengan pemerintah namun Daud Beureuh menolak. Mei 1959
pemerintahmengirim misi yang dipimpin M. Hardi untuk dengan kelompok Hasan Saleh.
Hasil penting dalam perundingan itu adalahpemerintah akan memberikan status istimewa
untuk Aceh, tetapi Daud Berudeuh menolak dan terus melanjtkan pemberontakannya.
d) DI Sulawesi Selatan
(1) Pemerontakan Kahar Muzakkar.
Awal pemberontakan Kahar di Sulawesi Selatan bermula dari rencana Pemerintah
membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke
masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan
kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di
bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan
bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat
Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia
dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.
Selama bergerilya di hutan Kahar beserta pengikutnya yang mengatas namakan
Tentara Islam Indonesia melakukan banyak hal-hal yang menyimpang. Diantaranya
pembersihan berdarah terhadap kaum bangsawan perampasan hak milik rakyat, beupa emas,
tanah, dah harta benda lainnya untuk digunakan membeli peralatan pergerakan yakni senjata
dan biaya lainnnyaselama bergerilya.
Selanjutnya hal yang sangat membuat Pemerintah Indonesia waktu itu sangat marah
yakni tindakan Kahar Muzakkar yang memproklamasikan Negara RPII pada 14 Mey 1962,
dengan mengangkatdirinya sebagai Khalifahnya. Selanjutnya Kahar membentuk kabiet RPII
dengan beberapa menteri seperti, Menteri Muda Pertahanan Sanusi Daris, Menteri Kehakman
H. Djunaidi Sulaeman, dan beberapa menterilainnya.
(2) Penumpasan Pemerontakan Kahar Muzakkar.
Karena pergerakannya dinilai sudah separatis dan bertentangan dengan Negara, TNI
kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan KaharMuzakkar diSulawesi
Selatan ini. Sebelumnya beerapa kali ajakan damai diajukan oleh petinggi Sulawesi Selatan
misalnya A. Sose akan tetapi Kahar beserta pengikutnya tidak menyetujuia hingga pada
akhirnya pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak
mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal
Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan
para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah,
jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.
c. Krisis Yang Memuncak
1) Pergolakan di Daerah
Pada akhir tahun 1956 dan awal 1957 di beberapa daerah Sumatra dan Sulawesi
mucul gerakan-gerakan yang menentang pemerintah hal ini dikarenakan oleh alpikasi biaya
pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah. Awal terjadinya pergolakan di daerah
merupakan gerakan sparatis yang bertujuan memisahkan diri dai pemerintah RI yang sah.
Adapun latar belakang terjadinya pergolakan di daerah antara lain :
a) Anggapan bahwa pembangunan hanya dipusatkan di Pulau jawa.
b) Pertentangan politik yang berlarut-larut, antar politik saling menjatuhkan.
c) Lahirnya konsepsi presiden Soekarno tahun 1957 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
yang sangat menguntungkan PKI
Gerakan yang pertama terbentuk adalah Dewan Banteng di Padang, Dewan Garuda
di Palembang, Dewan Gajah Medan, Dewan Manguni di Manado, dan Perjuangan Rakyar
Semesta di Makasar. Berikut adalah penjelasan dari gerakan-gerakan yang terjadi di daerah :
a) Dewan Banteng
Pembentukan Dewan Banteng dilaksanakan pada tanggal 20-25 Novenber 1956
dengan Letnan Kolonel Adan Husein sebagai pemimpinnnya. Dalam pertemuan ini juga
mengenai usah apembangunan daerah yang akan dilakukan dengan potensi ekonomi yang
seluas-luasnya.
Pada sidang pemerintah daerah, Dewan Banteng menyarankan agar pembanguan
daerah Sumatra Utara diberikan otonomi seluas-luasnya. Juga diharapkan adanya penelitian
mengenai penempatan pejabat-pejabat daerah. Dibidang pertahanan daerah diusulkan agar
dibentuk komando pertahanan daerah yang berfungsi sebagai komando utama dalam arti
teritorial, operatif dan inisiatifsesuai dengan pembagian administratif Negara Republik
Indonesia. Selain itu diusulkan pula agar eks-devisi Banteng dijadokan korps dalam Angkatan
Darat. Dalam bidang ekonomi pemerintah menghendaki dihapuskannya sistem sentralisasi
yang menimbulkan birokrasi yang kurang sehat.
Hasil dari pertemuan ini kemudian dilapotkan ke Jakarta oleh delegasi yang terdiri
dari Kolonel Dahlan Djambek, A. Halim, Dahlan Ibrahim, Sidi Bakarudin dan Ali Lubis.
Tanggal 28 Novenber 1956 delegasi ini berhasil bertemu dengan perdana mentri Ali
Sastroamidjojo, kemudian Dr. Moh. Hatta dan Mr. A.G. Pringodigdo, namun tidak berhasil
menemui presiden Soekarnao. Sementara itu tanggal 20 November 1956 Letkol Ahmad
Husain selaku ketua Dewan Banteng mengambil alih pemerintahan daerah Sumatra Tengah
dari Gubernur Ruslan Muljihardjono. Alasannya bahwa Gubernur yang ditunjuk oleh
pemerintah pusat kurang berhasil dalam membangun daerah Sulawesi Tengah.
Untuk mengatasi masalah Dewan Banteng pemerintah mengutus misi ke Sumatra
Tengah yang disebut Komisi Penyelidik Keadaan, terdiri dari Kolonel Dahlan Djambek,
Kolonel Abdul Latif, dan Soeleman Efendi dari Kepolisian Negara. Tugas utamanaya adalah
mengadakan pengajakan dan penyelidikan tentang dasar-dasar tuntutan yang disalurkan
melalui dewan Banteng. Namun Ahmad Husain tidak mau berbicara dengan kelompok misi
tersebut, ia hanya mau berbicara dengan delegasi yang resmi dari Kepala Negara.
Untuk memecahkan masalah di Sumatra Tengah pemerintah masih menempuh jalan
perundingan yaitu dengan mengirimkan delegasi dibawah Menteri Pertanian Eny Karim.
Delegasi ini mengalami kegagalan karena tidak dapat bertemu dengan pimpinan Dewan
Banteng. Selanjutnya atas prakarsa dari Dewan Banteng dan Dewan Gajah diadakan Kongres
Rakyat Jambi, yang akhirnya diambil keputusan bahwa daerah Jambi dinyatakan sebagai
daerah otonom setingkat dengan profinsi meskipun administrasinya masih dibawah
pengawasan profinsi Sumatra Tengah.
b) Dewan Gajah
Tanggal 22 Desember 1956, tepatnya dua hari setelah terjadinya pengambilan
pemerintahan di Sumatra Tengah, Panglima TT-I Kolonel Simbolong, di Medan
mengumunkan terbentuknya Dewan Gajah dengan ia sebagai pemimpinnya. Dalam pidatonya
melalui radio RRI Medan, Simbolon menyatakan bahwa Dewan Gajah memutuskan
hubungan denga pemerintah pusat. Alasn pembentukan dewan ini adalah situasi dan kondisi
pada saat itu sangat kritis sebab keadaan bangsa dan negara mengalami kekacauan.
Menanggapi peristiwa ini Presiden Soekarno menyerukan kepada Simbolon agar kembali ke
jalan yang seharusnya ditempuh oleh anggota tentara. Namun ini tidak dihiraukan oleh
Simbolon. Ia malah menuntut agar kerukunan Dwitunggal Soekarno-Hatta dipulihkan
kembali serta menuntut agar Presiden RI langsung beraada dibawah kendali Dwitunggal. Hal
ini membuat para tentara dari beberapa perwira serta pejabat di Sumatra Utara
menentangnya. Kepala Staf TT I Letkol Djamin Gintings bersama Letkol Wahab Makmur
menentang tindakan ini karena dirasa telah melanggar hukum. Kabinet Ali Sastroamidjojo
kemudian memecat Kolonel Maludin Simbolon dari jabatannya sebagai Panglima TT-I.
Dengan mundurnya Simbolon serta serta anak buahnya ke luar kota medan praktis membuat
Dewan Gajah telah dilumpuhkan.
c) Dewan Garuda
Selain itu pergolakan juga terjadi di Sumatra Selatan, sekelompok politikus yang
berhasil mempengaruhi pimpinan militer setempat mencetuskan Piagam Pembangunan
Sebagai wadah untuk menampung segala aspirasi daerah. Kemudian dibentuk Dewan
Garuda, dan menuntut kepada pemerintah pusat agar daerah Sumatra Selatan diberi otononi
yang seluas-luasnya. Dan menuntut adanya kerukunan kembali antara Dwitunggal dalam
mengendalikan pemerintahan RI.
Letkol Berliaan selaku pejabat TT II mengeluarkan keputusan bahwa daerah Sumatra
Selatan dalam keadaan bahaya. Gubernur Sumatra Selatan, Winarno Dhanuadmojo diminta
untuk menyerahkan jabatannya guna memperlancar pembangunan di daerah tersebut,
Aktifitas Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Wakil Ketua Staf TT II Myor
Nawawi.

d) Dewan Manguni
Dewan Manguni terbentuk pada akhir tahun 1956 di Manado, dewan ini terbentuk
atas inisiatif dari Kapten G.K. Montolalu dan kawan-kawannya. Dewan ini kemudian
bergabung dengan Pemesta.
e) Perjuangan Rakyat Semesta
Pergolakan juga terjadi di wilayah Indonesai Timur. Tanggal 2 Maret 1957 di Makasar
panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjuangan Rakyat
Semesta. Wilayahnya meliputi Sulawesi NTT dan Maluku. Guna memperlancar pelaksanaan
programnya Letkol Samual menyetakan Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya.
Semua dewan pemerintah diambil alih oleh kalangan militer.
Peristiwa yang terjadi saat itu sangat melemahkan kedudukan Kabinet Ali II. Pada
tanggal 14 Maret 1957 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya
kepada presiden Soekarno. Dalam keadaan genting tersebut muncul berbagai pergolakan
didaerah, kemudian Presiden Soekarno mengumumkan berlakunya SOB dengan demikian
angkatan perang mendapat wewenag khusus untuk mengamankan negara.
Untuk meredam pergolakan daerah, tanggal 10-14 September 1957 diadakan
Musyawarah Nasional yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional baik usat maupun daerah,
hadir pula bekas Wakil Presiden Moh. Hatta. Musyawarah ini berhasil mengambil keputusan
yang mengambarkan suasana saling pengertian. Pada upacara penutu[pannya yaitu 14
September 1957dibicaraskan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh Presiden
Soekarno dan mantan wakil Presiden Moh. Hatta.
Untuk membantu persoalan Angkatan Darat dibenetuklah Panitia Tujuh. Yang terdiri
dari Panglima Tertinggi Presiden Soekarno, Drs. Moh Hatta, Perdana Menteri Djuanda, Wakil
Perdana Menteri Dr. Leimena Menteri Kesehatan Kolonel Dr. Aziz Saleh, Sultan
Hamengkobouno IX dan KSAD Jendral Mayor A.H. Nasution. Tugas panitia ini adalah
menyelesaikan masalah angkatan Darat. Setelah mengadakan sidang pertama disepakati
beberapa keputusan yaitu :
(1) Menetapkan pedoman kerja
(2) Membentuk panitia pengumpulan bahan-bahan yang terdiri dari Kolonel A.J. Mokoginta,
Kolonel Sudirman
(3) Menginstruksikan kepada seluruh anggota Angatan Darat untuk tidak melakukan tindakan
yang akan menyulitkan dalam penyelesaian masalah ini
(4) Menginstruksikan kepada seluruh anggota Angatan Darat untuk mengusahakan
terpeliharanya pekerjaan rutin.
(5) Menyuruh kepada seluruh anggota Angkatn Darat dan seluruh masyarakat untuk berihtiar
kearah kelancaran Panitia Tujuh
Belum sempat Panitia Tujuh mengumumkan hasi dari pekrjaannya, terjadi percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno tanggal 30 November 1957 yang dikenal dengan
peristiwa Cikini. Selain menimbulkan banyak korban anak sekolah juga korban lain Inspektur
Polisi I Oding Suhendar yang tewas akibat tekena granat.
2) Pemberontakan PRRI dan Permesta
Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa
daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat.
Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer.
Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual
memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut
ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan
Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur
dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957
dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di
pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah,
ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta.
Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan
Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah.
Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia
Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah
peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang
bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari
pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di
Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958
diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad
Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
a) Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
b) Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk
membentuk Zaken Kabinet.
c) Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk
menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam
pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel
Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution
mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya
dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara, pada 15 Februari 1958 Achmad Husein memproklamasikan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai Perdana
Menteri. Komandan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggah
(KDMSUT) Letnan Kolenel D.J Smbah mengeluarkakn pernyataan bahwa sejak 17 Februari
1958 wilayah Sumatra Utara dan Sumatra Tenggah memisahkan diri dengan pemerintah pusat
serta mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD
memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI
ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi
pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada
tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan
ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali.
Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak
anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk menumpas pemberontakan Pemesta, angkatan perang melancarkan operasi
militer yaitu Operasi Merdeka yang merupakan gabungan tiga angkatan dibawah pimpinan
Kolonel Letnan Rukminto. Operasi ini tersiri atas operasi Saptamarag I, II, III, IV dan
Operasi Mena I,II. Sebelum operasi pokok dilancarkan terlebih dahulu dilakukan operasi
insyaf di Sulawesi Tengah dengan dipimpin oleh Letnan Kolonel Jonosewojo. Yang berhasil
meguasai kota Palu pasa 18 April 1958. Kemudian dilanjutkan dengan operasi Saptamarga
I,pada bulan Juni seluruh daerah Sulawesi Tenggah sudah dapat dikusai.
Operasi Saptamarga II dibawah pimpinan Mayor Agus Prasmono ditujukan untuk
menahlukan wilayan Gorontalo yang akhirnya dapat dikuasai pada 18 Mei 1958. Operasi
Saptamarga II dibawah Letnan Kolonel Magenda berhasil menguasai kepulauan Sangir
Talaud. Kemudian bergabung dengan Operasi Saptamarag IV yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Rukminto dengan sasaran utama adalah Manado yang merupakan basis Pramesta
yang pada 26 Juni 1958 wilayah ini dapat dikuasai APRI.
Operasi Mena I dibawah pimpinan Letnan Kolnel H. Pieters dengan target Jailolo
yang dapat dikuasai pada 3 Juni 1958. Sedangkan Operasi Mina II dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Hunholz dengan target lapangan udara Morotai yangdapat dikuasai pada 20 Mei
1958.
Dengan dikuasainya daerah-daerah tersebut, parktis Pramesta menjadi lumpuh. Secara
keseluruhan perlawanan ini berakhir pada tahun 1961 ditandai dengan menyerahnya para
pemimpin Pramesta.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1959, Indonesia menggunakan Undang
Undang Dasar Sementara 1950 sebagai dasar negaranya. UUDS tersebut dumulai pada 17
Agustus 1950 sampai dengan lahirnya dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang dikeluarkan
Presiden Soekarno.
Pemberlakuan Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut dimulai pada saat
Republik Indonesia Serikat berakhir karena adanya demo besar-besaran dari rakyat yang
menuntut kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
akhirnya pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat dan kembali menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara sejak
17 Agustus 1950, dengan menganut sistem kabinet parlementer.
Pada tahun 1950 itu juga dibentuk sebuah badan konstituante yang bertugas membuat
dan menyusun Undang Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950, namun
sampai akhir tahun 1959, badan konstituante tersebut belum berhasil merumuskan Undang
Undang Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5
Juli 1959 yang isinya membubarkan badan konstituante tersebut, sekaligus menegaskan pada
tahun itu juga bahwa Indonesia kembali ke Undang Undang Dasar 1945, serta membentuk
MPRS dan DPRS.
Pada masa Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diberlakukan, gejolak
politik yang panas menimbulkan berbagai gerakan yang politik yang tidak stabil, sehingga
kabinet pemerintahanpun ikut kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7
kali pergantian kabinet.
Sejak pengakuan kedaulatan pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah yang
berkaitan dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia.Pemerintah
Indonesia masih menghormati kepentingn historis dunia usaha Belanda di Indonesia. Hal ini
banyak mendapat tentangan dari para pemimpin revolusioner Indonesia. Banyak desakan
agar Indonesia menutup perusahaan-perusahaan swasta Belanda, dan sekaligus mendorong
usaha swasta pribumi.Sehingga diharapkan dapat mengubah ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.
Akibat tidak stabilnya politik, maka defisit anggaran pemerintah semakin besar. Hal
ini ada kecenderungan pemerintah mencetak uang baru. Akibatnya, inflasi membumbung
tinggi dan mengancam kehidupan ekonomi Indonesia. Harga terus meningkat didikuti dengan
kenaikan upah, sehingga kemungkinan ekspor semakin berkurang.Untuk mengatasi inflasi,
pemerintah melakukan pemotongan uang (sinering) pada tanggal 19 Maret 1950. Uang yang
ada di bank setengahnya diganti dengan obligasi Republik Indonesia 1950. Uang yang ada
diperedaran digunting jadi dua, hanya yang kiri yang berlaku, dengan harga setenganhnya
dari harga semula.Hal ini bertujuan agar orang kecil tidak terlalu merugi. Sebagai akibat
sinering maka uang 1,5 milyar rupiah ditarik dari peredaran.Dengan uang itu pemerintah
dapat membayar utang sebagian kepada Bank Sentral.
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam
bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah
membuka banyak universitas yang disebarkan di daerah. Selain itu juga terjadi perkembangan
pada hal bahasa dan sastra indonesia yang akhirnya melandasi berkembangnya media
komunikasi di Indonesia. Dalam bidang seni juga mengalami perkembangan yaitu adanya
organisasi pelukis yang didirikan di Yogjakarta.
Kembalinya ke Negara Kesatuan juga berdampak pada sebagian tokoh dari Negara
bagian ingin tetap mempertahankan sebagai sebuah Negara yang berdiri sendiri dengan cara
mengadakan pemberontakan-pemberontakan.. Sehingga hal ini menjadi gangguan dan
ancaman keamanan dalam negeri. Pemberontakan yang terjadi selama masa demokrasi
perpimpin diantaranya seperti pemberontakan APRA, Pemberontakan Andi Azis,
Pemberontakan RMS, Pemberontakan DI/TII, Pemberontakan PRRI dan Permesta.

Anda mungkin juga menyukai