ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber kekayaan alam yang
sangat besar, yang salah satunya adalah di bidang kelautan dan perikanan. Potensi di
bidang kelautan dan perikanan belum sepenuhnya termanfaatkan secara optimal untuk
mewujudkan ketahanan pangan nasional sehingga dibutuhkan perubahan paradigma
dalam pengelolaannya. Perubahan paradigma ini mencakup perubahan pandangan
bahwa laut adalah milik bersama seluruh rakyat dan bahwa negara sebagai wakil dari
seluruh rakyat memiliki tanggung jawab untuk menyediakan sumber daya manusia
kelautan dan perikanan yang cerdas dan cukup, teknologi yang handal dan memadai,
iklim pasar yang kondusif serta menjaga agar sumber daya laut ini dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan dan hak dasar dari setiap manusia. Ketahanan
pangan adalah akses setiap orang sepanjang waktu pada pangan yang cukup jumlahnya,
bermutu dan aman untuk hidup sehat (World Food Summit, 1996 dalam Jaya, 2009).
Sedangkan menurut UU No 7 tahun 1996, ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan
meliputi komoditas tanaman, peternakan dan perikanan; yaitu segala sesuatu yang
berasal dari sumberdaya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Mutu pangan
adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan
baku mutu perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
Menurut Hariyadi (2011), aspek ketahanan pangan meliputi tiga hal yaitu: (1).
Ketersediaan pangan, yang meliputi: kecukupan jumlah, kecukupan mutu, kecukupan
gizi dan keamanan, (2). Keterjangkauan, yang meliputi: keterjangkauan fisik, ekonomi
dan sosial, kesesuaian dengan referensi, kesesuaian kebiasaan dan budaya dan
kesesuaian dengan kepercayaan, (3). Kecukupan Konsumsi, yang meliputi: kecukupan
asupan (intake), kualitas pengolahan pangan, kualitas sanitasi dan higiene, kualitas air
dan kualitas pengasuhan anak.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
PERMASALAHAN PANGAN
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi
kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi
mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh
rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup
sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi
berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi
kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi
ketahanan pangan di negara Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain
oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi
2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari
rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa
untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta
dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Khomsan, 2003)
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk di dunia. Pada tahun 1930, penduduk dunia hanya 2 miliar dan 30
tahun kemudian pada tahun 1960 baru mencapai 3 miliar. Lonjakan penduduk dunia
mencapai peningkatan yang tinggi setelah tahun 1960, hal ini dapat dilihat dari jumlah
penduduk tahun 2000an yang mencapai kurang lebih 6 miliar orang, tentu saja dengan
pertumbuhan penduduk ini akan mengkibatkan berbagai permasalahan diantaranya
kerawanan pangan. Di Indonesia, permasalah pangan tidak dapat dihindari, walaupun
sering disebut sebagai negara agararis yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia, hal ini
seiring dengan meningkatnya penduduk. Bahkan dua peneliti AS pernah menyampaikan
bahwa pada tahun 2100, penduduk dunia akan mengahadapi krisis pangan (Nasoetion,
2008). Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya permasalahan yang
menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Berkurangnya lahan pertanian
yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan
tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam
bidang pangan.
Menurut Jaya (2009), beberapa permasalahan pangan di Indonesia diantaranya
adalah sebagai berikut:
(1) Inkonsistensi dan sinergi kebijakan ketahanan pangan antar sektor dan antar pusat
maupun daerah.
(2) Program ketahanan pangan yang sesuai dan bisa diandalkan untuk pencapaian
target MDGs.
(3) Pengembangan teknologi, SDM dan kelembagaan bagi ketahanan pangan.
(4) Produksi dan produktivitas pangan rendah.
(5) Efisiensi distribusi, perdagangan dan pemasaran produk pangan antar waktu dan
wilayah.
(6) Rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan yang terkait dengan tingginya
kemiskinan dan pengangguran.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
(7) Rendahnya konsumsi pangan
(8) Mutu gizi pangan penduduk, terutama kelompok rawan dan miskin.
(9) Keamanan pangan, terutama penggunaan bahan berbahaya.
(10) Pengetahuan dan perilaku penganekaragaman pangan yang belum memadai.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tingkat exploitasi sumber
daya ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan Indonesia tidak sama.
Tabel 2. Tingkat Exploitasi Sumber Daya Ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia
Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa ada kawasan yang sudah
overfishing, misalnya di Laut Jawa. Hal ini menyebakan penghasilan nelayan di
kawasan itu menjadi relatif rendah. Hal lain yang juga menambah masalah yaitu di
Laut Jawa jumlah nelayannya adalah yang terbanyak. Sementara kawasan yang masih
Underexploited atau Moderate adalah di kawasan yang relatif jauh, sulit dijangkau
atau bergelombang besar misalnya di Laut Banda atau Samudra Hindia (Barat
Sumatera), sehingga umumnya baru dinikmati nelayan berteknologi tinggi yang
umumnya dikuasai oleh pemodal asing.
Dengan kondisi yang berbeda tersebut mengakibatkan volume hasil tangkapan
di laut menjadi bervariasi. Tabel 3 menunjukkan distribusi volume produksi perikanan
tangkap menurut provinsi, yaitu dari hasil yang dilaporkan pada Dinas Kelautan dan
Perikanan setempat.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Tabel 3. Volume Produksi Perikanan Tangkap di Laut Menurut Propinsi
Tabel 4 menunjukkan data serupa untuk perikanan budidaya, yang hasil total di
Indonesia mencapai 3,2 juta ton pada tahun 2007, sedangkan Tabel 5 menunjukkan
potensi perikanan budidaya. Dengan menggabungkan Tabel 4 dan Tabel 5 memberikan
kemungkinan akan didapatkan data produktifitas lahan perikanan di tiap tempat, yang
mungkin berkorelasi dengan kemampuan sumber daya manusia, teknologi yang
digunakan serta faktor alam.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Tabel 4. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Provinsi
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Tabel 5. Potensi Lahan Budidaya di Indonesia Menurut Provinsi
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
adalah Rp. 12.881,- pada tahun 2005, sementara untuk daging adalah Rp. 6.716,- Jadi
kalau dihitung dengan rupiah, nilai rata-rata produk ikan adalah sekitar Rp. 4000 / kg
sehingga nilai total produk perikanan Indonesia adalah sekitar Rp. 31,6 Trilyun.
Bila dibandingkan secara internasional, produk perikanan Indonesia baru sekitar
10% dari Cina negara yang lebih banyak mencari ikan di perairan Internasional (Tabel
7).
Tabel 6. Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditi Utama
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
angka export dan domestik ini digabungkan, dengan kurs Rp. 10.000 / US$, didapatkan
angka total Rp. 54,6 Trilyun.
Nilai ini adalah nilai yang mengalir di rumah tangga nelayan dan perusahaan
perikanan yang untuk perikanan tangkap maupun budidaya mencapai 2,3 juta buah.
Jadi angka rata-rata penghasilan mereka per tahun adalah setara Rp. 23,7 juta per rumah
tangga. Bila setiap rumah tangga nelayan terdiri dari 4 anggota keluarga, maka
penghasilan perkapita mereka adalah Rp. 5,9 juta per tahun atau atau Rp. 16.260,- per
hari. Kalau menurut standar Bank Dunia, angka penghasilan di bawah 2 US$ (Rp.
20.000) per hari adalah sudah di bawah garis kemiskinan. Kenyataannya memang
nelayan sering merupakan yang termiskin dalam strata sosial di Indonesia, bahkan lebih
memiriskan lagi.
Kondisi ini terjadi dimungkinkan karena tiga hal pokok yaitu:
(1) distribusi kemampuan modal dan teknologi nelayan sangat timpang. Sebagian besar
nelayan adalah nelayan bermodal kecil, tidak terdidik, lemah teknologi, mudah
goncang oleh perubahan cuaca maupun kenaikan harga bahan bakar, dan terindas
oleh rentenir dan lintah darat.
(2) distribusi sebaran wilayah nelayan yang tidak merata, sehingga di suatu lokasi sudah
overfishing maupun alamnya telah rusak akibat pencemaran maupun penggunaan
teknik penangkapan ikan yang merusak, namun di lokasi lain masih kurang tergali,
atau justru dimanfaatkan oleh illegal fishing asing berteknologi tinggi, yang patroli
angkatan laut tidak mampu mencegahnya.
(3) sistem pasar yang hanya menguntungkan pengusaha perikanan besar, yang
umumnya milik asing, tetapi tidak menguntungkan para nelayan, negara maupun
konsumen akhir.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Dengan ini semua, maka kiranya diperlukan suatu alternatif manajemen
pengelolaan perikanan yang dilandasi oleh perspektif yang agak berbeda.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Mereka yang berhasil melakukan terobosan teknologi harus diberi penghargaan
yang layak, agar tidak justru menjual teknologi ini ke asing, yang kemudian
menerapkan aturan hak atas kekayaan intelektual yang merugikan diri sendiri.
4. Negara memberikan iklim pasar yang kondusif
Pasar yang tidak kondusif ditandai oleh terjadinya asimetri dari kekuatan penjual
(yaitu nelayan) dan pembeli (yaitu tengkulak pedagang ikan). Penjual bisa sangat
lemah ketika produk ikan tangkapnya terancam busuk bila tidak laku, sementara kredit
modal dia melaut terus berjalan dan berbunga seiring dengan waktu. Sebaliknya,
pembeli bisa sangat lemah ketika penjual sangat sedikit, yakni tinggal nelayan
berteknologi tinggi, setelah banyak nelayan modal kecil kalah tergusur persaingan.
Negara perlu menciptakan badan penyangga semacam BULOG untuk produk
perikanan, agar ketika harga turun, negara membelinya dengan harga wajar yang lebih
tinggi dari harga pasar, dan pada saat harga tinggi melepasnya lagi ke pasar dengan
harga wajar yang lebih rendah dari harga pasar. Negara boleh saja menjadi monopoli
atau monopsoni selama tidak mengambil untung, namun semata-mata untuk mengurus
urusan rakyat.
5. Negara menjaga agar sumber daya laut akan berkelanjutan.
Pada saat yang sama, untuk wilayah yang memerlukan teknologi tinggi
bermodal besar, negara melalui BUMN-nya dapat mengambil alih sehingga sumber
daya laut ini dapat sepenuhnya memberikan pemasukan bagi negara untuk diberikan
kepada rakyat. Negara tidak menyerahkan optimasi ini kepada pasar, karena pasar
cenderung hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Selama ini tidak ada
ekonomi pasar yang berhasil mengoptimasi diri dalam soal lingkungan.
Agar wilayah laut tetap lestari, negara juga harus menjaga agar laut tidak
tercemar, baik oleh limbah ataupun kecelakaan di laut, oleh operasi penangkapan ikan
yang menggunakan bahan berbahaya (misalnya bom ikan) maupun oleh bahan
pencemaran yang berasal dari darat.
Untuk itu negara wajib menjaga agar tidak ada pencemaran maupun illegal-
fishing, baik dari kapal-kapal asing yang memasuki laut tanpa izin, ataupun dari kapal-
kapal berizin namun beroperasi di luar wilayah yang ditentukan. Angkatan bersenjata
negara mesti diperkuat agar mampu menjaga perbatasan sekaligus mendeteksi posisi
tiap kapal yang berizin dan mengeceknya secara cepat dalam database, apakah mereka
beroperasi di wilayah yang ditentukan atau tidak. Negaralah yang harus pro aktif
berhadapan dengan korporat asing yang melakukan illegal fishing, pencemaran atau
pelanggaran wilayah operasi, bukannya nelayan kecil yang lemah, atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam yang salah
satunya adalah di bidang kelautan dan perikanan. Akan tetapi sumberdaya alam tersebut
belum mampu dikelola dengan baik untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Diperlukan alternatif manajemen pengelolaan yang baru di bidang kelautan dan
perikanan agar sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal dan
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
berkesinambungan. Dengan manajemen pengelolaan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat khususnya para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Amhar, F. 2009. Perpekstif Islam mengenai Pengelolaan Perikanan dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah dalam Seminar
Pengelolaan Perikanan dalam Perspektif Islam. FPIK-IPB
BRKP dan LIPI. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Kerjasama PRPT-
BRKP-DKP dan PPPO-LIPI, Jakarta. 125 hal.
BPS. 2006. Beberapa Indikator Penting Sosial Ekonomi Indonesia.
(http://www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.pdf)
DKP. 2007. Analisis Data Kelautan dan Perikanan 2007
(http://statistik.dkp.go.id/download/StatistikKP_2007/Buku_1.htm)
DKP. 2007. Data Potensi, Produksi Dan Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan 2007
(http://statistik.dkp.go.id/download/StatistikKP_2007/Buku_2.htm)
DKP. 2007. Data dan Informasi Kelautan dan Perikanan, 2007
(http://statistik.dkp.go.id/download/StatistikKP_2007/Buku_3.htm)
Hariyadi, P. 2011. Tantangan Ketahanan Pangan Nasional Makalah dalam seminar dan
Sosialisasi Program Indofood Riset Nugraha 2011. UGM-Yogyakarta
Jaya, I. 2009. Peluang, Tantangan Dan Agenda Riset Ketahanan Pangan Bidang
Perikanan. Makalah dalam Seminar Pengelolaan Perikanan dalam Perspektif
Islam. FPIK-IPB
Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Nasoetion. 2008. Tantangan Menuju Ketahanan Pangan
http://www.coopindonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=60&
Itemid=76
Purbayanto, A. 2009. Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Dalam Menopang Ketahanan
Pangan Nasional. Makalah dalam Seminar Pengelolaan Perikanan dalam
Perspektif Islam. FPIK-IPB
Sucipto. 2012. Mengurai Problema Pemenuhan Pangan Rakyat. IPB
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012