KASUS
1
Minum ASI dan susu formula
Makanan tambahan nasi tim
Kesan : Makanan sesuai usia
Riwayat perkembangan
Riwayat Imunisasi
BCG
Hepatitis B
DPT
Polio
Riwayat Alergi
Disangkal
Riwayat Psikososial
PEMERIKSAAN FISIK
2
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
pupil (+), d 3 mm, isokor kanan-kiri. Eksoftalmos dan enoftalmos (-), edema palpebra (-),
pergerakan mata kesegala arah baik
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (+/+), darah (-/-), nyeri tekan (-), hidung bagian luar
tidak ada kelainan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga : Normotia, nyeri tekan (-/-), serumen (+/+), darah (-/-), pendengaran baik
Mulut : Bibir kering (+), stomatitis (-), gigi geligi lengkap, gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-), T1/T1
Paru
Inspeksi : simetris dextra-sinistra, tidak ada bagian dada yang tertinggal saat bernapas,
retraksi dinding dada (-), scar (-), otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : simetris, vocal fremitus sama dextra-sinistra, tidak ada bagian dada yang
tertinggal saat bernapas, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor pada semua lapang paru, batas sonor-pekak setinggi ICS 6 linea
midclavicularis dextra
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), lendir (+/-), ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Jantung
Abdomen
3
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Extremitas
Atas : akral hangat, peteki (-/-), udem (-/-), pucat (-),RCT < 2 detik
Bawah : akral hangat, peteki (-/-), udem (-/-), pucat (-), RCT < 2 detik, nadi kuat angkat
Status Neurologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hematologi
Hb 10.3 g/dl P: 14,0- 18,0
L: 12-16
Ht -%
Trombosit 186000/L 150.000 400.000
Leukosit 16200 L 5000 10.000
RESUME
4
Pasien datang dengan keluhan sejak jam SMRS. Kejang 1 kali dirumah selama < 5
menit. Pasien kejang lagi saat baru tiba di rumah sakit < 5 menit. kejang seluruh tubuh, mata
melotot. Setelah kejang langsung menangis. Demam 3 hari. Muntah setiap os batuk. Batuk
berdahak dan pilek 3 hari.
Assesment
Kejang demam
Leukositosis
Anemia
Working Diagnosis
Tatalaksana
Pembahasan
Algoritma Penanganan Kejang Demam Akut dan Status Konvulsif
Diazepam 5-10
Pre- 0-10
mg/rektal
hospital menit
Refrakter
Midazolam 0,2
mg/kg/iv bolus
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi
khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga
sebagai seorang dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat. Kejang
demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa,
akan tetapi bila kejang berlangsung lama dapat menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan
Saraf Pusat (SSP) sehingga dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari (Haslam,
2000).
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tatalaksana kejang,
ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernah
sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa.
Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya
pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai
diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian.
Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi (Haslam, 2000).
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan sembuh
tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada
masa anak, dengan prognosis baik secara seragam (Hendarto, 2002).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Amerika
Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan kejadian di Asia dilaporkan lebih tinggi, yakni sekitar 80%.
Hampir 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Beberapa studi
prospektif menunjukkan bahwa kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks.
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam tidak sama.
Pendapat para ahli terbanyak, kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai dengan 5 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Sekitar 6-15% terjadi pada
usia >4 tahun. Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki. (Waruiru & Appleton,
2008).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia
7
di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hipertermia yang timbul
mendadak pada infeksi bakteri atau virus (Soetomenggolo, 2004).
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam, dengan
adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala neurologis lain
dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera,
berupa pemeriksaan gula dan pungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap
pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterial (American Academy of Pediatrics, 1999).
Penanggulangan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan sehingga prognosis kejang
demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama (Tumbelaka, et
al., 2005). Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya
0,64%-0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil
berkembang menjadi epilepsi yaitu sebanyak 2-7%. 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi (Behrman,
2007).
A. Definisi
8
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
mencapai >38oC ). Kejang demam dapat terjadi karena proses intracranial maupun ekstrakranial.
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Paling
sering terjadi pada anak usia 17-23 bulan (IDAI,2004)
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, terjadi pada anak berusia
lebih dari 3 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak berusia sekitar 3 bulan
sampai 5 tahun tanpa disertai infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik
lainnya (Waruiru & Appleton, 2008). Dari beberapa penelitian dijumpai 2-5% anak di bawah usia
5 tahun mengalami kejang, baik kejang pertama maupun ulangan yang didahului kenaikan suhu
tubuh.
Menurut ILAE, International League Against Epilepsy, anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam tidak termasuk dalam kejang demam
(Hardiono, et al., 2006). Kejang disertai demam yang terjadi pada bayi berumur kurang dari 1
bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. Para ahli sepakat bahwa bila anak yang berumur
kurang dari 3 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang didahului demam, harus
dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam (Sunarka, 2009). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai
dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, et al., 2000).
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat
(Mansjoer, et al., 2000).
B. Klasifikasi
Umumnya kejang demam ini dibagi menjadi dua golongan. Kriteria untuk penggolongan
tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil
dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita,
lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2002).
9
Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang demam pada anak
menjadi 2 yaitu: kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks
(complex febrile seizure).
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
Kejang demam berlangsung singkat
Durasi kurang dari 15 menit
Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik
Umumnya akan berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal
Tidak berulang dalam 24 jam
Pada kejang demam sederhana, kejang biasanya timbul ketika suhu meningkat dengan
mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa anak
menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting untuk
menimbulkan kejang (Hendarto, 2002).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik
klonik seperti kejang grand mal, kadang kadang hanya kaku umum atau mata mendelik
seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam
meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak (Hendarto, 2002).
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure), 20% di antara seluruh kejang
demam.
Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam (Pusponegoro, Widodo, Ismail, 2006). Kejang fokal adalah kejang parsial
satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah
kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16 % di antara anak yang mengalami kejang demam (Pusponegoro,
Widodo, Ismail, 2006).
10
C. Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat
kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu saat hamil, riwayat
pre-eklampsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal
(asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor pasca natal
(trauma kepala), jenis kelamin, dan kadar natrium rendah (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005).
Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
(kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur
yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi
(Behrman, et al., 2000).
Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama
sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun
pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai
umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana
(Behrman, et al., 2000).
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah:
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10
% - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada tahun pertama
(Lumbantobing, 2007).
11
D. Etiologi
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia, bronkopneumonia,
bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005).
Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan
lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi lanjut dan
awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab yang lebih jarang
pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia, perdarahan
intrakranial spontan serta trauma postnatal (Soetomenggolo, 2004).
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak
yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam. Kejang
setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP (pertusis) dan morbili (campak)
(Soetomenggolo, 2004).
12
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas) 38
Morbili (campak) 12
Tidak diketahui 66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam daripada
infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mempunyai
risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding penderita gastroenteritis oleh
kuman penyebab lainnya (Waruiru & Appleton, 2008).
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada
Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan (Soetomenggolo, 2004).
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida
(Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi
dan bantuan enzim Na K ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Mardjono, 2006).
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang. Kejang
tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang
13
disebabkan oleh infeksi di luar SSP, misalnya infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan
lainnya (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit)
sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen otak (Muid, 2005).
F. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain. Serangan
kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan
atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal (Sastroasmoro, 2007).
Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih
dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali terbangun
dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara
(hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral
yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang lama lebih
14
sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5
menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil (Saharso, 2006).
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya
terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan
intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah
ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi.
Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya
kejang tanpa demam (Saharso, 2006).
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain (Rudolph, 2002).
Secara umum, gejala klinis kejang demam adalah sebagai berikut (Mary & Malcolm, 2006):
Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba)
Kejang tonik-klonik atau grand mal
Penurunan kesadaran yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-
anak yang mengalami kejang demam)
Postur tonik
Gerakan klonik
Lidah atau pipi tergigit
Gigi atau rahang terkatup rapat
Inkontinensia
Gangguan pernafasan
Apneu
Cyanosis.
Setelah mengalami kejang biasanya (Mary & Malcolm, 2006) :
Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam atau lebih.
Terjadi amnesia dan sakit kepala.
15
Mengantuk
Linglung
Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan terjadinya cedera otak atau
kejang menahun adalah kecil.
G. Diagnosis
Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah (Pusponegoro, Widodo, Ismael, 2006):
Anamnesis
a. Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah kejang,
durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang,
penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
b. Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun).
c. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi).
d. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
e. Riwayat trauma kepala.
f. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
g. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan lain-lain).
h. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
16
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda rangsang meningeal
c. Tanda refleks patologis
Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk
tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum, urinalisis,
biakan darah, urin atau feses.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan meningitis, terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-
bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus
dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur
kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian, cairan serebrospinal yang abnormal
umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang:
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk)
- Mengalami komplex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD
- Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1
jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun.
17
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima
terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan (American Academy of
Pediatrics, 1999).
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan
dengan ketentuan sebagai berikut :
18
pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana (Hendarto,
2002).
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya, tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal (Hendarto, 2002).
d. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography Scan (CT-scan) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti :
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala
neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu diingat bahwa
kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan lain, misalnya pada
radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis) (Duffer & Baumann,
1999).
19
diagnostik, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya
epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Saat ini pemeriksaaan EEG tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak
dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan
diare, muntah dan gangguan keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan
metabolisme akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium
lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya demam (Hendarto, 2002).
H. Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita kejang dengan demam, harus dipikirkan
apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak). Kelainan di
dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, dan abses otak. Oleh
karena itu perlu waspada untuk menyingkirkan apakah ada kelainan organis di otak. Baru
sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana
atau kejang demam kompleks. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004).
1. Kelainan Intrakranium
Meningitis
Encephalitis
Abses otak
2. Gangguan metabolik
Hipoglikemi
Gangguan elektrolit
Sinkop
3. Epilepsi Epilepsi Triggered by Fever (ETOF)
20
Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk menentukan
penyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang tersebut.
I. Penatalaksanaan
21
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis terhadap
berulangnya kejang demam (Tumbelaka, 2005).
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik (Waruiru & Appleton, 2008).
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah
mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat obatan antipiretik
sangat diperlukan. Obat obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah
asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam atau ibuprofen 5 10 mg/kgBB/hari
setiap 4 6 jam (American Academy of Pediatrics, 1999).
Diazepam 5-10
Pre- 0-10
mg/rektal
hospital menit
22
Hospital Airway Diazepam 0,25- 10-20 Monito
0,5 mg/kg/iv menit r
Breathing
Tanda vital
EKG
Elektrolit serum
(Na, K, Ca, Mg, Cl)
Refrakter
Midazolam 0,2
mg/kg/iv bolus
2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, dapat
23
diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil mencari akses vena.
Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin i.v dengan dosis 20 mg/kg
dilarutkan dalam NaCl 0,9%, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan
fenitoin i.v 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin setelah
12 jam, kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital i.v dengan dosis maksimum 15-
20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi kelainan
metabolik yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian
fenobarbital i.v rumatan 4-5 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
3. Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
24
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua
pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat
yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian
sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan
fenobarbital intermiten. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5
mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien
dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5 o C atau
lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,3 mg/kg BB/hari setiap 8
jam pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk
dan hipotonia.
b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan) untuk kejang
demam kompleks.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat mencegah terjadinya
epilepsi di kemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus hanya diberikan jika
kejang demam mempunyai ciri sebagai berikut (salah satu / lebih)
25
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir
dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat ini efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010).
Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut (Pedoman
Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya bisa meninggal.
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi angka kejadian epilepsi.
26
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau
lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukan
sesuatu ke dalam mulut.
6. Berikan diazepam rectal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
(Lumbantobing, 2007)
K. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar
antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat dari usia,
jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchtal (1973) mendapatkan:
Pada anak yang berusia kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada anak
perempuan sebesar 50% dan anak laki-laki sebesar 33%.
Pada anak yang berusia 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang,
terulangnya kejang adalah 50%, sedangkan pada anak tanpa riwayat kejang sebesar
25% (Tumbelaka, 2005).
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston (1954)
mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi epilepsi dan
dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi
(Baumann, 2003).
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:
27
atau tidak sama sekali dari faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2%-
3% saja. Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaborative Perinatal Project di
Amerika Serikat, dari 1706 anak pasca kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia 7
tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat kejang demam. Kemudian anak dengan
kejang demam ini dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan tes IQ.
Angka rata-rata pada anak yang pernah mengalami kejang demam adalah 93%. Skor ini tidak
berbeda bermakna dari saudara kandungnya. Sedangkan pada anak yang sebelum mengalami
kejang demam sudah abnormal, atau dicurigai menunjukkan gejala yang abnormal,
mempunyai total IQ yang lebih rendah daripada saudara kandungnya. Hasil yang diperoleh
The National Collaborative Perinatal Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di
Inggris oleh The National Child Development Study, yaitu didapatkan bahwa anak yang
pernah mengalami kejang demam kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum saat
dilakukan tes pada usia 7 dan 11 tahun (American Academy of Pediatrics, 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ellenberg dan Nelson, tidak didapatkan adanya
perbedaan IQ saat diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan kejang demam dan
kembarannya yang tidak mengalami kejang demam. Dengan penanggulangan yang tepat dan
cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Hasil dari 2 penelitian,
didapatkan angka kematian akibat kejang demam ini sebesar 0,46% dan 0,74%. Dari
penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama (American Academy of Pediatrics, 1999).
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6
%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % -
49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
L. Komplikasi
28
Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan mengambil perhatian
yang besar dari orang tua, sebagian besar kejang demam tidak menimbulkan efek yang
menetap. Kejang demam jika diterapi dengan tepat, tidak menyebabkan kerusakan otak,
retardasi mental, gangguan belajar, atau epilepsi dikemudian hari (Rusepno & Husein, 1997).
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %.
2. Epilepsi
3. Kelainan motorik
M. Pencegahan
Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar
kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dahulu digunakan obat anti
kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam.
Sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung mengalami
kejang demam pada saat menderita demam dapat diberikan diazepam (baik secara oral atau
melalui rektal).
29
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta.
2000 : 48, 434 437.
Mardjono Mahar, dkk. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat. Jakrta, 2006.
Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell pulblishing, 2006.
Hal 72-90.
Muid M ; Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat Anak, Tata Laksana Terkini Penyakit
Tropis dan Gawat Darurat Pada Anak ; Kejang Demam ; IDAI Cabang Jawa Timur : 2005,
hal. 98-110.
Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1
14.
30
Pusponegoro, Hardiono D. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2004.
Pusponegoro H.D dkk ; Standart Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Kejang Demam ; Penerbit :
IDAI ; 2005, hal. 209-211.
Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta 2006.
Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange, 2002.
Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 273.
Sastroasmoro, S, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Cetakan Pertama.
RSUP Nasional Dr.Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252.
Soetomenggolo, S. Kejang Demam. Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta: Penerbit FKUI. 2004. H 244-
251.
Staf Pengajar IKA FKUI. 2005. Kejang Demam. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian IKA
FKUI : 847-8.
Tumbelaka, Alan R, Trihono, Partini P, Kurniati, Nia, Putro Widodo, Dwi. Penanganan Demam Pada Anak
Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII. Cetakan
pertama. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005.
Waruiru & Appleton. Febrile Seizure: An Update. Arch Dis. 2008. Diakses 3 Agustus
2011. Available from URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?
tool=pmcentrez.
American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-term Treatment of the Child with Simple
Febrile Seizure. 1999; 6: 1307-1309. Sumber Tulisan:
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics
Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang Pada Anak. Cetakan ke-
2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
31
Baumann Robert, MD. Febrile Seizures. 2002. Sumber Tulisan: http://www.
Emedicine.com/neuro/topic134.htm
Baumann RJ. Febrile Seizures. E Med J, March 12 2002, vol.2, No. 3 : 1 10.
Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile Seizures. 2004.
http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86.
Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000. Hal 2059-2067.
Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak : Kejang
Demam. 18 edition. Jakarta : EGC. 2007.
Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With and Without Preceeding
Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34.
Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of Pediatrics Practice Parameter on
The Evaluation and Treatment of Children with Febrile Seizures. Pediatrics in Review, vol.
20, No. 8, 1999: 285 7.
Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of Febrile Seizures:
Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on Value to Parents. Pediatrics
2001; 108 : 65-9.
Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 2060.
Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 2002 :
6 8.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Kejang Demam. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 209.
32
Jones & Jacobsen. 2007. Childhood Febrile Seizure: Overview and Implications. International
Journal Medical Science, 4 (2) : 110-12. Diakses 19 November 2009. Available from :
URL :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1852399/pdf/ijmsv04p0110.pdf/?
tool=pmcentrez
33