Anda di halaman 1dari 9

ANCASILA

SUARA MAHASISWA CATATAN: JULFIN RAJAGUKGUK

Sabtu, 11 April 2015


PIDANA MATI DALAM KONSEP PANCASILA

PENDAHULUAN

Sebenarnya tujuan
dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-
kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua
komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang
mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati.Waktu berjalan terus dan di
pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan
fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas.
Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis,
maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat
pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi,dicegah atau
dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.
Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan
pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-
kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada
masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling
mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum
pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang
pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap
mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya
suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru,buatan bangsa sendiri, yang
telah lama dicita-citakan. Walaupun banyak pertentang tentang penjatuhan pidana mati itu
merupakan hal yang wajar. lantas bagaimana konsep pancasila sebagai ideolgi negara
indonesia terhadap penjatuhan pidana mati, apakah bertentangan atau tidak dengan konsep
pamcasila itu sendiri ?.

PEMBAHASAN
[1]
Apabila kita melihat sejarah memang telah dikenal hukuman mati, baik pada
pada zaman hukum Romawi, Yunani, Jerman. Oleh karena itu , seiiring dengan perkembangn
zaman banyak pakar-pakar yang Kontra terhadap penjatuhan pidana mati yang menekankan
pada sisi ketuhanan dan perikemanusian dan disisi lain banyak juga para Pakar yang kontra
terhadap Penjatuhan Pidana mati. Pendapat yang Kontra terhadap penjatuhan pidana mati
adalah C.Beccaria, Voltaire, Van Bemmelen, Roling, Ernest Bowen Rowlands, Von
Hentig, Damstee, leo Polak, J.E Sahetapy Ing Dei Tjo lam, . Sedangkan pendapat yang
Pro terhadap penjatuhan pidana mati adalah De Bussy, Jonkers, Hazewinkel-Suringa,
Bichon van Tselmonde, Lombrosso dan Garofalo, Bismar Siregar, Oemar Seno Adji dan
Hartawi AM.
[2]
Beberapa alasan dari mereka yang menentang hukuman mati antara lain sebagai
berikut :
1. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk
memperbaiki apabila ternyata didalam keputusannya hukum tersebut mengandung
kekeliruan.
2. Pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.
3. Dengan menjatuhkan pidana mati akan terutup usaha untuk memperbaiki terpidana.
4. Apabila pidana mati itu dipandang sebagai usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka
pandang tersebut adalah keliru karena pidana mati biasanya dilakukan tidak didepan umum.
_______________
[1]
Lihat, Syarifuddin SH http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf
[2]
lihat, Teguh Prasetyo, Hukum pidana-Ed 1,-Cet 4,-Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
5. Penjatuhan pidana mati biasanya mengandung belas kasihan masyarakat yang dengan
demikian mengundang protes-protes pelaksanaanya.
6. Pada umumnya kepala negara lebih cenderung untuk mengubah pidana mati dengan pidana
terbatas maupun pidana seuumur hidup.
Alasan-alasan bagi mereka yang cenderung untuk mempertahankan adanya hukuman atau
pidana mati, mereka mengemukakan pendapatnya sebaga berikut :
1. Dipandang dari sudut yiridis dengan dihilangkannya pidana mati maka hilanglah alat yang
penting untuk penerapan yang lebih baik dari hukuman pidana.
2. Mengenai kekeliruan hakim, itu memang dapat terjadi bagaimanapun baiknya undang-
undang itu dirumuskan. Kekeliruan itu dapat diatasi dengan pertahapan dalam upaya-upaya
hukum dan pelaksanaanya.
3. Menegnai perbaikan dari terpidana, sudah barang tentu dimaksudkan supaya yang
bersangkutan kembali kemasyarakat dengan baik apakah dengan dengan pidana seumur
hidup yang dijatuhkan itu kembali lagi dalam kehidupan masyarakat.
[3]
Terlepas dari alasan yang Pro dan kontra dari pidana mati tersebut diatas
persoalannya adalah apakah ancaman pidana mati tersebut bertentangan dengan konsep-
konsep pancasila ? Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan
yang bersifat diskriminatif dan bersifat politis, yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial
Belanda terhadap negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 didalam Wetboek van Strafrecht
(WvS) Belanda (KUHP Belanda), sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal
serupa tidak dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI) /
KUHP yang diberlakukan untuk Indonesia. Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait
dengan salah satu permasalahan pokoknya, yaitu Landasan Filosofis.

_______________
[3]
lihat, : http://sigiropunya.blogspot.com/2009/08/eksistensi-pidana-mati-dan-nilai-nilai.html

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, terbentuk
melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara kausalitas
Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan
berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan
nilai-nilai religius.
[4]
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia mempunyai fungsi dan
peranan yang antara lain :
1. Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa terkandung makna bahwa Pancasila merupakan
rangakaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri yang berfungsi
sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam berinteraksi
antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke
arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan memecahkan segala
persoalan yang dihadapinya secara tepat. Pada puncaknya Pancasila merupakan cita-cita
moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rokhaniah bagi bangsa Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai maksud bahwa Pancasila merupakan suatu dasar
nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara /penyelenggara Negara.
_______________
[4]
Lihat, hlm,146-148, Ali Mansyur, 2007, Aneka Persoalan Hukum, Semarang, Unissula
Press
Pancasila dalam kedudukan sebagai Dasar Negara sering disebut sebagai Dasar Filsafat
atau Dasar Falsafah Negara (philosofische Gronslas) dari negara, ideologi negara atau
(staatsidee). Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama
segala peraturan perundang-undangan negara dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
3. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia pada hakekatnya Pancasila diangkat
dari pandangan masyarakat Indonesia, ideologi sebagai ajaran/doktrin/theori yang diyakini
kebenarannya, disusun secara sistematis, dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam
menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi negara bersifat terbuka, aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa
mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta
dinamika perkembangan masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, akan tetapi dalam aplikasinya
ideologi Pancasila yang bersifat terbuka, dikenal ada 3 tingkatan nilai yaitu nilai dasar yang
tidak berubah yaitu Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari Pancasila,
kemudian nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa sesuai
dengan keadaan, dan nilai praktis berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya
dalam kehidupan yaitu Undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya, yang sewaktu-
waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman.

[5]
Pancasila sebagai Rechtsbeginsel (asas hukum) adalah merupakan sumber hukum
tertinggi (sumber dari segala sumber hukum) bagi tertib hukum di Indonesia. Ini berarti
bahwa masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan dan bersumber dari nilai-nilai
Pancasila, tak terkecuali aturan hukum tentang sanksi pidana mati seperti :

1) Pidana Mati dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Untuk menemukan landasan filosofis keberlakuan pidana mati dalam konteks nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam uraian yang diberikan oleh Mohammad Hatta tersimpul pengertian bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa menjiwai cita-cita hukum Indonesia, dengan demikian dalam setiap
pengaturan hukum di Indonesia, tidak terkecuali masalah pidana mati juga harus bersumber
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash,
dimana menurut hukum Islam pidana mati adalah suatu keharusan bagi mereka yang telah
menghilangkan nyawa orang lain. Hukum qishash secara tegas terlihat dalam Alquran Surat
Al Baqarah ayat 178 : yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu menuntut balas (kisas) sebab membunuh orang, merdeka
dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan...

Hukuman mati juga dibenarkan oleh ajaran agama Kristen. Para ulama Kristen setuju
penerapan pidana mati karena merujuk pada pandangan Paulus, bahwa negara adalah wakil
Tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang dipergunakan untuk
menjamin kelangsungan hidup negara Roma 13 :4 dan Kejadian 9 : 4. Begitu juga dalam
agama hindu.

2) Pidana Mati dan Nilai Kemanusiaan

Menurut pandangan Drijarkoro, perikemanusiaan dibagi dalam dua perumusan yaitu :

1. Rumusan Negatif, yaitu apa yang tidak diinginkan untuk dirimu sendiri, jangan itu kau
lakukan terhadap sesamamu manusia.
______________
[5]
Lihat,http://sigiropunya.blogspot.com/2009/08/eksistensi-pidana-mati-dan-nilai-nilai.html 2.
Rumusan
Positif, yaitu cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri, perlakukanlah kepadanya apa
yang kau inginkan untuk diri sendiri.
Secara lebih tajam Rachmad Djatmiko berpendapat,

pidana mati tidak bertentangan dengan perikemanusiaan, karena dasar keadilan pidana mati
adalah perikemanusiaan yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang.
Mencermati pandangan tersebut, pidana mati merupakan alat yang radikal untuk mencegah
tindakan-tindakan di luar batas perikemanusiaan demi tercapainya masyarakat adil makmur.

3) Pidana Mati dan Nilai Kebangsaan

Untuk mencari adanya titik singgung atau hubungan antara pidana mati dengan nilai-nilai
kebangsaan, terlebih dahulu tentunya harus kita kemukakan arti atau makna dari kebangsaan
(persatuan Indonesia) itu.

Mohammad Hatta terhadap pengertian persatuan kebangsaan Indonesia berpendapat bahwa


Tanah Air Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia
mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam
berbagai suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Indonesia. Pandangan ini
mengisyaratkan bahwa kesatuan dan kebangsaan dalam konteks kesatuan wilayah, kesatuan
dalam kebhinekaan dan kesatuan kehidupan bermasyarakat adalah merupakan hal yang
mutlak harus ada dan harus dipertahankan dalam bernegara.

Jika kita hubungkan antara nilai kebangsaan tersebut dengan eksistensi pidana mati, dapat
ditarik satu pemikiran bahwa pidana mati adalah merupakan sarana atau alat untuk mencegah
segala tindakan yang berupaya untuk memecah kesatuan kebangsaan.

4) Pidana Mati dan Nilai Kerakyatan

Untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah pidana mati bertentangan atau tidak
dengan nilai kerakyatan (demokrasi), tentunya terlebih dahulu harus dipahami apa arti
kerakyatan (demokrasi) itu.Menurut Mohammad Hatta asas kerakyatan (demokrasi)
menciptakan pemerintah yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun
sebaik-baiknya Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi
politik.

5) Pidana Mati dan Keadilan Sosial

Keadilan Sosial adalah keadilan yang merata dalam segala lapangan kehidupan,
dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan yang dapat dirasakan oleh rakyat. Setiap langkah
atau upaya mempertahankan sendi-sendi kehidupan masyarakat memang harus dilakukan
dalam konteks yang kondisional dan proporsional. Dalam kaitan ini kehadiran pidana mati
untuk menjaga keutuhan sendi-sendi kehidupan manusia dirasa juga sangat relevan. Berpijak
dari pemahaman tentang keadilan sosial tersebut diatas, tidak ada pertentangan antara pidana
mati dengan nilai keadilan sosial, karena prinsip utama pidana mati adalah menjamin
keadilan sosial yang berdasarkan persamaan hak.
[6]
Begitu juga apabila kita lihat dalam UUD 1945 Amandemen kedua dan UU HAM
No 39 Thn 1999 yang menyatakan bahwa :

o setiap orang berhak untuk hidup ( pasal 28A jo. Pasal 28I UUD 1945 dan pasal 9 (1) jo.
Pasal 4 UU HAM ) dan
o setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa ( pasal
33 (2) UU HAM.

Terhadap masalah diatas , dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

a) Dilihat sebagai satu kesatuan, pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila yang
satu dengan sia yang lainnya. Namun, apabila apabila pancasila dilihat secara parsial
( menitik beratkan pada salah satu sila ), ada pendapat yang menyaakan bahwa pidana mati
bertentangan dengan pancasila dan ada pula yang menyatakan pidana mati tidak bertentangan
dengan pancasila. Jadi, pendapat yang menolak dan menerima pidana mati sama-sama
mendasarkan pada pancasila.

______________
[6]
Lihat, hlm, 236-238, Barda Nawawi, Kapita selekta hukum pidana, Cetakan Ke- 3, Penerbit: PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013.

a) Hak untuk hidup ( pasal 28A jo. Pasal 28I UUD 1945 dan pasal 9 (1) jo. Pasal 4 UU
HAM ) dan hak untuk dari penghilangan nyawa ( pasal 33 UU HAM ) tidak dapat
dihadapkan secara diametral ( sama sekal bertentangan ) dengan pidana mati hal ini sama
dengan hak kebebasan pribadi ( pasal 4 UU HAM ) atau hak atas kemerdekaan
( pembukaan UUD 1945) yang juga tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan pidana
penjara . Apabila dihadapkan secara diametral berarti pidana penjara pun bertentangan
dengan UUD 1945 dan UU HAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah
perampasan kemerdekaan/ kebebasan.
b) Pernyataan dalam UUD 1945 dan UU HAM bahwa bahwa setiap orang berhak untuk hidup
, identik dengan pasal 6 (1) ICCPR yang menytakan bahwa every human being has the
right to life . Namun, didalam pasal 6 (1) ICCPR pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat
tegas bahwa :
no one shall be arbitrarily deprived of his life.

Jadi, walaupun pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup , tidak berarti hak hidupnya itu tidak bisa dirampas. Yang tidak boleh adalah
perampasan hak hidup secara sewenang-wenang (arbitrarily deprived of his life) bahkan
pasal 6 (2) dinyatakan bahwa pidana mati tetap dimungkinkan untuk the moust serious
crimes.

c) Demikian pila dalam UU HAM, ada pembatasan dalam pasal 73 yang mentakan bahwa:
hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan Undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum
dan kepentingan bangsa .

Pasal 73 UU HAM ini merupakan representase dari pasal 28J UUD 1945 yang menyebut
bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
Pasal 28J ini adalah satu-satunya pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara
kewajiban, padahal babnya hak asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir
sebagai kunci dari Pasal 28A sampai Pasal 28I.Dengan seluruh uraian pada angka 1) di atas,
tampak bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi
manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original
intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga
diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang
mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara
penafsiran sistematis (sistematische interp retatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal
28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal
28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945
sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Right Jo
ICCPR yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal
penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2).
KESIMPULAN
Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk mencegah timbulnya
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran yang berat dan istilah pidana mati
dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang saling
berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan
tertentu (kejahatan berat) dengan pidana mati.
Hukuman mati masih relevan, walaupun bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD
1945 yang menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Akan tetapi Pasal 28A
dan 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Dalam Pasal 28j
ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
undang-undang begitu juga dalam konvensi-konvensi Internasional .
Dalam pandangan Islam, Kristen Protestan atau Katolik dan Hindu bahwa pidana mati juga
tidak bertentangan dengan agama. Hal itu senada dengan ke 5 sila-sila pancasila yang apabila
dibaca secara keseluruhan dan tidak secara diametral maka pidana mati merupakan suatu alat
untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat umum dan sebagai pembatas untuk
menghormati hak asasi orang lain.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan pembuktian dan
pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban
masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan
beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan padahal

Anda mungkin juga menyukai