Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Temulawak

Gambar 2.1 Temulawak1

2.1.1 Klasifikasi Tanaman


Kingdom: Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Rahmat, 1995)
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Tanaman temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh
merumpun dengan batang semu dan habitatnya dapat mencapai
ketinggian 2 2,5 meter. Tiap rumpun tanaman ini terdiri atas beberapa
anakan dan tiap anakan memiliki 2-9 helai daun. Daun tanaman
temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Panjang daunnya sekitar
50 55 cm dan lebar 18 cm. Warna bunga umumnya kuning dengan
kelopak bunga kuning tua dan pangkal bunganya berwarna ungu.
Tanaman temulawak menghasilkan rimpang temulawak yang bentuknya

1 Anonim, Temulawak, tersedia di http://temulawak.org/ (diakses pada tanggal 24 Oktober


2016)

4
5

bulat seperti telur dengan warna kulit rimpang sewaktu masih muda
maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning
dengan cita rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang. Untuk
sistem perakaran tanaman temulawak termasuk tanaman yang berakar
serabut dengan panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan
(Rahmat, 1995).
Pemerian temulawak berupa kering tipis, bentuk bundar dan
jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah hingga 6 cm, tebal 2-5 mm;
permukaan luar berkerut, warna coklat kekuningan hingga cokelat;
bidang irisan berwarna cokelat; bidang irisberwarna coklat buram,
melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan
melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks; korteks
sempit, tebal 3-4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga
hingga cokelat jingga terang. Bau khas, rasa tajam dan agak pahit
(Depkes RI, 2008).
2.1.3 Kandungan Kimia
Temulawak mengandung zat warna kuning 1-2% ( Curcumin dan
monodesmethoxy-curcumin), minyak atsiri, kurkuminoid yang terdiri
dari 1,2- 2%, komponen minyak atsiri lainnya (Sudarsono, 1996).
Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) keluarga
Zingiberaceae kurkumin, xanthorizol, serta mengandung minyak atsiri
tidak kurang dari 5,80% v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 4,0%
dihitung sebagai kurkumin (Depkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2011).
2.1.4 Khasiat dan Kegunaan
Ekstrak temulawak mengandung beberapa senyawa didalamnya,
diantaranya adalah kurkuminoid. Kurkuminoid terdiri atas campuran
kurkumin dan demetoksi kurkumin yang mempunyai warna kuning atau
kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit. Larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat glasial dan alkali hidroksida. Kurkumin
6

tidak larut dalam air dan dietileter. Kurkuminoid mempunyai aroma


khas, tidak bersifat toksik (Kiswanto, 2009).
Kurkumin dan demetoksikurkumin memiliki khasiat untuk
meningkatkan sekresi empedu, menurunkan kadar kolesterol dan
trigliserida darah, antioksidan dan penangkal senyawa radikal
(Tonnesen, 1989).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakkan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara
ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakkan
medium pengekstraksi (menstruum) yang tertentu pula (Goeswin, 2009).
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan
mentah dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan
akan larut. Pemilihan sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus
berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat
aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Depkes
RI, 1979).
Metode ekstraksi yang tepat sangat tergantung pada tekstur dan
kandungan air bahan-bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi sendiri dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya dengan metode maserasi, perkolasi dan
sokletasi.

A. Metode maserasi
7

Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam


pelarut yang sesuai pada temperatur ruangan dan terlindungi dari cahaya
yang disertai pengocokan atau pengadukan (Ditjen POM, 2000).
B. Metode perkolasi
Perkolasi adalah penyarian dengan pelarut baru sampai sempurna yang
dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahap
pengembangan bahan, perendaman dan perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) (Ditjen POM, 2000).
C. Metode Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen
POM, 2000).
D. Metode Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dipanaskan hingga
mendidih sehingga uap membasahi serbuk simplisia karena adanya
pendingin balik dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan (Ditjen POM, 2000).

2.3 Nanopartikel
Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer.
Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa
obat yang melalui senyawa obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat
berukuran nanometer yang disebut nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi
dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut dengan
nanocarrier (Rachmawati, 2007).
Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal
dan nanocarrier. Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube,
liposom, nanopartikel lipid padat (Solid Lipid Nanoparticle/SLN), misel,
dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain-lain (Rawat et al., 2006).
Keuntungan menggunakan nanopartikel sebagai sistem pengiriman obat
adalah sebagai berikut (Mohanraj and Chen, 2006):
8

1. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat


dengan mudah dimanipulasi untuk mencapai kedua target obat pasif
dan aktif setelah pemberian parenteral.
2. Mereka mengontrol dan mempertahankan pelepasan obat selama
transportasi dan di lokasi lokalisasi, mengubah distribusi organ obat
dan pembersihan obat berikutnya untuk mencapai peningkatan
terapi obat khasiat dan pengurangan efek samping.
3. Controlled release dan karakteristik degradasi partikel dapat segera
diatur oleh pilihan konstituen matriks. Pemuatan obat relatif tinggi
dan obat-obatan dapat dimasukkan ke dalam sistem tanpa reaksi
kimia; ini merupakan faktor penting untuk aktivitas obat.
4. Penargetan lokasi spesifik dapat dicapai dengan melampirkan ligan
menargetkan ke permukaan partikel atau menggunakan bantuan
magnetik.
5. Sistem ini dapat digunakan untuk berbagai rute dari administrasi
termasuk mulut, hidung, parenteral, intra-okular dll
Nanopartikel memiliki keterbatasan, sebagai contoh ukurannya yang
kecil dan luas permukaan yang besar dapat menyebabkan agregasi partikel,
membuat penanganan fisik nanopartikel sulit dalam bentuk cair dan kering.
Selain itu, ukuran partikel kecil dan luas permukaan besar menghasilkan
pemuatan obat terbatas dan meledak rilis. Masalah praktis ini harus diatasi
sebelum nanopartikel dapat digunakan klinis atau dibuat secara komersial.
Nanopartikel (Mohanraj and Chen, 2006).
Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai bahan seperti protein,
polisakarida dan polimer sintetis. Pemilihan matriks bahan tergantung pada
banyak faktor meliputi ukuran nanopartikel yang diperlukan, sifat yang melekat
obat, misalnya, kelarutan dalam air dan stabilitas, karakteristik permukaan
seperti biaya dan permeabilitas, tingkat biodegradasi, biokompatibilitas dan
toksisitas, profil rilis obat yang diinginkan dan antigenisitas dari produk akhir
(Mohanraj and Chen, 2006).
9

Metode pertama adalah metode polimerisasi dimana monomer yang


dipolimerisasi untuk membentuk nanopartikel dalam larutan air. Obat yang
tergabung baik dengan cara dilarutkan dalam media polimerisasi atau dengan
adsorpsi ke nanopartikel setelah polimerisasi selesai. Suspensi nanopartikel
kemudian dimurnikan untuk menghilangkan berbagai stabilisator dan surfaktan
digunakan untuk polimerisasi dengan ultrasentrifugasi dan kembali
menangguhkan-partikel dalam media surfaktan bebas isotonik. Teknik ini telah
dilaporkan untuk membuat nanopartikel polybutylcyanoacrylate atau poli (alkil
cyanoacrylate). Pembentukan nanocapsule dan ukuran partikelnya tergantung
pada konsentrasi surfaktan dan stabilisator yang digunakan (Mohanraj and Chen,
2006).
Metode kedua adalah metode koaservasi atau metode gelasi ionik
Banyak penelitian telah difokuskan pada penyusunan nanopartikel menggunakan
polimer hidrofilik biodegradable seperti kitosan , gelatin dan natrium alginat .
Calvo dan rekan kerjanya mengembangkan metode untuk mempersiapkan
nanopartikel kitosan hidrofilik dengan gelasi ionik. Metode ini melibatkan
campuran dua fasa air , yang satu adalah kitosan polimer , yang di-block co-
polymer etilen oksida atau propilena oksida ( PEO - PPO ) dan yang lainnya
adalah polyanion natrium tripolifosfat . Dalam metode ini, gugus amino kitosan
bermuatan positif yang berinteraksi dengan tripolifosfat negatif untuk
membentuk coacervates dengan ukuran di kisaran nanometer. Coacervates
terbentuk sebagai hasil dari interaksi elektrostatik antara dua fasa air , sedangkan
, gelasi ion mengalami transisi dari cairan gel karena kondisi interaksi ionik pada
suhu kamar (Mohanraj and Chen, 2006).
Metode ketiga adalah metode produksi nanopartikel menggunakan
teknologi fluida superkritis Metode konvensional seperti pelarut ekstraksi -
penguapan, difusi pelarut dan metode pemisahan fasa organik memerlukan
penggunaan pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan serta sistem
fisiologis. Oleh karena itu, teknologi fluida superkritis telah diteliti sebagai
10

alternatif untuk menyiapkan mikro biodegradable dan nanopartikel karena cairan


superkritis aman bagi lingkungan (Mohanraj dan Chen, 2006).
Fluida superkritis secara umum dapat didefinisikan sebagai pelarut pada
suhu di atas suhu kritis, di mana cairan fase tunggal tetap tanpa adanya tekanan.
CO2 superkritis (SC CO2) adalah fluida superkritis yang paling banyak
digunakan karena kondisi yang memiliki titik kritis yang ringan (Tc = 31,1C, Pc
= 73,8 bar), tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan harga murah. Teknik
pengolahan yang paling umum melibatkan cairan supercritical anti-solvent ( SAS
) dan rapid expansion of critical solution ( RESS ). Proses SAS menggunakan
pelarut cair, misalnya metanol , yang benar-benar larut dengan cairan superkritis
(SC CO2), untuk melarutkan zat terlarut menjadi micronized; pada proses ini
kondisi zat terlarut tidak larut dalam cairan superkritis, ekstrak cairan pelarut
fluida superkritis mengarah instanta preparasi zat terlarut, sehingga membentuk
nanopartikel. Penggunaan metode SAS dimodifikasi untuk pembentukan
hidrofilik deksametason nanopartikel fosfat untuk tujuan mikroenkapsulasi
(Mohanraj and Chen, 2006).
RESS berbeda dari proses SAS, zat terlarut yang dilarutkan dalam cairan
superkritis ( seperti metanol superkritis ) dan kemudian dengan cepat diperluas
melalui nozel kecil menjadi tekanan daerah yang rendah, Dengan demikian
kekuatan pelarut cairan superkritis secara dratis menurun dan zat terlarut
akhirnya akan mengendap . Teknik ini aman karena endapan pada dasarnya
adalah pelarut bebas . RESS dan proses yang dimodifikasi telah digunakan untuk
produk nanopartikel polimer. Teknologi fluida superkritis , meskipun ramah
lingkungan dan cocok untuk produksi massal , akan tetapi membutuhkan
peralatan yang dirancang khusus dan relatif lebih mahal (Mohanraj and Chen,
2006).

2.4 Kitosan
Kitosan (poly--1,4-glucosamine) adalah polimer alami yang memiliki
struktur molekulnya menyerupai selulosa dengan perbedaan yang terletak pada
11

gugus rantai C-2, dimana gugus OH pada C-2 digantikan oleh gugus amina (-
NH2) (Hardjito, 2006). Rumus struktur kitosan seperti pada gambar 2.4
(Rodrigues et al., 2012).

Gambar.2.4 Struktur Kitosan


Kitosan merupakan turunan dari kitin yang telah mengalami deasetilasi.
Senyawa berkitin sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan laut yang
bercangkang (Crustaceae) seperti udang, kepiting, lobster, dan rajungan
(Hardjito, 2006). Proses pembuatan kitosan dilakukan dengan proses
demineralisasi (DM), deproteinasi (DP), decolorisasi (DC), dan deasetilasi (DA).
Proses demineralisasi dilakukan dengan larutan asam encer untuk
menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi
dilakukan dengan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein
yang masih terdapat pada bahan baku. Deasetilasi merupakan proses yang
menghasilkan kitosan dari kitin dengan cara memasaknya pada larutan basa
konsentrasi tinggi (NaOH 40-50%). Pemutihan dimaksudkan untuk
menghilangkan warna agar kitosan yang dihasilkan berwarna putih. (Hardjito,
2006).
Deasetilasi kitin akan menghasilkan kitosan yang kehilangan gugus
asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga
mempunyai sifat polikationik. Sifat polikationik inilah yang menyebabkan
kitosan mempunyai banyak kegunaan seperti untuk pengawet makanan,
penstabil warna, penjernih jus dan bir, deasidifikasi jus buah, edible film, sebagai
flokulan, membantu proses penjernihan air, sebagai aditif produk agrokimia dan
pengawet benih (Shahidi et al. 1999).
12

Kitosan merupakan bahan alami yang telah dimodifikasi, tetapi tidak


beracun dan mempunyai LD 50 pada mencit 16g/kg bb (Hirano, 1996). Kitosan
telah dicoba aktifitas antimikrobanya, diantaranya sebagai pengawet buah-
buahan dengan metode coating yang dapat menekan proses respirasi dan
pertumbuhan mikroba pembusuk Metode ini dilakukan dengan cara pencelupan
buah selama 30 detik pada larutan 1% kitosan dalam 1% asam asetat (Hardjito,
2006).

2.5 Tripoliposfat
Natrium tripolifosfat atau sodium tripolyphospate (TPP) biasa dikenal
juga dengan nama triphosphate atau pentasodium tripolyphosohate (Na5P3O10)
merupakan rantai lurus hasil derivatisasi dari asam fosforat. Rumus struktur
natrium tripolifosfat seperti pada gambar 2.5 (Oneil dkk, 2006).

Gambar.2.5 Struktur Natrium Tripolifosfat

Natrium Tripolifosfat memiliki bobot molekul sebesar 367,86 dengan


komposisi Na 31,25%, O 43,49%, dan P 25,26%. Natrium Tripolifosfat
dihasilkan dengan memanaskan campuran stoikiometri disodium fosfat
(Na2HPO4) dan monosodium fosfat (NaH2PO4) dibawah kondisi terkontrol
(Oneil dkk, 2006).
Natrium tripolifosfat adalah garam tak berwarna yang terdapat baik
dalam bentuk anhidrat maupun dalam bentuk heksahidrat, serta sedikit
higroskopik. Kelarutan Natrium Tripolifosfat (g/100 mL) pada suhu 25 oC
adalah 20g dan pada suhu 100oC adalah 86,5g. Larutan Natrium Tripolifosfat
konsentrasi 1% memiliki pH 9,7 9,8. Apabila Natrium Tripolifosfat
dipanaskan dalam waktu yang panjang, maka senyawa tersebut akan kembali
13

menjadi bentuk ortofosfat. Stabilitas senyawa ini lebih tinggi daripada


metafosfat, tetapi lebih tidak stabil bila dibandingkan dengan tetrasodium
pirosfat (ONeil, dkk., 2006).
Tripolifosfat adalah polianion non-toksis, dalam larutan berair akan
menghasilkan ion hidroksil (-OH-) dan ion-ion tripolifosfat (P3O105-,P3O104- dan
H3P3O102-). Apabila pH larutan TPP diatur pada kondisi asam maka yang ada
hanya ion-ion tripolifosfat. Anion-anion ini dapat berinteraksi dengan PVA
melalui gaya elektrostatik untuk membentuk jaringan ion tersebut (Alauhdin,
dkk., 2014).
Dalam teknologi farmasi, Tripolifosfat (TPP) digunakan sebagai bahan
dalam pembuatan sistem mikropartikel. TPP dipilih sebagai senyawa sambung
silang pada gelasi ionik kitosan, karena sifatnya yang non toksik, mampu
membentuk gel dengan cepat, lebih stabil dan memiliki karakter penembusan
membran yang lebih baik (Lin, dkk., 2008).
Proses sambung silang dapat dilakukan pada dua kondisi pH, yaitu pH 3
dan pH 9. Pada pH 3 hanya dihasilkan ion Tripolifosfat yang akan berinteraksi
dengan -NH3+ dari kitosan sehingga pada kondisi tersebut diperoleh kitosan-
TPP yang didominasi oleh interaksi ionik, sedangkan pada pH 9 dihasilkan ion
hidroksil dan tripolifosfat. Kedua ion tersebut berkompetisi untuk berinteraksi
dengan NH3+. Pada kondisi tersebut sambung silang kitosan didominasi oleh
deprotonasi oleh ion hidroksil. Begitu juga pada polimer polivinil alkohol
dengan crosslinker TPP dimana terjadi interaksi ionik antara ion hidroksil dan
tripolifosfat dari TPP dengan OH2+ dari polivinil alkohol (Bhumkar dan
Pokharkar, 2006).

2.6 Gelasi Ionik


Metode gelasi ionik merupakan metode yang digunakan dalam
penyiapan nanopartikel karena sangat sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Mekanisme terbentuknya nanopartikel yaitu dari polimer yang dilarutkan pada
larutan dengan pH asam untuk mengubah gugus amina (-NH2) menjadi
14

terionisasi positif (-NH3+). Gugus yang telah terionisasi positif ini selanjutnya
mampu membentuk interaksi ionik dengan obat yang bermuatan negatif
(Bhumkar and Pokharkar, 2006).
Secara keseluruhan, sistem yang terbentuk cenderung menyisakan gugus
amonium bebas yang akan saling tolak-menolak sehingga melemahkan
kompleks mikropartikel yang telah terbentuk. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan adanya suatu pengikat silang (crosslinker) yang mampu
menstabilkan muatan positif yang tersisa. Pengikat silang ini harus berupa poli-
anion, dan salah satu yang banyak digunakan adalah anion tripolifosfat (TPP)
(Kafshgari, et al., 2011).

2.7 Toksisitas
Toksisitas dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menandakan
adanya efek toksik atau racun yang terdapat pada suatu bahan sebagai sediaan
dosis tunggal atau campuran (Hodgson, 2010). Uji toksisitas terdiri atas dua
jenis, yaitu uji toksisitas umum (akut, subkronis, kronis) dan uji toksisitas
khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Pengujian toksisitas akut
digunakan untuk menentukan jangka atau jarak dosis letal dan berbagai efek
atas berbagai fungsi penting seperti : gerak, tingkah laku dan pernafasan. Ketiga
fungsi penting tersebut seringkali memberikan informasi atas penyebab
kematian. Pengujian toksisitas subakut dan kronik dipergunakan untuk
mengungkapkan berbagai efek berbahaya yang dapat terjadi bila suatu senyawa
dipergunakan selama waktu tertentu serta untuk memperlihatkan apakah
berbagai efek tersebut berkaitan dengan dosis (Depkes, 2000).
Pada umumnya segala metode uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua
golongan. Golongan pertama terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan
eksperimental. Uji-uji ini diidentifikasi sebagai uji ketoksikan tak khas, yaitu uji
toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Golongan
kedua uji toksikologi terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik atau uji ketoksikan khas.
15

Termasuk dalam uji ketoksikan khas, yaitu uji potensi, uji teratogenik, uji
reproduksi, uji mutagenik, kulit dan mata, dan uji perilaku (Loomis, 1978).
Uji toksisitas akut adalah salah satu uji yang dimaksudkan untuk
mengetahui efek toksik suatu senyawa dalam waktu singkat setelah pemejanan
atau pemberiannya dengan takaran tertentu (Donatus, 2005). Data kuantitatif
yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini adalah LD50 sedangakan data
kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji.
Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan potensi
ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat
digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Donatus,
2005). Uji toksisitas akut merupakan uji yang penting untuk dilakukan karena :
1. Pengamatan atas jumlah kematian hewan uji dapat digunakan untuk
mendapatkan dosis atau konsentrasi letal median (LD50 atau
LC50). LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang
secara statistik diharapkan dapat membunuh 50% hewan uji (Lu,
1995).
2. Uji toksisitas akut dapat menampakan efek yang tidak terdeteksi
pada uji dengan dosis berulang karena dosis yg lebih rendah
diberikan belakangan atau karena toleransi (Balazs, 1970).
3. Hasil uji digunakan untuk mendesain uji sub kronik dan kronik,
mengklasifikasikan ketoksikan relatif suatu zat, dan acuan dalam
manajemen resiko terpapar suatu zat pada manusia atau lingkungan
(Hodgson & Levy, 2000).
Toksisitas bersifat relatif dan harus digambarkan sebagai suatu
kekerabatan dosis-efek antar senyawa yang relatif. Beberapa senyawa dapat
menimbulkan efek dengan dosis yang kecil namun ada pula senyawa yang
membutuhkan dosis yang relatif besar agar dapat berefek. Senyawa dengan
dosis kecil yang dapat menimbulkan efek merupakan senyawa yang poten
sekaligus senyawa yang memiliki toksisitas tinggi. Sedangkan senyawa yang
membutuhkan dosis yang besar agar berefek ialah senyawa yang kurang poten
dan merupakan senyawa yang kurang toksik. Karena tidak semua senyawa
dengan dosis yang sama dapat menimbulkan bahaya, maka dibuat perumusan
16

golongan toksisitas atas dasar jumlah besarnya senyawa (dosis) yang diperlukan
untuk menimbulkan bahaya (Loomis, 1987). Salah satu contoh penggolongan
tersebut yaitu:
1. Luar biasa Toksik (1 mg/kg atau kurang)
2. Sangat toksik (1 50 mg/kg)
3. Cukup toksik (50 - 500 mg/kg)
4. Sedikit toksik (0,5 5 g/kg)
5. Praktis tidak toksik (5 15 g/kg)
6. Relatif kurang berbahaya (lebih daripada 15 g/kg)
(Loomis, 1987)
LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat yang diturunkan secara statistik
yang menyebabkan kematian 50% hewan percobaan (Loomis, 1987).

Anda mungkin juga menyukai