TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temulawak
4
5
bulat seperti telur dengan warna kulit rimpang sewaktu masih muda
maupun tua adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning
dengan cita rasa pahit, berbau tajam dan keharumannya sedang. Untuk
sistem perakaran tanaman temulawak termasuk tanaman yang berakar
serabut dengan panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan
(Rahmat, 1995).
Pemerian temulawak berupa kering tipis, bentuk bundar dan
jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah hingga 6 cm, tebal 2-5 mm;
permukaan luar berkerut, warna coklat kekuningan hingga cokelat;
bidang irisan berwarna cokelat; bidang irisberwarna coklat buram,
melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan
melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks; korteks
sempit, tebal 3-4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga
hingga cokelat jingga terang. Bau khas, rasa tajam dan agak pahit
(Depkes RI, 2008).
2.1.3 Kandungan Kimia
Temulawak mengandung zat warna kuning 1-2% ( Curcumin dan
monodesmethoxy-curcumin), minyak atsiri, kurkuminoid yang terdiri
dari 1,2- 2%, komponen minyak atsiri lainnya (Sudarsono, 1996).
Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) keluarga
Zingiberaceae kurkumin, xanthorizol, serta mengandung minyak atsiri
tidak kurang dari 5,80% v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 4,0%
dihitung sebagai kurkumin (Depkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2011).
2.1.4 Khasiat dan Kegunaan
Ekstrak temulawak mengandung beberapa senyawa didalamnya,
diantaranya adalah kurkuminoid. Kurkuminoid terdiri atas campuran
kurkumin dan demetoksi kurkumin yang mempunyai warna kuning atau
kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit. Larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat glasial dan alkali hidroksida. Kurkumin
6
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakkan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara
ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakkan
medium pengekstraksi (menstruum) yang tertentu pula (Goeswin, 2009).
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan
mentah dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan
akan larut. Pemilihan sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus
berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat
aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Depkes
RI, 1979).
Metode ekstraksi yang tepat sangat tergantung pada tekstur dan
kandungan air bahan-bahan yang akan diekstraksi. Ekstraksi sendiri dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya dengan metode maserasi, perkolasi dan
sokletasi.
A. Metode maserasi
7
2.3 Nanopartikel
Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer.
Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa
obat yang melalui senyawa obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat
berukuran nanometer yang disebut nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi
dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran nanometer yang disebut dengan
nanocarrier (Rachmawati, 2007).
Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal
dan nanocarrier. Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube,
liposom, nanopartikel lipid padat (Solid Lipid Nanoparticle/SLN), misel,
dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain-lain (Rawat et al., 2006).
Keuntungan menggunakan nanopartikel sebagai sistem pengiriman obat
adalah sebagai berikut (Mohanraj and Chen, 2006):
8
2.4 Kitosan
Kitosan (poly--1,4-glucosamine) adalah polimer alami yang memiliki
struktur molekulnya menyerupai selulosa dengan perbedaan yang terletak pada
11
gugus rantai C-2, dimana gugus OH pada C-2 digantikan oleh gugus amina (-
NH2) (Hardjito, 2006). Rumus struktur kitosan seperti pada gambar 2.4
(Rodrigues et al., 2012).
2.5 Tripoliposfat
Natrium tripolifosfat atau sodium tripolyphospate (TPP) biasa dikenal
juga dengan nama triphosphate atau pentasodium tripolyphosohate (Na5P3O10)
merupakan rantai lurus hasil derivatisasi dari asam fosforat. Rumus struktur
natrium tripolifosfat seperti pada gambar 2.5 (Oneil dkk, 2006).
terionisasi positif (-NH3+). Gugus yang telah terionisasi positif ini selanjutnya
mampu membentuk interaksi ionik dengan obat yang bermuatan negatif
(Bhumkar and Pokharkar, 2006).
Secara keseluruhan, sistem yang terbentuk cenderung menyisakan gugus
amonium bebas yang akan saling tolak-menolak sehingga melemahkan
kompleks mikropartikel yang telah terbentuk. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan adanya suatu pengikat silang (crosslinker) yang mampu
menstabilkan muatan positif yang tersisa. Pengikat silang ini harus berupa poli-
anion, dan salah satu yang banyak digunakan adalah anion tripolifosfat (TPP)
(Kafshgari, et al., 2011).
2.7 Toksisitas
Toksisitas dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menandakan
adanya efek toksik atau racun yang terdapat pada suatu bahan sebagai sediaan
dosis tunggal atau campuran (Hodgson, 2010). Uji toksisitas terdiri atas dua
jenis, yaitu uji toksisitas umum (akut, subkronis, kronis) dan uji toksisitas
khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Pengujian toksisitas akut
digunakan untuk menentukan jangka atau jarak dosis letal dan berbagai efek
atas berbagai fungsi penting seperti : gerak, tingkah laku dan pernafasan. Ketiga
fungsi penting tersebut seringkali memberikan informasi atas penyebab
kematian. Pengujian toksisitas subakut dan kronik dipergunakan untuk
mengungkapkan berbagai efek berbahaya yang dapat terjadi bila suatu senyawa
dipergunakan selama waktu tertentu serta untuk memperlihatkan apakah
berbagai efek tersebut berkaitan dengan dosis (Depkes, 2000).
Pada umumnya segala metode uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua
golongan. Golongan pertama terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan
eksperimental. Uji-uji ini diidentifikasi sebagai uji ketoksikan tak khas, yaitu uji
toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Golongan
kedua uji toksikologi terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik atau uji ketoksikan khas.
15
Termasuk dalam uji ketoksikan khas, yaitu uji potensi, uji teratogenik, uji
reproduksi, uji mutagenik, kulit dan mata, dan uji perilaku (Loomis, 1978).
Uji toksisitas akut adalah salah satu uji yang dimaksudkan untuk
mengetahui efek toksik suatu senyawa dalam waktu singkat setelah pemejanan
atau pemberiannya dengan takaran tertentu (Donatus, 2005). Data kuantitatif
yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini adalah LD50 sedangakan data
kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji.
Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan potensi
ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat
digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Donatus,
2005). Uji toksisitas akut merupakan uji yang penting untuk dilakukan karena :
1. Pengamatan atas jumlah kematian hewan uji dapat digunakan untuk
mendapatkan dosis atau konsentrasi letal median (LD50 atau
LC50). LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang
secara statistik diharapkan dapat membunuh 50% hewan uji (Lu,
1995).
2. Uji toksisitas akut dapat menampakan efek yang tidak terdeteksi
pada uji dengan dosis berulang karena dosis yg lebih rendah
diberikan belakangan atau karena toleransi (Balazs, 1970).
3. Hasil uji digunakan untuk mendesain uji sub kronik dan kronik,
mengklasifikasikan ketoksikan relatif suatu zat, dan acuan dalam
manajemen resiko terpapar suatu zat pada manusia atau lingkungan
(Hodgson & Levy, 2000).
Toksisitas bersifat relatif dan harus digambarkan sebagai suatu
kekerabatan dosis-efek antar senyawa yang relatif. Beberapa senyawa dapat
menimbulkan efek dengan dosis yang kecil namun ada pula senyawa yang
membutuhkan dosis yang relatif besar agar dapat berefek. Senyawa dengan
dosis kecil yang dapat menimbulkan efek merupakan senyawa yang poten
sekaligus senyawa yang memiliki toksisitas tinggi. Sedangkan senyawa yang
membutuhkan dosis yang besar agar berefek ialah senyawa yang kurang poten
dan merupakan senyawa yang kurang toksik. Karena tidak semua senyawa
dengan dosis yang sama dapat menimbulkan bahaya, maka dibuat perumusan
16
golongan toksisitas atas dasar jumlah besarnya senyawa (dosis) yang diperlukan
untuk menimbulkan bahaya (Loomis, 1987). Salah satu contoh penggolongan
tersebut yaitu:
1. Luar biasa Toksik (1 mg/kg atau kurang)
2. Sangat toksik (1 50 mg/kg)
3. Cukup toksik (50 - 500 mg/kg)
4. Sedikit toksik (0,5 5 g/kg)
5. Praktis tidak toksik (5 15 g/kg)
6. Relatif kurang berbahaya (lebih daripada 15 g/kg)
(Loomis, 1987)
LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat yang diturunkan secara statistik
yang menyebabkan kematian 50% hewan percobaan (Loomis, 1987).