Anda di halaman 1dari 10

KESEIMBANGAN IS-LM DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kondisi perekonomian merupakan indikator utama dalam mengukur tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat. Sebuah Negara akan dipandang sebagai Negara yang
sejahtera manakala memiliki system ekonomi yang mapan dan memiliki pendapatan yang
mencukupi. Sebaliknya, kondisi perekonomian yang carut-marut, banyak warga yang
berada di bawah garis kemiskinan, jutaan rakyat menganggur, maka Negara tersebut tidak
dapat dikatakan Negara sejahtera.
Paradigma inilah yang menjadikan ilmu ekonomi sebagai ilmu yang paling
penting dalam kehidupan manusia. Berbagai teori dikemukakan oleh para ahli dan para
pemikir dari zaman Yunani hingga saat ini. Semua teori dan pandangan tersebut
diperuntukkan membangun masyarakat yang lebih berkeadilan dan lebih sejahtera.
Dalam menentukan tingkat kegiatan ekonomi suatu Negara (makro), para ekonom
menjadikan keseimbangan ekonomi sebagai sebuah tolak ukur. Yang dimaksud dengan
analisis keseimbangan adalah analisis ekonomi makro tentang terbentuknya tingkat harga
dan jumlah output berdasarkan asumsi bahwa pada setiap pasar (barang dan jasa, tenaga
kerja, uang) permintaan telah sama dengan penawaran, sehingga permintaan agregat
sama dengan penawaran agregat.
Selama ini, terdapat tiga model pendekatan yang digunakan para ekonom dalam
mengukur tingkat keseimbangan tersebut. Pendekatan teori Klasik, Keynesian dan
Sintesis Klasik-Keynesian . Namun, yang paling banyak digunakan pada beberapa
dasawarsa ini adalah pendekatan terakhir, yakni Sintesis Klasik-Keynesian. Adapun
model yang digunakan adalah analisis IS-LM dengan menjadikan variabel bunga sebagai
indicator utama.
Model keseimbangan umum ini menjadi tidak aplikatif (relevan) jika dijadikan
rujukan dalam Islam. Alasannya, prinsip hukum (syariah) Islam yang melarang praktek
bunga dalam ekonomi, karena bunga dikategorikan sebagai riba dalam Islam. Absensi
bunga ini tentu membuat salah satu pasar utama dalam perekonomian konvensional, yaitu
pasar moneter menjadi tidak relevan dalam pembahasan keseimbangan umum ekonomi
Islam. Terlebih lagi ada beberapa kelemahan yang memang melekat dalam penjelasan
keseimbangan umum ekonomi konvensional, terutama kelemahan yang ditunjukkan oleh
ketidak-konsistenan definisi dan peran bunga dalam pasar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami merumuskan pembahasan pada
poin-poin berikut:
1. Pengertian Keseimbangan
2. Keseimbangan Pasar Barang Dan Pasar Uang Dalam Perspektif Islam.
3. Kebijaksanaan Fiskal Dan Moneter Dalam Perspektif Islam

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Keseimbangan
Ditinjau dari asal kata keseimbangan yaitu seimbang, yang berarti tidak berat sebelah.
Jadi keseimbangan sesuai dengan konsentrasi pembahasan kami yaitu pasar barang dan
pasar uang, berarti titik temu (perpotongan) antara kurva IS (pasar barang) dengan kurva
LAM (pasar uang dalam perspektif Islam), atau yang biasa disebut dengan istilah
ekuilibrium.
2. Keseimbangan Pasar Barang Dan Pasar Uang Dalam Perspektif Islam
Perbedaan antara keseimbangan pasar barang dan pasar uang konvensional dengan Islam
adalah, terdapat pada suku bunga dan bagi hasil. Dalam Islam semakin tinggi rasio profit
sharing maka tingkat investasi semakin tinggi, sebaliknya jika rasio profit sharing rendah
maka tingkat investasi makin rendah. Beda halnya dengan perspektif konvensional,
semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah tingkat investasi, sebaliknya jika suku
bunga rendah maka tingkat investasi makin tinggi.
a. Pasar Barang Dalam Perspektif Islam.
Ada satu hal yang menjadi ciri dari pasar barang dalam sistem ekonomi
konvensional, yaitu adanya instrumen suku bunga yang menjadi faktor penentu
besaran investasi di masyarakat. Hal ini tentunya akan bertentangan dengan konsep
perekonomian dalam Islam yang jelas-jelas mengharamkan suku bunga, karena sama
dengan riba. Pernyataan ini mengacu kepada definisi riba, yaitu tambahan yang
terjadi tanpa adanya aktifitas di sektor riil. Dengan mengacu pada definisi ini, sangat
jelas bahwa suku bunga termasuk bagian dari riba.
Apabila tingkat bunga merupakan suatu instrumen yang dilarang, maka
bagaimana kondisi perekonomian yang terjadi khususnya di pasar barang? Dalam
Islam, suku bunga diganti dengan ekonomi bagi hasil, sehingga insentif dalam
melakukan investasi adalah besaran bagi hasil. Besaran bagi hasil yang menjadi daya
tarik bagi investor untuk melakukan investasi adalah share dari keuntungan yang
dibagi kepada investor dan kepada pengelola. Semakin besar bagian bagi hasil yang
akan diterima oleh investor, idealnya akan menigkatkan motivasi bagi investor untuk
semakin banyak melakukan investasi. Demikian juga halnya dengan return, semakin
besar profit dalam suatu investasi, maka tingkat bagi hasil akan semakin tinggi.
Dalam menjelaskan model IS (kurva yang menggambarkan keseimbangan di
pasar barang), Khan menjelaskan terlebih dahulu dari fenomena permintaan investasi
di pasar barang . sebagaimana di konvensional, investasi adalah bagian dari
komponen permintaan agregat di pasar barang selain konsumsi (C) dan belanja
pemerintah (G).
Permintaan investasi di pasar barang akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
sumberdaya yang dapat mendukung kegiatan investasi, besarran keuntungan yang
akan didapatkan dari usaha, ketersediaan modal dan juga adanya bagian dari SDM
yang akan memiliki kemauan dan kemampan kewirausahaan, dengan
mempertimbangkan tingkat keuntungan dan besaran resiko tertentu.
Terkait dengan keuntungan, besarnya keuntungan ini akan diukur dengan
menggunakan besaran standar upah minimum. Singkatnya, kesediaan seorang
entrepreneur untuk menggeluti suatu bisnis akan tergantung kepada besaran resiko
dan keuntungan, dimana penjumlahan secara simultan antara besaran keuntungan
dengan resiko kerugian minimal sama dengan besaran upah minimum. Selain itu,
untuk mendapatkan suatu tungkat keuntungan tertentu akan sangat dipengaruhi oleh
besaran modal yang digunakan dalam berinvestasi. Kegiatan investasi akan
mengahsilkan keuntungan yang maksimal jika modal investasi terus ditambah.
Namun setelah investasi menghasilkan keuntungan maksimum, penambahan modal
investasi yang selanjutnya akan menghasilkan tingkat keuntungan yang tidak lebih
tinggi.
Secara umum, kondisi ini hanya dapat terjadi pada kondisi dimana modal yang
tersedia tidak dalam bentuk bunga, melainkan dalam bentuk bagi hasil, mudharabah,
ataupun musharakah.
Permintaan investasi secara agregat akan sangat dipengaruhi oleh permintaan
investasi di tingkat mikro. Dimana besaran investasi di tingkat mikro ini akan sangat
dipengaruhi oleh ekspektasi keuntungan dan bagi hasil yang diklaim oleh pemilik
dana.
b. Permintaan Uang Dalam Perspektif Islam
Permintaan akan uang dalam suatu sistem perekonomian yang Islami akan
dipengaruhi oleh motif seorang muslim dalam memegang uang. Menurut Metwally
ada 2 motif utama seorang muslim dalam memegang uang, yaitu: motivasi transaksi
dan motifasi berjaga-jaga.
Dengan 2 motif ini jelas, bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi sperti
yang dikemukakan Keynes, tidak akan ada dalam suatu sistem perekonomian yang
Islami. Permintaan uang dalam ekonomi Islam menurut Metwally juga dipengaruhi
oleh tingkat pendapatan. Besarnya persediaan uang tunai akan berhubungan dengan
tingkat pendapatan dan frekuensi pengeluaran.
Selain dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya, permintaan uang dalam sistem
ekonomi Islam juga tergantung pada ekspektasi return dari financial aset. Ekspektasi
return yang tinggi dari financial aset menyebabkan uang menjadi kurang bermanfaat
jika uang hanya dipegang dan tidak diinvestasikan.
Meski demikian, adanya rasa tanggung jawab seorang muslim dalam membantu
sesama muslim lainnya, maka motiv memegang uang sering kali dilandasi sikap
untuk dapat memberikan pinjaman qardhul hasan kepada orang lain sebagai upaya
untuk membantu mereka yang membutuhkan dana pinjaman jangka pendek.
Permintaan uang yang dimaksudkan untuk pinjaman kebaikan ini disebut dengan
motif altruistic.
Keinginan dasar untuk memegang uang pada saat return rendah dan dorongan
untuk melakukan investasi pada saat return yang tinggi. Dengan kondisi ini maka
motif memegang uang untuk tujuan altruistic akan lebih besar pada saat return
investasi dari aset finansial rendah dari pada ketika ekspektasi return investasi tinggi.
Dalam Islam terdapat suatu institusi pengendali dari permintaan uang yang spekulatif
yaitu zakat. Dengan adanya zakat, maka akan memperkuat motif memegang uang
untuk motif altruistic.
3. Kebijaksanaan Fiskal Dan Moneter Dalam Perspektif Islam
a. Kebijaksanaan Fiskal Dalam Perspektif Islam
Kebijaksanaan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam.
Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum muslimin cukup
berpengalaman dalam menerapkan beberapa instrumen sebagai kebijakan fiskal, yang
diselenggarakan pada lembaga baitulmaal (national treasury). Dari berbagai macam
instrumen, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak khusus muslim), tanah
kharaj, dan ushur (cukai) atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai
terhadap pedagang kaum muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang
berat bagi masyarakat. Pada saat perekonomian sedang krisis, yang membawa
dampak terhadap keuangan negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak
merosot seiring dengan merosotnya aktivitas ekonomi, maka kewajiban-kewajiban
tersebut beralih kepada kaum muslimin. Semisal krisis ekonomi yang menyebabkan
warga negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jizyah
maupun pajak atas orang Islam, sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan
biaya yang diambil dari para muslim yang kaya.
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam
rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari cara islam memecahkan
masalah ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara
mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana
distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan
permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi
ekonomi yang adil. Allah swt mengingatkan kita betapa sangat pentingnya masalah
distribusi harta ini dalam firman-Nya QS. al-Hasyr:7 yang artinya: apa saja harta
rampasan (faii) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Makkah adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan rasul padamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah pada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.
Juga dalam hadits Nabi saw: tidak beriman pada-Ku, tidak beriman pada-Ku, orang
yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan. (hadits
qudsi).
b. Kebijaksanaan Fiskal Pada Masa Rosulullah
Segala kegiatan yang dilakukan oleh Rosulullah dalam awal masa pemerintahan
dilakukan berdasarkan keikhlasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada.
Umumnya para sahabat tidak meminta balasan meterial dari segala kegiatan mereka
dalam berdakwah.
Dengan adanya Perang Badar pada abad ke-2 Hijriah, negara mulai mempunyai
pendapatan dari 1/5 rampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai
dengan firman Allah dalam QS. al-Anfal:41, yang artinya: ketahuilah, sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya 1/5
untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu
sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada
hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu Dalam ayat tersebut Allah swt
menjelaskan bahwa bagian 1/5 adalah hak Allah, Rasul dan kerabatnya, golongan
yatim, golongan miskin dan ibnu sabil. Sedangkan 4/5 sissanya adalah milik para
pejuang yang berhak atas rampasan perang tersebut. Hal ini berlangsung selama masa
Rosululloh, sedangkan setetlah beliau wafat maka khulafa ar rasyidin membagi
bagian yang 1/5 itu kepada tiga bagian dengan menghapuskan saham Rasul dan
kerabatnya.
Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula pendapatan dari
tebusan tawanan pereang bagi yang ditebus (rata-rata 4000 dirham/tawanan), tetapi
bagi yang tidak ditebus diwajibkan mengajar membaca masing-masing 10 orang
muslim. Kemudian sebagai akibat penghiatan Bani Nadhir terhadap Nabi setelah
Perang Uhud, Rosulullah mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah
Islam.
Pada masa Rasul saw juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh
orang non-muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti,
ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Besarnya jizyah 1 dinar/tahun
untuk orang dewasa yang mampu mebayarnya. Pihak yang wajib membayar jizyah
adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli
kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Buddha, dan komunis yang telah menjadi
warga negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, baligh dan
berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan
berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah
tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan
membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.
Adapun sumber lain berasal dari kharaj (pajak tanah) yang dipungut kepada non-
muslim ketika Khaibar ditaklukkan, jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah
dari hasil produksi. Jadi, pengertian kharaj adalah kebijakan fiskal yang diwajibkan
atas tanah pertanian di negara-negara Islam yang baru berdiri. Para fuqaha
menetapkan bahwa al- kharaj adalah rezki yang diberikan allah kepada kaum
muslimin karena kemenengan mereka atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharaj
dilaksanakan setiap setahun sekali.
Sedangkan ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang,
dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya
lebih dari 200 dirham. Jadi, ushr ini diwajibkan pada komoditas perdagangan yang
diekspor maupun diimpor dalam sebuah negara Islam. Ushr juga dipungut terhadap
pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan karena adanya
perjanjian damai antara kaum muslimin dengan mereka, yang salah satu poinnya
menyebutkan tentang ushr ini. Tetapi jika ushr tidak disebutkan dalam perjanjian
damai, maka tidak boleh mengambil ushr dari pedagang kafir dzimmi. Jadi, ushr
dipungut karena adanya sebab-sebab syara. Sedangkan jika tak ada sebab-sebab
seperti di atas, maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya
haram.
Pada abad ke-2 Hijrah Rasul saw menetapkan tingkat pembayaran zakat, sekaligus
menjelaskan pula harta yang wajib dizakati, di antaranya yaitu emas dan perak,
perniagaan, peternakan, tanaman, dan barag-barang temuan atau harta karun atau
rikaz.
Selain itu, masih ada lagi yang disebut amwal fadhla, yaitu harta benda kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang
muslim yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain adalah nawaib, pajak yang
jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam
rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada
masa Perang Tabuk.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, sumber penerimaan pada masa Rasul saw
dapat digolongkan menjadi 3, yaitu: dari kaum muslim, non-muslim dan dari sumber
lain. Dari golongan muslim terdiri atas: zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, amwal fadhla,
nawaib, dan tentu saja shadaqah seperti qurban dan kafarat. Dari non-muslim terdiri
atas: jizyah, kharaj, ushr. Sedangkan dari sumber lain, misalnya: ghanimah, faii,
uang tebusan, hadiah dari pemimpin dan negara lain, pinjaman dari kaum muslim dan
non-muslim.
Belanja pemerintah pada masa Rosul meliputi hal-hal pokok yaitu: biaya
pertahanan negara, penyaluran zakat dan ushr untuk mereka yang berhak
menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang negara serta
bantuan untuk musafir. Sedangkan untuk hal-hal yang sekunder diperuntukkan bagi:
bantuan orang yang belajar di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan dan
utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin.
Untuk mengelola sumber penerimaan dan pengeluaran negara, maka Rasul saw
menyerahkannya kepada baitul maal dengan menganut asas anggaran berimbang
(balance budget), artinya semua peneriman habis digunakan untuk pengeluaran
negara (government expenditure).
c. Kebijaksanaan Fiskal Masa Setelah Rosulullah saw (Khalifah Abu Bakar ash shiddiq,
51 SH-13 H/573-634 M) Langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam
menyempurnakan ekonomi Islam: Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat.
Pengembangan pembangunan baitul maal dan penanggung jawab baitul maal (Abu
Ubaida).
Menetapkan konsep balance budget policy pada baitul maal. Melakukan penegakan
hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak. Secara individu
Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
d. Kebijakan Moneter Dalam Perspektif Islam
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi
makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah
uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi
kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah
atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar.
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian Islam,
adalah menggunakan fariabel cadangan uang dan bukan suku bunga. Bank sentral
harus menggunakan kebijakan moneternya untuk menghasilkan suatu
pertumbuhan dalam sirkulasi uang yang mencukupi untuk membiayai
pertumbuhan potensial dalam output selama periode menengah dan panjang,
dalam kerangka harga-harga yang stabil dan sasaran sosioekonomi lainnya.
Tujuannya untuk menjamin ekspansi moneter yang pas, tidak terlalu lambat tapi
juga tidak terlalu cepat, tetapi cukup mampu menghasilkan kesejahteraan yang
merata bagi masyrakat. Laju pertumbuhann yang dituju haruslah bersifat
kesinambungan, realistis serta mencakup jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk mewujudkan sasaran Islam, tidak saja harus melakukan reformasi
perekonomian dan masyarakat sejalan dengan garis-garis Islam, tetapi juga
memerlukan peran positif pemerintah dan semua kebijakan negara termasuk
fiskal, moneter dan pendapatan, harus berjalan seirama.
BAB III
KESIMPULAN
Karena nilai nilai moral akidah dan akhlak serta ketentuan ketentuan hukum
syariah tidak memperkenankan praktek praktek ekonomi yang mengandung
riba, maisir dan spekulasi, maka muara aktifitas ekonomi secara makro lebih
dideskripsikan oleh mekanisme di pasar barang dan jasa. Moneter dalam definisi
konvensional tidak sejalan dengan nilai dan ketentuan hukum syariah Islam,
sehingga keberadaannya menjadi tidak ada dalam perekonomian yang menganut
perspektif Islam. Konsep keseimbangan umum dalam Islam lebih sebagai sebuah
keseimbangan satu sektoral (single sector), dimana keseimbangan umumnya
identik dengan keseimbangan pasar riil (barang dan jasa). Sehingga segala jenis
aktifitas ekonomi akan tergambar dalam interaksi permintaan dan penawaran pada
pasar barang dan jasa. Sementara itu, perekonomian tentu tidak akan lengkap jika
tidak membahas keterkaitannya dengan penyediaan uang sebagai medium of
transaction. Urgensi dari keberadaan uang telah menjadi sebuah keharusan bagi
sistem ekonomi. Namun dalam Islam, uang tidak berperan lebih besar kecuali
sebagai alat pembayaran atau alat penyimpan nilai (kekayaan).

DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul. Ekonomi Makro Islam, Pendekatan Teoritis. 2008. Perdana Media
Group: Jakarta
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro-Ekonomi, Edisi Kedua. 1997. PT Raja
Grafindo Persada: Jakarta
www.abiaqsa.blogspot.com >> Kamis, 26 Maret 2009
www.keadilanekonomisyariah.blogspot.com >> Kamis, 26 Maret 2009
www.organisasi.org >> Jumat, 27 Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai