DIABETES MELITUS
A. Definisi
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme dengan karakteristik manifestasi peningkatan kadar gula
darah (hiperglikemi) sebagai hasil dari gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya.
Insulin adalah hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pancreas yang diperlukan untuk metabolism
glukosa dari makanan yang dikonsumsi sebagai sumber energy. Jika telah berkembang penuh secara
klinis, maka diabetes melitus akan menyebabkan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang
dapat menyebabkan gangguan penglihatan (retinopati diabetic, kebutaan, neuropati, nefropati, amputasim
penyakit vaskular dan stroke.
Tipe diabetes berdasarkan dari etiologi, kedua tipe yang paling sering ditemukan adalah tipe 1 dan tipe 2
diabetes. Karakteristik dari kedua penyakit ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tipe 1 Tipe 2
Umur Masa kecil Masa pubertas
Onset Akut, berat Ringan-berat, tiba-tiba tanpa
disadari
Sekresi Insulin Sangat rendah Bervariasi
Sensitivitas Insulin Normal Menurun
Dependensi terhadap Insulin Permanen Sementara permanen
Ras/Etnik dengan resiko tinggi Semua (rendah pada orang Asia) African Americans, Hispanics,
Native Americans, Asian/Pacific
Islanders
Genetik Poligenik Poligenik
Proporsi 80% 10-20%
Hubungan dengan Obesitas Tidak Sangat berhubungan
Acanthosis nigricans Tidak Iya
Etiologi dari autoimun Iya Tidak
Sumber: Diambil dari Orr, DP. Contemporary management of adolescents with diabetes mellitus. Part 1:
Type 1 diabetes. Adolescent Health Update 2000;12(2), Table 2, p 3
B. Epidemiologi
Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia pada abad 21.
Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada
tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.
Menurut data dari Depkes RI tahun 2009, prevalensi DM di Indonesia mencapai jumlah
8.426.000 (tahun 2000) yang diperikakan pada tahun 2030 akan mencapai 21.257.000. Artinya, terjadi
kenaikan tiga kali lipat dalam 30 tahun. Sedangkan hasil riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah
perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6
yaitu 5,8%.
Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, Direktur Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Likungan Departemen Kesehatan RI mengatakan berdasarkan hasil Riskesdas
2007 prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun
diperkotaan 5,7%. Prevalensi nasional Obesitas umum pada penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3%
dan sebanyak 12 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas sentral pada
penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional.
Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan
adalah 10.2% dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Prevalensi
kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10
tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun
sebesar 23,7% dan prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6%.
C. Etiopatogenesis
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang diturunkan secara genetik. Manifestasi
klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta rusak. Determinan genetik diabetes tipe 1
berkaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen[HLA]) spesifik (DW3 dan DW4).
HLA ini memberi kode pada protein - protein yang berperan penting dalam monosit-limfosit. Protein-
protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun. Jika terjadi kelainan,
fungsi limposit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau
langerhans.
Infiltrasi pulau pangkreas oleh makrofag yang teraktivasi, limposit T sitotoksik dan supresor, dan
limposit B menimbulkan insulitis dekstruktif yang sangat selektif terhadap populasi sel . Sekitar 70-
90% sel hancur sebelum timbul gejala klinis. DM tipe 1 merupakan gangguan poligenik sebesar 30%.
Terdapat kaitan dengan HLA DR3 dan DR4 di dalam kompleks histokompatibilitas mayor pada
kromosom 6, walaupun alel ini dapat merupakan marker untuk lokus lain yang berperan dalam antigen
HLA kelas II yang terlibat dalam inisiasi respon imun. Faktor lingkungan juga dapat berperan penting
sebagai etiologi diabetes tipe 1 : peran virus dan diet sedang diteliti.
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, mencakup 85%
pasien diabetes. Untuk kebanyakan individu, diabetes melitus tipe 2 tampaknya berkaitan dengan
kegemukan. Diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang belum teridentifikasi menyebabkan pankreas
mengeluarkan insulin yang berbeda, atau menyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat
berespons secara adekuat terhadap insulin. Terdapat kemungkinan lain bahwa kaitan rangkai genetik
antara yang dihubungkan dengan kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptor-reseptor insulin.
Rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor-reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah
reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut downregulation. Penelitian lain
menduga bahwa defisit hormon leptin, akibat kekurangan gen penghasil leptin atau tidak berfungsi,
mungkin bertanggungjawab untuk diabetes melitus tipe 2 pada beberapa individu. Tanpa gen leptin, yang
sering disebut gen obesitas pada hewan, manusia gagal berespons terhadap tanda kenyang,sehingga
menjadi gemuk dan menyebabkan insensitivitas insulin.
Meskipun obesitas merupakan resiko utama untuk diabetes melitus tipe 2, ada beberapa individu
yang menderita diabetes tipe 2 di usia muda dan individu yang kurus atau dengan berat badan yang
normal. Salah satu contoh tipe penyakit ini adalah MODY (maturity-onset diabetes of the young), suatu
kondisi yang dihubungkan dengan defek genetik (mutasi) pada sel beta pangkreas yang tidak mampu
menghasilkan insulin. MODY disebut diabetes monogenik karena merupakan proses kompleks yang
disebabkan oleh kombinasi dari multiple gen dan faktor lingkungan.
Klasifikasi dan Patogenesis Diabetes Mellitus
Diabetes tipe 1 adalah diabetes yang bergantung pada insulin dimana tubuh kekurangan hormon
insulin,dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Hal ini disebabkan
hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1
banyak ditemukan pada balita, anak-anak dan remaja.
Sampai saat ini, Diabetes Mellitus tipe 1 hanya dapat di obati dengan pemberian therapi insulin
yang dilakukan secara terus menerus berkesinambungan. Riwayat keluarga, diet dan faktor
lingkungan sangat mempengaruhi perawatan penderita diabetes tipe 1. Pada penderita diebetes
tipe 1 haruslah diperhatikan pengontrolan dan memonitor kadar gula darahnya, sebaiknya
menggunakan alat test gula darah. Terutama pada anak-anak atau balita yang mana mereka
sangat mudah mengalami dehidrasi, sering muntah dan mudah terserang berbagai penyakit.
2. Autoimunitas
Umumnya terjadi secara spontan. DM tipe 1 merupakan serangan autoimun
kronis yang terjadi selama bertahun-tahun terhadap sel sebeum menunjukkan
gejala klinis berupa hiperglikemia dan ketosis.
Ada beberapa hal yang ditemukan pada penderita DM tipe 1, yaitu :
Infiltrat peradangan penuh dengan limfosit pada awal perkembangan
penyakit. Limfosit ini terutama limfosit T CD4+ dan CD8+, serta
makrofag
Adanya kerusakan sel islet namun tidak terjadi kerusakan pada sel lain.
Hal ini terjadi karena sel T CD8+ sitotoksik mengeluarkan granul-granul
sitotoksik atau apoptosis oleh fas.
Adanya autoantibody yang menyerang antigen intrasel seperti asam
glutamatdekarboksilase (GAD), insulin dan protein sitoplasma. Namun hal
ini belum tentu menimbulkan cedera pada sel pankreas. Autoantibodi ini
terjadi karena kerusakan yang diperantarai sel T.
DM tipe 1 biasanya diikuti oleh penyakit autoimun lainnya seperti
tiroiditis hashimoto, penyakit Graves dan lain-lain. Karena penyakit ini
umumnya terjadi karena autoimunitas pada tiroid yang tinggi maka perlu
diperiksa fungsi tiroid pada penderita DM 1.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan menyebabkan sel menjadi imunogenik. Faktor lingkungan
contohnya seperti infeksi virus akan mempengaruhi genetic untuk menimbulkan
autoimunitas yang menyebabkan sel rusak. Virus ini antara lain coxsackievirus B,
parotitis, campak, rubella, serta mononucleosis infeksiosa.
Virus ini memiliki sekuensi asam amino yang mirip dengan suatu protein sel .
Virus ini memperkuat sel T autoreaktif yang sudah ada. Padas el islet, virus ini akan
memicu peradangan local yang akan menyebabkan dilepaskannya sitokin sehingga
memperbanyak atau memperkuat sel T autoreaktif ( bystander effect). Virus ini tidak
memicu penyakit, namun memodulasinya berbulan-bulan dan bertahun-tahun sebelum
muncul diabetes secara klinis. Virus ini membantu erosi imunologis sel pada orang
yang genetiknya terutama antigen MHC II untuk memicu autoimunitas.
2. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes tipe 2 adalah keadaan dimana hormon insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan
semestinya, dikenal dengan istilah Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini
dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin, resistensi terhadap
insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sell dan jaringan tubuh terhadap insulin yang
ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.
Ada beberapa teori yang mengutarakan sebab terjadinya resisten terhadap insulin, diantaranya
faktor kegemukan (obesitas). Pada penderita diabetes tipe 2, pengontrolan kadar gula darah dapat
dilakukan dengan beberapa tindakan seperti diet, penurunan berat badan, dan pemberian tablet
diabetik. Apabila dengan pemberian tablet belum maksimal respon penanganan level gula dalam
darah, maka obat suntik mulai dipertimbangkan untuk diberikan.
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.3
Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu
DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi
dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM
tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 4
Resistensi insulin
o Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase
glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan abnormalitas
transporter glukosa.4
o Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap
hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi glukosa
hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan
keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.
o Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan derajat
resistensi insulin.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai
berikut:6
Usia > 45 tahun
BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2
Hipertensi ( > 140/90 mmHg)
Riwayat DM
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg.
Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang
tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya
atherosclerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan
penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan
sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan
sekunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standart.
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
plasma vena < 110 110 199 > 200
darah kapiler < 90 90 - 199 > 200
Kadar glukosa darah puasa
plasma vena < 110 110 125 > 126
darah kapiler < 90 90 - 109 > 110
Terapi Insulin
Insulin merupakan satu-satunya yang efektif menurunkan kadar gula darah pada diabetes tipe 1.
Terapi Konvensional
o 2 injeksi harian yang terdiri dari insulin campuran (kerja cepat/singkat dan kerja
menengah) sebelum sarapan dan makan malam.
Terapi Konvensional dengan dosis terpisah pada malam hari
o 1 injeksi insulin campuran sebelum sarapan dan 1 injeksi insulin kerja menengah
sebelum makan malam dan 1 injeksi insulin kerja menegah sebelum cemilan sebelum
tidur. Hal ini membantu mengurangi hiperglikemia pada keadaan puasa yang
dihubungkan dengan interval yang panjang antara makan malam dan sarapan serta
durasi dari insulin kerja menengah dengan fenomena pada subuh hari.
Injeksi insulin kerja singkat multiple harian sebelum setiap makan dengan insulin kerja
menengah/kerja panjang satu hingga dua kali per hari.
Terapi intensif dengan infus kontinu insulin subkutan
o Insulin kerja cepat secara konstan memenuhi kebutuhan basal tubuh untuk menekan
produksi glukosa di hepar. Satu bolus dosis insulin diberikan sebelum makan dan
cemilan berdasarkan jumlah karbohidrat dan kadar gula darah.
Kadar rata-rata gula darah dalam tiga bulan diukur dengan tes darah hemoglobin terglikasi.
Target dari HbA1c adalah 7%.
Asupan makanan mempengaruhi jumlah insulin yang diperlukan untuk diinjeksi. Terdapat dua
tipe untuk memantau asupan karbohidrat.
Asupan Karbohidrat disesuaikan dengan keadaan seperti peningkatan aktivitas fisik dan
penurunan kadar gula darah sebelum cemilan malam untuk mengurangi resiko kadar gula darah
yang terlalu rendah.
Rekomendasi distribusi makronutrien terdiri dari 50-60% karbohidrat, 10-20% protein dan 30%
lemak. Lemak jenuh <10% dan kolesterol <300 mg/hari untuk mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular. Bukti ilmiah menunjukkan ketidakperluan untuk merestriksi sukrosa ataupun
makanan yang mengandung sukrosa untuk mengurangi hiperglikemia.
Pengobatan pada Diabetes Tipe 2
Merupakan terapi terbaik untuk menghindari atau menunda komplikasi dari kadar gula darah
yang tinggi selama berkepanjangan. Terapi ini mengutamakan penurunan kadar gula darah baik
dengan modifikasi gaya hidup, terpai insulin, obat-obatan, atau kombinasi dari faktor-faktor yang
telah disebutkan.
Penderita dengan diabetes tipe 2 yang sakit secara akut dengan hiperglikemia (>300 mg/dl) dan
ketosis memerlukan terapi insulin. Selain itu terapi inisial dengan terapi nutrisi dan olahraga atau
obat penurun gula darah lebih sesuai untuk penderita yang tidak mengalami hiperglikemia secara
akut.
Pencegahan
Saat ini tidak dapat dilakukan pencegahan diabetes tipe 1. Untuk diabetes tipe 2, pencegahan
dilakukan dengan modifikasi gaya hidup yang sehat yakni memilih asupan makanan sehat,
peningkatan aktivitas fisik, dan pengendalian berat badan ideal. Penelitian menunjukkan bahwa
pengurangan 5-10% berat badan berlebih dan olahraga sedang 30 menit/hari mengurangi resiko
diabetes sebesar 58%.