Anda di halaman 1dari 13

Anatomi Retina

Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung


reseptor yang menerima rangsang cahaya. Retina merupakan selembar tipis
jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam
dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir
sama jauhnya dengan korpus siliare, dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang
dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sistem
temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina
sensorik bertumpuk dengan membran Bruch, koroid, dan sclera. Retina
menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0.23 mm pada kutub posterior.
Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah makula terdapat
fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan khusus
bila dilihat dengan oftalmoskop (Hardy, 2000; Ilyas, 2005).

Gambar 1. Anatomi Bola Mata Potongan Melintang


Gambar 2. Funduskopi Mata

Retina berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri
atas lapisan (Hardy, 2000; Ilyas, 2005):

1. Lapisan epitel pigmen

2. Lapisan fotoreseptor terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk


ramping dan sel kerucut.

3. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan
batang.

5. Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan tempat


sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel
Muller.

7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat


sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah
saraf optic.

10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina dan
badan kecil.

Gambar 3. Lapisan-lapisan Retina

Retina menerima darah dari dua sumber yaitu koriokapiler yang berada
tepat di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk
lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang memperdarahi
dua per tiga sebelah dalam (Hardy, 2000; Ilyas, 2005).

Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu
reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi
suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf
optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk
ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian
besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1
antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal
ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor
dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang
lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang,
digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik) (Hardy,
2000; Ilyas, 2005).

Definisi

Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh


mekanisme radang (Ilyas, 2005). Retinopati diabetikum adalah kelainan retina
yang ditemukan pada penderita diabetes melitus yang merupakan komplikasi
mikrovaskular penderita diaebetes dan salah satu penyebab utama kebutaan pada
orang dewasa (Ilyas, 2005; Sitompul, 2011). Risiko menderita retinopati
diabetikum meningkat sebanding dengan semakin lamanya seseorang menderita
diabetes melitus. Faktor risiko lainnya adalah ketergantungan insulin pada
penyandang DM tipe II, nefropati, dan hipertensi. Sementara itu, pubertas dan
kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati diabetikum (Sitompul,
2011).

Patogenesis

Retina merupakan jaringan metabolik paling aktif pada tubuh manusia dan
memerlukan konsentrasi oksigen yang sangat tinggi. Retina sangat sensitif
terhadap kondisi hipoksia. Retina akan memproduksi sitokin serta faktor
pertumbuhan sebagai respon terhadap kondisi hipoksia tersebut. Secara fisiologis,
kapiler retina terdiri atas non-fenestrated endothelial cells. Perisit mengatur aliran
darah melalui kontraksinya pada kapiler retina. Perisit bersama dengan sel retina
yang lain (sel muller dan astrosit) membentuk inner blood retinal barrier. Struktur
ini penting untuk pemeliharaan homeostasis retina, mencegah bocornya
makromolekul ke jaringan retina (Falcao dkk, 2010).

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati


diabetikum dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu
terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation
endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan pembuluh darah serta
merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, dan
insulin like growth factor 1(IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah
kerusakan (Sitompul, 2011).

Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan


glikosilasi dan ekspresi aldolase reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian menyebabkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel (Sitompul, 2011).

Ketiga, hiperglikemia kronik mengaktivasi tranduksi sinyal intraseluler


protein kinase C (PKC). Vascular endhotelial growth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracelluler
adhesion molecul-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit
dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah
retina, trombosis, dan oklusi kapiler retina (Sitompul, 2011).

Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan


inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang
berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang
memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap antar sel
endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein
plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous (Sitompul, 2011).
Gambar 4. Patogenesis Retinopati Diabetikum.

Patofisiologi

Retinopati diabetikum terbagi menjadi nonproliferatif dan proliferatif. Lesi


nonproliferatif timbul pada fase awal dan seiring dengan perkembangan penyakit
berkembang menjadi lesi proliferatif ketika pembuluh darah retina baru
berproliferasi dari pembuluh darah yang telah ada sebelumnya (angiogenesis)
(Falcao dkk, 2010).

Gambar 5. Angiogenesis.

Sebagian besar penderitan retinopati diabetikum pada tahap awal tidak


mengalami gejala penurunan tajam penglihatan (Sitompul, 2011).
Lesi awal pada pada pasien retinopati diabetikum adalah mikroaneurisma
dan pembesaran kapiler-kapiler retina. Selanjutnya, perdarahan kecil intraretina
dapat terlihat (Falcao dkk, 2010). Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan sawar
darah retina. Kerusakan sawar darah retina juga dapat menimbulkan eksudat lipid
dan protein yang dikenal sebagai hard exudates (Sitompul, 2011).

Seiring perkembangan penyakit dapat terlihat nekrosis lapisan serabut


saraf retina (cotton wall spots). Hal tersebut disebabkan oleh karena oklusi kapiler
retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf retina
sehingga terjadi hambatan transport axonal. Hambatan transpor axon
menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak seperti gambaran soft
exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi (Sitompul, 2011). Bentuk-bentuk ini
merupakan tanda khas dari retinopati diabetikum nonproliferatif.

Gambar 6. Skematik Tanda Retinopati Diabetikum


Gambar 7. Microaneurysm, Hard exudates, dan Perdarahan

Gambar 8. Cotton Woll Spots

Retinopati diabetikum nonproliferatif diklasifikasikan menjadi ringan,


sedang, dan berat tergantung dari jumlah dan tipe lesi yang dapat diamati.
Retinopati diabetikum nonproliferatif ringan timbul ketika hanya terdapat
mikroaneurisma. Retinopati diabetikum nonproliferatif berat timbul apabila
terdapat minimal 1 dari 3 kriteria pada pemeriksaan fundus, yaitu lebih dari 20
perdarahan intraretina pada setiap 4 kuadran, venous beading pada 2 kuadran, dan
penonjolan abnormal mikrovaskular intraretina (IRMA) pada 1 kuadran serta
tidak didapatkan tanda dari retinopati diabetikum proliferatif. Retinopati
diabetikum nonproliferatif sedang timbul apabila terdapat lebih dari
mikroaneurisma tetapi tidak memenuhi karakteristik retinopati diabetikum
nonproliferatif berat. Pada umumnya, lesi nonproliferatif tidak menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan dan biasanya asimptomatik (Falcao dkk, 2011).
Gambar 9. Venous Beading dan IRMA.

Kehilangan penglihatan pada retinopati diabetikum disebabkan oleh dua


masalah mayor retina yaitu edema makula (disebabkan karena peningkatan
permeabilitas vaskular) dan neovaskularisasi retina (disebabkan karena
angiogenesis) (Falcao dkk, 2011). Beberapa teori lain menerangnkan bahwa
kebutaan pada retinopati diabetikum juga dapat terjadi akibat ablasio retina
traksional dan perdarahan masif intravitreous (Sitompul, 2011).

Kondisi hipoksia akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru


dan hal ini merupakan tanda patognomonik dari retinopati diabetikum proliferatif
(Sitompul, 2011). Pada retinopati diabetikum proliferatif pembentukan pembuluh
darah baru timbul dari pembuluh darah yang sebelumnya telah ada (angiogenesis).
Pembuluh darah baru ini sangat permeabel, rapuh, dan mudah berdarah. Hal
tersebut dapat menyebabkan komplikasi serius seperti perdarahan vitreous dan
ablasio retina traksional (Falcao dkk, 2010).
Gambar 10. Retinopati Diabetikum Nonproliferatif dan Proliferatif

Jika tidak diobati pada fase proliferatif, neovaskularisasi akan terjadi


hingga segmen anterior bola mata, awalnya pada iris (rubeosis iris) dan
selanjutnya pada sudut iridokornea. Pembuluh darah baru dapat menghalangi
sudut iridokornea atau menyebabkan sudut iridokornea semakin kecil ketika
jaringan fibrovaskular berkontraksi. Hal tersebut menyebabkan aliran humor
aquos terhambat sehingga meningkatkan tekanan intraokular (glaukoma
neovaskular). Glaukoma dapat memperburuk prognosis penyakit dan
menimbulkan rasa nyeri yang hebat (Falcao dkk, 2010).

Tanda dan Gejala

Retinopati diabetikum biasanya asimtomatik untuk jangka waktu yang


lama. Hanya pada stadium akhir dengan adanya keterlibatan macular atau
perdarahan vitreus maka pasien akan menderita kegagalan visual dan buta
mendadak. Gejala klinis retinopati diabetikum proliferatif dibedakan menjadi dua
yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif (Pandelaki dkk, 2007; Zing-Ma dan
Sarah, 2006; Kanski, 2003).

1. Gejala Subjektif
a. Kesulitan membaca
b. Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula
c. Penglihatan ganda
d. Penglihatan tiba-tiba menurun pada salah satu mata
e. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi perdarahan vitreus
f. Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip
2. Gejala Objektif
a. Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurisma terletak pada
lapisan nuclear dalam dan merupakan lesi awal yang dapat dideteksi secara
klinis.
b. Perubahan pembuluh darah berupa dilatasi pembuluh darah dengan lumen
ireguler dan berkelok-kelok seperti sausage-like.
c. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid dan protein ke dalam retina.
Gambarannya khusus yaitu iregular dan kekuning-kuningan. Eksudat ini
dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
d. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan tanda
iskemi retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak
berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak
dibagian tepi daerah nonirigasi.
e. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula (edema macula) sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.
f. Pembuluh darah baru ( neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak
dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok,
dalam, berkelompok, dan ireguler. Mulamula terletak dalam jaringan
retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal kemudian ke badan
kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal),
maupun perdarahan badan kaca.

Prognosis

Prognosis retinopati diabetikum semakin buruk jika tidak diobati seiring


dengan progressivitas penyakit (Falcao dkk, 2011). Retinopati diabetikum
merupakan komplikasi mikrovaskular DM yang menjadi penyebab gangguan
penglihatan atau kebutaan pada orang dewasa di negara maju. Deteksi dini,
pengendalian faktor risiko, dan terapi yang memadai merupakan kunci utama
penatalaksanaan retinopati diabetikum (Sitompul, 2011).

Pada tahun 2010, The American Diabetes Association menetapkan


beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati diabetikum.
Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM
tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam
waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan. Kedua, penderita DM tipe II
harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera
setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan DM
tipe II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata.
Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih
hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila
ditemukan tanda retinopati progressif. Kelima, perempuan hamil dengan DM
harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan
satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan atau perburukan
retinopati DM meningkat dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang
risiko tersebut (Sitompul, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Falcao M, Falcao-Reis F, Rocha-Sousa A. 2010. Diabetic Retinopathy:


Understanding Pathologic Angiogenesis and Exploring its Treatment
Options. The Open Circulation and Vascular Journal.

Kanski J. 2003. Retinal Vascular Disease. Clinical Ophthalmology. London:


Butterworth-Heinemann.

Pandelaki K, Sudoyo AW, Setyiohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. 2007.


Retinopati Diabetik. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Sitompul R. 2010. Retinopati Diabetik. Journal Indonesia Medical Association.


Zing-Ma J, Sarah X-hang. 2006. Endogenous Angiogenic Inhibitors in Diabetic
Retinopathy. Ocular Angiogenesis Disease. Mew Jersey Humana Press.

Anda mungkin juga menyukai