1.2 Definisis
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.
1.2 Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat
defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga),
vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada
sumsum tulang.
2. Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan
total sel darah merah dalam sirkulasi.
3. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan
menjadi tiga jenis anemia:
1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif
1
metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks
eritrosit normal pada anak: MCV 73 101 fl, MCH 23 31 pg ,
MCHC 26 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal.
(Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = >
35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin
B12, asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.
(Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
2
ANEMIA DEFISIENSI BESI
2.1 Definisi
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangnya cadangan besi.
2. Tahap kedua
Tahap ini disebut dengan iron limited erythropoiesis dimana
penyediaan besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis.
3. Tahap ketiga
Keadaan ini disebut juga iron deficiency anemia (IDA) terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan Hb.
2.2 Epidemiologi
3
Anemia merupakan masalah kesehata global pada negara maju
dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi
kesehatan masyarakat namun juga sosial dan ekonomi. Anemia dapat
diderita oleh semua usia namun prevalensi tertinggi terdapat pada
anak-anak dan ibu hamil.
4
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal
masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat
kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai
rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu
formula dengan kadar besi kurang. Angka kejadian anemia defisiensi
besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
2.3 Etiologi
5
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang (infeksi bakteri,
virus dan parasit)
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel /
poliposis dsb)
2.4 Patofisiologi
Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangannya cadangan besi atau tidak
adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi
lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurunkan
sedangkanpemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
Tahap kedua
Padatingkat ini yang terkenal dengan istilah irondeficient
erythropoietin atau iron limited eryhropoiesis didapatkan suplay
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.Dari hasil
pemeriksaan Laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding
6
capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
Tahap ketiga
Tahapinilah yang disebut dengan iron deficiency anemia.
Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum
tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar
Hb. Dari gambaran darah tepi didaptkan mikrositosis dan
hipikromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
7
pusing, lemah, nafas pendek, lidah kotor, kuku sendok, selera makan
turun, sakit kepala (biasanya bagian frontal).
Pada ADB dengan Kadar HB 6-10 g/dl terjadi mekanisme
kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja.
Bila kadar hb < 5 g/dl gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak
lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi
jantung dan murmur sistolik. Namun terkadang pada kadar Hb <3-4
g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi. Sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai
dengan kadar Hb.
8
dapat dikendalikan terhadap bahan seperti tepung (amilofagia), es
(pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa dari bahan ini,
misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran
makanan, sehingga memperburuk defisiensi. Konsekuensi yang
menyedihkan adalah meningkatnya absorpsi timbal oleh usus halus
sehingga dapat timbul toksisitas timbal disebabkan paling sedikit
sebagian karena gangguan sintesis heme dalam jaringan saraf,
proses yang didukung oleh defisiensi zat besi.
9
Menentukan anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV
merupakan hal pertama yang penting memutuskan pemeriksaan
lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks
eritrosit MCM, MCH, MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar
Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena
perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi
ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan
poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit,
mikrosit, dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang lama
dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan
infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang
masif. Kejadian trombositopeni dihubungkan dengan anemia yang
sangat berat.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum
menurun dan TIBC meningkat. Pemeriksaan Fe serum untuk
menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin, sedangkan
TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi
darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin)
yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum /TIBC X
100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk
mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam
tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 16 % menunjukkan suplai besi
yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoesis. ST <7% diagnosis
ADB dapat diagnosis, sedangkan pada kadar ST 7-16 % dapat dipakai
untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah
atau pemeriksaan lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid
sumsum tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free
10
Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan
dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk hem.
Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya
penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun
merupakan tanda ADB yang progresif.
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa
kadar feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12 ug/dl menunjukkan
telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan
gambaran yang khas ADB yaitu hipeplasia sistem eritropoetik dan
berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi
dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.
11
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang
dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC yang
menurun.
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat , ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah
pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/ hari atau
PCV meningkat 1%/hari.
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi
berkurang
12
Anemia sideroblastik :
Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
13
kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak
terpengaruh, sedangkan ADB kadarnya menurun. Peningkatan
rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.
Keracunan timbal memberikan gambaran darah tepi yang
serupa dengan ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar
yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP meningkat.
Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam
darah.
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hem, bisa didapat atau herediter. Pada
keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan
peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah
merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya
meningkat, pada p[emeriksaan apus sumsum tulang didapatkan
sel darah merah berinti yang mengandung granula besi
(agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed
sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.
Pemeriksaan labolatorium untuk membedakan ADB
2.8 Penatalaksanaan
14
parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat
peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral
karena ada gangguan pencernaan.
15
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering
terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan
gig yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan
larutan tersebut ke bagian belakang lidah degan cara tetesan.
c. Transfusi Darah
2.9 Pencegahan
16
Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
sehubungan dengan risiko terjadinya perdarahan saluran cerna
yang tersamar pada beberapa bayi.
Memberi makanan bayi yang mengandung besi serta makanan
yang kaya dengan asam askorbat (jus buah) pada saat
memperkenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan)
Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.
Pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi
1. Meningkatkan konsumsi Fe
3. Suplementasi
2.10 Prognosis
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadarluwasa
17
Perdarahann yang tidak teratasi atau perdarahanaan yang tidak
tampak berlangsung menetap.
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian
besi (seperti; infeksi, keganasan,penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam
folat)
Gangguan absorpsi saluran saluran cerna (seperti pemberian
antasid yang berlebihan pada ulkus peptikum dapat
menyebabkan pengikatan terhadap besi)
18