Anda di halaman 1dari 18

ANEMIA

1.2 Definisis
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.

1.2 Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat
defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga),
vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada
sumsum tulang.
2. Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan
total sel darah merah dalam sirkulasi.
3. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

1.3 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan
menjadi tiga jenis anemia:
1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif

1
metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks
eritrosit normal pada anak: MCV 73 101 fl, MCH 23 31 pg ,
MCHC 26 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal.
(Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = >
35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin
B12, asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.
(Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).

Penyebab anemia mikrositik hipokrom:


1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.
2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.
3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

Gambar 1. Morfologi Sel Darah Merah pada Anemia

2
ANEMIA DEFISIENSI BESI

2.1 Definisi

Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang terjadi akibat


kekurangan cadangan zat besi. Zat besi yang tidak adekuat
menyebabkan berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga
menghambat proses pematangan eritrosit. Zat besi yang
tidakadekuat disebabkan oleh rendahnya asupan besi total dalam
makanan atau biovaibilitas besi yang dikonsumsi menurun (makanan
banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C), kebutuhan akan
zat besi yang meningkat (pada bayi prematur, anak dalam
pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui), perdarahan kronis, diare
kronik, malabsorbsi, serta infeksi cacing tambang. Dilihat dari
beratnya defisiensi besi dalam tubuh, dapat dibagi 3 tahap, yaitu:

1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangnya cadangan besi.
2. Tahap kedua
Tahap ini disebut dengan iron limited erythropoiesis dimana
penyediaan besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis.
3. Tahap ketiga
Keadaan ini disebut juga iron deficiency anemia (IDA) terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan Hb.

2.2 Epidemiologi

3
Anemia merupakan masalah kesehata global pada negara maju
dan negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi
kesehatan masyarakat namun juga sosial dan ekonomi. Anemia dapat
diderita oleh semua usia namun prevalensi tertinggi terdapat pada
anak-anak dan ibu hamil.

Sekitar 50 % anemia adalah anemia karena defisiensi besi.


Faktor resiko utama anemia defisiensi besi adalah kurangnya asupan
besi, gangguan absorbsi besi, bioavailabilitas yang rendah karena diet
tinggi phytate atau karena kebutuhan akan zat besi yang meningkat
pada periode tertentu seperti pertumbuhan atau kehamilan. (de
benoist et al.,2008).

Prevalensi defisiensi besi sangat bervariasi berdasarkan umur,


jenis kelamin, kondisi patologis, kondisi lingkungan dan sosial
ekonomi. Sebagian besar penduduk dunia mengalami defisiensi besi
dan sekitar sepertiganya (kurang lebih 2 milyar jiwa) mengalami
anemia defisiensi besi. Prevalensi defisiensi besi berdasar National
Health and Nutrition Examination Survey adalah 13% pada usia 1
tahun, 5% pada usia 2 tahun, 9% pada remaja putri dan 11% pada
wanita usia subur (16-49 tahun). (wu et al.,2002;WHO,2001).

Keadaan defisiensi besi tidak hanya menyebabkan anemia


tetapi juga menyebabkan kondisi tubuh lemah, menurunkan aktivitas
fisik, menurunkan produktivitas, mengganggu fungsi neurotransmitter
dan pertahanan tubuh terhadap infeksi, mengganggu fungsi
metabolik, kognisi dan tingkah laku (Ansari et al.,2009; Ebrahim et al.,
2010).

Anemia defisiensi besi merupakan masalah defisiensi nutrien


tersering pada anak diseluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang termasuk di Indonesia. Penyakit ini disebabkan
kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

4
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal
masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat
kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai
rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu
formula dengan kadar besi kurang. Angka kejadian anemia defisiensi
besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.

2.3 Etiologi

Penyebab anemia defisiensi besi menurut umur :

Bayi kurang dari 1 tahun

1. Cadangan besi kurang akibat:


Berat Bayi Lahir Rendah
Prematuritas
Gemelli
ASI Ekslusif tanpa suplementasi besi
Susu formula rendah besi
Ibu anemia saat kehamilan
2. Alergi protein susu sapi

Anak umur 1-2 tahun

1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan


2. Obesitas
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis
4. Malabsorbsi

Anak umur 2-5 tahun

1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung


besi
2. Obesitas

5
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang (infeksi bakteri,
virus dan parasit)
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel /
poliposis dsb)

Anak umur 5 tahun remaja

1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (infeksi cacing,


parasit, virus, bakteri)
2. Menstruasi pada remaja putri.

2.4 Patofisiologi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan


negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan
besi yang negatif ini menetap dan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. Pada tabel 1.2.1 dapat dilihat 3 tahap defisiensi besi,
yaitu:

Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangannya cadangan besi atau tidak
adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi
lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurunkan
sedangkanpemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
Tahap kedua
Padatingkat ini yang terkenal dengan istilah irondeficient
erythropoietin atau iron limited eryhropoiesis didapatkan suplay
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.Dari hasil
pemeriksaan Laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding

6
capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
Tahap ketiga
Tahapinilah yang disebut dengan iron deficiency anemia.
Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum
tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar
Hb. Dari gambaran darah tepi didaptkan mikrositosis dan
hipikromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

Hemoglobin Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3


Menurun SedikitMenur MenurunJelas
un (Mikrosotik/hipokromi
k)
CadanganBesi < 100 0 0
(mg)
Fe Serum (ug/dl) normal <60 <40
TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410
SaturasiTransferin 20-30 <15 <10
(%)
Feretin Serum <20 <12 <12
(ug/dl)
Sideroblas ( % ) 40-60 <10 <10
FEP (ug/dl >30 >100 >200
seldarahmerah)
MCV normal Normal Menurun

2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu


diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan
diagnosis ditegakkan hanya dari temuan labolatorium saja. Gejala
yang umum terjadi adalah pucat, mudah lelah, peka terhadap cahaya,

7
pusing, lemah, nafas pendek, lidah kotor, kuku sendok, selera makan
turun, sakit kepala (biasanya bagian frontal).
Pada ADB dengan Kadar HB 6-10 g/dl terjadi mekanisme
kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja.
Bila kadar hb < 5 g/dl gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak
lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi
jantung dan murmur sistolik. Namun terkadang pada kadar Hb <3-4
g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi. Sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai
dengan kadar Hb.

Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat


kekuranagn besi seperti :

Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia


(bentuk kuku konkaf atau spoon shaped nail), terjadi karena
pertumbuhan lambat dari lapisan kuku.
Termogenesis yang tidak normal : terjadi ketidakmampuan
untuk mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara
dingin.
Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi
karena fungsi leukosit yang tidak norma. Pada penderita ADB
neutrofil mempunyai kemampuan untuk fagositosis tetapi
kemampuan untuk membunuh E. Coli dan S. Aureus menurun.
Glositis ; lidah merah, bengkak, licin, bersinar dan lunak,
muncul secara sporadis.
Stomatitis angular ; erosi, kerapuhan dan bengkak di susut
mulut.
Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan
defisiensi besi.
Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya
tahan tubuh.

Satu gejala aneh yang cukup karakteristik untuk defisiensi zat


besi adalah Pica, dimana pasien memiliki keinginan makan yang tidak

8
dapat dikendalikan terhadap bahan seperti tepung (amilofagia), es
(pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa dari bahan ini,
misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran
makanan, sehingga memperburuk defisiensi. Konsekuensi yang
menyedihkan adalah meningkatnya absorpsi timbal oleh usus halus
sehingga dapat timbul toksisitas timbal disebabkan paling sedikit
sebagian karena gangguan sintesis heme dalam jaringan saraf,
proses yang didukung oleh defisiensi zat besi.

Anemia defisiensi besi yang mencolok (stadium akhir).


Sel darah merah menjadi sangat hipokromik dan mikrositik
Sering hanya kerangka tipis sitoplasma yang muncul di tepi sel
darah merah.
Fragmen kecil dan poikilositosis yang aneh juga dapat terlihat.
Membran eritrosit kaku, kelangsungan hidup sel darah merah ini
lebih pendek dalam sirkulasi.
Retikulosit (N: 50.000/ml)
Leukosit N
Trombosit N/
Sum-sum tulang menunjukkan hiperplasia eritrosit sedang.
Reseptor transferin dilepaskan dari membran plasma sel dan dapat
dideteksi dalam plasma. Sumber utama transferin adalah sel
hematopoitik di sum-sum tulang. Jumlah reseptor transferin dalam
plasma meningkat pada pasien dengan defisiensi besi, sehingga
memberikan kemungkinan tes diagnostik lain untuk kondisi ini.

2.6 Pemeriksaan Labolatorium


Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan
labolatorium yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb,
Leukosit, trombosit, pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit,
morfologi darah tepi, dan pemeriksaan status besi ( Fe serum, Total
iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, Feritin), dan apus
sumsum tulang.

9
Menentukan anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV
merupakan hal pertama yang penting memutuskan pemeriksaan
lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks
eritrosit MCM, MCH, MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar
Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena
perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi
ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan
poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit,
mikrosit, dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang lama
dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan
infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang
masif. Kejadian trombositopeni dihubungkan dengan anemia yang
sangat berat.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum
menurun dan TIBC meningkat. Pemeriksaan Fe serum untuk
menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin, sedangkan
TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi
darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin)
yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum /TIBC X
100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk
mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam
tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 16 % menunjukkan suplai besi
yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoesis. ST <7% diagnosis
ADB dapat diagnosis, sedangkan pada kadar ST 7-16 % dapat dipakai
untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah
atau pemeriksaan lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid
sumsum tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free

10
Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan
dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk hem.
Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya
penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun
merupakan tanda ADB yang progresif.
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa
kadar feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12 ug/dl menunjukkan
telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan
gambaran yang khas ADB yaitu hipeplasia sistem eritropoetik dan
berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi
dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari


anamnesis, pemeriksaan fisik dan labolatorium yang dapat
mendukung sehubungana gejala klinis yang sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31 % (N :32-35%)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl (N: 80-180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (N : 20-50%)
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen :
1. Anemia hipokromik mikrositik
2. Saturasi transferin < 16%
3. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
4. Kadar feritin serum < 12 ug/dl
Untuk diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan
FEP) harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui :

11
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang
dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC yang
menurun.
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat , ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah
pemberian besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/ hari atau
PCV meningkat 1%/hari.
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi
berkurang

Cara lain untuk menentukan ADB adalah dengan trial


pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui
adanya ADB subklinis dengan melihat respon hemoglobin terhadap
pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi
dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar
Hb 1-2 g/dl maka dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita
ADB.

2.7 Diagnosis Banding


Thalasemia (khususnya Thallasemia minor) :
Hb A2 meningkat
Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
Anemia karena infeksi menahun :
Biasanya anemia normokromik normositik.
Kadang-kadang anemia hipokromik mikrositik
Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
Keracunan timah hitam (Pb)
Terdapat gejala lain keracunan Pb

12
Anemia sideroblastik :
Terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang

Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang


memberikan gambaran anemia hipokrom mikrositik lain. Keadaan
yang sering menimbulkan gambaran klinis dan labolatorium yang
hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia
karena penyakit kronis, keracunan timbal dan anemia
sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan ditunjang oleh pemeriksaan labolatorium.
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB.
Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit
tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang
meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis.
Sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar
dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat
diperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah
eritrosit, bila nilainya < 13 menunjukkan talsemia minor
sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor
didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin
plasma dan peningkatan kadar HbA2.
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis
biasanya normokrom normositik, tetapi bisa juga ditemukan
hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis
disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh
transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun
cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi
transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat.
Pemeriksaan kadar reseptor transferin / transferin receptor (TfR)
sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis

13
kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak
terpengaruh, sedangkan ADB kadarnya menurun. Peningkatan
rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.
Keracunan timbal memberikan gambaran darah tepi yang
serupa dengan ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar
yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP meningkat.
Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam
darah.
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hem, bisa didapat atau herediter. Pada
keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan
peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah
merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya
meningkat, pada p[emeriksaan apus sumsum tulang didapatkan
sel darah merah berinti yang mengandung granula besi
(agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed
sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.
Pemeriksaan labolatorium untuk membedakan ADB

Pemeriksaan ADB Talasemia Anemia peny.


lab minor Kronis
MCV Menurun menurun N, menurun
Fe serum Menurun N Menurun
TIBC Meningkat N Menurun
Saturasi Menurun N Menurun
transferin
FEP meningkat N N, meningkat
Feritin serum Menurun N menurun
Dikutip dari Lukens (1995)

2.8 Penatalaksanaan

Prinsip pelaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab


dan mengatasinya serta memberikan terapu pengganti dengan
preparat besi. sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui
sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian
preparat fe dapat secara peroral atau perenteral. Pemberian peroral
labih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara

14
parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat
peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral
karena ada gangguan pencernaan.

a. Pemberian Preparat Besi Peroral

Garam ferosus diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan


garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glikonat, fumarat,
dan suksinant yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena
harganya yang lebih murah. Ferous fumarat dan ferous suksinat
diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa
tetes (drop).

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang


dipakai 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung
berdasarkan kandungan besi elemental ada dalam garam ferous.
Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%.
Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada
saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang
lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung
kososng, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan
efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau diberikan 2-3
dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima
tumbuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi
ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada
penderita teratasi.

Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat


secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada
tabel di bawah ini.

Waktu setelah pemberian Besi Respons


12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular,
keluhan subyektif berkurang, nafsu
makan bertambah
36-48 jam Respons awal dari sumsum tulang,
hiperplasia eritrosid.
48-72 jam Retikulositosis, puncaknya pada hari
ke 5-7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

15
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering
terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan
gig yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan
larutan tersebut ke bagian belakang lidah degan cara tetesan.

b. Pemberian Preparat Besi Parenteral

Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit


dan harganya mahal. Dapat menyebab kan limfadenopati regional
dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih
baik di bandingkan peroral. Preparat yang sering dipakai adalah
dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung
berdasarkan:

Dosis besi (mg)=BB (kg)xkadar Hb yang diinginkan(g/dl)x2,5

c. Transfusi Darah

Transfusi darah jarang dilakukan. Trnasfusi darah hanya


diberikan pada keaadaan anemia yang sangat berat atau yang
disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Koreksi
anemia berat dengan transfusi tidak perluh secepatnya, malahan
akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipovolemia dan
dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam
jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar HB sampai tingkat
amansambil; menunggu respon terapi besi. secara umu, untuk
penderita anemia berat dengan kadar HB < 4 g/dl hanya diberikan
PRC dengan dosis 2-3ml/kgBB persatu kali pemberian disertai
pemberian diuretik seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung
yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar
menggunakan PRC yang segar.

2.9 Pencegahan

Tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah


kekurangan besi ada awal kehidupan:

Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif

16
Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
sehubungan dengan risiko terjadinya perdarahan saluran cerna
yang tersamar pada beberapa bayi.
Memberi makanan bayi yang mengandung besi serta makanan
yang kaya dengan asam askorbat (jus buah) pada saat
memperkenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan)
Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.
Pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi

Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah


dengan cara:

1. Meningkatkan konsumsi Fe

Meningkatkan konsumsi besi dari suber alami terutama


sumber hewani yang mudah diserap. Juga perluh peningkatan
pengunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A.

2. Fortifikasi bahan makanan

Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan


senyaw besi kedalaman makanan sehari-hari

3. Suplementasi

Tindakan ini merupakan cara yang paling tepat untuk


meangulangi ADB di daerah yang prevalensinya tinggi.

2.10 Prognosis

Prognosis baik bila pemeriksaan anemianya hanya kekurangan


besi saja dan diketahui penyebabnya serata kemudian dilakukan
penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis
lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perluh


dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:

Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadarluwasa

17
Perdarahann yang tidak teratasi atau perdarahanaan yang tidak
tampak berlangsung menetap.
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian
besi (seperti; infeksi, keganasan,penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam
folat)
Gangguan absorpsi saluran saluran cerna (seperti pemberian
antasid yang berlebihan pada ulkus peptikum dapat
menyebabkan pengikatan terhadap besi)

18

Anda mungkin juga menyukai