BAB I
A. PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Penafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi ada
anak. Insiden menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di
Negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun dinegara maju. Kasus terbanyak di
india (43 juta), d Indonesia 6juta episode.Dari semua kasus yang terjadi dimasyarakat , 7-
13% kasus berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Episode batukpilek pada
balia di Indonesia diperkirakan 2-3 kaliper tahun (Rudan dan buletn WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan
rumh sakit (15%-30%). (Kemenkes RI, Pedoman Pengendalain ISPA).
LATAR BELAKANG
ISPA masih merupakan masalah kesehatan di wilayah Puskesmas. Hal ini bisa di
buktikan bahwa penyakit ISPA termasuk 10 besar penyakit paling menonjol di Puskesmas
kakaskasen.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
a. Melakukan upaya untuk menurunkan angka kesakitan ISPA/PNEUMONIA di
wilayah kerja Puskesmas Kakaskasen
2. Tujuan Khusus
a. Petugas dapat mengetahui factor-faktor penyebab tingginya angka kesakitan ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Kakaskasen
b. Petugas dapat mencari alternative pemecahan masalah, langkah-lngkah pemecahan
masalah pada kasus ISPA/Pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Kakaskasen.
D. CARA PELAKSANAAN :
1. Penyuluhan kesehatan ISPA dan Pneumonia
2. Deteksi dini kesehatan ISPA dan Pneumonia
3. Pelayanan kesehatan ISPA dan Pneumonia
4. Kunjungan rumah pelayanan kesehatan ISPA dan Pneumonia
E. SASARAN :
G. BIAYA
1. Dana Operasional Puskesmas
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada
anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun
di Negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan
bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%)
terjadi di Negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta)
dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode.
Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan
perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3
kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).
Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan
gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih
dari 2 juta Balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total
kematian Balita. Diantara 5 kematian Balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia.
Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai pandemi
yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Namun, tidak banyak perhatian terhadap
penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau
the forgotten killer of children(Unicef/WHO 2006, WPD 2011). Di negara berkembang
60% kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri, menurut hasil Riskesdas 2007 proporsi
kematian Balita karena pneumonia menempati urutan kedua (13,2%) setelah diare.
Sedangkan SKRT 2004 proporsi kematian Balita karena pneumonia menempati urutan
pertama sementara di negara maju umumnya disebabkan virus.
Berdasarkan bukti bahwa faktor risiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI
eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution), BBLR,
kepadatan penduduk dan kurangnya imunisasi campak. Kematian Balita karena
Pneumonia mencakup 19% dari seluruh kematian Balita dimana sekitar 70% terjadi di
Sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini
masih menunjukkan Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Respiratory
Syncytial Virus sebagai penyebab utama pneumonia pada anak (Rudan et al Bulletin
WHO 2008). Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah pusat,
pemeritah daerah, dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta
masyarakat termasuk dunia usaha. Pedoman ini mengulas situasi pengendalian
pneumonia, kebijakan dan strategi, kegiatan pokok, peran pemangku kepentingan,
tantangan dan pengembangan ke depan sesuai dengan visi misi dan rencana strategis
Kementerian Kesehatan.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia
2. Tujuan Khusus
a. Pengendalian Pneumonia Balita.
Tercapainya cakupan penemuan pneumonia Balita sebagai berikut (tahun
2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun 2013: 90%, tahun
2014: 100%)
Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi penurunan
angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi
32 per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator Nasional Angka Kematian Bayi
(34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup).
b. Kesiap siagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran
pernapasan lain yang berpotensi wabah.
c. Pengendalian ISPA umur 5 tahun
d. Faktor risiko ISPA
Terjalinnya kerjasama/ kemitraan dengan unit program atau institusi yang kompeten
dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya Pneumonia.
C RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pengendalian ISPA pada awalnya fokus pada pengendalian pneumonia
balita. Dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami pengembangan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu:
1. Pengendalian Pneumonia Balita.
2. Pengendalian ISPA umur 5 tahun.
3. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran
pernapasan lain yang berpotensi wabah.
4. Faktor risiko ISPA.
D. LANDASAN HUKUM
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1537A/MENKES/SK/XII/2002 tentang
PedomaPemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Penanggulangan
Pneumonia Pada Balita.
E KEBIJAKAN
Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia dan influenza maka ditetapkan
kebijakan operasional sebagai berikut :
1. Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun
komitmen dalam pencapaian tujuan pengendalian ISPA.
2. Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
3. Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pneumonia Balita sesuai dengan
standar di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial dan
budaya setempat.
5. Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung jawab pusat dan
daerah.
6. Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui kerjasama dan jejaring dengan lintas
program, lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah
baik nasional maupun internasional.
7. Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber
daya, pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan evaluasi program serta
sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat
8. Rencana pengendalian pneumonia disusun berbasis bukti (evidence based).
F. STRATEGI
Strategi Pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan di semua tingkat dengan
melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA dalam rangka
pencapaian tujuan nasional dan global.
2. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif.
3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia Balita
dan pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza melalui penyusunan
rencana kontinjensi di semua jenjang, latihan (exercise), penguatan surveilans dan
penyiapan sarana prasana.
5. Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem
komputerisasi berbasis web.
6. Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan
berkala.
7. Evaluasi program dilaksanakan secara berkala.
BAB II
PENEMUAN DAN TATALAKSANA ISPA
BAB III
KETERSEDIAAN LOGISTIK
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data dasar (baseline) dan
data program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari :
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat setiap
bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja
tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi sentinel
setiap bulan.
c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi
Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk memperkuat data dasar
diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari berbagai lembaga mengenai
pneumonia. Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari institusi
luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data
dilaksanakan baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota maupun provinsi. Di tingkat
Puskemas pengolahan dan analisis data diarahkan untuk tujuan tindakan koreksi secara
langsung dan perencanaan operasional tahunan. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota
diarahkan untuk tujuan bantuan tindakan dan penentuan kebijakan pengendalian serta
perencanaan tahunan/5 tahunan di wilayah kerjanya masing-masing. Melalui dukungan
data dan informasi ISPA yang akurat menghasilkan kajian dan evaluasi program yang
tajam sehingga tindakan koreksi yang tepat dan perencanaan tahunan dan menengah (5
tahunan) dapat dilakukan. Kecenderungan atau potensi masalah yang mungkin timbul
dapat diantisipasi dengan baik khususnya dalam pengendalian Pneumonia. Data dan
kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan diumpan balikan kepada
pengelola program dan pemangku kepentingan terkait di dalam jejaring. Diseminasi di
tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan rutin, lokakarya mini Puskesmas,
rapat koordinasi kecamatan dan sebagainya. Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi,
diseminasi dilakukan pada forum pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi
di tingkat kabupaten/kota, provinsi, forum dengar pendapat serta diskusi dengan DPRD
dan sebagainya, serta dituangkan dalam bentuk buletin, laporan tahunan ataupun laporan
khusus. Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak dianggap
sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan dalam pencatatan dan
pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi Bukan Pneumonia tercakup berbagai
diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti: common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis,
Otitis, dsb. Dengan perkataan lain Batuk Bukan Pneumonia merupakan kelompok
diagnosis.
PANDUAN PROGRAM ISPA
BAB I
I. DEFINISI
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang
sering terjadi pada anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Istilah ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dimana pengertiannya
sebagai berikut :
1. Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
2. Saluran Pernafasan
Adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti
sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
3. Infeksi Akut
Adalah infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari siambil untuk
menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan
dalam ISPA proses ini dapat berlangsung dari 14 hari.
II. KLASIFIKASI
1. ISPA ringan
a. Batuk.
2. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut :
a. Pernapasan cepat.
1) Umur <>
b. Wheezing(nafas menciut-ciut).
3. ISPA berat
Meliputi gejala sedang atau ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut :
b. Kesadaran menurun.
Menurut Depkes RI (1991), Pembagian ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda
klinis yang didapat yaitu :
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISP diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
Adanya tanda bahaya yaitu tidak bisa minum, kejang, kesdaran menurun, stridor,
serta gizi buruk.
Adanya tarikan dinding dada kebelakang. Hal ini terjadi bilaparu-paru menjadi kaku
dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
Sianosis (pucat).
Tanda Utama :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
wheezing, demm atau dingin.
Tanda utama :
III. ETIOLOGI
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Mayoritas penyebab
ISPA adalah virus dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan
ISPA untuk bagian bawah frekuensinya lebih kecil (WHO, 1995). Dalam Harrisons
Principle of Internal Medicine di sebutkan bahwa penyakit infeksi saluran nafas akut
bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir
90% disebabkan oleh viral, sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah hamper
50 % diakibatkan oleh bakteri streptococcus pneumonia adalah yang bertanggung jawab
untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan stafilococcus aureus dan H influenza sekitar 10-
20%. Saat ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernapasan akut ini melibatkan lebih
dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1995)
1. Usia .
Anak yang usianya lebih muda, kemungkinan untuk menderita atau terkena penyakit
ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih tua karena daya
tahan tubuhnya lebih rendah.
2. Status Imunisasi
Anak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik
dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.
3. Lingkungan
Lingkungan yang udaranya tidak baik, seperti polusi udara di kota-kota besar dan asap
rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA pada anak.
BAB II
PENATALAKSANAAN
1. Suportif :
Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin,
dll.
2. Antibiotik :
Menurut WHO :
BAB III
PENCEGAHAN
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada anak antara
lain :
1. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara
memberikan makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.
2. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap
penyakit baik.
4. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai penutup
hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang
menderita penyakit ISPA.
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data dasar (baseline) dan
data program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari :
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat setiap
bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja
tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi sentinel
setiap bulan.
b. Laporan kasus influenza pada saat pandemi
Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk memperkuat data dasar
diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari berbagai lembaga mengenai
pneumonia. Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari institusi
luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data
dilaksanakan baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota maupun provinsi. Di tingkat
Puskemas pengolahan dan analisis data diarahkan untuk tujuan tindakan koreksi secara
langsung dan perencanaan operasional tahunan. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota
diarahkan untuk tujuan bantuan tindakan dan penentuan kebijakan pengendalian serta
perencanaan tahunan/5 tahunan di wilayah kerjanya masing-masing. Melalui dukungan
data dan informasi ISPA yang akurat menghasilkan kajian dan evaluasi program yang
tajam sehingga tindakan koreksi yang tepat dan perencanaan tahunan dan menengah (5
tahunan) dapat dilakukan. Kecenderungan atau potensi masalah yang mungkin timbul
dapat diantisipasi dengan baik khususnya dalam pengendalian Pneumonia. Data dan
kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan diumpan balikan kepada
pengelola program dan pemangku kepentingan terkait di dalam jejaring. Diseminasi di
tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan rutin, lokakarya mini Puskesmas,
rapat koordinasi kecamatan dan sebagainya. Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi,
diseminasi dilakukan pada forum pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi
di tingkat kabupaten/kota, provinsi, forum dengar pendapat serta diskusi dengan DPRD
dan sebagainya, serta dituangkan dalam bentuk buletin, laporan tahunan ataupun laporan
khusus. Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak dianggap
sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan dalam pencatatan dan
pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi Bukan Pneumonia tercakup berbagai
diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti: common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis,
Otitis, dsb. Dengan perkataan lain Batuk Bukan Pneumonia merupakan kelompok
diagnosis.
ISPA
No. Dokumen : SPO/PKM-K/
No. Revisi :-
SPO Tanggal terbit : 1 Desember 2015
Halaman : 1/4
1.Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang
lebih 14 hari.
2.Tujuan Sebagai acuan penatalaksanaan bagi pasien denagn ISPA di Puskesmas
3.Kebijakan Penerapan standar terapi di Puskesmas
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
a. Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi adekuat, pemberian
multivitamin, dll
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral.
c. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
d. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi
keluhan.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
ISPA adalah Kotrimoksasol (Trimetroprim-sulfametoxazole)
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat
diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu
Amoxixillin.
Melakukan anamnesa
Melakukan pemeriksaan
fisik,
Konseling dan
terapi
apotek
dokumentasi rekam
Rujuk medik pasien
7. Unit Terkait Kepala Puskesmas, penanggungjawab program, koordinator unit, dan seluruh
pegawai puskesmas
8. Dokumen Terkait 1. Status pasien Unit Pelayanan umum
2. Lembaran resep
3. Form resep umum luar
9. Rekaman historis
perubahan No Yang diubah Isi Perubahan Tanggal mulai
diberlakukan