OLEH :
Iqbal Fikri Ardian
0910723029
KELOMPOK 1
1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokardium yang
disebabkan tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada
arteri koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh rupture plak
ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya
thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal.
Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme
arteri koroner, emboli, atau vaskulitis. Iskemia yang berlangsung lebih dari
30-45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang permanen dan
kematian otot atau nekrosis. Area miokardium yang mengalami infark
atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan
yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang
berpotensi dapat hidup. Ukuran infark akhir bergantung pada keadaan
daerah iskemik tersebut. Bila tepi daerah yang mengelilingi area iskemik
ini mengalami nekrosis maka area infark akan bertambah luas,
sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil area nekrosis. Infark
miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri (Muttaqin, 2009).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI
terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya fibrin
di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan
berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2011).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.
Faktor resiko
a) Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu diantaranya:
Usia
Jenis Kelamin
Morbiditas akibat IMA(Infark Miokard Akut) pada laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan
dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada
perempuan. Hal ini terbukti insidensi IMA meningkat dengan cepat
dan akhirnya setara dengan laki pada wanita setelah masa
menopause
Riwayat Keluarga
Ras
Geografi
Kelas sosial
Tingkat kematian akibat IMA tiga kali lebih tinggi pada pekerja
kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja
profesi (missal dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri
pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk mengalami
kematian dini akibat IMA dibandingkan istri pekerja
professional/non-manual.
1. Hipertensi
2. Hiperlipidemia
3. Obesitas
5. Diabetes
6. Merokok
3. Patofisiologi
(terlampir)
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala infark miokard menurut Alwi (2006) adalah :
1) Nyeri :
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak
mereda, biasanya dibagian dada depan bawah sternum dan
abdomen bagian atas, ini merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri
tidak tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat
menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya
lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional), menetap selama lebih dari 15 detik 30 menit,
dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher, atau seperti sakit gigi,
penderita tdk bisa menunjuk lokasi nyeri dg 1 jari tetapi ditunjukkan
dg telapak tangan.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis
berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang
hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (mengumpulkan pengalaman nyeri).
2) Sesak nafas: mengidentifikasikan ancaman gagal ventrikel kiri.
3) Gejala GI: peningkatan aktivitas fadal menyebabkan mual dan muntah
dan dikatakan lebih sering terjadi pada infrak inferior. Stimulasi
diafragmatik pada infrak inferior juga dapat menyebabkan cegukan.
4) Gejala lain: palpitasi, rasa pusing, aritmia ventrikel, dan gejala akibat
emboli arteri (stroke, iskemia ekstermitas).
5) Laborat
Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
Merupakan enzim yg spesifik sebagai penanda terjadinya
kerusakan pd otot jantung. Kadar CPK yang ditemukan pada otot
jantung meningkat antara 2-6 jam, memuncak pada 24 jam pertama
pasca serangan, kembali normal dalam 2-3 hari.
b. LDH/HBDH
Meningkat pada hari ke 2-3 kemudian normal kembali pada hari ke
5-6.
c. Cardiac Troponin
Meningkat 3-6 jam pasca serangan dan tetap tinggi selama 14-21
hari. Kadar kardiak troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan
dan tetap tinggi untuk 5-7 hari pasca serangan. Merupakan Gold
standart pemeriksaan laborat untuk mendiagnosa IMA.
d. AST/SGOT (kurang spesifik/khusus)
Kadar SGOT terdeteksi setelah 8 jam serangan. Kadarnya
meningkat hingga 24-48 jam dan menurun pada hari ke 3-4. Oleh
karena itu kadar SGOT harus diperiksa pada 24, 48, dan 72 jam
serangan.
6) EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi
dan simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.Perubahan yang
terjadi kemudian ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan
adanya nekrosis.
a. Segmen ST elevasi abnormal menunjukkan adanya (dilatasi
sekunder) karena gagal jantung kongesif.
b. Gelombang T invesi (arrow hard) menunjukan adanya askemia
miokard.
c. Q patologis menunjukkan adanya nekrosis miokard.
Skor nyeri menurut White :
0 = tidak mengalami nyeri
1 = nyeri pada satu sisi tanpa menggangu aktifitas
2 = nyeri lebih pada satu tempat dan mengakibatkan terganggunya
aktifitas, mislnya kesulitan bangun dari tempat tidur, sulit menekuk
kepala dan lainnya.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fisik
Menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat
(gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan
kecurigaan kuat adanya STEMI (Farissa, 2012)
EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
Creatine Kinase (CK atau CPK)
Dikeluarkan dari otot yang rusak, CK adalah enzim yang ditemukan di
jantung, otot rangka dan otak. Ini terdiri dari 3 isoenzim;. Mm ( ditemukan
di otot rangka ), MB ( ditemukan pada otot jantung ) dan BB ( ditemukan
dalam jaringan otak ). Kerusakan pada salah satu jaringan menyebabkan
pelepasan CK ke dalam aliran darah sehingga jumlahnya dalam darah
lebih tinggi dari normal.
CKMB
Setelah cedera jantung, CK dan MB isoenzyme dilepaskan ke dalam
aliran darah pada tingkat yang dapat diprediksi. Dalam waktu 4 sampai 8
jam ( setelah cedera ) tingkat CKMB naik di atas normal dan dalam waktu
12 sampai 24 jam tingkat ini meningkat sekitar 5 sampai 15 kali
normal. Dalam waktu 2 sampai 3 hari CKMB kembali normal. Karena
isoenzyme MB adalah eksklusif untuk jaringan otot jantung, hal ini
dianggap sebagai tes yang sangat definitif untuk mendiagnosa infark
miokard akut.
Troponin
Troponin adalah protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung
dan karena itu dapat diisolasi dalam darah, itu dianggap sebagai indikator
yang sensitif dari infark miokard akut. Troponin terdiri dari 3 protein yang
terpisah yaitu Troponin I, Troponin T dan Troponin C.
Fungsi dari masing-masing protein spesifik adalah sebagai berikut:
Troponin C
Mengikat ion kalsium dan tidak digunakan untuk menentukan jaringan
sel / kematian.
Troponin I dan T
Biasanya / normalnya tidak ditemukan dalam aliran darah sehingga
setiap terdeteksi protein ini dalam darah menunjukkan infark atau
kematian otot jantung / jaringan.
Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas,
missal hipokalemi, hiperkalemi
Sel darah putih
Leukosit (10.000 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah
IMA berhubungan dengan proses inflamasi
Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ
akut atau kronis
Analisa Gas Darah
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau
kronis.
Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI
Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK
atau aneurisma ventrikuler.
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau
dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
Pemeriksaan pencitraan nuklir
o Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel
miocardia missal lokasi atau luasnya IMA
o Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan
dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran darah)
Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner.
Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan
serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur
tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati bedah jantung
angioplasty atau emergensi.
Digital subtraksion angiografi (PSA)
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan
Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup
ventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark
dan bekuan darah.
Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering
dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase
penyembuhan.(Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, 2010)
Marker Jantung
Tipe marker jantung adalah sebagai berikut:
Troponin dilepaskan
selama MI dari sitosol dari
miosit. Rilis selanjutnya
berkepanjangan dengan
degradasi aktin dan
Tes yang paling filament myosin. Isoform
sensitif dan spesifik protein, T dan I, khusus
untuk kerusakan untuk miokardium.
miokard. Karena Diagnosis elevasi troponin
tingginya termasuk infark akut,
spesifisitas emboli paru yang berat
Troponin test 12 hours
dibandingkan menyebabkan overload
dengan CK-MB, jantung kanan akut, gagal
troponin adalah jantung, miokarditis.
penanda utama Troponin juga dapat
untuk cedera menghitung ukuran infark
miokard. tetapi puncak harus diukur
pada hari ke-3. Setelah
cedera miosit, troponin
dilepaskan dalam 2-4 jam
dan berlangsung sampai 7
hari.
Creatine Kinase Specific pada infrak 1024 hours CK-MB isoform kreatin
(CK-MB) test otot jantung dan kinase dinyatakan dalam
otot jantung. Ini berada di
sitosol dan memfasilitasi
pergerakan fosfat ke
dalam dan keluar dari
mitokondria. Karena
memiliki durasi pendek,
tidak diproduksi
tidak dapat digunakan
pada kerusakan
untuk diagnosis MI akut
otot rangka
tetapi dapat digunakan
untuk menyarankan
ekstensi infark jika terjadi
peningkatan lagi. Hal ini
biasanya kembali normal
dalam waktu 2-3 hari.
dehidrogenase laktat
mengkatalisis konversi
piruvat ke laktat. LDH-1
isozim biasanya ditemukan
di otot jantung dan LDH-2
ditemukan didominasi
dalam serum darah.
Lactate LDH kurang Tingginya jumlah LDH-1
dehydrogenase( specific disbanding 72 hours dari LDH-2 menyarankan
LDH) troponin diagnosa MI. tingkat LDH
juga menandakan
kerusakan jaringan atau
hemolisis. Ini bisa berarti
kanker, meningitis,
ensefalitis, atau HIV. Hal
ini biasanya kembali
normal 10-14 hari.
Glikogen fosforilase
Glycogen 7 hours
isoenzim BB (singkatan:
phosphorylase
GPBB) adalah salah satu
isoenzyme BB
dari tiga isoform dari
glikogen fosforilase.
isoform ini enzim yang ada
di jantung (jantung) dan
jaringan otak. Karena
penghalang darah-otak,
GP-BB dapat dilihat
sebagai spesifik untuk otot
jantung. GP-BB adalah
salah satu "penanda
jantung baru" yang
dianggap untuk
meningkatkan diagnosis
awal sindrom koroner akut.
Selama proses iskemia,
GP-BB diubah menjadi
bentuk larut dan
dilepaskan ke dalam
darah. Kenaikan pesat
dalam kadar darah dapat
dilihat pada infark miokard
dan angina tidak stabil.
GP-BB ditinggikan 1-3 jam
setelah proses iskemia.
(Lippi, G, et al2013;Christenson RH et al 1997)
6. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch
Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin
berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada
lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari
tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari
2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah ibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
1) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
IKP primer diindikasikan untuk pasien gagal jantung akut yang berat
atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP
akan tertunda lama dan bila pasien dating dengan awitan gejala yang
telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasty balon
untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri
yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada
pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap
terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents
(DES) lebih disarankan daripada Bare Metal Stents (BMS).
2) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI
dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan
diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama.
Dosis Awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam Heparin IV selama Sebelum Sk a
100 mL Dextrose 24-48 jam anistreplase
5% atau larutan
salin 0,9% dalam
waktu 30-60 menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin IV selama
intravena 0,75 24-48 jam
mg/kg selama 30
menit, kemudian
0,5 mg/kg selama
60 menit
Dosis total tidak
lebih dari 100 mg
Kontraindikasi terapi fibrinolitik
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dalam 6 bulan terakhir
dengan awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu
neoplasma post-partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 Resusitasi traumatic
bulan terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endocarditis
Ulkus peptikum yang aktif
b) Koterapi antikoagulan
1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila
lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced
thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan.
2) Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan
terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari pemberian.
3) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau
fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.
4) Pasien yang menjalani IKP primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis :
- Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIa telah diberikan.
- Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan
terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena
0,3 mg/kg.
- Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan
tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah
diberikan GP IIb/IIa.
5) Karena adanya risiko thrombosis kateter, fondaparinuks tidak
dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP,
sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa.
c) Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah :
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama
merokok, dengan ketat.
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg)
diindikasikan tanpa henti.
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga
12 bulan setelah STEMI.
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-
pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5) Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI
sesegera mungkin sejak datang.
6) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah
pasien masuk tumah sakit bil tidak ada kontra indikasi atau riwayat
intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial.
7) ACE-I diindikasikan seak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark
anterior. Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi 40% atau
terdapat gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau
hiperkalemia.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
Sedangkan menurut Muttaqin (2009), penatalaksanaan medis pada fase
serangan akut IMA adalah sebagai berikut :
1) Penanganan nyeri
Penanganan nyeri dapat berupa terapi farmakologi yaitu morphin sulfat,
nitrat, penghambat beta (beta blocker)
2) Membatasi ukuran infark miokardium
Pemberian :
- Antikoagulan Mencegah pembentukan bekuan darah yang dapat
menyumbat sirkulasi.
- Trombolitik Penghancur bekuan darah, menyerang dan
melarutkan bekuan darah.
- Antilipemik/hipolipemik/antihiperlipemik Menurunkan konsentrasi
lipid dalam darah.
- Vasodilator perifer Meningkatkan dilatasi pembuluh darah yang
menyempit karena vasospasme.
Secara farmakologis, obat-obatan yang dapat membantu membatasi
ukuran infark miokardium adalah antiplatelet, antikoagulan, dan
trombolitik.
3) Pemberian oksigen
Terapi oksigen segera dimulai saat awitan (onset) nyeri terjadi. Oksigen
yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi darah. Efektivitas
terapeutik oksigen ditentukan dengan observasi kecepatan dan irama
pertukaran gas. Terapi oksigen dilanjutkan hingga klien mampu bernapas
dengan mudah. Saturasi oksigen dalam darah secara bersamaan diukur
dengan pulse-oxymetry
4) Pembatasan aktivitas fisik
Istirahat merupakan cara paling efektif untuk membatasi aktivitas fisik.
Pengurangan atau penghentian seluruh aktivitas pada umumnya akan
mempercepat penghentian nyeri. Klien boleh diam tidak bergerak atau
dipersilahkan untuk duduk atau sedikit melakukan aktivitas.
7. Komplikasi
Komplikasi STEMI menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (2015) adalah sebagai berikut:
a) Gangguan hemodinamik
1) Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
PCI atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi
mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi
akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai
tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan
gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai
komplikasi mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan
subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda
seperti sinus takikardia, suara jantung ketiga atau ronchi pulmonal,
dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri,
dan berkurangnya fraksi ejeksi.
2) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah
90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun
dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau
komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan
gangguan ginjal, acute tubular necrosis, dan berkurangnya urine
output.
3) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronkhi basah paru di segmen
basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
rontgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi
vasodilator.
4) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang
buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi
urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang
buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
5) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit
mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah
awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien
pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (Should we
emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan
75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien
biasanya dating dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria,
ekstremitas dingin) dan kongesti paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2
L/menit/m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu,
diuresis biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok
apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik
biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga
dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.
6) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi
awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya,
seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom,
hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan
asam-basa.
b) Komplikasi kardiak
1) Regugirtasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat
dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m.
Papilaris atau chordate tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai
dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru
dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan
dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis
dan perlu segera konfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema
paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
2) Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut
setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan
kolaps kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis.
Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi
secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi thrombus, rupture
dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan
perikardiosentesis dan operasi segera.
3) Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang
terjadi dengan cepat dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik
yang kencang yang terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini
dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan
ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan lkasi dan
besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat dari
ruptur ini dapat meghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan
akut awitan baru.
4) Infark ventrikel kanan
Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru
yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen
ST 1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan
perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang
disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya
menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang
rendah, dilatasi vena hepatica dan jejas dinding inferior dalam
berbagai derajat.
5) Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan
semakin majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala
perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam
dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan
pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST
dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-
elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat
trombosis stent, misalnya.
6) Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding
anterolateral, dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan
pembentukan aneurisma ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi
akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolic dan, seringkali,
regurgitasi mitral.
7) Trombus ventrikel kiri
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark
miokard anterior memiliki thrombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi,
keadaan ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena
berhubungan dengan infark yang luas, terutama bagian anterior
dengan keterlibatan apical, dan risiko embolisme sistemik.
8. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan
pingsan.
Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian PQRST yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada pada klien
secara PQRST yang meliputi :
Provoking Incident: Nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat dan setelah diberikan nitrogliserin.
Quality of pain : Seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Sifat nyeri dapat seperti tertekan, diperas, atau diremas.
Region : Lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran nyeri dapat meluas hingga area dada. Dapat
terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
Severity of pain : Klien ditanya dengan menggunakan rentang 0-4 atau
0-10 (visual analog scale) dan klien akan menilai seberapa berat nyeri
yang dirasakan. Biasanya pada saat angina terjadi, skala nyeri
berkisar antara 3-4 (skala 0-4) atau 7-9 (skala 0-10).
Time : Sifat mula timbulnya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul
mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya dikeluhkan
lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada
waktu istirahat, nyeri biasanya dirasakan lebih berat dan berlangsung
lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi
dispnea, berkeringat, ansietas, dan pingsan.
Riwayat penyakit dahulu
Data ini diperoleh dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita nyeri dada, hipertensi, diabetes mellitus, atau hiperlipidemia.
Cara mengkaji sebaikya sekuens dan terinci. Tanyakan mengenai
obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa yang lalu yang
masih relevan dengan obat-obatan antiangina seperti nitrat dan
penghambat beta serta obat-obat antihipertensi. Catat adanya efek
samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang
timbul. Seringkali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping
obat.
Riwayat penyakit keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang pernah
dialami oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal, dan
penyebab kematian. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang
timbulnya pada usia muda merupakan faktor risiko utama terjadinya
penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya.
Demikian pula dengan kebiasaan sosial dengan menanyakan
kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atau obat tertentu.
Kebiasaan merokok dikaji dengan menanyakan kebiasaan merokok
sudah berapa lama, berapa batang per hari, dan jenis rokok. Di
samping pertanyaan-pertanyaan di atas, data biografi juga merupakan
data yang perlu diketahui seperti nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, suku, dan agama yang dianut oleh klien.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien, hendaknya perhatikan
kondisi klien. Bila klien dalam keadaan kritis, maka pertanyaan yang
diajukan bukan pertanyaan terbuka tetapi pertanyaan tertutup, yaitu
pertanyaan yang jawabannya adalah ya dan tidak. Atau pertanyaan
yang dapat dijawab dengan gerakan tubuh seperti mengangguk atau
menggelengkan kepala sehingga tidak memerlukan energy yang
besar.
Pengkajian psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan yang
tak perlu, khawatir tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Gejala
perubahan integritas ego yang dapat dikaji adalah klien menolak,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena stress
yang dialami klien dari berbagai aspek seperti keluarga, pekerjaan,
kesulitan biaya ekonomi, atau kesulitan koping dengan stressor yang
ada.
Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : kesadaran klien IMA biasanya baik atau
composmentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
- B1 (Breathing) :
Klien tampak sesak, frekuensi napas melebihi normal dan
mengeluh sesak napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya
ditemukan. Sesak napas terjadi akibat pengerahan tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri
yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi
karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel
kiri pada saat melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada
infark miokardium yang kronis dapat timbul pada saat istirahat.
- B2 (Blood) :
Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan
lokasi nyeri biasanya di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat
terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan
tangan.
Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa
komplikasi biasanya tidak ditemukan.
Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup yang disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan
akibat kelainan katup biasanya tidak ditemukan pada IMA
tanpa komplikasi.
Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
- B3 (Brain) :
Kesadaran umum klien biasanya composmentis. Tidak ditemukan
sianosis perifer. Pengkajian objektif klien, yaitu wajah meringis,
perubahan postur tubuh, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat yang merupakan respons dari adanya nyeri dada
akibat infark pada miokardium.
- B4 (Bladder) :
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan klien. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria pada klien dengan IMA karena merupakan tanda awal
syok kardiogenik.
- B5 (Bowel) :
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi
abdomen ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran,
penurunan peristaltik usus yang merupakan tanda utama IMA.
- B6 (Bone) :
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering
merasa kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap, dan jadwal olahraga tak teratur. Tanda klinis lain yang
ditemukan adalah takikardia, dispnea pada saat istirahat maupun
saat beraktivitas.
Kaji higienis personal klien dengan menanyakan apakah klien
mengalami kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
(Muttaqin, 2009)
b. Kontraindikasi PCI
Kontraindikasi PCI yaitu:
1) CHF yang tidak terkontrol, BP tinggi, aritmia
2) Gangguan elekrolit
3) Infeksi ( demam )
4) Gagal ginjal
5) Perdarahan saluran cerna akut/anemia
6) Stroke baru (< 1 bulan)
7) Intoksikasi obat-obatan (seperti : Kontras )
8) Pasien yang tidak kooperatif
9) Usia kehamilan kurang dari 3 bulan
5. Komplikasi
1) Resiko pendarahan
2) Vasospasme arteri koroner
3) Resiko infeksi
4) Tamponade jantung
5) ALI
6) Hematoma
7) Contrast induce nefropathi (CIN)
8) Reaksi kontras menyebabkan alergi
9) Diseksi Aorta
10) Akut Myocar Infark (AMI)
11) Stroke
2. Diagnosa keperawatan
a. Ansietas b.d rasa takut, kurang pengetahuan tentang prosedur tindakan
PCI.
Hasil yang diharapkan :
1) Tingkat kecemasan klien menurun.
2) Klien dapat mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab, atau faktor yang mempengaruhinya.
3) Kooperatif terhadap tindakan.
4) Ekspresi wajah terlihat rileks.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kecemasan dan mekanisme koping klien
2) Bantu klien untuk mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan
takut.
3) Berikan penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan.
4) Jelaskan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan klien sebelum,
selama, dan setelah prosedur PCI.
5) Ajarkan teknik-teknik untuk mengurangi kecemasan (relaksasi, nafas
dalam, dan berpikiran positif).
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi penenang sesuai
indikasi.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC.
Farissa, Inne P. 2012. KomplikasiPada Pasien Infark Miokard Akut ST-Elevasi
(STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi
di RSUP Dr.Kariadi Semarang). Pogram Pendidikan Sarjana Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Didponegoro, Semarang.
Firdaus, 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI, JurnalKardiologi
Indonesia.32 : 266-71.
Judith M Wilkinson & Nancy R Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Edisi 9. Jakarta: EGC.
Lippi, G.; Mattiuzzi, C.; Comelli, I.; Cervellin, G. (2013). "Glycogen phosphorylase
isoenzyme BB in the diagnosis of acute myocardial infarction: a meta-
analysis.". Biochem Med (Zagreb) 23(1): 7882. doi:10.11613/bm.2013.010
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Peetz et all. Glycogen phosphorylase BB in acute coronary syndromes; Clin
Chem Lab Med. 2005; 43(12):1351-1358 Rabitzsch et al.
Immunoenzymometric Assay of Human Glycogen Phosphorylase
Isoenzyme BB in Diagnosis of Ishchemic Myocardial Injury; Clin Chem Lab
Med. 1995; 41(7):966-978.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Ed. 3. Jakarta : Centra
Communications.
Price, S.A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.Jakarta
: EGC.
Ramrakha, Suwiryo. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.
Jakarta:Gramedia.
Rifqi, Sodiqur. Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI),
Senjata Baru untuk Melawan Serangan Jantung Akut. Medica Hospitalia. 1
(2) : 139-142.
Selwyn, Andina. 2005. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing.
Suhastutik.2012. Pasien dengan Akut Miokard Infark (STEMI). Yogyakarta : JAY.