Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow dalam Teori

Hierarki Kebutuhan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan

dasar, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan,

kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki, kebutuhan akan harga diri,

dan kebutuhan aktualisasi diri (Eny Retna Ambarwati dan Tri Sunarsih, 2010).

Kebutuhan rasa aman dan perlindungan yang berada pada prioritas kedua terbagi

menjadi dua yaitu rasa aman dan perlindungan secara fisik dan psikologis. Contoh

secara psikologis yaitu rasa cemas atas ancaman dari pengalaman yang baru dan

asing (Hidayat, 2006).


Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan takut, tegang, gelisah dan

cemas dalam menghadapi sesuatu. Kecemasan merupakan respon seseorang, baik

dalam bentuk pikiran, tindakan, dan kondisi emosional terhadap peristiwa tertentu

yang mungkin atau dianggap akan terjadi dalam hidupnya, perasaan cemas akan

mengakibatkan munculnya perasaan takut, tegang, pesimis, emosional (Asmadi,

2008). Kecemasan dapat terjadi pada siapapun, termasuk pada pasien-pasien yang

di rawat di rumah sakit yang mengalami berbagai macam diagnosa penyakit, salah

satunya yang mengalami kecemasan yaitu pada pasien abortus.


Abortus masih menjadi masalah yang besar, pasalnya kasus abortus masih

banyak dijumpai di tiap-tiap Rumah Sakit. Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2009 terdapat 750.000-1,5 juta abortus yang terjadi di Indonesia,

2500 orang diantaranya berakhir dengan kematian. Aborsi berkontribusi 11,1 %

terhadap Angka Kematian Ibu (AKI) yang berjumlah 248 orang/100.000 kelahiran

hidup (Azikin, 2011). Word Health Organisation (WHO) memperkirakan di


1
2

seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran per tahun terdapat 20 juta kejadian abortus.

Sekitar 13% dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia di akibatkan oleh

komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari 20 kejadian abortus)

diantaranya terjadi di Negara berkembang (Depkes, 2010 dikutip dari Indriana,

2006). Menurut WHO tahun 2006 tingkat kasus aborsi di Indonesia tercatat yang

tertinggi di Asia Tenggara mencapai 2 juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di

Negara-Negara Association Of South East Asian Nation (ASEAN) sekitar 4,2 juta

kasus pertahun (Hasifah dkk, 2012).


Sementara di Rumah Sakit Provinsi Jawa Timur Dr. Soetomo Surabaya

tercatat 374 kasus abortus pada wanita usia 15-49 tahun dari total kasus kehamilan

yang berjumlah 4690 atau dapat diartikan prevalensi kasus abortus sejumlah 7,8-

8% pada tahun 2012 (http://www.fk.unair.ac.id). Di RSUD Dr. Soedono Madiun

sendiri kasus abortus terjadi sebanyak 98 dari total 1656 kasus kebidanan

sepanjang tahun 2014 atau dapat dikatakan prevalensi abortus sekitar 6%.

Pada pasien abortus imminens, umumnya selalu mengalami kecemasan baik

dari sisi merasa terancam terhadap kelangsungan kehamilannya dan kondisi

janinnya maupun dari sisi manifestasi dari abortus sendiri, seperti pardarahan.

Beberapa pada pasien abortus juga mengalami kecemasan akan terulangnya

kembali kejadian abortus pada dirinya. Dampak cemas pada pasien abortus akan

mengalami kegelisahan yang berlebihan, peningkatan tekanan darah, tangan

dingin dan berkeringat, mudah tersinggung dan kehilangan nafsu makan dengan

kondisi pasien tersebut dapat mengganggu proses keperawatan dan menghambat

penanganan abortus selanjutnya. Abortus imminens merupakan peristiwa

terjadinya perdarahan berasal dari uterus yang timbul sebelum umur kehamilan 20
3

minggu, dimana hasil konsepsi masih berada dalam uterus, dan tanpa dilatasi

serviks. Dalam kondisi ini, kehamilan masih mungkin berlanjut atau

dipertahankan (Prawirohardjo, 2007).

Abortus biasanya ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam dapat

disertai atau tidak disertai nyeri pada bagian atas simphisis pubis, terkadang juga

disertai pengeluaran hasil konsepsi (Kapita Selekta, 2009). Beberapa manifestasi

abortus sering kali membuat pasien merasa takut, khawatir dan cemas dengan

keadaannya. Kecemasan biasanya mendominasi pikiran pasien karena dirasa

abortus merupakan guncangan berat dan belum bisa dipercaya bahwa pasien

mengalaminya, belum lagi ditambah dengan rasa kehilangan akibat meninggalnya

janin yang mungkin telah lama dinanti-nanti. Kecemasan-kecemasan pada pasien

abortus terjadi akibat kurangnya informasi dan pengetahuan pasien tentang status

kesehatannya. Kurangnya dukungan dari petugas medis juga dapat menambah

tingkat kecemasan pasien abortus (Indriana, 2006).

Respon fisiologis terhadap kecemasan antara lain gemetar, gugup, nafas

pendek, tangan dingin dan berkeringat, mual, sering berkemih, tekanan darah

meningkat, kehilangan nafsu makan, menolak makan. Dari beberapa respon

fisiologis tersebut, kehilangan nafsu makan yang berujung pada menolak untuk

makan akan memperlambat proses penyembuhan bagi pasien. Sedangkan respon

psikologis terhadap kecemasan antara lain kegelisahan yang berlebihan, waspada

yang berlebihan, sulit berkonsentrasi, respon kaget berlebihan, sulit tidur, mudah

tersinggung. Seorang pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi biasanya akan

mengalami penolakan dalam hal apapun. Penolakan ini dapat mengganggu proses

keperawatan karena dengan terjadinya respon tersebut, pasien akan kurang


4

kooperatif untuk dilakukan tindakan keperawatan sehingga proses penyembuhan

pasien akan terganggu (Pieter, H.Z & Namora, 2010).


Penanganan cemas pada pasien abortus imminens dapat dilakukan dengan

menjalin hubungan baik dengan pasien, mendengarkan keluh kesahnya dan

memberikan informasi sejelas-jelasnya tentang keadaan pasien.


Dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, untuk

menghindari adanya hambatan proses keperawatan pada pasien abortus yang

dalam keadaan cemas, maka perawat memiliki peran penting adalah perawat

sebagai konselor dan caregiver. Sebagai konselor yaitu perawat memberikan

kesempatan pasien untuk menceritakan ketakutan ataupun kecemasan yang

dirasakan oleh pasien serta mendorong orang terdekat untuk berpartisipasi dalam

asuhan keperawatan. Sebagai caregiver/pelaksana layanan keperawatan dengan

melakukan asuhan keperawatan yang optimal untuk menurunkan tingkat

kecemasan pasien.
Berdasarkan uraian diatas dan mengingat penanganan pasien abortus perlu

mempertimbangkan keadaan psikologis dan emosional dalam proses

penyembuhannya maka penulis tertarik untuk melakukan studi kasus tentang

upaya pemenuhan kebutuhan rasa aman (cemas) pada pasien abortus imminens di

Ruang Bersalin RSUD Dr. Soedono Madiun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan

pernyataan sebagai berikut : Bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan rasa aman

(cemas) pada pasien abortus imminens di Ruang Bersalin RSUD Dr. Soedono

Madiun?
5

1.3 Tujuan Studi Kasus

Dalam penyusunan studi kasus ini terdapat dua tujuan yaitu :

1.3.1 Tujuan Umum

Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pemenuhan

kebutuhan rasa aman (cemas) pada pasien abortus imminens di Ruang

Bersalin RSUD Dr. Soedono Madiun.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik gangguan rasa aman (cemas) pada pasien

abortus imminens di Ruang Bersalin RSUD Dr. Soedono Madiun.


2. Mengidentifikasi upaya pemenuhan kebutuhan rasa aman (cemas) pada

pasien abortus imminens di Ruang Bersalin RSUD Dr. Soedono Madiun.


3. Mengevaluasi hasil upaya pemenuhan kebutuhan rasa aman (cemas) pada

pasien abortus imminens di Ruang Bersalin RSUD Dr. Soedono Madiun.


1.4 Manfaat Studi Kasus

Penyusunan studi kasus ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat. Adapun

manfaatnya adalah :

1.4.1 Manfaat Secara Teoritis


Studi kasus ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan dan

menyempurnakan ilmu pengetahuan yang sudah ada.


1.4.2 Manfaat Secara Praktis
Studi kasus ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan mutu

pelayanan asuhan keperawatan dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman (cemas)

pada pasien abortus imminens di rumah sakit dalam memberikan asuhan

keperawatan yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai