Anda di halaman 1dari 97

PENERAPAN METODE PERMAINAN SIMULASI

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA


PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI
NO.1 BANJAR TEGAL SINGARAJA
29 12 2009

Oleh : Arifuddin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa dan juga merupakan sasaran
pembelajaran berbahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat meningkat jika ditunjang oleh
keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis. Keterampilan
berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Pentingnya keterampilan
berbicara bukan saja bagi guru, tetapi juga bagi siswa sebagai subjek dan objek didik.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut terampil berbicara. Hal ini sejalan dengan
pernyataan yang dilontarkan oleh Suyoto (2003:32) bahwa seseorang yang terampil berbicara
cenderung berani tampil di masyarakat. Dia juga cenderung memiliki keberanian untuk tampil
menjadi pemimpin pada kelompoknya. Orang yang pandai berbicara umumnya mudah bergaul,
memiliki rasa percaya diri, dan dapat memengaruhi orang lain.
Sekolah dasar sebagai sekolah awal untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sudah tentu
siswa-siswanya harus diberikan pengetahuan yang lebih, khususnya dalam pembelajaran
keterampilan berbicara, sehingga bisa diaplikasikan ke jenjang selanjutnya. Pembelajaran
berbicara di sekolah dasar belum memuaskan dan belum memenuhi tuntutan berbicara seperti
yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyoto
(2003:32) menyebutkan bahwa Pembelajaran berbicara di sekolah belum dapat memenuhi
tuntutan kegiatan berbicara yang dibutuhkan masyarakat. Pembelajaran berbicara di sekolah
umumnya kurang mendapatkan simpati dari para siswa. Jika demikian, wajarlah kalau siswa
sekolah dasar belum memiliki bekal yang memadai untuk terampil berbicara. Hal ini sangat
memengaruhi keberanian siswa untuk menyampaikan ide, gagasan atau pendapat mereka kepada
guru secara lisan. Hal senada juga dikatakan oleh Bukian (2004:1) dalam penelitiannya tentang
metode pengajaran berbicara di kelas VI Sekolah Dasar No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng, menyebutkan bahwa buku ajar yang digunakan guru sekolah dasar
memperlihatkan bahwa pembelajaran keterampilan membaca dan menulis lebih banyak porsinya
dibandingkan dengan keterampilan berbicara.
Melihat kondisi sekarang, kegiatan di luar jam pelajaran masih dianggap suatu aktivitas yang
menyenangkan oleh sebagian siswa. Sementara dalam proses belajar-mengajar di kelas, sekolah
adalah aktivitas yang membebani. Belum ada penelitian khusus yang menyajikan tentang hal
tersebut, tetapi sepanjang pengamatan peneliti, jika para siswa berada di dalam kelas, mereka
ingin keluar kelas atau pulang. Salah satu penyebabnya adalah pengggunaan metode yang
monoton, sehingga siswa merasa tidak betah jika berada di dalam kelas. Ada pepatah Yunani
(dalam Somantri, 2002:1) mengatakan bahwa non scolae sed vitae discamus yang bisa diartikan
secara bebas bahwa sekolah itu tujuannya bukan mencari skor atau angka-angka, tetapi sekolah
itu belajar untuk kehidupan, bahkan hidup itu sendiri. Hal serupa juga sering terjadi pada guru.
Peneliti sering mendengar keluhan guru bahwa pergi ke sekolah rasanya bukan lagi sebagai
kegiatan yang diidam-idamkan ketika pertama kali melamar menjadi guru, tetapi sudah
cenderung menjadi rutinitas.
Apa yang peneliti amati sepertinya cocok dengan karakter guru yang dikemukakan Zamroni,
bahwa ada lima karakter kerja guru. Kelima karakter tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
pekerjaan guru bersifat individualistic non collaborative; kedua, dilakukan dalam ruang terisolir
dan menyerap seluruh waktu; ketiga, kemungkinan terjadinya kontak akademis antarguru rendah;
keempat, tidak pernah mendapatkan umpan balik; dan kelima, pekerjaan guru memerlukan
waktu untuk mendukung kerja di ruang kelas (Zamroni, 2000:76). Jadi, keadaan tersebut
memungkinkan kurang maksimalnya penyampaian, dan kurang berhasilnya proses belajar-
mengajar.
Senada dengan itu, Paul Suparno mengemukakan alasan tentang kesulitan guru sulit melakukan
perubahan. Pertama, guru sering tidak mengerti isi kurikulum baru atau pun perubahan yang
diinginkan. Kedua, banyak guru yang meragukan perubahan atau pembaharuan yang ada. Ketiga,
banyak guru lama yang bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah
merasa enak. Keempat, moral guru sebagai tukang yang pasif dan menanti. Kelima, penghargaan
terhadap guru sangat kecil. Keenam, pendidikan guru yang statis. Ketujuh, tugas guru dipahami
sebagai konservatif. Kedelapan, menjadi guru karena terpaksa (Suparno, 2002:4).
Pada sisi lain, peneliti melihat kelemahan atas kondisi kemampuan berbicara siswa sekolah
dasar. Umumnya, para siswa mengalami kesukaran ketika diminta untuk bercerita, bercakap-
cakap, berpidato, bahkan sekadar bertanya pun banyak di antara siswa yang tidak mampu.
Padahal, siswa sekolah dasar sebenarnya memiliki kemampuan dasar berbicara. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh D.Mcneill, salah seorang pengikut Chomsky (dalam
Sumarsono, 61) bahwa Setiap anak normal memiliki perabot yang bersifat bawaan. Perabot ini
disebut perabot pemerolehan bahasa atau Language Acquisition Device (LAD) yang
dispekulasikan harus menguasai bahasa apa pun. Bukti nyata kalau anak-anak SD memiliki
kamampuan berbicara dapat kita lihat ketika mereka bermain di luar kelas. Di sana, mereka
saling berkomunikasi secara lisan dengan lancar tanpa hambatan. Siswa-siswa itu begitu mudah
menuturkan isi hati mereka. Ide, gagasan, dan pengalaman dengan mudah disampaikan dengan
bahasa lisan. Ini menunjukkan bahwa siswa-siswa SD memiliki kemampuan dasar berbicara.
Berpijak pada fakta di atas, maka pengajaran berbicara harus diupayakan lebih bermakna bagi
siswa. Selain memberikan teori tentang berbicara kepada siswa dalam proses belajar-mengajar,
perlu juga diberikan pelatihan yang dapat merangsang siswa agar berani berbicara. Hal ini
ditegaskan oleh Badudu (dalam Karolina, 2001:2) bahwa pengajaran berbicara sangat penting
untuk melatih siswa menggunakan bahasa itu secara aktif. Untuk mengaktifkan itulah, guru perlu
memberikan pelatihan dan pembinaan. Pelaksanaan pelatihan dan pembinaan keterampilan
berbicara dapat dilakukan melalui metode yang dipilih dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Metode yang akan diterapkan harus sesuai dengan materi yang akan disajikan dan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Begitu pun dengan pengajaran berbicara, pemilihan metode yang akan
digunakan dalam pengajaran berbicara tidak sembarangan. Pemilihan metode harus disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai, materi atau bahan dan keadaan siswa. Pemilihan metode yang
tepat sesuai dengan materi yang diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan
pembelajaran (Furqanal, dkk. 1995:5). Jadi, memilih metode yang tepat dan melaksanakannya
dengan benar akan dapat meningkatkan minat serta keantusiasan siswa dalam mengikuti proses
belajar-mengajar, sehingga siswa aktif dalam proses belajar-mengajar dan berani berbicara dalam
mengikuti pelajaran apa pun.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti, proses belajar-mengajar yang
berlangsung di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,
khususnya dalam pembelajaran berbicara belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini sejalan
dengan informasi guru bahasa Indonesia di SD tersebut yang mengatakan bahwa siswa malas
mengemukakan pendapat atau pertanyaan, dan siswa sering takut atau malu berbicara pada saat
belajar di kelas. Jika disuruh berbicara, siswa tidak mampu menyampaikan ide dengan benar,
grogi, berdialek, dan tidak lancar. Kondisi tersebut juga didukung oleh latar belakang sebagian
besar bahasa keseharian siswa adalah bahasa Bali. Praktis, siswa mengalami kesulitan jika
disuruh menggunakan bahasa Indonesia pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Proses
belajar yang kurang efektif ini menyebabkan rendahnya daya serap siswa terhadap mata
pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan aspek berbicara. Ketuntasan belajar siswa
belum tercapai. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh siswa pada semester ganjil tahun
ajaran 2005/2006 bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara adalah 65, daya serap
siswa 65%, dan ketuntasan belajar 60%. Selain itu, motivasi siswa rendah, akhirnya, hal ini
berujung pada rendahnya hasil belajar siswa itu sendiri dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Di dalam proses belajar-mengajar, siswa terlihat kurang aktif. Hanya sebagian kecil siswa yang
merespons pertanyaan guru. Keadaan ini sungguh kontras manakala siswa berada di luar kelas.
Di luar kelas, siswa bermain dan berekspresi secara bebas. Pembicaraan mereka mengalir apa
adanya. Terlebih lagi ketika mereka berinteraksi antarsesama siswa dalam bermain. Dalam
sebuah permainan inilah, siswa mengejahwantahkan kemampuan berbicaranya yang tak terbatas.
Keadaan ini menyebabkan peneliti mencoba menerapkan sebuah metode yang memungkinkan
siswa bermain dan berperan seperti berada dalam dunia nyata. Apa pun yang dilakukan anak
cenderung mengandung nilai edukatif, baik dalam kelas maupun ketika sedang bermain. Artinya,
secara tidak sadar dalam diri anak sedang berlangsung proses pembelajaran. Anak-anak adalah
manusia pembelajar sejati (Somantri, 2003:2). Tugas guru dan orang tua menjadi fasilitator agar
proses pendidikan alamiah tersebut memiliki tujuan jelas dan berlangsung efektif. Dengan
pemahaman semacam ini, proses pembelajaran bisa menjadi luas dan terbuka, tidak sebatas
ruang kelas dan ceramah guru.
Metode permainan adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai permainan
(Depdikbud, 1994:53). Permainan yang ditawarkan adalah berupa simulasi yang dapat dibuat
oleh guru. Subana (tt:208) menyatakan bahwa Permainan adalah suatu bentuk rekreasi yang
memberikan kesenangan. Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa
dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah.
Metode ini dapat bermanfaat karena dapat mengembangkan motivasi intrinsik, memberikan
kesempatan untuk berlatih mengambil keputusan, dan mengembangkan pengendalian emosi bila
menang atau kalah, serta lebih menarik dan menyenangkan sehingga memudahkan siswa untuk
memahami bahan pelajaran yang disajikan.
Kondisi siswa di tempat lain juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda melalui hasil
penelitian-penelitian mahasiswa, di antaranya Ketut Disna (1998) dalam penelitiannya mengenai
penguasaan keterampilan berbicara siswa kelas III SLTP N 2 Bangli untuk meningkatkan
efektivitas diskusi; Putu Ariana (1998) yang meneliti mengenai penceritaan pemahaman feature
oleh siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SLTP Negeri Sidemen
Karangasem; Yoca Carolina (2001) dalam penelitiannya tentang strategi guru dalam
mengajarkan keterampilan berbicara; dan Bukian (2004) melakukan penelitian di kelas VI SD
No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng tentang metode pengajaran berbicara.
Bahkan, kemampuan berbicara pada tingkat mahasiswa pun masih rendah. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Masud (2005) dalam tesisnya yang berjudul, Penerapan
Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara II: Suatu Upaya
Meningkatkan Kemampuan Berbicara (Mahasiswa Semester II Program Studi PBSID STKIP
Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004). Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa
kualitas keterampilan berbicara siswa pada tingkat SD, SMP, SMA maupun mahasiswa masih
rendah. Keadaan seperti ini dialami juga oleh siswa yang ada di SD Negeri No.1 Banjar Tegal
Singaraja.
Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran berbicara dan menghilangkan ketakutan siswa dalam
berbicara di kelas, guru perlu menerapkan metode pembelajaran secara selektif, sehingga
keempat keterampilan berbahasa bisa terpadu dalam satu pembelajaran. Keberhasilan siswa
dalam menguasai keterampilan kebahasaan khususnya keterampilan berbicara sangat bergantung
kepada kemampuan guru itu sendiri dalam membelajarkan siswa melalui metode yang
digunakan.
Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, peneliti mencoba membantu meningkatkan aktivitas
berbicara siswa kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja pada mata pelajaran bahasa
Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara melalui penerapan model pembelajaran
simulasi. Dalam permainan simulasi, peneliti membuat media bantu yang murah. Media bantu
tersebut adalah berbentuk papan simulasi yang sederhana yang bisa dibuat secara manual atau
dengan komputer, dari karton, atau papan. Selain itu, dibutuhkan dadu dan beberapa asesoris
sebagai identitas, dan yang lebih penting adalah kumpulan pertanyaan atau instruksi yang sesuai
dengan tema yang dibawakan di kelas. Media tersebut tidak hanya bisa difokuskan pada
berbicara, tetapi juga bisa digabungkan dengan bermain peran dalam bentuk instruksi. Bermain
peran bisa juga dalam bentuk hukuman yang ditentukan oleh kelompok. Pembelajaran ini
menitikberatkan tindakan yang sifatnya langsung. Tindakan atau mengerjakan adalah belajar
yang lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan pepatah Cina yang berbunyi saya dengar dan saya
lupa, saya lihat dan saya ingat, saya kerjakan dan saya mengerti (dalam Somantri, 2002:2).
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang
memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi
untuk keterampilan berbicara, model ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan
yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa model ini
belum pernah diterapkan di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja. Siswa kurang dapat
menghubungkan pelajaran yang mereka dapat di kelas dengan dunia nyata. Hal ini menyebabkan
mereka tidak mengerti dan kurang aktif dalam berbicara yang mengakibatkan rendahnya prestasi
belajar mereka.
Model pembelajaran permainan simulasi ini merupakan model yang tepat dipilih dan
dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dalam model pembelajaran ini,
siswa permainan simulasi seperti yang dialami dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga
dengan penerapan model pembelajaran permainan simulasi ini siswa lebih aktif dalam mengikuti
pelajaran.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
Penerapan Metode Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara pada
Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berikut ini.
1. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa
kelas V SD No. 1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
2. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V
SD No.1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
3. Bagaimana respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode
permainan simulasi pada pembelajaran keterampilan berbicara?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian adalah berikut ini.
1. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui penerapan metode
permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
2. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan metode
permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
3. Mengetahui respons siswa terhadap penerapan metode permainan simulasi pada pembelajaran
keterampilan berbicara.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah berikut ini.
1. Bagi siswa, sebagai alternatif dalam belajar untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
2. Bagi guru, sebagai masukan dalam menemukan alternatif pembelajaran untuk memperoleh
prestasi belajar yang lebih baik.
3. Bagi sekolah, penerapan metode permainan simulasi dapat memperkaya model pembelajaran
yang ada di sekolah dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bahan perbandingan untuk melakukan
penelitian yang lain berkaitan dengan keterampilan berbicara.

BAB II
LANDASAN TEORETIS

2.1 Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar


Sejak lama telah diketahui bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah agar
para siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis (Diknas, 2003:11). Hal ini
terkait dengan fungsi utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, setiap
warga negara dituntut untuk terampil berbahasa. Bila setiap warga negara sudah terampil
berbahasa, komunikasi antarwarga pun akan berlangsung dengan baik.
Ilmu bahasa seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya, merupakan ilmu yang memiliki disiplin
tersendiri dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa secara umum dilaksanakan di
sekolah-sekolah berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa. Dalam pengajaran, keempat
keterampilan berbahasa itu berhubungan erat satu sama lain. Keempat keterampilan itu meliputi:
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Komunikasi yang
dimaksudkan di sini adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang lain
dengan menggunakan saluran tertentu. Kaswanti Purwo mengemukakan bahwa Pendekatan
komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang lebih mementingkan
penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan mengenai bahasa sebagai sistem yang
melekat pada otak manusia. Sementara Richard, dkk. (dalam Slamet, 2003:41) mengatakan
bahwa pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang
mengarahkan siswa tidak semata-mata kepada penguasaan struktur, tetapi justru lebih
mengarahkan siswa kepada penguasaan kompetensi komunikatif, sehingga siswa dapat
berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi secara efektif.
Kompetensi komunikatif yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek
komunikasi dalam konteks komunikasi nyata.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan komunikatif merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang lebih menekankan kebermaknaan fungsi bahasa
dalam arti lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan tentang
bahasa untuk mencapai kelancaran komunikasi melalui pembelajaran komunikatif, yaitu
pembelajaran yang lebih berfokus pada komponen komunikatif dengan melibatkan secara
langsung para siswa ke dalam situasi bahasa yang pragmatis, otentik, dan fungsional atau situasi
bahasa sebenarnya.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD (Sekolah Dasar) dan MI
(Madrasah Ibtidaiyah) yang terkait dengan keterampilan berbicara yaitu mengungkapkan
gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan,
mendeskripsikan, dan bermain peran (Diknas, 2003:32).
Adapun materi berbicara yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di
antaranya, yaitu:
a. menyapa orang
b. memperkenalkan diri
c. menjelaskan isi gambar
d. menceritakan pengalaman
e. mendeskripsikan benda; tumbuhan; binatang; tempat
f. melakukan percakapan sederhana
g. bertanya
h. melakukan percakapan melalui telepon
i. menjelaskan urutan
j. menjelaskan petunjuk
k. menceritakan kembali isi dongeng
l. berwawancara dengan nara sumber

(Suyoto, 2003:32)

Di muka telah diuraikan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk
berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil
berkomunikasi. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan
dituntut lebih banyak untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini merupakan kerangka tentang standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus diketahui, dilakukan, dan dimahirkan
oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini disajikan dalam lima komponen utama, yaitu (1)
standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) hasil belajar, (4) indikator, dan (5) materi pokok.
Standar kompetensi mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-
aspek tersebut dalam pembelajarannya dilaksanakan secara integratif.
Integratif artinya bersifat memadukan (KBBI, 2002:437). Dalam kaitannya dengan pendekatan
pengajaran bahasa Indonesia, keterapaduan itu sangat penting. Dalam GBPP kurikulum 2004
dinyatakan bahwa pembelajaran berbahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara
terpadu (Diknas, 2004:13).
Contoh:

Kompetensi ini disajikan secara terpadu dengan kompetensi dasar yang lainnya dengan
menggunakan tema yang sama (Diknas, 2004:13). Pendekatan komunikatif bersifat tematis,
kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari tema-tema yang ada pada program pembelajaran.
Setiap materi yang diberikan selalu berpatokan pada tema. Jadi, pengajaran bahasa Indonesia,
termasuk di sekolah dasar menggunakan pendekatan komunikatif tematis integratif. Pendekatan
komunikatif melatih siswa untuk berkomunikasi secara praktis dan wajar baik lisan maupun
tulisan. Pendekatan tematis mengarahkan pembelajaran pada suatu titik pokok materi yang
dipelajari yang berada dalam lingkup tema tertentu, sedangkan pendekatan integratif merupakan
upaya pembelajaran yang memadukan antara aspek keterampilan berbahasa dari keempat
keterampilan berbahasa.

2.2 Pengertian Berbicara


Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia. Tarigan (1983:15)
menjelaskan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-
kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pada tempat lain, Tarigan (1984:15)
menyatakan bahwa berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan
faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan lingkungan sedemikian ekstensif secara luas
sehingga dapat dikatakan sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Pendapat
yang hampir sama juga dikemukakan oleh Laksono (1982:25), bahwa berbicara atau bertutur
adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan
dasar dalam berbahasa. Berbicara adalah proses berpikir dan bernalar. Pembelajaran berbicara
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Pendapat lain
mengemukakan, Berbicara adalah keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk
menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan pada orang lain (Mukhsin dalam
Carolina, 2001:18).
Sabarti dkk. (dalam Bukian, 2004:15) menyatakan, Berbicara adalah peristiwa atau proses
penyampaian gagasan secara lisan. Sejalan dengan itu, Tarigan (1991:132) menegaskan,
Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasan lisan.
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif lisan.
Dikatakan produktif karena orang yang berbicara (pewicara) dituntut untuk menghasilkan
paparan secara lisan yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan pikiran yang
disampaikan kepada orang lain.

2.3 Ciri-ciri Berbicara


Kegiatan berbicara (wicara) mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak sama dengan kegiatan
berbahasa yang lain. Ciri-ciri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (dalam
Masud, 2005:62-64), yaitu: (1) ciri-ciri manusia dalam berbicara, (2) ciri-ciri konvensional
dalam berbicara, (3) ciri-ciri prosedural dalam berbicara, (4) c iri-ciri vitalitas dalam berbicara,
dan (5) ciri-ciri penalaran dalam berbicara.

(1) Ciri-ciri manusia dalam berbicara


Yang dimaksud dengan ciri-ciri manusia dalam berbicara adalah keterlibatan unsur atau sifat
yang hanya dimiliki manusia, baik berupa rasa cinta, perhatian maupun persahabatan. Tiga unsur
yang terdapat dalam ciri-ciri manusia meliputi (1) perhatian, (2) keramah-tamahan, (3) rasa cinta
yang akan melahirkan sifat keterbukaan, kerendahan hati, dan sifat sopan santun.
Perhatian merupakan perwujudan rasa cinta yang tercermin dalam perilaku pembicara yang
berusaha memahami minat, situasi, kondisi maupun responssi pendengar serta berusaha
menyesuaikan diri dengannya. Ramah tamah merupakan perwujudan sifat pembicara terhadap
pendengar dengan penampilan yang ramah.

(2) Ciri-ciri konvensional dalam berbicara


Ciri-ciri konvensional dalam berbicara yaitu pembicara menggunakan bunyi-bunyi ujaran lingual
dan lisan sebagai alatnya untuk menyampaikan gagasan dengan diperkaya aspek gerak dan
mimik, baik dalam berkomunikasi searah maupun dua arah. Unsur-unsur konvensional dalam
berbicara, yaitu (1) alat ucapan, (2) pita suara, (3) saluran pernapasan, (4) arus udara yang keluar
masuk, dan (5) tubuh dengan segala unsurnya yang berfungsi dalam kegiatan berbicara.

(3) Ciri-ciri prosedural dalam berbicara


Ciri prosedural sebagai salah satu ciri berbicara adalah tahapan kegiatan yang merupakan
persiapan seorang sebagai calon pembicara untuk melaksanakan kegiatan berbicara. Unsur-unsur
dalam kegiatan berbicara sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan berbicara meliputi (1)
perumusan atau perencanaan tujuan dengan memperhatikan beberapa faktor, (2) pemilihan dan
penentuan bahan pembicaraan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, (3) pemaparan
atau penguraian bahan yang telah ditetapkan secara langkap dan utuh, (4) penentuan garis besar
isi gagasan yang akan disampaikan, dan (5) penyusunan bahan pembicaraan yang akan
disampaikan pada saat mengawali dan mengakhiri bahan pembicaraan.

(4) Ciri-ciri vitalitas dalam berbicara


Vitalitas adalah semangat seseorang pembicara dalam menyampaikan suatu gagasan sebagai
salah satu kekuatan yang tumbuh dari suatu keterlibatan pembicara dengan gagasan yang
ditampilkan maupun pendangannya serta dari kedalaman emosi pembicara itu sendiri sehingga
dapat lebih menarik minat pendengarnya. Unsur-unsur yang membangkitkan vitalitas pembicara
meliputi (1) keterlibatan seseorang pembicara dengan gagasan yang disampaikan, (2)
keterlibatan pembicara dengan pendengar, (3) pengaturan dan penguasaan emosi yang baik, (4)
kekuatan dan kedalaman emosi pembicara, (5) kemauan atau karsa, (6) keikhlasan, dan (7) sikap
positif pembicara terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Vitalitas ini akan memberikan peranan
yang sangat besar dalam proses berbicara.

(5) Ciri-ciri penalaran dalam berbicara


Penalaran dalam berbicara adalah bentuk proses penjelasan suatu gagasan kepada pendengar,
baik melalui kemampuan emosional maupun intelektual sesuai dengan tingkat kemampuan
pendengarnya. Bentuk penalaran dalam berbicara meliputi (1) bentuk deduktif, yaitu penalaran
yang berangkat dari suatu penalaran yang bersifat umum menuju ke penalaran yang khusus, (2)
penalaran bentuk induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari penalaran yang bersifat khusus ke
penalaran yang bersifat umum, (3) klasifikasi penghubung, yaitu penalaran yang dilaksanakan
dengan cara memilah-milahkah kenyataan atau konsep dan berusaha menghubungkan antara
yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menumbuhkan konsep atau gagasan yang baru,
(4) jalinan sebab akibat, yaitu model penalaran yakni pembicara menjelaskan suatu gagasan
secara runtut berdasarkan hubungan sebab akibat, (5) analisis perbandingan, yaitu bentuk proses
penilaian yang berusaha membandingkan dua fakta yang bersifat kontradiktif, mengembangkan
ciri-cirinya dan membentuk gagasan, konsep atau simpulan (Aminuddin, dalam Masud,
2005:62-64).

2.4 Tujuan Berbicara


Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan, 1990:15). Agar dapat
menyampaikan pikiran secara efektif, pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang
ingin dikomunikasikannya; dia harus mampu mengevaluasi efek dari komunikasinya terhadap
para pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi
pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Pada dasarnya, berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu (1) memberitahukan, melaporkan
(to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), membujuk, mengajak, mendesak, dan
meyakinkan (to persuade). Gabungan dari maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi. Dalam
hal ini, Ocha dan Winker (dalam Masud, 2005:65) mengemukakan bahwa suatu pembicaraan
mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu. Begitu pula, mungkin saja
sekaligus menghibur dan meyakinkan.
Menurut Jeffrey (dalam Masud, 2005:65), manusia melakukan wicara dengan tujuan, yaitu (1)
bersifat primer dan (2) bersifat sekunder. Tujuan yang bersifat sekunder dibedakan menjadi dua
berdasarkan sudut pandangan yang berbeda: (a) sudut pandang psikologi, dan (b) sudut
pandangan perspektif. Sedangkan tujuan primer adalah (a) menyampaikan pikiran, perasaan,
pengalaman kepada orang lain, (b) memengaruhi orang lain, dan (c) sekadar mengekspresikan
perasaannya yang bersifat individual.
Berdasarkan sudut pandangan psikologis, dengan berbicara seseorang dapat memperoleh
dukungan (gaining acceptace), dan dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat (adjusting to
society). Sementara tujuan sekunder dari sudut pandang perspektif yang lebih luas tampak bahwa
dengan berbicara manusia (a) dapat mentransmisikan nilai-nilai kultural, (b) memelihara kohesi
sosial, (c) mengestafetkan suatu generasi ke generasi lain, dan sebagainya.

2.5 Karakteristik Berbicara


Jeffery (dalam Masud, 2005:66-68) mengatakan bahwa berbicara memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Karakteristik berbicara tersebut adalah (1)
berbicara bersifat purposif, (2) berbicara bersifat interaktif, (3) berbicara bersifat fana, (4)
berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu, (5) berbicara diwarnai perbendaharaan
pengalaman, (6) berbicara alpa tanda baca, dan (7) berbicara memiliki kosakata yang lebih
terbatas dan distingtif.
(1) Berbicara bersifat purposif
Dengan pemahaman yang baik tentang karakteristik ini, pembicara diharapkan tahu pasti bahwa
bercerita dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu, misalnya (a) memberi tahu, (b)
meyakinkan orang lain, (c) memengaruhi orang lain, (d) menghibur, (e) memberikan inspirasi,
(f) mendamaikan atau melerai, dan sebagainya.

(2) Berbicara bersifat interaktif


Pembicara sadar bahwa berbicara dilakukan karana ingin berhubungan dengan orang lain. Kita
tiak perlu berbicara bila tidak ada lawan bicara (reicever).

(3) Berbicara bersifat fana


Berbicara memiliki sifat mudah berubah, cepat berlalu dan hilang. Sekali kata-kata yang
mengandung pesan tertentu diucapkan, sekali itu pula ia berlalu. Berbicara secara alami tidak
bisa didengar ulang. Ini berarti bahwa pada detik pesan disampaikan dengan simbol-simbol
fonetis, pada detik itu pula pendengar harus memahaminya. Hal ini menyarankan kepada
pembicara agar memaksimalkan kecerdasannya alam berbicara, mulai dari persiapan hingga
pelaksanaannya. Kecermatan dan ketepatan sangat diperlukan mulai dari ucapan, pemilihan kata,
penyusunan kelompok kata, struktur kalimat, paraton sampai dengan persendian, tekanan, dan
intonasinya.

(4) Berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu


Berbicara tidak pernah terjadi dalam kevakuman. Berbicara selalu terjadi dalam tempat, waktu,
situasi, dan kondisi tertentu. Berbicara yang efektif memperhitungkan and menyesuaikan diri
dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Tipe dan tindak komunikasinya sangat ditentukan
oleh keempat faktor tersebut.

(5) Berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman


Pengalaman membuktikan bahwa kita sering mengalami kesulitan melakukan komunikasi
berbicara dengan orang yang memiliki latar pengalaman yang berbeda. Sebuah kata yang sama
bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi karana mereka
memiliki latar pengalaman dan kehidupan yang berbeda.

(6) Berbicara alpa tanda baca


Dalam komunikasi tertulis, pemahaman dapat dibantu dengan penggunaan tanda baca,
penggunaan huruf kapital, dan indentasi. Dalam komunikasi berbicara, hal itu tidak didapatkan.
Oleh karena itu, ketepatan dan kejelasan ucapan, persendian, intonasi, dan gerak-gerik fisik
merupakan faktor penting dalam rangka memahami pesan yang disampaikan.

(7) Berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif


Pada umumnya, orang lebih banyak menangkap kosakata dari apa yang dibaca daripada yang
didengarkan. Menyadari keadaan seperti ini, pembicara cenderung menyederhanakan kosakata
yang dipakainya, baik secara kualitas maupun kuantitas.

2.6 Permainan Simulasi


2.6.1 Pengertian Permainan
Bermain atau permainan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi
kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000:1). Jika pengertian
bermain dipahami dan sangat dikuasai, kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita
dalam membantu proses belajar anak.
Montessori (dalam Sudono, 2000:3), seorang tokoh pendidikan menekankan bahwa ketika anak
bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan
sekitarnya. Untuk itu, perencanaan dan persiapan lingkungan belajar anak harus dirancang
dengan saksama sehingga segala sesuatu merupakan kesempatan belajar yang sangat
menyenangkan bagi anak itu sendiri. Mayke (dalam Sudono, 1995) dalam bukunya Bermain
dan Permainan menyatakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak
untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, mengeksplorasi, mempraktekkan,
dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Di
sinilah proses pembelajaran terjadi. Mereka mengambil keputusan, memilih, menentukan,
mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat dan
memecahkan masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman, dan mengalami
berbagai macam perasaan.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif
(Hughes dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas adalah kelancaran,
fleksibel, pilihan, orisinal, elaborasi dengan latihan menjawab, luwes dalam menerima beragam
jawaban, mampu memilih jawaban yang paling tepat, jawaban yang tidak menyontek. Untuk itu,
perlu adanya kerja keras. Hal itu juga akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja
dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Proses ini bisa
disebut dengan 4P, yaitu Pribadi, Pendorong, Proses, dan Produk (Utami Munandar dalam
Sudono, 1991). Pengalaman-pengalaman itulah yang merupakan dasar dari berbagai tingkat
perkembangan dan sangat membantu meningkatkan kemampuan anak.

2.6.2 Pengertian Permainan Simulasi


Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah. Kata
simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Dengan demikian, simulasi dalam
metode mengajar dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran)
melalui perbuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses tingkah laku imitasi, atau bermain
peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang
sebenarnya.
Dalam kamus Bahasa Inggris karangan Echols dan Shadily (1992:527) bahwa simulasi berarti
pekerjaan tiruan/meniru. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002:1068)
bahwa simulasi merupakan metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang
mirip dengan keadaan yang sesungguhnya.
Pengertian model permainan simulasi (simulation game model) menurut Richard Kindsvatter
(1996:269) adalah berikut ini.
A simulation is a dynamic model illustrating a physical (nonhuman) or social (human) system
that is abstracted from reality and simplified for study purposes.
(Permainan simulasi adalah sebuah model penggambaran yang dinamis tentang suatu sistem
sosial (manusia) atau fisik (bukan manusia) yang diabstraksi dari realita dan disederhanakan
untuk alasan studi).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur pada model permainan
simulasi adalah: sistem sosial atau fisik (physical or social system), abstraksi (abstracted),
realitas (reality) dan penyederhanaan (simplified) dan alasan studi (study purposes).
Jadi, permainan simulasi adalah model yang mengilustrasikan atau menggambarkan baik sistem
sosial maupun sistem fisik yang diabstraksi dari realitas dan disederhanakan. Berdasarkan
peristiwa yang sebenarnya, dilakukan abstraksi (pemindahan) terhadap kondisi-kondisi yang
mendukung terjadinya peristiwa tersebut, ditambah dengan penyederhanaan-penyederhanaan,
kemudian menyusun ulang peristiwa tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi yang telah
disederhanakan. Di samping itu, metode permainan simulasi cocok diterapkan pada semua
tingkatan siswa, dari siswa taman kanak-kanak, sampai siswa pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pernyataan ini didukung oleh Richard Kindsvatter (1996:273).
The range of simulation available to teachers at all grade levels in all subject areas is impressive.
Simulations have been used in classroom kindergaden through adult levels.
(Area simulasi yang diterapkan oleh guru pada semua tingkatan siswa. Simulasi sudah pernah
diterapkan dari taman kanak-kanak sampai pada tingkatan yang lebih tinggi).
Simulasi adalah tiruan dinamis sebuah model nyata. Prinsip-prinsip simulasi: simulasi dilakukan
oleh kelompok siswa; tiap kelompok mendapatkan kesempatan melaksanakan simulasi yang
sama atau dapat juga berbeda; semua siswa harus terlibat langsung menurut peranan masing-
masing; penentuan topik disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelas; dibicarakan oleh siswa
dan guru; petunjuk simulasi diberikan terlebih dahulu; dalam simulasi hendaknya digambarkan
situasi yang lengkap; hendaknya diusahakan terintegrasi dengan beberapa ilmu (Hasibuan dan
Moedjiono, 1993:27).
Model permainan simulasi didesain untuk membantu siswa mempelajari dan menganalisis dunia
nyata secara aktif. Siswa yang terlibat dalam simulasi mempunyai peranan masing-masing dan
berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Siswa mengambil keputusan sendiri dan menanggung
konsekuensi dari keputusannya. Metode pembelajaran yang seperti ini, tentunya memudahkan
siswa memahamai konsep-konsep pelajaran, karena objek yang dipelajari siswa dapat mereka
alami dalam kehidupan sehari-hari.

2.6.3 Pola Dasar Permainan Simulasi


Permainan simulasi merupakan gabungan antara bermain dan berdiskusi. Bermain dan diskusi di
sini dilaksanakan dalam kelompok. Oleh karena itu, permainan merupakan suatu kegiatan
kelompok. Sebagai suatu metode, maka pola dasar permainan simulasi adalah berikut ini.
a) Ada kelompok belajar atau kelompok siswa yang akan melaksanakan kegiatan permainan
simulasi yang terdiri atas 10-15 orang. Jika dalam keadaan terpaksa, bisa dilaksanakan kurang
atau lebih dari jumlah tersebut.
b) Setiap warga belajar (siswa) yang mengikuti permainan simulasi tersebut dinamakan peserta.
Dari seluruh peserta ini, dapat dibagi-bagi penamaannya dalam kelompok itu, yakni ada yang
dinamakan fasilitator, pemain, peneliti, pemegang peran, dan penonton.
c) Permainan simulasi mempunyai alat permainan yang disebut beberan lengkap dengan gaco
dan alat penentu langkah, kartu berwarna, buku pegangan fasilitator, buku catatan fasilitator.
Beberan berupa kertas manila yang dibentangkan sebagai media permainan.
Pesan-pesan permainan dituliskan pada beberan dan pada katu berwarna.
d) Bermain dan berdiskusi dilaksanakan berdasarkan aturan main dan menurut pesan-pesan yang
ada dalam beberan atau kartu berwarna. Pada akhir permainan dibuatkan simpulan oleh
fasilitator sebagai hasil simpulan diskusi.
(Tim BP7 Pusat, 1985:12-13)
2.6.4 Tujuan Permainan Simulasi
Simulasi sebagai metode mengajar bertujuan:
1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,
2) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,
3) melatih memecahkan masalah,
4) meningkatkan keaktifan belajar dengan melibatkan siswa dalam memelajari situasi yang
hampir serupa dengan kejadian yang sebenarnya,
5) memberikan motivasi belajar kepada siswa,
6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok,
7) menumbuhkan daya kreatif siswa, melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
(Sudjana, 1989: 89-90)
2.6.5 Peranan Guru dalam Permainan Simulasi
Dalam pembelajaran menggunakan model yang menuntut siswa berpartisipasi secara aktif,
peranan guru sangat minimal. Guru tidak lagi menjadi sumber pengetahuan bagi siswa, yang
sepanjang jam pelajaran berceramah menumpahkan pengetahuan untuk siswanya. Guru hanyalah
menjadi fasilitator yang mengatur dan menjaga agar pembelajaran dapat berlangsung sesuai
dengan apa yang diharapkan dan mencapai tujuan pembelajaran.
Sehubungan dengan model pembelajaran simulasi, peranan guru dalam pembelajaran dibagi atas
empat bagian (Bruce Joyce dalam Sukmadewi, 2003:13). Keempat peranan dimaksud yaitu: (1)
memberikan penjelasan (explaining), (2) pengawasan (controlling), (3) pembinaan (coaching),
dan (4) diskusi (discussion). Keempat peranan guru tersebut dijelaskan di bawah ini.
(1) Memberikan Penjelasan
Memberikan penjelasan yang dimaksud di sini, bukanlah menjelaskan materi pelajaran, tetapi
penjelasan yang dimaksud adalah memberikan siswa penjelasan tentang aturan-aturan permainan
yang akan digunakan siswa dalam permainan simulasi. Dalam belajar simulasi, siswa
memerlukan pengertian terhadap aturan-aturan yang digunakan dalam simulasi.
(2) Pengawasan
Sebelum pelaksanaan simulasi, guru perlu menyiapkan siswa, apakah perlu pengelompokan atau
tidak, alat dan bahan pelajaran apa saja yang diperlukan. Dalam pelaksanaan simulasi, guru
mempunyai tugas mengontrol jalannya simulasi agar berjalan sesuai dengan rencana
pembelajaran yang telah disiapkan. Guru mengawasi bagaimana aturan-aturan dalam permainan
simulasi diikuti oleh siswa.

(3) Pembinaan
Guru berperanan sebagai pembina dalam permainan simulasi, memberikan beberapa saran jika
diperlukan agar simulasi dapat berjalan dengan lebih baik. Mengeksploitasi seoptimal mungkin
pembelajaran menggunakan model permainan simulasi agar diperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya bagi siswa.
(4) Diskusi
Setelah proses pembelajaran yang menggunakan model permainan simulasi, diperlukan adanya
suatu diskusi tentang permainan simulasi dan hubungannya dengan dunia nyata. Termasuk juga
kesulitan-kesulitan yang dialami siswa selama pelaksanaan simulasi.
Dengan melihat keempat peranan guru dalam permainan simulasi di atas, maka dapat dikatakan
guru mempunyai fungsi manajerial. Seperti yang dikatakana Bruce Joyce (dalam Sukmadewi,
2003:13):
the teacher has an important role to play in raising students consciousness about the concepts
and principles underpinning the simulation and their own reactions. In addition, the teacher has
important managerial functions.
(Guru memiliki peranan yang penting dalam meluruskan ketidakpahaman siswa tentang konsep-
konsep dan dasar-dasar simulasi dan reaksi mereka sendiri, dan guru mempunyai fungsi
pengaturan yang penting).

2.6.6 Fase-fase dalam Permainan Simulasi


Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi telah dikembangkan oleh Bruce Joyce
et al (Richard Kindsvatter dalam Sukmadewi, 2003:18). Fase-fase dalam model pembelajaran
permainan simulasi dibagi atas empat bagian, yaitu: (1) orientasi (orientations), (2) penyiapan
peserta, dalam hal ini siswa (participant preparations), (3) pelaksanaan simulasi
(simulation/enactment operations), (4) diskusi hasil-hasil simulasi (debriefing discussion).
Paparan tentang fase-fase model pembelajaran permainan simulasi akan memberikan pedoman
dalam operasional permainan.
(1) Orientasi
Fase ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. menjelaskan aturan permainan simulasi,
b. pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan,
c. penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Siswa memerlukan orientasi terhadap permainan simulasi yang akan diikuti. Fase ini bermanfaat
bagi siswa jika sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan pembelajaran yang menggunakan
simulasi. Perlu dijelaskan kepada siswa mengenai permasalahan yang akan disimulasikan,
termasuk juga mengapa digunakan metode ini dalam pembelajaran.
Bagian terpenting dalam fase ini adalah penjelasan terhadap situasi simulasi. Siswa diberikan
bayangan-bayangan dalam pelaksanaan simulasi. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada siswa
adalah tentang tujuan yang akan dicapai setelah permainan simulasi selesai. Penjelasan terhadap
situasi permainan dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman dalam melakukan
pembahasan terhadap hasil-hasil simulasi.
(2) Penyiapan peserta
Bagian-bagian dari fase ini adalah:
a. menyusun skenario simulasi
b. menetapkan prosedur
c. mengorganisasikan peserta
Pada fase ini, guru menyusun dan menjelaskan kepada siswa skenario simulasi, yaitu tentang apa
saja yang akan dilakukan oleh peserta simulasi. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan yang
harus diikuti siswa, prosedur dan keputusan-keputusan yang harus dilakukan siswa dalam
simulasi.
Langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan peserta. Jika siswa perlu dikelompokkan, maka
guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Berikutnya adalah pembagian peranan dalam
permainan simulasi. Siapa atau kelompok mana yang mempunyai suatu peranan perlu dijelaskan
kepada siswa. Juga, apa yang dilakukan oleh masing-masing pemegang peran.
(3) Pelaksanaan simulasi
Bagian-bagian fase ini terdiri atas simulasi, dan penutup simulasi. Fase pelaksanaan simulasi
adalah bagian utama dari metode ini. Pada fase ini, semua komponen berinteraksi untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman yang disimulasikan, selanjutnya hal itu dipahami sebagai
bagian dari pelajaran. Siswa menerapkan permainan, sementara guru memfasilitasi pelaksanaan
simulasi. Fasilitasi yang dilakukan oleh guru sangat penting, karena guru menginginkan siswa
mempunyai cukup kebebasan untuk menganalisis situasi, menyelesaikan permasalahan, dan
membuat keputusan tanpa terlalu banyak campur tangan dari guru. Siswa akan mempunyai
pengertian di dalam dirinya bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk memperoleh
pengetahuan bagi mereka sendiri. Singkatnya, guru hanya mengarahkan jika perlu, khususnya
menjaga siswa agar berada dalam perannya masing-masing. Akhirnya, guru menutup simulasi,
jika permainan tersebut sudah berakhir.
(4) Diskusi
Bagian dari fase diskusi adalah berikut ini.
a. Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi,
b. Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata
Permainan simulasi bukanlah pengalaman belajar, tetapi pembelajaran yang sebenarnya baru
ditentukan setelah diskusi. Setalah diskusi berakhir, barulah siswa memperoleh pelajaran yang
dituntut untuk dikuasai oleh siswa. Menurut Stadsklev, pada fase ini terdapat empat hal yang
harus diperhatikan, yaitu: pengalaman, identifikasi, analisis, dan generalisasi.
Pada fase ini, semua pengalaman yang diperoleh selama simulasi perlu direview agar nantinya
dihubungkan dengan pelajaran dan dunia nyata. Identifikasi bermakna mendeskripsikan
pengalaman dalam data-data yang terkumpul. Analisis dilakukan untuk melihat simulasi secara
lebih mendalam dan bermakna, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Terakhir adalah
generalisasi, yaitu membuat generalisasi dari hasil-hasil yang diperoleh selama simulasi untuk
memperoleh pengetahuan yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa.
Fase-fase dalam model permainan simulasi di atas dapat diringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1: Fase-fase permainan simulasi
FASE I FASE II
a) Menjelaskan aturan permainan simulasi.
b) Pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan.
c) Penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai. a) Menyusun skenario simulasi.
b) Menetapkan prosedur
c) Mengorganisasikan peserta
FASE III FASE IV
a) Simulasi
b) Penutup simulasi a) Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi.
b) Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata.

2.7 Metode Permainan Simulasi dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar Siswa
Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan (Diknas,
2003:11). Hal itu dapat dirujuk dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat untuk berkomunikasi.
Dalam kurikulum (baik di SD, SMP, maupun SMA), bahasa Indonesia mendapatkan alokasi
waktu mengajar tiga kali dalam seminggu. Hal ini tidak lepas dari kompleksnya materi bahasa
Indonesia yang meliputi keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis),
apresiasi sastra, serta komponen kebahasaan yang lain. Keterampilan maupun pengetahuan
bahasa ini menuntut penguasaan siswa. Kompleksnya materi serta banyaknya alokasi waktu
mengajar menyebabkan motivasi siswa menurun. Rendahnya motivasi siswa dengan sendirinya
akan berpengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Kondisi ini terbukti dari data hasil
observasi awal bahwa prestasi belajar siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006
diperoleh bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara siswa adalah 65. Kondisi ini
makin diperburuk oleh adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa sendiri,
sehingga tidak terlalu penting untuk dipelajari.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemilihan metode yang tepat sesuai dengan materi yang
diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran (Furqanal. Dkk.,
1995:5). Penerapan metode permainan simulasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan hasil
dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan
keterampilan berbicara. Metode bermain esensinya adalah suatu bentuk rekreasi yang
memberikan kesenangan. Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa
dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif
(Hughes, dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas akan muncul
ketika anak bermain. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan
baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Belajar dan bermain
memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan
sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta
pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Sejatinya, di sinilah proses pembelajaran (Mayke,
dalam Sudono, 1995).
Permainan yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah simulasi. Model permainan simulasi
merupakan sebuah metode pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam permainan ini, siswa yang terlibat memiliki
peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Model pembelajaran
permainan simulasi merupakan model yang tepat dipergunakan untuk melatih sekaligus
meningkatkan kemampuan berbicara siswa, karena model ini dapat menyesuaikan permasalahan
dengan pengetahuan yang diperoleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat
meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa. Penelitian itu di antaranya adalah: 1)
Soemanti (2003) tentang penerapan metode permainan simulasi tematis untuk meningkatkan
kemampuan bahasa Inggris siswa menunjukkan bahwa metode permainan simulasi dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa; 2) Sukmadewi (2003) menunjukkan hasil yang
sama bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi
belajar siswa pada pelajaran Matematika pokok bahasan Aritmatika; dan 3) Reni (2004) tentang
penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran Fisika untuk meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar siswa juga menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian tersebut sekaligus
memberikan penguatan bahwa penerapan metode pembelajaran permainan simulasi cocok
diterapkan pada berbagai bidang ilmu, dan dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan teori, kemudian diperkuat oleh beberapa hasil penelitian di atas, peneliti mencoba
menerapkan metode perminan simulasi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan
keterampilan berbicara. Pada hakikatnya, berbicara dan bermain, khususnya permainan simulasi
berpotensi menumbuhkan motivasi siswa dalam berbicara, karena permainan memungkinkan
siswa bebas berekspresi dan melakukan aktivitas apa pun Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan metode yang tepat (simulasi) akan menuntun guru dan siswa ke
arah kesuksesan pembelajaran. Metode permainan simulasi jika diterapkan dengan baik dan tepat
mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

2.8 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Tindakan


Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dituntut dalam kehidupan
sehari-hari. Seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat.
Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar.
Pentingnya keterampilan ini bukan saja bagi guru, tetapi juga penting dikuasai oleh siswa
sebagai subjek didik.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru sudah tentu menggunakan beberapa cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran
ialah dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pada hakikatnya, bermain adalah kegiatan
yang sangat disukai oleh anak-anak. Permainan pada umumnya menghadirkan suasana yang
menyenangkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh. Kegiatan belajar sambil bermain banyak
diterapkan di sekolah-sekolah dengan tujuan agar materi yang diajarkan dapat ditangkap dengan
lebih baik oleh anak-anak tanpa rasa jenuh. Materi yang disajikan dikondisikan sedemikian rupa
dalam permainan, sehingga materi menjadi menyenangkan untuk dipelajari. Bermain sambil
belajar dapat memberikan rasa nyaman pada anak-anak karena mereka dengan leluasa
berinteraksi dengan teman-temannya.
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok
diterapkan pada siswa sekolah dasar. Kita ketahui, sekolah dasar merupakan masa yang
didominasi oleh aktivitas bermain. Permainan merupakan suatu bentuk rekreasi yang
memberikan kesenangan dan memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa. Metode
simulasi dihadirkan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk bermain dalam konteks
belajar. Pada permainan simulasi, siswa bebas berbicara, berimajinasi, berpendapat, dan
berekspresi sesuai dengan keinginannya. Ketika berlangsung proses permainan, siswa dilibatkan
secara langsung untuk berpikir bagaimana menanggapi, menyikapi, dan memecahkan masalah
yang ditawarkan. Permasalahan yang dihadirkan adalah peristiwa faktual yang lekat dengan
kehidupan mereka, maupun peristiwa yang terjadi sehari-hari. Model pembelajaran permainan
simulasi sangat cocok diterapkan untuk keterampilan berbicara. Dalam metode ini, siswa turut
berpartisipasi dan terlibat dan berani memberikan kontribusi, bukan sekadar dijejali informasi.
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat diajukan
hipotesis tindakan yang dirumuskan berikut ini.
Penerapan metode permainan simulasi dengan tepat dapat meningkatkan pembelajaran
keterampilan berbicara siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian secara efektif, perlu adanya tahapan kerja yang sistematis.
Dalam hal ini, perlu adanya pegangan metodologis mengenai tahapan kerja yang harus ditempuh.
Metode penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting, karena berhasil tidaknya, demikian
juga tinggi rendahnya kualitas hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam
memilih metode penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian
tindakan kelas (PTK) adalah suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas (Purwadi, dalam Sukidin, 2002).
Tujuan PTK secara umum adalah memperbaiki pelaksanaan KBM.
Priyono (dalam Sukidin. dkk, 2002) menyatakan bahwa PTK adalah strategi pengembangan
profesi guru, karena: (a) menempatkan guru sebagai peneliti, bukan sebagai informan pasif, (b)
menempatkan guru sebagai agen perubahan, dan (c) mengutamakan kerja kelompok antara guru,
siswa, dan staf pimpinan sekolah lainnya dalam membangun kinerja sekolah yang baik. Dalam
penelitian ini, tindakan yang diberikan adalah penggunaan metode simulasi pada mata pelajaran
bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kemampuan berbicara.
Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa metode sesuai dengan tahapan kerja yang ditempuh.
Metode-metode yang dimaksud berkaitan dengan (1) rancangan penelitian, (2) subjek penelitian,
(3) instrumen penelitian, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data.

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.1 Latar penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal
Singaraja.
3.1.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2006/2007. Jadwal penelitian sesuai
dengan kalender pendidikan dan jadwal mata pelajaran. Penelitian tindakan kelas ini
dilaksanakan mulai tanggal 20 Desember 2006 hingga 24 Januari 2007. Penelitian ini
dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.3 Definisi Operasional
Permainan simulasi dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa
dengan cara memerankan atau menggambarkan, baik sistem sosial maupun sistem fisik yang
abstraksi dari realitas dan disederhanakan.
Keterampilan berbicara adalah: suatu keterampilan kebahasaan yang bersifat produktif yang
dimiliki seseorang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, gagasan dengan menggunakan
media bahasa berbentuk lisan.
Hasil belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan berbicara siswa setelah mengikuti suatu
pembelajaran, berupa skor yang dicapai sesudah diadakan tes atau evaluasi.
Aktivitas belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk terlibat secara optimal
dalam proses pembelajaran, sehingga termotivasi, bergairah, dan berkonsentrasi dalam proses
belajar mengajar.
3.1.4 Prosedur penelitian tindakan kelas
Prosedur kegiatan dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini mengacu pada teori Kemmis
dan Tanggart. Kemmis dan Tanggart (1988:94) mengatakan bahwa action research adalah: a
form of self-reflective inquiry undertaken by participant in a social (including educational)
situation in order to improve the rationality and justice: (1) their own social or educational
practices, (2) their understanding of these practices, dan (3) the situations in which practices are
carried out. PTK merupakan suatu bentuk kajian reflektif oleh pelaku tindakan. PTK dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman
terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, dan memperbaiki kondisi praktik pembelajaran yang
dilakukan.
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara siklikal, karena harus diuji beberapa kali sampai
ditemukan tindakan terbaik untuk memperoleh kavalidan data. Pelaksanaan tindakan kelas pada
penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap-tiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu:
persiapan tindakan, implementasi tindakan, obervasi dan evaluasi, dan refleksi.
Siklus pertama dilakukan untuk mengidentifikasi masalah pada pembelajaran bahasa Indonesia
yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa kelas V Sekolah Dasar No.1 Banjar Tegal
Singaraja. Masalah yang timbul akan diberikan usaha pemecahan dengan menerapkan model
pembelajaran pemainan simulasi.
Siklus kedua merupakan revisi dari tindakan siklus I. Pada dasarnya, prosedur atau langkah-
langkah pada siklus II sama dengan pada siklus satu dan model pembelajaran dilakukan masih
tetap model pembelajaran permainan simulasi. Segala macam kendala yang dialami pada siklus I
diupayakan pemecahan dan perbaikannya pada siklus II. Revisi ini dilakukan pada perbaikan
metode simulasi dan partisipasi pada individu siswa. Revisi dilakukan pada metode yang
dianggap negatif, sementara yang positif tetap dipertahankan. Pelaksanaan observasi dan refleksi
pada siklus II juga sama dengan siklus I.
Siklus penelitian tersebut digambar berikut ini.

Gambar 3.1: Siklus Penelitian Tindakan Kelas

3.1.5 Rincian Prosedur Tindakan


3.1.5.1 Persiapan Tindakan
Sebelum melakukan tindakan, peneliti melakukan persiapan demi kelancaran pelaksanaan
penelitian tindakan kelas ini. Permasalahan yang diidentifikasi pada pembelajaran bahasa
Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa SD Negeri No.1 Banjar Tegal
Singaraja, diusahakan pemecahan dengan menerapkan model pembelajaran permainan simulasi.
Sesuai dengan model pembelajaran yang dipilih, maka dilakukan persiapan-persiapan oleh
peneliti bersama guru seperti berikut ini.
1. Menyusun persiapan mengajar (skenario pembelajaran) sesuai dengan pokok bahasan yang
akan diajarkan pada setiap pertemuan. Setiap siklus terdiri atas 3-4 kali pertemuan.
2. Memberi penjelasan dan melatih guru mengenai penerapan metode permainan simulasi .
3. Mengadakan media bantu yang dibutuhkan, yaitu: papan ular tangga; sebuah dadu untuk
masing-masing kelompok; dan daftar pertanyaan atau instruksi yang berkaitan dengan tema/sub
tema tema.
4. Menyediakan identitas pemain
5. Menyediakan kartu kendali simulasi untuk mengecek apa yang terjadi di dalam kelompok
apakah pertanyaan/instruksi dilakukan dengan tepat atau tidak.
6. Aturan permainan yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan selama permainan
simulasi berlangsung.
7. Membuat tes hasil belajar untuk evaluasi siklus I.
8. Membuat lembar observasi
3.1.5.2 Implementasi tindakan
Urutan pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini adalah:
1) Guru membuka pelajaran, dengan mengabsensi kehadiran siswa, dan memberikan apersepsi
terhadap materi yang akan disampaikan.
2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran permainan simulasi.
3) Guru menjelaskan aturan-aturan dalam permainan simulasi.
4) Guru mengarahkan siswa pada tema yang akan dibahas.
5) Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 5-6 orang siswa).
6) Guru memilih organizer atau pengatur dan pembagian kelompok berisi 5-6 siswa termasuk
pengatur.
7) Organizer disuruh ke depan untuk menerima penjelasan lebih rinci. Organizer tersebut akan
menerima 1 papan simulasi dan perlengkapan lainnya seperti beberan dan dadu.
9) Setiap kelompok bermain simulasi dalam kelompoknya.
10) Guru dan peneliti memonitor jalannya simulasi.
11) Guru dan peneliti bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain guna melihat apakah
simulasi berjalan sesuai prosedur atau tidak.
12) Observer lain (rekan peneliti) memantau aktivitas guru, peneliti, maupun siswa.
13) Guru melaksanakan tes hasil berbicara. Tes ini bersifat individual.
3.1.5.3 Observasi dan Evaluasi
Observasi dilakukan selama berlangsungnya pelaksanaan tindakan. Observasi terhadap aktivitas
siswa dilakukan dengan daftar cek sedangkan hal-hal lain yang terjadi selama berlangsungnya
proses pembelajaran dicatat pada jurnal.
Pada akhir siklus I siswa diberikan tes hasil belajar mengenai materi yang dipelajari. Tes ini
dilakukan secara individual oleh siswa selama 1 jam pelajaran (1X40 menit). Siswa satu per satu
disuruh berbicara di depan kelas dengan tema yang sudah ditentukan oleh guru. Kriteria evaluasi
berbicara dimodifikasi dari Jakobovits dan Gardan (dalam Ariana, 1998:16). Yang dinilai pada
tes berbicara sesuai dengan kriteria berikut ini.
Tabel 3.1: Kriteria tes keterampilan berbicara

No Aspek yang Dinilai Tinkatan Skala

1. Keberanian

2. Kekuratan informasi

3. Hubungan antara informasi

4. Kelancaran

5. Kewajaran urutan kewajaran

6. Ketepatan struktur kosa kata

7. Gaya pengucapan

No Aspek yang Dinilai Tingkatan Skala

5
6

7 Keberanian

Keakuratan informasi
(sangat buruk.akurat sepenuhnya)

Hubungan antar informasi


(sangat sedikit.berhubungan sepenuhnya)

Ketepatan struktur, kosakata


(tidak tepat.tepat sekali)

Kelancaran
(terbata-bata.lancar sekali)

Kewajaran urutan wacana


(tidak normal.normal)

Gaya pengucapan
(kaku.wajar)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nilai (N) yang diperoleh siswa dihitung dengan rumus:


Jumlah skor yang diperoleh
Nilai (N) = X 10
Jumlah skor maksimal

Jumlah nilai seluruh siswa


Nilai Rata-rata (Mean) = -
Jumlah siswa
Kriteria penilaian hasil belajar berbicara siswa (Depdikbud dalam Ariana, 1998:17) adalah
berikut ini.
Tabel 3.2: Kriteria penilaian hasil belajar keterampilan berbicara
No Rentangan Nilai
(Kuantitatif)
Rentangan Mutu
(Kualitatif)
123
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 9,5 10
8,5 9,4
7,5 8,4
6,5 7,4
5,5 6,4
4,5 5,4
3,5 4,4
2,5 3,4
1,5 2,4
0 1,4 Istimewa (I)
Baik Sekali (BS)
Baik (B)
Lebih dari Cukup (LC)
Cukup (C)
Hampir Cukup (HC)
Kurang (K)
Kurang Sekali (KS)
Buruk (B)
Buruk Sekali (BS)

3.1.5.4 Refleksi
Mengadakan refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan berdasarkan hasil observasi dan tes.
Refleksi ini dilakukan untuk menganalisis hambatan-hambatan yang muncul serta alternatif
pemecahan yang terbaik. Kriteria yang digunakan untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan
tindakan adalah berikut ini.
1) Adanya peningkatan aktivitas berbicara siswa yang ditunjukkan dengan peningkatan skor,dan
2) Adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dari
siklus ke siklus.
3) Adanya respons positif siswa yang ditandai dengan pernyataan setuju dari sebagian besar
siswa.
Bila hasil-hasil yang diperoleh pada tindakan siklus seperti yang tersebut di atas, peneliti
mengambil keputusan bahwa penggunaan metode permainanan simulasi dapat meningkatkan
kemampuan berbicara pada siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal dan tindakan dapat dihentikan.

3.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah sasaran yang akan dikenai dalam penelitian. Subjek penelitian tindakan
kelas ini adalah seluruh siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal yang berjumlah
22 orang beserta guru yang mengajar. Adapun aspek-apek yang diteliti meliputi aktivitas belajar,
hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode pembelajaran permainan simulasi.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto,
1990:177). Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen yang disesuaikan dengan sifat data
yang diambil, seperti: lembar observasi (check list), tes hasil belajar, jurnal atau catatan harian,
dan angket respons siswa.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data (Arikunto, 1990:135). Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui
metode, seperti berikut ini.
1) Metode Observasi
Metode observasi adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan data yang dilakukan
dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang suatu objek
tertentu (Agung, 1996:68).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipertegas bahwa metode observasi pada prinsipnya
merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan menggunakan indera penglihatan (mata)
dalam proses pengukuran terhadap suatu objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan
penelitian.
Dalam penelitian ini, metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data aktivitas belajar
siswa yang disusun oleh peneliti dan praktisi sebelum pembelajaran berlangsung. Lembar
observasi tersebut memuat aktivitas belajar siswa yang perlu diamati dari siswa.
2) Metode Tes
Metode tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan
berbicara pada siklus I dan siklus II. Bukhari dalam Arikunto (1992:29) mengemukakan bahwa
metode tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil
belajar tertentu pada seseorang atau kelompok siswa. Dalam penelitian ini, metode tes digunakan
untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam setiap siklusnya.
3) Metode Angket
Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (yang
dalam hal ini disebut responsden), dan cara menjawab juga dilakukan secara tertulis (Arikunto,
1990:135). Angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan
maksud agar orang yang diberi angket tersebut bersedia memberikan responss sesuai dengan
permintaan pengguna. Orang yang diharapkan memberikan responss ini disebut responsden.
Angket digunakan untuk mendapatkan data mengenai tanggapan atau responss siswa terhadap
model pembelajaran permainan simulasi. Angket menggunakan model skala Lirchet dengan lima
pilihan yang bersifat gradasi. Angket respons siswa akan diberikan pada akhir siklus II. Angket
tidak disebarkan pada akhir siklus I, seperti halnya observasi dan tes. Hal ini didasari, bahwa
angket disebarkan sebatas mengetahui responss siswa terhadap metode pembelajaran yang
diterapkan. Kajian refleksi hanya didasarkan pada hasil observasi dan hasil tes. Angket Pendapat
siswa terhadap penerapan model pembelajaran permainan simulasi pada mata pelajaran bahasa
Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara dijaring dengan angket model skala
Lirchet dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat
tidak setuju (STS). Masing-masing pilihan pada tiap item diberi skor. Untuk pernyataan positif:
SS = 5; S = 4; R = 3; TS = 2; dan STS = 1, sedangkan untuk pernyataaan negatif: SS = 1; S = 2;
R = 3; TS = 4; dan STS = 5. Skor pendapat siswa diperoleh dengan menjumlah skor yang
didapatkan siswa tersebut untuk tiap item.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dirangkum pada tabel di bawah ini.
Tabel. 3.3: Teknik pengumpulan data
No Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data
Waktu
1 Aktivitas Belajar Siswa Siswa Observasi Selama pembelajaran berlangsung.

2 Hasil Belajar Siswa Siswa Tes Setelah pembelajaran berlangsung pada masing-masing siklus.

3 Responss Siswa Siswa Angket Pada akhir siklus II (sesudah pelaksanaan tindakan).

3.5 Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik
berikut ini.
a) Data Aktivitas Belajar Siswa
Data tentang aktivitas belajar siswa dianalisis untuk memperoleh gambaran secara klasikal. Data
tersebut dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Analisis didasarkan pada rata-rata skor
aktivitas siswa (X) mean ideal dan (MI) dan standar deviasi ideal (SDI), yaitu:
Mi = (skor tertinggi + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal skor terendah ideal)
(Nurkancana, dalam Sukmadewi, 2003:24)
Selanjutnya, untuk menggolongkan aktivitas siswa digunakan pedoman yang disajikan pada
tabel berikut ini.
Tabel 3.4: Kriteria penggolongan aktivitas belajar siswa
Rentang skor Kategori
Mi + 1,5 Sdi
Sangat aktif
Mi + 0,5 Sdi < Mi + 1,5 Sdi
Aktif
Mi 0,5 Sdi < Mi + 0,5 Sdi
Cukup aktif
Mi 1,5 Sdi < Mi 0,5 Sdi
Kurang aktif
< Mi 1,5 Sdi
Sangat kurang aktif
(Subaryati, 1997:20)
Untuk aktivitas siswa, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah 24 dan 0 dengan
demikian dapat dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = (24 + 0) = 12 dan Sdi = 1/6 (24-0) =4
Dengan demikian, penggolongan aktivitas siswa di atas menjadi:
Tabel 3.5: Kriteria penggolongan aktivitas siswa berdasarkan Mi dan Sdi
Rentang Skor Kategori
18
Sangat aktif
14 < 18
Aktif
10 < 14
Cukup aktif
6 < 10
Kurang aktif
<6
Sangat kurang aktif

Data aktivitas siswa yang terkumpul dihitung untuk memperoleh rata-rata aktivitas siswa ( ),
yang selanjutnya dicocokkan dengan kriteria penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat
ditentukan aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang diterapkan. Aktivitas yang
ditargetkan dalam penelitian ini tergolong aktif.

b) Data Hasil Belajar Siswa


Data hasil belajar siswa dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Rumusnya adalah berikut
ini.
Menentukan rata-rata

Jumlah nilai siswa


X =
Jumlah siswa

Menentukan ketuntasan individu


Nilai yang dicapai siswa
KI =
Nilai maksimum
Menentukan ketuntasan klasikal
Jumlah siswa yang tuntas
KK = X 100%
Jumlah seluruh siswa

85% siswaDari kriteria keberhasilan, kelas dianggap tuntas jika mendapatkan nilai 7,5 hingga
8,4 ke atas secara individual. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa penguasaan keterampilan
berbiara siswa dianggap tuntas.
(Arikunto, 1990)
c) Data Respons Siswa
Data yang menyangkut respons siswa dianalisis untuk memperoleh respons siswa secara klasikal.
Analisis ini didasarkan pada data rata-rata ( ) dari skor respons siswa, mean ideal (Mi) dan
standar deviasi ideal (Sdi).
Mi = (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal skor terendah ideal)
(Nurkancana dalam Sukmadewi, 2003:25)
Rata-rata kelas ( ) dari respons siswa kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut ini.

Tabel 3.6: Kriteria penggolongan respons siswa


Rentang skor Kategori
Mi + 1,5 Sdi
Sangat setuju
Mi + 0,5 Sdi < Mi + 1,5 Sdi
Setuju
Mi 0,5 Sdi < Mi + 0,5 Sdi
Cukup setuju
Mi 1,5 Sdi < Mi 0,5 Sdi
Kurang setuju
< Mi 1,5 Sdi
Sangat kurang setuju
(Subariyati, 1997:20)
Angket yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 item. Tiap item mempunyai skor
maksimal 5 dan minimal 1. Dengan demikian, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah
30 dan 6, sehingga dapat ditentukan mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = (30+6) = 18
Sdi = 1/6 (30-6) = 4
Berdasarkan Mi dan Sdi dari skor respons siswa, maka kriteria penggolongan pendapat siswa di
atas menjadi:

Tabel 3.7: Kriteria penggolongan respons siswa berdasarkan Mi dan Sdi


Rentang skor Kategori
27
Sangat setuju
23 < 27
Setuju
19 < 23
Cukup setuju
15 < 19
Kurang setuju
< 15
Sangat kurang setuju
Rata-rata kelas ( ) dari skor respons siswa yang diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan kriteria
penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat ditentukan respons siswa terhadap pembelajaran
yang diterapkan. Respons siswa yang ditargetkan dalam penelitian ini tergolong setuju.
Secara keseluruhan, penelitian ini dikatakan berhasil apabila hasil belajar siswa mengalami
peningkatan, baik dari refleksi awal maupun dari siklus awal sebelumnya. Penelitian ini
diselenggarakan dalam dua siklus, dan siklus penelitian akan dihentikan jika 85% siswa
mendapatkan nilai 7,5 hingga 8,4 ke atas secara individual. Rentangan ini berada pada kategori
baik. Skor ini sesuai dengan target kurikulum yang ditetapkan. Demikian pula dengan aktivitas
belajar siswa minimal berkategori aktif dan respons siswa terhadap proses pembelajaran dengan
penerapan model pembelajaran permainan simulasi minimal berkategori setuju.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Untuk mendapatkan hasil penelitian sebagaimana tertera pada tujuan penelitian, diperlukan dua
siklus. Siklus I memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu dua jam pelajaran. Usai
pertemuan kedua, guru menyelenggarakan tes berbicara untuk mengukur perkembangan
kemampuan berbicara siswa. Siklus II juga memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi
waktu dua jam pelajaran. Evaluasi kemampuan berbicara dilaksanakan pada akhir pertemuan
kedua. Perkembangan hasil dari siklus ke siklus hingga diperoleh hasil akhir seperti diuraikan
berikut ini.
4.1.1 Siklus I
Penelitian tindakan kelas ini melibatkan siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja yang
berjumlah 22 orang sebagai subjek penelitian. Data yang dicari adalah data tentang aktivitas dan
hasil belajar siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Data yang telah
dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti mendatangi sekolah bersangkutan untuk menjelaskan
tujuan kedatangan peneliti. Dengan senang hati, para pengajar di sekolah dasar tersebut
menerima kehadiran peneliti. Bersamaan dengan itu, peneliti menjelaskan bahwa tujuan
kedatangan peneliti untuk menerapkan sebuah metode. Metode tersebut adalah permainan
simulasi. Spontan guru bahasa Indonesia merespons, Apakah metode permainan simulasi itu?
Peneliti menjawab bahwa metode permainan simulasi adalah semacam metode bermain peran
dengan menggunakan media bantu berupa beberan yang berisi pertanyaan. Ada pula sebuah dadu
sebagai penentu langkah dalam permainan. Permainan ini semacam ular tangga, hanya saja
dalam permainan ular tangga tidak berisi pertanyaan. Sementara dalam permainan simulasi
terdapat pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa sesuai dengan instruksi yang ada pada
beberan. Simulasi adalah sebuah metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema, dan
dapat dimulai pada tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi
dasar. Penentuan materi pada permainan simulasi bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada
kurikulum yang berlaku. Namun, peneliti mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan
menyesuaikannya dengan kemampuan siswa kelas V SD. Metode ini akan diterapkan di kelas V
untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Guru mengangguk dan menawarkan kepada
peneliti tentang kapan penelitian akan dimulai. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa penelitian
akan dilaksanakan hari Senin, pukul 07.1008.30; hari Selasa, pukul 11.3012.50; dan hari
Rabu, pukul 09.4511.05. Sesaat, guru kelihatan belum puas dengan jawaban peneliti. Dia
menegaskan kembali apakah guru atau peneliti yang akan menerapkan metode tersebut. Jika
guru yang akan menerapkan, tentu akan mengalami kesulitan karena metode tersebut belum
akrab dalam pengajaran dan tidak pernah diterapkan sama sekali. Akhirnya peneliti mengatakan
bahwa metode tersebut akan disosialisasikan terlebih dahulu. Sebelum guru mengajar dengan
metode permainan simulasi, guru diberikan pelatihan bagaimana cara menerapkannya di dalam
kelas. Guru terlihat antusias dan siap untuk menerapkannya. Selama setengah jam, dialog
mengenai seluk-beluk permainan simulasi terhenti, karena guru harus melanjutkan pengajaran.
Peneliti mohon diri, dan kembali memastikan bahwa penelitian akan mulai dilaksanakan pada
hari Rabu, 10 Januari 2007.
Pada pertemuan pertama, peneliti ke sekolah tujuan penelitian berbekal lembar observasi untuk
memantau aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar belangsung dengan menerapkan
metode permainan simulasi. Ketika peneliti mulai memasuki kelas, situasi kelas agak gaduh
karena ulah siswa yang belum terpenuhi oleh rasa ingin tahunya terhadap kehadiran peneliti. Ada
yang bertanya, Bapak mengajar di sini? Ada pula yang berceloteh sambil lalu, Apa yang ada
dalam bungkusan itu, Pak! Peneliti hanya tersenyum dan menjawab singkat, Nanti kalian akan
melihat sendiri. Guru menyuruh siswa agar segera kembali ke tempat duduk agar bersiap
menerima pelajaran. Sebelum memulai pelajaran, guru memperkenalkan peneliti kepada siswa.
Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema perhubungan, dengan kompetensi dasar
memberikan pendapat tentang persoalan faktual. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan
dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu
menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa
kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan metode permainan simulasi.
Ketika guru menjelaskan dan membahas tentang metode permainan simulasi, konsentrasi siswa
tercurah penuh pada guru. Mereka tampak serius memperhatikan guru, tetapi tidak terdapat siswa
yang menyela untuk bertanya tentang simulasi maupun langkah permainan simulasi itu sendiri
yang belum dipahami. Pada konteks ini, guru lebih banyak berbicara untuk menjelaskan prosedur
permainan simulasi yang akan diterapkan. Guru membutuhkan waktu lebih kurang 15 menit
untuk menjelaskan tentang seluk-beluk permainan. Usai menjelaskan metode permainan
simulasi, guru menjelaskan materi yang akan diajarkan. Mengawali pelajaran guru bertanya,
Siapa yang tahu, apa arti kata faktual? Tidak ada satu pun yang merespons pertanyaan guru.
Pertanyan guru tidak terhenti sampai di situ. Guru kembali bertanya, Siapa yang tahu, apa itu
faktual. Salah seorang siswa menjawab sekenanya bahwa faktual adalah berita yang sering
terdengar di televisi. Guru terus menggali keberanian siswa agar mau mengemukakan pendapat
dengan cara meminta siswa yang lain untuk menanggapi atau memberikan pendapat versi lain.
Siswa tetap apatis dan tutup mulut sambil melihat teman di sekitarnya. Akhirnya, guru menjawab
sendiri tentang arti kata faktual. Selanjutnya, pertanyaan guru kembali bergema, Apa saja yang
termasuk dalam persoalan faktual? Pertanyaan ini membuat siswa kelihatan berpikir keras
untuk menemukan arti kata faktual. Ada yang berbisik pada teman sebelahnya. Entah apa yang
sedang dibisikkan. Ada pula yang terus mengumpulkan ingatan untuk memecahkan pertanyaan
tersebut. Suasana tetap tenang. Tidak ada seorang pun yang berpendapat. Merasa tidak direspons
oleh siswa, akhirnya guru menjelaskan dan menjawab sendiri tentang persoalan faktual tersebut.
Tampak siswa manggut-manggut seolah ikut mengiakan. Beberapa orang mencatat arti kata
faktual yang disampaikan oleh guru.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan
keanekaragaman gender dan perbedaan kemampuan akademik. Setiap kelompok berjumlah 5
hingga 6 orang siswa. Pada saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tampak ramai dan
ribut. Ada siswa yang berlari ke sana ke mari menari anggota kelompoknya. Ada yang saling
memperebutkan tempat duduk, dan ada pula siswa yang mendekati guru dan peneliti sekadar
mananyakan tentang metode permainan simulasi yang diterapkan. Mereka sungguh antusias dan
menyambut dengan riang gembira. Tanpa disadari, efek samping dari penerapan metode ini
memungkinkan siswa berbicara walaupun terlepas dari topik yang diajarkan. Peranan guru dalam
hal ini sungguh berarti untuk membimbing siswa pada pemahaman, terutama tentang permainan
yang hendak dilaksanakan. Proses pengorganisasian kelompok cukup menyita waktu.
Setelah siswa berada dalam kelompok masing-masing, guru membagikan media permainan
simulasi beserta perlengkapan permainan lainnya. Sebelum memulai permainan, guru
memanggil dua orang siswa sebagai model untuk mendemonstrasikan permainan simulasi. Siswa
begitu cermat memperhatikan cara bermain maupun instruksi yang dilontarkan oleh guru.
Usai pemodelan yang dilakukan oleh dua orang siswa, guru memerintahkan siswa agar segera
bermain simulasi dalam kelompok masing-masing. Guru dan peneliti yang berperan sebagai
fasilitator berkeliling untuk memantau situasi permainan yang dilakukan siswa. Guru dan peneliti
mendatangi kelompok demi kelompok untuk menanyakan kesulitan yang dialami siswa. Jika
ditemukan kesulitan dan ketidakpahaman siswa, maka guru maupun peneliti segera memberikan
penjelasan terhadap masalah yang dialami siswa.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi. Salah seorang yang
bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang berisi angka 1 sampai 15. Kemudian
angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada beberan yang tersedia. Siswa
secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan pemantauan
terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Belum genap sejam pembelajaran
berlangsung, konsentrasi siswa terpecah oleh kehadiran siswa kelas lain. Mereka datang
mengerumuni kelas V yang sedang belajar. Ada yang mendatangi dari arah belakang di balik
gerawang, dan ada pula yang melihat situasi pembelajaran dari arah depan, yakni di pintu masuk.
Siswa yang awalnya serius dan berkonsentrasi dalam permainan tiba-tiba menyahut untuk
memberikan respons terhadap stimulus yang datang dari luar kelas. Suasana pembelajaran
terganggu oleh kehadiran siswa-siswa tersebut. Guru dan peneliti berusaha mengembalikan
konsentrasi siswa dengan cara menyuruh siswa yang dominan dari kelas rendah tersebut untuk
meninggalkan ruangan kelas V. Sebagaian ada yang langsung angkat kaki meninggalkan
ruangan, namun ada juga yang betah menonton proses pembelajaran. Rombongan anak-anak
kelas lain terus-menerus mengalir. Akhirnya peneliti ke luar ruangan untuk mengajak mereka
masuk ke kelasnya masing-masing.
Suasana kembali tenang. Permainan simulasi terus berlanjut dan berlangsung alot dan seru. Di
dalam kelompoknya masing-masing, siswa bermain simulasi. Beragam ekspresi yang
ditunjukkan oleh siswa pada saat permainan simulasi. Ada siswa yang kelihatannya berpikir
keras untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ada pada beberan. Ada siswa yang
menyela jawaban pertanyaan temannya diiringi dengan komentar yang kadang-kadang tidak
menyenangkan. Ada pula siswa yang ketika ditanya oleh temannya tentang sesuatu yang belum
dipahami tidak dijawab sama sekali. Sementara pada kelompok yang lain terlihat bahwa siswa
sungguh-sungguh bermain simulasi. Ada pula yang mengobrol sambil bermain. Tidak sedikit
yang tertawa ngakak sambil bermain. Guru dan peneliti terus-menerus mengawasi siswa yang
sedang bermain simulasi.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Berdasarkan data yang dianalisis
melalui observasi didapatkan bahwa rata-rata aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus I
observasi I berada pada kategori cukup aktif, yaitu sebesar 11,8. Skor ini menunjukkan bahwa
aktivitas siswa dalam pembelajaran belum memenuhi harapan ideal penelitian, sebab aktivitas
siswa yang diharapkan dalam penelitian ini minimal berkategori aktif, yakni berada pada
kategori 14 < 18.
Jam pelajaran akan segera berakhir. Begitu pula dengan permainan simulasi akan segera diakhiri.
Siswa kembali pada tempat duduknya semula. Sebelum guru mengakhiri pembelajaran, terlebih
dahulu guru meminta siswa untuk menyimpulkan matari yang telah selesai diajarkan. Guru
memberikan kebebasan pada siswa untuk menyimpulkannya. Tidak tampak satu pun siswa yang
memanfaatkan kesempatan tersebut. Siswa kembali terpaku dan saling menunggu siapa yang
lebih dahulu menyimpulkan materi pelajaran. Bel berdering hingga akhirnya guru yang
menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Proses pembelajaran yang berlangsung pada
siklus I pertemuan I berakhir sesuai dengan perencanaan. Peneliti sengaja merancang pertemuan
I hanya memfokuskan pada permainan simulasi, karena didasari oleh pemikiran bahwa waktu
akan banyak digabiskan untuk menyosialisasikan metode tersebut kepada siswa.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus I pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan
kedua pada hari Senin, 15 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kesehatan, dengan
kompetensi dasar menanggapi suatu persoalan atau peristiwa. Tema ini diajarkan dalam sekali
pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Pada pertemuan kedua, peneliti merancang media permainan simulasi dengan tema yang lain,
yakni kesehatan. Tema ini sesuai dengan petunjuk yang termuat dalam silabus. Kompetensi dasar
pada pertemuan ini hampir sama dengan petemuan I. Jika pada pertemuan I memberikan
pendapat tentang persoalan faktual, pada pertemuan II siswa menangapi suatu persoalan atau
peristiwa. Sebelum mengawali pembelajaran, guru menjelaskan kembali tentang permainan
simulasi. Permainan simulasi pada pertemuan II siklus I tetap mengacu pada prosedur permainan
sebagaimana yang diterapkan dalam pertemuan I siklus I tanpa ada pemodifikasian. Guru
kembali membentuk kelompok tanpa ada perubahan terhadap anggota kelompok.
Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran
kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih
menggunakan metode permainan simulasi. Mengawali pelajaran, guru bertanya, Apa saja
persoalan yang pernah kalian alami dalam kehidupan sehari-hari? Ketika guru bertanya tentang
ini, banyak siswa yang tertarik untuk menjawab. Ada yang menjawab, Kemarin, saya dikejar
anjing tetangga. Ada juga yang menjawab bahwa semalam diajak oleh bapak ke Hardys.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan
format aggota kelompok sebelumnya. Setiap kelompok berjumlah 5 hingga 6 orang siswa. Pada
saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tetap ribut walaupun mereka sudah tahu anggota
kelompoknya masing-masing. Masih juga ditemukan siswa yang belari ke sana ke mari mencari,
kemudian menarik tangan anggota kelompoknya agar segera melingkar dalam kelompok.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi dengan tema baru yang
ditawarkan peneliti. Salah seorang yang bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang
berisi angka 1-15. Kemudian angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada
beberan. Siswa secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan
pemantauan terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Anak-anak kelas rendah
masih saja mendatangi kelas V untuk menyaksikan proses permainan simulasi. Namun jumlah
mereka tidak sebanyak waktu pertama kali peneliti memasuki ruangan kelas V. Walaupun jumlah
mereka tidak seramai sebelumnya, tetap saja kehadiran mereka memecah konsentrasi siswa kelas
V yang sedang belajar.
Aktivitas siswa yang masih menonjol pada pertemuan II siklus I adalah kurang pedulinya siswa
terhadap pertanyaan atau pun tanggapan yang dilontarkan oleh temannya. Mereka kelihatan
sibuk dengan dirinya sendiri, dan merasa dongkol jika ada temannya berpendapat.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Ada siswa yang berpikir keras untuk
mengeluarkan pendapat. Ada juga yang berdiskusi sambil becanda dalam kelompok. Pada
pertemuan kedua, aktivitas siswa tidak jauh berbeda dengan aktivitas pertemuan pertama. Rata-
rata skor hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus I pertemuan II adalah 6,85, sementara
ketuntasan klasikal mencapai 72,7%. Skor ini belum memenuhi tuntutan kurikulum, karena rata-
rata kelas yang diharapkan dalam penelitian ini minimal 7,5 dan ketuntasan klasikal minimal
85%. Berdasarkan skor tersebut, ketuntasan klasikal yang dicapai siswa pada siklus I belum
memenuhi tuntatan kurikulum.
Guru mengalokasikan pertemuan ini satu jam untuk permainan simulasi, sementara satu jam
berikutnya untuk mengetes kemampuan berbicara siswa. Menjelang sejam pertama akan
berakhir, guru segera mengakhiri permainan simulasi. Selanjutnya guru mengadakan evaluasi
hasil belajar berupa pengetesan keterampilan berbicara secara individual di depan kelas. Guru
memberikan kebebasan kepada siswa untuk berbicara tentang peristiwa yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika guru menjelaskan tentang topik yang akan dibicarakan secara
individual, seorang siswa menyahut, Bolehkah saya bercerita tentang berbelanja pemainan di
Hardys?. Guru menyerahkan sepenuhnya kepada siswa asalkan masih dalam konteks bercerita
tentang peristiwa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika guru memanggil siswa satu per satu di depan kelas, beragam reaksi ditunjukkan oleh
siswa. Ada siswa yang tanpa tedeng aling-aling langsung menuju ke depan kelas untuk bercerita.
Sesampai di depan dia lupa tentang apa yang hendak dibicarakan. Kelakuan spontanitas siswa
yang seperti ini mengudang derai tawa siswa lain. Ada siswa yang semangatnya berkobar-kobar
seperti hendak berperang. Ada pula siswa yang menunggu berkai-kali dipanggil baru beranjak
maju ke depan.
Pada sisi lain, ada siswa yang sibuk mengumpulkan kekuatan mental untuk tampil ke depan.
Siswa yang menunggu giliran dipanggil memanfaatkan jeda waktu untuk menghafal apa yang
ingin dibicarakan. Keadaan ini peneliti amati ketika mulut siswa terlihat berkomat-kamit seperti
sedang menghafal konsep yang akan dibicarakan. Hanya beberapa orang yang kelihatan santai
tanpa tekanan. Ada juga yang gugup ketika dipanggil. Reaksi siswa sekaligus menunjukkan
betapa berbicara adalah sebuah aktivitas yang mencemaskan dan menakutkan. Evaluasi
keterampilan berbicara pada siklus I menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kurang lancar
berbicara. Kendati lancar berbicara, siswa kadang-kadang berdialek dan terkesan sepotong-
potong. Bahkan banyak di antara siswa yang berbicara sambil tertawa. Satu hal yang dominan
terjadi ketika siswa berbicara adalah kurang jelasnya suara siswa ketika berbicara. Berkali-kali
guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, Apakah kalian bisa mendengar apa yang
diceritakan oleh siswa tadi? Teguran tersebut membuat siswa berbubah sikap. Mereka akhirnya
bersuara nyaring walaupun dipaksakan.
Yang menarik adalah salah seorang siswa perempuan ketika berbicara seperti air mengalir. Ia
bercerita tentang konflik yang terjadi antara dia dengan temannya. Dia berbicara melibatkan
emosi, dan sungguh ekspresif. Peneliti bertepuk tangan, kemudian disusul oleh siswa untuk
memberikan hal serupa. Evaluasi berbicara dihimpun dalam sebuah pedoman yang telah disusun
sebelumnya. Hasil kemampuan berbicara pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Data hasil belajar siswa siklus I


Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1234567
1 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
2 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
3 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
4 7 9 5 7 5 7 7 6,8 Lebih dari cukup
5 8 7 5 7 6 6 6 6,6 Lebih dari cukup
6 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
7 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
8 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
9 8 7 4 6 6 5 6 6,0 Cukup
10 8 8 7 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
11 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
12 9 8 8 9 9 8 8 8,4 Baik
13 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
14 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
15 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
16 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 7 6 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
18 9 8 6 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 7 4 4 7 5 4 4 5,0 Hampir cukup
20 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
21 9 8 6 8 6 6 6 7,0 Lebih dari cukup
22 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
Jumlah 177 170 134 149 151 140 135 150,9
Rata-rata = 6,9

Keterangan:

1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Adapun persentase hasil belajar siswa siklus I sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut ini.
Banyaknya siswa yang memperoleh nilai baik sebanyak 4 orang (18,18%), yang mendapatkan
nilai lebih dari cukup sebanyak 13 orang (59,09%), dan yang mendapatkan nilai cukup sebanyak
5 orang (22,72%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada ketegori
lebih dari cukup.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan
berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam
kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.
Tabel 4.2: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus I
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 80,45%
77,27%
60,90%
67,72%
68,63%
63,63%
61,36% Baik
Baik
Cukup
Lebih dari cukup
Lebih dari cukup
Cukup
Cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, kesalahan
yang dominan dilakukan oleh siswa, yakni pada kategori hubungan antar informasi (60,90%),
ketepatan struktur dan kosakata (67,72%), kelancaran (686,3%), kewajaran urutan wacana
(63,63%), dan gaya pengucapan (61,36%). Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada
kategori cukup.

4.1.2 Refleksi Siklus I


Peneliti mengadakan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan siklus I. Berdasarkan temuan
analisis hasil observasi dan tes, maka tindakan siklus I didaur ulang dan dimodifikasi karena
tujuan penelitian ini belum tercapai. Tindakan yang dipandang positif pada siklus I
dipertahankan, sementara tindakan yang perlu pemodifikasian dilakukan penyempurnaan.
Pemodifikasian tindakan yang dilakukan pada siklus II difokuskan pada implementasi tindakan.
Refleksi ini dilakukan agar hasil maupun aktivitas belajar siswa meningkat. Langkah-langkah
yang dilakukan adalah berikut ini.
a) Guru harus memastikan bahwa kelas dalam keadaan aman dari gangguan kelas lain. Langkah
yang diambil adalah segera menyuruh siswa kelas lain membubarkan diri jika sudah mulai
berkerumunan di depan dan di belakang kelas untuk menghindari pecahnya konsentrasi siswa
yang sedang belajar.
b) Membangkitkan semangat siswa untuk mengajukan pertanyaan lebih dari sekali dengan
memberikan motivasi dan penguatan terhadap jawaban yang diberikan siswa.
c) Secara umum, respons siswa terhadap pertanyaan dari anggota kalompok sendiri maupun
terhadap kelompok lain masih rendah. Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada
siswa, dan menegaskan agar melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum
dipahami. Alternatif lain, guru menyuruh siswa segara bertanya jika menemui kendala atau
masalah dalam belajar.
d) Merangsang siswa agar berani berbicara dalam konteks apapun, baik dalam menjawab
pertanyaan, mengemukakan pertanyaan, mengajukan pendapat, maupun menyimpulkan. Di
samping itu, guru menegaskan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes satu-per satu di
depan kelas, tetapi juga aktivitas belajar siswa selama terjadinya proses belajar-mengajar.
e) Berkaitan dengan permasalahan dalam kelompok, guru mengingatkan kepada siswa supaya
duduk dalam kelompoknya masing-masing menjelang proses pembelajaran atau ketika
pelaksanaan permainan simulasi. Ketika guru memasuki ruangan kelas langsung mengarahkan
permainan, tidak lagi mengurusi siswa di dalam kelompok.
f) Meningkatkan frekuensi monitoring terhadap kelompok bermain simulasi. Pemantauan yang
intensif memungkinkan guru segera mengetahui dan segera memerbaiki jika terdapat kesalahan
atau ketidakpahaman siswa terhadap materi atau pun permainan simulasi. Guru dan peneliti
mengunjungi kelompok demi kelompok untuk memastikan bahwa permainan berjalan sesuai
prosedur atau tidak.
g) Memotivasi siswa untuk berbicara dengan memperhatikan tepat tidaknya penggunaan
kosakata, kelancaran, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Caranya, ketika siwa
berbicara, guru berdiri di sebelah siswa untuk memberikan pengutan, mengarahkan, dan
memberikan semacam tanda atau ucapan-ucapan yang membantu siswa untuk menghubungkan
dan menggali informasi yang disampaikan, serta mengomentari atau mengoreksi jika terdapat
kesalahan. Pengoreksian diberikan secara langsung supaya siswa mengetahui letak
kelamahannya dalam berbicara.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut diharapkan dalam siklus II, aktivitas dan hasil belajar
siswa meningkat.

4.1.3 Rencana Tindakan Siklus II


Rencana perbaikan tindakan yang akan dilakukan pada siklus II adalah berikut ini.
a) Guru mengingatkan siswa supaya duduk dalam kelompok masing-masing menjelang proses
belajar-mengajar agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien.
b) Guru mengajukan pertanyaan lebih dari sekali kepada siswa, serta memberikan penguatan
terhadap jawaban siswa untuk membangkitkan motivasi siswa dalam berbicara.
c) Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada siswa, dan menegaskan agar siswa mau
melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami.
d) Guru memotivasi siswa dengan mengemukakan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes
satu per satu di depan kelas, tetapi juga aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar.
e) Guru meningkatkan frekuensi monitoring pada saat permainan simulasi dengan cara
mendatangi kelompok demi kelompok.
f) Guru berdiri di dekat siswa pada saat evaluasi berbicara untuk memberikan motivasi,
penguatan, membantu siswa menghubungkan informasi, dan mengoreksi kesalahan siswa ketika
berbicara di depan kelas.

4.1.4 Siklus II
Pada dasarnya, perencanaan hingga pelaksanaan penelitian sama dengan siklus I, yakni masih
menggunakan metode permainan simulasi. Hanya saja, siklus II merupakan revisi dari
pelaksanaan siklus I dengan mengacu pada pertimbangan hasil refleksi pada siklus sebelumnya.
Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema transportasi. Tema ini diajarkan dalam sekali
pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Ketika memasuki rungan kelas, guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk mengatur siswa
dalam kelompoknya. Siswa sudah berada dalam kelompok dan bersiap menerima pelajaran. Pada
saat memasuki inti pelajaran, guru mengemukakan pertanyaan ringan untuk membangkitkan
keberanian siswa untuk menjawab. Selanjutnya, guru melontarkan pertanyaan yang agak sukar
hingga ke pertanyaan yang sukar. Mengawali pertanyaan yang agak sukar hingga pada
pertanyaan yang sukar, guru secara simultan melontarkan semacam pernyataan untuk
menghilangkan ketakutan siswa menjawab pertanyaan. Tampak bahwa siswa mulai aktif
berbicara, khususnya menanggapi setiap pertanyaan guru. Pertanyaan tersebut berbunyi begini,
Siapa yang pernah melihat orang yang melakukan wawancara? Beragam jawaban siswa
terlontar. Ada yang menjawab bahwa pernah melihat orang yang sedang melakukan wawancara.
Ada juga yang menjawab sering menyaksikan orang yang berwawancara. Peneliti tidak melihat
adanya siswa yang diam ketika bertanya tentang persoalan seputar wawancara. Mereka lebih
sering menjawab seretak. Ada beberapa siswa pria yang memanfaatkannya untuk berteriak
sambil menjawab pertanyaan.
Melihat situasi yang mulai ribut, akhirnya guru mengelola kelas dengan menyuruh siswa agar
mengangkat tangan jika hendak menjawab. Guru mengingatkan siswa agar tidak menjawab
serampangan, kecuali siswa yang sudah ditunjuk langsung oleh guru. Situasi kembali hening.
Selanjutnya guru bertanya tentang apa itu wawancara. Salah seorang yang ditunjuk oleh guru
menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang di dalam
televisi. Guru menawarkan pertanyaan sejenis kepada siswa yang lain tentang pengertian
wawancara. Yang ditunjuk menjawab, Wawancara adalah saling bertanya antara laki-laki dan
perempuan untuk membicarakan sesuatu. Guru memberikan penguatan kepada siswa tersebut
tentang jawaban yang dikemukakan. Kembali guru melanjutkan, Ada lagi yang lain? Tidak ada
seorang siswa pun yang berani berpendapat. Mereka ikut menyetujui terhadap dua jawaban
rekannya tadi. Guru terus memotivasi siswa agar terus mengeluarkan gagasan. Reaksi siswa tetap
nihil. Akhirnya guru melanjutkan pertanyaan, Siapa yang bisa menyimpulkan pengertian
berbicara sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh teman kalian tadi. Salah seorang siswa
memberanikan diri bahwa wawancara adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua untuk
membicarakan sesuatu. Guru mengatakan, Bagus. Siapa yang memiliki pendapatan lain, atau
yang ingin melengkapi jawaban teman kalian tadi?, guru melanjutkan. Seorang siswa
mengangkat tangan kemudian menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan
oleh dua orang tentang sesuatu, baik itu persoalan atau pun tentang prestasi yang diraih oleh
seseorang. Guru terlihat puas mendengar jawaban salah seroang siswa tadi. Guru kembali
bertanyan, Siapakah dua orang yang melakukan wawancara tersebut? Sebagian besar siswa
menyahut, Satu orang sebagai pewawancara, dan seorang lagi sebagai narasumber. Bersamaan
dengan jawaban tersebut ada juga siswa yang menjawab bahwa yang melakukan wawancara
adalah manusia. Jawaban tersebut menghilang tanpa ada yang merespons.
Pertemuan pertama pada siklus II terlihat hampir semua siswa terlibat aktif dalam mengikuti
pelajaran yang disampaikan. Selanjutnya, guru menggunakan metode permainan simulasi dalam
proses pembelajaran dengan kompetensi dasar Berwawancara dengan Narasumber. Metode
permainan simulasi mengalami sedikit pemodifikasian disesuaikan dengan tujuan dan
kompetensi dasar yang hendak dicapai. Guru mengklasifikasikan siswa ke dalam beragam
profesi (polisi, petani, pedagang, guru, dan sebagainya). Kemudian, siswa disuruh bermain peran
sesuai dengan profesinya, tetapi masih dalam konteks berwawancara. Salah seorang siswa
bertindak sebagai narasumber, sementara siswa yang lain bertindak sebagai pewawancara.
Kegiatan ini berlangsung dalam kelompok masing-masing.
Siswa begitu antusias belajar dengan penerapan metode permainan simulasi. Pembicaraan
mereka mengalir apa adanya ketika berperan, entah sebagai guru, polisi, pedagang, dan
sebagainya. Keunikan siswa siswa seabgai individu tampak di sini. Hampir semunya kelihatan
aktif dan kreatif bertanya maupun menjawab. Peneliti tertarik dengan wawancara yang dilakukan
oleh siswa yang mendapatkan peran menjadi guru dan polisi. Ketika salah seorang siswa yang
berperan sebagai pewawancara beranya kepada rekannya yang berperan sebagai guru, Apa yang
anda lakukan jika anda menjadi guru. Ia menjawab dengan bangga, Jika aku menjadi guru, aku
akan membangun sekolah, dan membuat siswa menjadi pintar. Sementara siswa yang
mewawancarai rekannya yang berperan menjadi polisi bertanya, Jika bertemu penjahat, apa
yang anda lakukan! Dia menjawab dengan lantang, Saya akan mengikatnya dengan tali,
kemudian membawanya ke penjara. Peneliti melihat siswa all out memerankan seperti apa yang
guru tawarkan. Aktivitas siswa semakin menunjukkan hasil yang signifikan dalam proses belajar-
mengajar. Pada siklus II observasi I terlihat bahwa rata-rata aktivitas belajar siswa berada pada
tataran 14,09. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas berbicara siswa berada pada kategori aktif.
Skor ini tentu saja sudah memenuhi target penelitian. Guru dan peneliti pusat melihat aktivitas
perkembangan siswa. Tidak terasa waktu bergulir mendekati pukul 08.30. Artinya, waktu
pembelajaran akan segera berakhir. Guru segera mengakhiri pembelajaran, dan menyuruh siswa
kembali kembali ke tempat duduk masing-masing.
Sebelum jam pelajaran berakhir, guru meminta siswa untuk menyimpulkan pelajaran. Banyak di
antara siswa yang mengangkat tangan untuk menyimpulkan pelajaran. Terakhir, guru
menyimpulkan pelajaran. Siswa serantak menuliskan simpulan yang dilontarkan oleh guru. Bel
berdering, pelajaran pun berakhir.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus II pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan
kedua pada hari Rabu, 24 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kehidupan di laut, dengan
kompetensi dasar mendeskripsikan benda atau alat. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan
dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih menerapkan
metode permainan simulasi.

Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran
kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih
menggunakan metode permainan simulasi yang telah dirancang. Guru menegaskan jika ada
teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami agar menjelaskan semampunya.
Siswa harus melayani dan membantu teman jika menuai kendala.
Aktvitas siswa sudah menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketika guru memasuki ruangan
kelas, siswa tidak lagi ribut dan bergerak ke sana ke mari untuk mencari anggota kelompoknya.
Sebelum guru memasuki kelas, siswa sudah siap dalam kelompoknya masing-masing untuk
menerima pelajaran. Guru membagikan media permainan simulasi kepada setiap kelompok.
Siswa pun mulai bermain simulasi sesuai instruksi dari guru. Pembelajaran berjalan lancar dan
efektif.
Pada saat pelaksanaan permainan simulasi, kemampuan berbicara dan kemampuan
mengembangkan ide sudah memadai. Siswa tidak lagi acuh tak acuh dan peduli terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh teman yang lain. Mereka terlihat menikmati bermain simulasi.
Mereka tidak lagi membuat diskusi di atas diskusi. Permainan simulasi berlangsung selama
sejam. Menjelang berakhirnya permainan simulasi, guru menyuruh siswa agar kembali ke
bangku masing-masing.
Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa mengalami peningkatan pesat dibandingkan siklus
sebelumnya. Hampir semua siswa aktif bertanya, berkomentar, maupun menanggapi. Semua
indikator yang menjadi patokan dalam observasi menunjukkan keaktifan siswa di dalam proses
pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus II observasi ke II
adalah sebesar 15,81. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa berada pada kategori
aktif. Skor ini sekaligus menunjukkan bahwa target penelitan sudah tercapai
Sisa waktu sejam dimanfaatkan guru untuk mengevalusi perkembangan kemampuan berbicara
siswa secara individual di depan kelas. Guru menawarkan topik mendeskripsikan tentang
ruangan kelas, alat transportasi/permainan, dan mendeskripsikan teman. Tidak seperti siklus
sebelumnya, siswa tidak lagi gugup dan takut jika dipanggil untuk berbicara di depan kelas.
Mereka siap dengan apa yang hendak dibicarakan. Ketika siswa berbicara, guru berada di
sebelah siswa untuk membantu siswa mengumpulkan informasi jika terjadi kemacematan dalam
berbicara. Di samping itu, guru memberikan komentar jika terjadi kesalahan siswa, baik itu
menyangkut kosakata, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Data hasil belajar
siswa dalam siklus II dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3: Data hasil belajar siswa siklus II


Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1234567
1 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekali
2 10 9 8 9 8 8 9 8,8 Baik sekali
3 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
4 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
5 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
6 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekal
7 9 9 8 9 9 8 8 8,6 Baik sekali
8 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
9 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
10 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
11 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
12 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
13 9 9 9 9 8 8 8 8,8 Baik sekali
14 10 9 9 9 9 9 8 9,0 Baik sekali
15 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
16 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
18 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 8 6 6 7 7 7 6 6,4 Cukup
20 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
21 8 8 8 9 8 7 8 8,0 Baik
22 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
Jumlah 191 183 166 178 189 168 160 173,9
Rata-rata = 7,90

Keterangan:
1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 7,90, sementara ketuntasan klasikal yang diperoleh
siswa pada siklus II mencapai 86,3%. Skor ini sudah memenuhi tuntutan kurikulum yang
menetapkan bahwa keberhasilan belajar-mengajar diukur dari hasil rata-rata kelas minimal 6,5,
dan ketuntasan klasikal minimal 85%.
Adapun persentase hasil belajar siswa siklus II sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut
ini.
Siswa yang memperoleh nilai istimewa sebanyak 2 orang (9,09%), yang mendapatkan nilai baik
sekali sebanyak 6 orang (27,3%), yang mendapatkan nilai baik sebanyak 8 orang (36,3%), yang
mendapatkan nilai lebih dari cukup sebanyak 3 orang (13,6%), dan yang memperoleh nilai cukup
sebanyak 3 orang (13,6%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada
ketegori baik.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan
berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam
kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.

Tabel 4.4: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus II
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 86,81%
83,18%
75,45%
80,90%
85,90%
76,36%
72,72% Baik sekali
Baik
Baik
Baik
Baik sekali
Baik
Lebih dari cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, hasil belajar
siswa dominan berada pada kategori baik, kecuali gaya pengucapan siswa yang masih berada
pada kategori lebih dari cukup, yakni (72,72). Sementara keberanian (86,81%), dan kelancaran
(85,90%) berada pada kategori baik sekali. Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada
kategori baik.
Di bawah ini akan disajikan perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I
dan siklus II.

Tabel 4.5: Perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II
JENIS DATA SIKLUS I SIKLUS II
Skor aktivitas belajar siswa 13,5
(Cukup Aktif)
15,81
(Aktif)
Skor rata-rata hasil belajar 6,85 7,90
Ketuntasan klasikal 72,7%
(Belum Tuntas)
90,9%
(Tuntas)

Berdasarkan perbandingan hasil analisis data terhadap hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II
dapat diketahui bahwa persentase banyaknya siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar
adalah 90,9%, yang mengalami penurunan hasil belajar 0%, sementara yang prestasi belajarnya
tetap adalah 9,09%. Ini berarti, dengan menerapkan metode pembelajaran pemainan simulasi,
maka akivitas belajar maupun hasil belajar siswa dalam keterampilan berbicara meningkat.
Angket respons siswa diberikan pada akhir sikus II setelah pelaksanaan tindakan. Data respons
siswa mengenai pembelajaran yang diterapkan, yaitu model pembelajaran permainan simulasi
disajikan pada lampiran 17. Berdasarkan skor siswa pada lampiran tersebut, maka rata-rata
respons siswa adalah 25. Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, maka skor
tersebut menunjukkan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap pembelajaran permainan
simulasi. Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran permainan simulasi, karena metode ini
memungkinkan siswa belajar sambil bermain.

4.1.5 Refleksi Siklus II


Berdasarkan data yang terkumpul melalui observasi, tes, dan angket pada akhir tindakan, terlihat
peningkatan aktivitas belajar, hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode
permainan simulasi. Pada siklus I diperoleh rata-rata aktivitas belajar siswa aalah 13,5
mengalami peningkatan sebesar 15,81 pada siklus II. Dengan kata lain, aktivitas belajar siswa
yang semula berkategori cukup aktif menjadi aktif. Begitu pula dengan raa-rata hasil belajar
siswa pada siklus I sebesar 6,85 mengalami peningkatan sebesar 7.90 pada siklus II. Dengan kata
lain, ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 72,7% belum memenuhi
target kurikulum, kemudian mengalami peningkatan sebesar 86,3% sudah memenuhi target
kurikulum. Sementara respons siswa berada pada kategori setuju. Berdasarkan data tersebut
terbukti bahwa penerapan metode simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan hail belajar siswa.
Adanya peningkatan tersebut, maka siklus selanjutnya tidak perlu dilaksanakan lagi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran permainan simulasi, guru terlihat sangat senang dalam
melaksanakannya. Secara tidak langsung, penerapan model pembelajaran permainan simulasi
memberikan masukan terhadap model pembelajaran yang sudah dilaksanakan guru sebelumnya,
sehingga dapat dijadikan pilihan dalam melaksanakan pembelajaran pada materi lain yang
relevan.
Penerapan model pembelajaran permainan simulasi ternyata menghasilkan beberapa keuntungan,
di antaranya dideskripsikan berikut ini.
Metode simulasi dapat digunakan untuk semua tema, dan dapat dimulai dari tingkat
kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar, karena metode ini
bersifat fleksibel. Menurut Adi (dalam Somantri, 2002:60) bahwa metode simulasi sifatnya non-
formal, sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada
kurikulum yang berlaku.
Meningkatkan rasa keakraban di antara siswa sehingga tumbuh rasa persatuan di antara
mereka.
Membuat suasana kelas terlihat lebih hidup, dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran. Dalam permainan ini, guru hanya
sebagai fasilitator dan pengarah. Siswa berperan dan berekspresi sendiri.
Siswa bebas berbicara apa adanya dan berekspresi sesuai keinginannya.
Tumbuhnya motivasi siswa dalam belajar, karena model pembelajaran permainan simulasi
memungkinkan mereka seolah-olah sedang bermain.
Walaupun penelitian ini dikatakan berhasil dan banyak keuntungannya, yaitu meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas belajar siswa, namun selama berlangsungnya penelitian ini juga dirasakan
adanya kelemahan. Kelemahan metode ini antara lain: (1) Membuat kelas menjadi ramai,
sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses
pembelajaran atau tidak; (2) Memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran
biasa; dan (3) Metode ini menyita waktu dan membutuhkan adaptasi siswa. Tersitanya waktu
disebabkan oleh proses menjelaskan alur permainan, sementara adaptasi siswa dibutuhkan
karena metode ini tergolong asing bagi siswa maupun guru. Hal tersebut menjadi kendala dalam
proses pembelajaran. Namun, seiring dengan pelaksanaan metode dari siklus ke siklus, kendala
tersebut dapat diatasi.

4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan
berbicara. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hughes dalam Sudono (1995) bahwa
bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif.
Belajar sambil bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-
ulang, menemukan sendiri, berekspresi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam
konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Belajar sambil bermain memberikan
peluang kepada siswa untuk terlibat aktif secara fisik maupun mental. Peluang ini memberikan
kontribusi pada tumbuhnya motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan
terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Konsekuensi logisnya sudah tentu dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Somantri (2002:50) juga menegaskan bahwa
dalam pembelajaran dengan menggunakan metode permainan simulasi terjadi perubahan sikap
pada diri siswa. Perubahan sikap ini khususnya terletak pada tumbuhnya motivasi siswa. Di
samping itu, siswa belajar keterampilan emosional. Siswa berlatih untuk menahan diri, belajar
bersabar mendengarkan pendapat orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain, dan bekerja
sama dengan orang lain untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Hal tersebut sangat
mendukung siswa mengembangkan kecerdasan emosional yang juga penting selain kecerdasan
kognitif (Goleman, 2000:397-406).
Salah satu langkah dalam penerapan pembelajaran yang memberikan kontribusi terhadap hasil
penelitian adalah pembentukan kelompok kecil sebagai wadah berdiskusi. Seorang dosen Akaba
17 Semarang, Suwandi, mengatakan bahwa siswa yang pasif dapat dibantu dengan menggunakan
metode diskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Diskusi kelompok kecil memudahkan guru
mengetahui siswa mana yang aktif berbicara, dan siswa mana yang pasif. Diskusi kelompok
kecil dilakukanoleh siswa dengan pengawasan dan bimbingan guru. Jika setiap kelompok
memiliki seorang pembicara yang aktif, ia tentu akan mnengajak anggota lain dalam
kelompoknya turut aktif dalam berbicara atau percakapan. Pengelompokkan merupakan cara
yang efektif, dengan memilih pengatur yang dianggap lebih mampu dalam kelompoknya yang
akan mendorong mereka untuk berbicara. Diskusi kelompok kecil diprediksikan akan membuat
suasana kelas menjadi ramai (Tillit dan Bruder, dalam Somantri, 2002:76). Secara tidak
langsung, keramaian tersebut memancing siswa untuk berbicara walaupun terlepas dari konteks
atau topik yang dibicarakan. Kesuksesan permainan simulasi terletak pada pundak pengatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas belajar dan hasil belajar siswa meningkat dengan
menerapkan metode permainan simulasi. Siswa merespons setuju dan senang terhadap
pembelajaran dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pembelajaran ini berpusat pada
siswa (student oriented). Siswa dalam proses pembelajaran berpeluang untuk aktif, baik secara
fisik maupun mental. Melalui peluang ini, siswa merasa mendapatkan perlakuan istimewa
sebagai sosok pelajar. Hal inilah yang membawa konsekuensi logis tumbuhnya keaktifan,
meningkatnya hasil belajar, rasa senang, dan respons setuju terhadap pembelajaran. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Soemantri (2002:82) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa
penggunaan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan skor hasil belajar,
aktivitas belajar, pemahaman terhadap konsep atau materi, dan perubahan sikap ke arah yang
positif.
Yang menarik dalam metode permainan simulasi, bahwa metode ini mampu menghilangkan rasa
nervous (gugup), dan membangkitkan keberanian terhadap siswa yang rendah rasa percaya
dirinya. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang langsung secara teoretis,
produktif, dan ekspresif. Apabila itu dirangsang oleh seorang guru, bagi siswa tertentu barangkali
malah menghambat kelancaran berbicaranya. Lain halnya apabila stimulus tersebut diberikan
oleh teman sebaya. Stimulus yang diberikan oleh teman sebaya juga mengembangkan
kemampuan menyimak yang sifatnya juga langsung, apresiatif, reseptif, dan fisikal. Tidak semua
stimulus yang bersumber dari teman sebaya dapat menghilangkan rasa gugup. Untuk itu
diperlukan bantuan berupa alat peraga. Berbicara dengan bantuan alat peraga diyakini akan
menghasilkan tangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak (Tarigan, 1983:5).

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari penelitian tersebut adalah berikut ini.
a) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar
siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal
ini terlihat dari skor aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi
diterapkan. Siklus I rata-rata skor aktivitas belajar siswa sebesar 13,5 meningkat menjadi 15,81
pada siklus II. Pada siklus I aktivitas belajar siswa masih tergolong cukup aktif. Sementara pada
siklus II aktivitas belajar siswa meningkat dengan kategori aktif.
b) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa
kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini
terbukti dari skor hasil belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan.
Siklus I rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 6,85 meningkat menjadi 7,90 pada siklus II. Dari
siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 15,32%. Ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar
72,7% (belum memenuhi tuntutan kurikulum) meningkat menjadi 90,9% pada siklus II. Pada
siklus II ini ketuntasan belajar klasikal yang dicapai sudah memenuhi tuntutan kurikulum.
c) Respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode
pembelajaran permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara mencapai skor 25.
Angka ini mengindikasikan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap metode pembelajaran
yang diterapkan peneliti.

5.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah berikut
ini.
a) Diharapkan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan model pembelajaran permainan
simulasi sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan
rancangan tindakan yang telah dipaparkan dan dilaksanakan oleh peneliti.
b) Penerapan metode permainan simulasi sudah terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
Diharapkan kepada peneliti lain agar mengadakan penelitian lebih lanjut tentang metode
pembelajaran permainan simulasi bidang atau keterampilan yang lain.
c) Penerapan metode permainan simulasi dalam penelitian ini masih terbatas pada tingkat
sekolah dasar. Diharapkan kepada peneliti lain agar penelitian dilanjutkan pada tingkat yang
lebih tinggi, seperti SMP dan SMA. Merujuk pada pernyataan Kindsvatter bahwa permainan
simulasi cocok diterapkan pada semua tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga pada tingkatan
yang lebih tinggi.
d) Pemanfaatan media dan teman sebaya dalam pembelajaran sudah terbukti mampu
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Diharapkan kepada guru agar memanfaatkan alat
peraga dan teman sebaya dalam proses belajar-mengajar terutama dalam pembelajaran berbicara.
Berbicara dengan bantuan alat peraga akan menghasilkan penangkapan informasi yang baik pada
pihak penyimak. Sementara stimulus yang diberikan oleh teman sebaya dapat membangkitkan
motivasi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A.A.Gede. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja. STKIP Singaraja


Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi
Sastra. Malang. YA3.

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bukian, Putu Ardana. 2004. Metode Pengajaran Berbicara di Kelas VI Sekolah Dasar No.6
Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Skripsi. (Tidak diterabitkan). Singaraja:
IKIP Negeri Singaraja

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK, dan
SLB.

-. 1994a. Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP Kelas I SD. Jakarta: Dirjendikdasmen

Diknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas

-. 2004. Kurikulum 2004, Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas

-. 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD dan MI. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Furqanal. Dkk. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosda Karya.

Goleman, Daniel. 2000. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadiatmadja, Musman. 1982. Analisa Transaksional dalam Proses Belajar Mengajar dalam
Kumpulan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
Hasibuan dan Moedjiono. 1993. Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Karolina, Yoca. 2001. Strategi Guru dalam Mengajarkan Keterampilan Berbicara pada Siswa
SLTP di Singaraja. Skripsi. (Tidak diterbitkan). IKIP N Singaraja.

Kemmis, Stephen dan Rubin Mc. Tanggart. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin
University.

Kindvatter, Richard et.al. 1996. Dynamics of Effective Teaching, Third Edition. New York.
Longman Publisher.

Masud, Lalu. 2005. Penerapan Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran


Keterampilan Berbicara II Suatu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara. (Mahasiswa
Semester II Program Studi PBSID STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004).
Thesis. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.
Parera, J.D. 1996. Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Tindakan. Surabaya: SIC

Slamet. 2003. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) pada Uji Coba di SMU Negeri 4 Denpasar. Thesis. Singaraja. IKIP
Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.

Somantri, Nurdin. 2003. Penerapan Metode Simulasi Tematis untuk Peningkatan Kemampuan
Bahasa Inggris Siswa. http://www.Pendidikan.Com.

Subana, M dan Sunarti tt. Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Subariyati, Ary. 1997. Pemantapan Konsep Prasyarat Setiap Pokok Bahasa dalam Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Kalkulus sebagai Mata Kuliah Program Bersama (Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Matematika). Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Singaraja.
STKIP Singaraja.

Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan (untuk Pendidikan Usia Dini).
Jakarta: Grasindo

Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia

Sukmadewi, I.G.A.N. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Permainan Simulasi pada Pokok
Bahasan Aritmatika Sosial sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar dan Aktivitas Siswa
Kelas IC SLTPN 1 Rendang. Skripsi. (Tidak diterbitkan) Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Suparno, Paul. 2002. Kumpulan Artikel Pendidikan. http://www.Pendidikan.Com

Suryantini, Ni Wayan Sri. 2004. Penggunaan Metode Demonstrasi Langsung untuk


Meningkatkan Kemampuan Membaca Puisi pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.4
Singaraja. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja.

Tarigan. Djago. 1991. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Buku Modul. Jakarta:
Depdikbud.

Tarigan, Hendry Guntur. 1983. Berbicara sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.

Tim BP-7 Pusat. 1985 Petunjuk Pelaksanaan Permainan Simulasi P-4 untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta
Trisuyoto, Imanuel. 2003. Melatih Siswa SD Terampil Berbicara. Fasilitator, Edisi V (hlm. 32-
33).

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA


JAWA KRAMA DENGAN METODE SOSIODRAMA DAN
BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS IIB SMP NEGERI 21
SEMARANG
TAHUN PELAJARAN 2004/2005
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
oleh
Nama : Eko Purnomo
NIM : 2102401015
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
SARI
Purnomo, Eko. 2005. Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Dengan Metode
Sosiodrama dan Bermain Peran Pada Siswa Kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang Tahun
Pelajaran 2004/2005. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Bambang Indiatmoko, M.si.,
Pembimbing II: Drs. Widodo.
Kata kunci: peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama, metode sosiodrama dan
bermain peran
Keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang masih
rendah. Hal ini disebabkan karena latar belakang siswa yang jarang menggunakan bahasa Jawa
krama untuk berkomunikasi, anggapan bahwa bahasa Jawa krama itu sulit, dan malasnya siswa
untuk belajar bahasa Jawa khususnya berbicara bahasa Jawa krama serta kurang tepatnya metode
pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu digunakan
metode yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama. Metode yang dapat
digunakan yaitu metode sosiodarama dan bermain peran.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti melakukan penelitian tindakan kelas dengan
mengangkat masalah: 1) bagaimanakah peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama
siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang setelah dilakukan pembelajaran metode sosiodrama dan
bermain peran?, 2) adakah perubahan perilaku siswa setelah dilakukan pembelajaran berbicara
bahasa Jawa krama dengan metode sosiodrama dan bermain peran? Penelitian ini dilakukan dalam
dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, tindakan,
observasi dan refleksi. Data yang diambil dalam penelitian tindakan kelas ini adalah data tes yang
berupa tes keterampilan berbicara bahasa Jawa krama dan data nontes yang berupa hasil observasi,
jurnal dan wawancara. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode
sosiodrama dan bermain peran keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa berada pada
kategori kurang dengan nilai rata-rata 51,02. Setelah dilakukan tindakan siklus I nilai rata-rata
menjadi 64,20, berarti ada peningkatan sebesar 25,84%. Nilai rata-rata siklus I belum mencapai
target nilai yang telah ditetapkan. Hasil siklus II mencapai nilai rata-rata 75,00, berarti meningkat
16,81 dari siklus I. Dari prasiklus sampai siklus II nilai rata-rata meningkat 46,99%. Peningkatan
nilai rata-rata ini juga disertai peningkatan masing-masing aspek dalam keterampilan berbicara.
Aspek pilihan kata pada prasiklus nilai rata-rata sebesar 50,00 kemudian pada siklus I meningkat
menjadi 62,50 dan pada siklus II meningkat menjadi 67,05. Aspek intonasi prasiklus nilai rata-rata
sebesar 51,14, setelah dilakukan tindakan siklus I menjadi 69,32 dan hasil siklus II menjadi 81,25.
Aspek pelafalan prasiklus sebesar 49,43, siklus I
i
meningkat menjadi 65,34 dan pada siklu II menjadi 76,14. Aspek unggah-ungguh prasiklus
51,14, siklus I meningkat menjadi 60,23, pada siklu II menjadi 73,30. Aspek kelancaran pada
prasiklus sebesar 53,41 kemudian meningkat menjadi 63,64 pada siklus I, pada siklus II menjadi
77,27. Setelah mengikuti pembelajaran berbicara bahasa Jawa krama dengan metode sosiodrama dan
bermain peran, siswa selain mengalami peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama yang
ditunjukkan dari nilai tes, juga mengalami perubahan perilaku. Siswa yang semula sering
menunjukkan perilaku negatif berubah menjadi perilaku positif.
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu 1) metode sosiodrama dan
bermain peran dapat dijadikan alternatif metode dalam pembelajaran keterampilan berbicara bahasa
Jawa krama, 2) para peneliti di bidang pendidikan dan bahasa dapat melekukan penelitian serupa
dengan metode pembelajaran yang berbeda sehingga didapatkan berbagai alternatif metode
pembelajaran berbicara bahasa Jawa krama.
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi.
Semarang, Agustus 2005
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Bambang Indiatmoko, M.Si. Drs. Widodo
NIP 131687181 NIP 132084944
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 30 Agustus 2005
Eko Purnomo
iv
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
pada hari : Senin
tanggal : 29 Agustus 2005
Panitia Ujian Skripsi
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. Rustono Drs. Mukh Doyin, M.Si.
NIP 131281222 NIP 132106367
Penguji I, Penguji II, Penguji III,
Drs. Agus Yuwono, M.Si. Drs. Widodo Drs. Bambang I., M.Si.
NIP 132049997 NIP 132084944 NIP 131687181
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Kerjakanlah apa yang bisa kau lakukan hari ini, semangat, doa dan
selalu bersyukur adalah kunci yang akan mengantarmu menuju
gerbang kebahagiaan yang kau impikan (Eko Purnomo)
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri
Handayani (Ki Hajar Dewantara)
Kita tidak pernah diberi impian tanpa ada kemampuan untuk
mewujudkannya (Richard Bach)
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memanjatkan doa
dan mencurahkan kasih sayang yang tulus kepada penulis.
Adik tersayang, Hesti dan Titik atas segala doa dan dorongan
semangat yang telah diberikan
Embah yang senantiasa memanjatkan doa dan belaian kasih
sayangnya.
Asri NR, yang telah memberikan semangat dan sesuatu yang
berbeda dalam hidupku.
Teman-teman PBSJ angkatan 2001 dan Pendawa Lima.
Guru-guruku atas bekal ilmu pengetahuan yang diberikan.
Almaterku tercinta

vi
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara
Bahasa Jawa Krama dengan Metode Sosiodrama dan Bermain Peran pada Siswa Kelas IIB SMP
Negeri 21 Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005. Penulisan skripsi ini sebagai upaya menemukan
metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa berbicara bahasa Jawa
krama.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
masukan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan dengan tulus dan penuh kesabaran oleh Drs.
Bambang Indiatmoko, M. Si., Dosen Pembimbing I dan Drs. Widodo, Dosen Pembimbing II, selama
penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. H.A.T. Soegito, S.H., M.M., Rektor Universitas Negeri Semarang
2. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.
3. Drs. Mukh Doyin, M.Si., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan segala
kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis.

vii
5. Drs. Sunaryo Prodjo, M. Pd., Kepala SMP Negeri 21 Semarang atas izin yang diberikan untuk
melakukan penelitian di SMP Negeri 21 Semarang.
6. Ibu Hj. Muljani, guru mata pelajaran Bahasa Jawa SMP Negeri 21 Semarang yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan kepada penulis.
7. Teman-teman PBSJ angkatan 2001 beserta Pandawa Lima, Kos B2, Wahyul, Prodata, dan
Khasanah Comp., atas segala bantuan dan motivasi yang diberikan.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
terselesaikannya skripsi ini.
Semoga segala bantuan, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada saya
menjadi amal yang dapat diterima dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T. Penulis
juga berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis

viii
DAFTAR ISI
SARI.................................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................... iv
PERNYATAAN.................................................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................... vi
PRAKATA.......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI....................................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR GRAFIK............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
1.3 Pembatasan Masalah .............................................................................. 8
1.4 Rumusan Masalah .................................................................................. 8
1.5 Tujuan Penelitian.................................................................................... 9
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS......................... 11


2.1Kajian Pustaka........................................................................................ 11
2.2Landasan Teoretis................................................................................... 15
2.2.1 Keterampilan Berbicara................................................................. 15
2.2.2 Ragam Bahasa Jawa...................................................................... 19
2.2.3 Metode Sosiodrama dan Bermain Peran....................................... 21

ix
2.2.4 Pembelajaran Berbicara Bahasa Jawa Krama dengan Metode Sosiodrama dan Bermain
Peran.................................................... 25
2.3Kerangka Berpikir.................................................................................. 26
2.4Hipotesis Tindakan................................................................................. 28

BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 29


3.1 Desain Penelitian.................................................................................... 29
3.1.1 Prosedur Tindakan Pada Siklus I................................................... 30
3.1.2 Prosedur Tindakan Pada Siklus II................................................. 32
3.2 Subjek Penelitian.................................................................................... 33
3.3 Variabel Penelitian.................................................................................. 34
3.4 Instrumen Penelitian............................................................................... 35
3.4.1 Instrumen Tes ............................................................................... 35
3.4.2 Instrumen Nontes .......................................................................... 38
3.5 Teknik Pengumpulan Data...................................................................... 39
3.5.1 Teknik Tes..................................................................................... 39
3.5.2 Teknik Nontes................................................................................ 39
3.6 Teknik Analisis Data.............................................................................. 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................... 43
4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................... 43
4.1.1 Kondisi Awal................................................................................. 43
4.1.2 Hasil Siklus I ................................................................................ 51
4.1.2.1 Hasil Tes .......................................................................... 52
4.1.2.1.1 Aspek Pilihan Kata............................................ 53
4.1.2.1.2 Aspek Intonasi................................................... 54
4.1.2.1.3 Aspek Pelafalan................................................. 55

x
4.1.2.1.4 Aspek Unggah-ungguh...................................... 56
4.1.2.1.5 Aspek Kelancaran.............................................. 58
4.1.2.2 Hasil Nontes...................................................................... 59
4.1.2.2.1 Observasi........................................................... 59
4.1.2.2.2 Jurnal.................................................................. 61
4.1.2.2.3 Wawancara......................................................... 62
4.1.3 Hasil Siklus II................................................................................ 65
4.1.3.1 Hasi Tes............................................................................ 65
4.1.3.1.1 Aspek Pilihan Kata............................................ 66
4.1.3.1.2 Aspek Intonasi................................................... 67
4.1.3.1.3 Aspek Pelafalan................................................. 69
4.1.3.1.4 Aspek Unggah-ungguh...................................... 70
4.1.3.1.5 Aspek Kelancaran.............................................. 71
4.1.3.2 Hasil Nontes...................................................................... 72
4.1.3.2.1 Observasi........................................................... 72
4.1.3.2.2 Jurnal.................................................................. 74
4.1.3.2.3 Wawancara......................................................... 75
4.2 Pembahasan............................................................................................ 77
4.2.1 Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siswa Kelas IIB SMP Negeri
21 Semarang Tahun Pelajaran
2004/2005 ....................................................................................................... 77
4.2.2 Perubahan Perilaku Siswa Kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang setelah Mengikuti
Pembelajaran Berbicara Bahasa Jawa Krama dengan Metode Sosiodrama dan Bermain
Peran.......................... 82

xi
BAB V PENUTUP.............................................................................................. 85
5.1 Simpulan................................................................................................. 85
5.2 Saran....................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 90
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Skema Kerangka Berpikir.......................................................................28
Bagan 2 Desain Penelitian....................................................................................29
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pedoman Skor Penilaian........................................................................36
Tabel 2 Kategori Penilaian Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama........38
Tabel 3 Hasil Tes Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus.......44
Tabel 4 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Pilihan Kata................................................................................45
Tabel 5 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Intonasi.......................................................................................46
Tabel 6 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Pelafalan.....................................................................................48
Tabel 7 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Unggah-ungguh .........................................................................49
Tabel 8 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Kelancaran..................................................................................50
Tabel 9 Hasil Tes Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I..........52
Tabel 10 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Pilihan Kata................................................................................53
Tabel 11 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Intonasi.......................................................................................54
Tabel 12 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Pelafalan.....................................................................................55
Tabel 13 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Unggah-ungguh..........................................................................57
Tabel 14 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Kelancaran..................................................................................58
Tabel 15 Hasil Tes Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II........65
Tabel 16 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Pilihan Kata................................................................................66
Tabel 17 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Intonasi.......................................................................................68
Tabel 18 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Pelafalan.....................................................................................69
Tabel 19 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Unggah-ungguh..........................................................................70
Tabel 20 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Kelancaran..................................................................................71
Tabel 21 Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama..................79
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus....................44
Grafik 2 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Pilihan Kata.............................................................................46
Grafik 3 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Intonasi....................................................................................47
Grafik 4 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Pelafalan..................................................................................48
Grafik 5 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Unggah-ungguh ......................................................................50
Grafik 6 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Prasiklus
Aspek Kelancaran...............................................................................51
Grafik 7 Hasil Tes Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I......52
Grafik 8 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Pilihan Kata.............................................................................54
Grafik 9 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Intonasi....................................................................................55
Grafik 10 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Pelafalan..................................................................................56
Grafik 11 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Unggah-ungguh.......................................................................57
Grafik 12 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus I
Aspek Kelancaran...............................................................................58
Grafik 13 Hasil Tes Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II.....66
Grafik 14 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Pilihan Kata.............................................................................67
Grafik 15 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Intonasi....................................................................................68
Grafik 16 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Pelafalan..................................................................................69
Grafik 17 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Unggah-ungguh.......................................................................70
Grafik 18 Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Siklus II
Aspek Kelancaran...............................................................................71
Grafik 19 Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama...............82
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana Pembelajaran Siklus I................................................. 90
Lampiran 2 Rencana Pembelajaran Siklus II................................................ 94
Lampiran 3 Daftar Responden...................................................................... 98
Lampiran 4 Soal Tes..................................................................................... 99
Lampiran 5 Contoh teks dialog..................................................................... 100
Lampiran 6 Pedoman Observasi................................................................... 101
Lampiran 7 Lembar Jurnal............................................................................ 104
Lampiran 8 Pedoman Wawancara................................................................ 105
Lampiran 9 Hasil Tes Prasiklus....................................................................106
Lampiran 10 Hasil Tes Siklus I......................................................................107
Lampiran 11 Hasil Tes Siklus II.....................................................................108
Lampiran 12 Hasil Observasi Siklus I............................................................109
Lampiran 13 Hasil Observasi Siklus II........................................................... 110
Lampiran 14 Hasil Jurnal Siklus I..................................................................111
Lampiran 15 Hasil Jurnal Siklus II.................................................................113
Lampiran 16 Hasil Wawancara Siklus I.........................................................115
Lampiran 17 Hasil Wawancara Siklus II........................................................118
Lampiran 18 Hasil Pekerjaan Siswa Siklus I.................................................. 121
Lampiran 19 Hasil Pekerjaan Siswa Siklus II................................................ 124
Lampiran 20 Foto Pelaksanaan Penelitian......................................................127
Lampiran 21 Surat Izin Penelitian dari Fakultas............................................ 130
Lampiran 22 Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan.............................. 131
Lampiran 23 Surat Keterangan Selesai Penelitian.......................................... 132
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan bahasa daerah merupakan salah satu kebanggan Bangsa Indonesia yang
menunjukkan keanekaragaman budayanya. Bahasa Jawa merupakan salah satu dari sekian banyak
bahasa daerah di Indonesia yang keberadaannya ikut mewarnai keragaman budaya bangsa Indonesia.
Sebagai orang Jawa yang lahir dan besar di Jawa, sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan
bahasa Jawa. Menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan sesama pengguna bahasa
Jawa adalah salah satu cara untuk melestarikan bahasa Jawa. Akan tetapi, ironisnya sekarang ini
pengguna sekaligus pemilik bahasa Jawa sudah enggan menggunakannya, bahkan sudah ada yang
mulai meninggalkannya.
Belakangan ini bahasa Jawa sudah mengalami kemunduran secara fungsional, hal ini
disebabkan oleh terus menyempitnya pemahaman terhadap jagat kata bahasa Jawa. Selain itu
pengajaran bahasa terancam bubar karena tidak ada petunjuk pelaksanaannya, adanya kecemburuan
bahkan rasa isin dikalangan generasi tua terhadap upaya pembaharuan kreatif pemanfaatan kosakata
bahasa Jawa secara maksimal oleh generasi muda juga menjadi salah satu penyebab kemunduran
fungsional bahasa Jawa. Satu penyebab lagi yaitu terdesaknya bahasa Jawa oleh rekayasa
nasionalisma bahwa kita harus mewadah dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
(Mardianto, 1993: 4). Semua itu jelas terlihat pada kenyataan sekarang, di mana anak-anak

12
sekarang yang akan menjadi generasi penerus yang peduli dan diharapkan akan menjaga
bahasa Jawa agar tetap lestari lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi.
Faktor yang paling dominan dari hal tersebut adalah kurangnya pendidikan berbahasa Jawa
dengan baik di lingkungan keluarga. Orang tua tidak memperhatikan bahwa kurangnya pendidikan
dalam keluarga akan mengakibatkan anak-anak tidak dapat menggunakan bahasa Jawa dengan benar,
yang akhirnya kaum muda jika berkomunikasi dengan orang tua menggunakan bahasa Indonesia atau
dengan bahasa Jawa yang sudah rusak (Widada 1993: 37). Faktor lain adalah lingkungan.
Lingkungan yang kurang mendukung mereka untuk selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama
dalam mereka berkomunikasi. Yang kedua secara tidak kita sadari tingkat mobilitas penduduk yang
semakin tinggi juga berpengaruh. Berpindahnya orang-orang kota ke wilayah pedesaan serta banyak
dibangunnya perumahan di dekat atau di daerah pedesaan sehingga banyak pendatang yang latar
belakangnya bukan orang Jawa juga berpengaruh terhadap menurunnya intensitas pemakaian bahasa
Jawa. Pergaulan kita dengan orang yang tidak bisa berbahasa Jawa mau tidak mau memaksa kita
untuk menyesuaikan dengan mereka dalam kita berkomunikasi.
Pada kenyataannya memang sebagian masih ada yang berkomunikasi menggunakan bahasa
Jawa dalam keseharian mereka, tetapi bahasa Jawa yang digunakan hanya bahasa Jawa ragam ngoko.
Ragam krama yang dalam pemakaiannya dapat secara langsung sebagai sarana menghormati lawan
3
bicara kita, tinggal sedikit yang menggunakan. Kenyatan yang banyak terjadi sekarang
adalah orang Jawa yang menggunakan bahasa Jawa khususnya bahasa Jawa ragam krama hanya
orang-orang di pedesaan, sedangkan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota sudah jarang
menggunakan bahasa Jawa, bahkan tidak sedikit yang tidak bisa berbahasa Jawa ragam krama.
Sikap kurang positif terhadap bahasa Jawa yang melanda orang tua terutama dari golongan
modern sudah sering kita jumpai.Biasanya mereka lebih menomersatukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa dalam keluarga, yang secara otomatis menganaktirikan bahasa Jawa yang justru merupakan
bahasa ibu (Widada 1993: 37).
Saat ini mata pelajaran bahasa Jawa masih menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib di
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
Jawa Timur. Berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah No. 271 a/103/ I/1994 tanggal 13 juni 1994, untuk tahun ajaran
2005/ 2006 Bahasa Jawa menjadi muatan lokal untuk SMA se-Jawa Tengah. Keberadaan mata
pelajaran bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal yang dalam Ujian Akhir Nasional tidak
diujikan memang kurang mendapat perhatian yang besar dari siswa. Dalam proses
pembelajarannyapun hanya sebagian kecil siswa yang mau memperhatikan dengan sungguh-
sungguh. Di samping itu, dalam lingkungan keluarga dan dalam pergaulan siswa tidak terbiasa
menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Di rumah siswa juga terbiasa berkomunikasi menggunakan
bahasa
4
Jawa ngoko atau bahasa Indonesia. Faktor-faktor tersebut itulah yang mempengaruhi
kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa khususnya bahasa Jawa ragam krama. Berdasarkan hasil
pengamatan penulis, kondisi seperti ini juga terjadi pada sebagian besar siswa di SMP Negeri 21
Semarang.
Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sudah mulai dilaksanakan di beberapa
kota di Indonesia. Kurikulum ini tentu saja berlaku untuk semua mata pelajaran termasuk mata
pelajaran bahasa Jawa. Kurikulum 2004 (KBK) menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) yang dimiliki oleh masing-masing siswa dengan standar performansi atau
penampilan tertentu sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan dalam Garis-garis Besar
Pedoman Pengajaran (GBPP). Selanjutnya kemampuan dan penampilan akan menghasilkan hasil-
hasil yang dapat dirasakan oleh siswa berupa penguasaan.
Pelaksanaan kurikulum 2004 (KBK) mata pelajaran bahasa Jawa berbeda dengan
pelaksanaan Kurikulum 1994. Dalam kurikulum 2004 (KBK), guru hanya sebagai fasilitator dan
motivator bagi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Untuk itu guru harus pandai memilih
metode pembelajaran yang tepat dan dapat merangsang keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
Mata pelajaran bahasa Jawa kurikulum 2004 lebih menekankan pada penguasaan empat keterampilan
berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Siswa tidak lagi
menghafalkan teori-teori yang diberikan oleh guru melalui ceramah, tetapi siswa dituntut untuk bisa
menerapkan dan mengaitkannya dengan kehidupan
5
nyata. Jadi dari pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, diharapkan siswa mencapai
kompetensi-kompetensi tertentu dan mampu memanfaatkannya dalam kehidupan mereka. Dan yang
paling utama adalah siswa mampu berbahasa Jawa dengan baik dan benar sesuai dengan konteksnya.
Begitu juga dengan pelajaran sastra, siswa tidak hanya menghafalkan teori sastra atau hasil-
hasil sastra Jawa saja, tetapi harus mampu menyimak, berbicara, membaca dan menulis karya sastra,
serta mengerti dan dapat mengambil manfaat dari isi serta pesan dalam karya sastra Jawa.
Keempat keterampilan tersebut memang saling berkaitan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari
orang lebih sering menggunakan keterampilan berbicara dan mendengarkan atau menyimak daripada
membaca dan menulis. Kemampuan berbicara khususnya bahasa Jawa ragam krama saat ini
sangatlah kurang, ini terlihat dari intensitas pemakaiannya yang mulai berkurang. Bahasa Jawa
krama lebih jarang digunakan daripada bahasa Jawa ngoko karena bahasa Jawa krama dianggap lebih
sulit. Hal lain yang menyebabkan bahasa Jawa krama jarang digunakan adalah anggapan bahwa
dengan menggunakan Bahasa Jawa krama akan membuat jarak atau mengurangi keakraban
seseorang dan akan memisah-misahkan orang secara status sosial. Padahal anggapan itu tidaklah
benar, bahasa Jawa krama digunakan sebagai pengungkapan rasa hormat kepada seseorang yang
dihormatinya. Oleh karena itu, keterampilan berbicara khususnya bahasa Jawa krama sangatlah
penting untuk ditingkatkan. Melihat kenyataan bahwa bahasa Jawa krama sudah jarang digunakan
untuk berkomunikasi, penulis
6
sebagai seorang calon guru berusaha untuk mencari cara untuk meningkatkan keterampilan
berbicara bahasa Jawa krama, khususnya bagi siswa di SMP Negeri 21 Semarang.
Untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama, guru tidak mungkin
memberikan teori dengan berceramah kepada siswa. Akan tetapi siswa harus mengalami sendiri
menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk membiasakan diri bukan menghafal. Oleh sebab itu
penulis mencoba untuk menggunakan metode sosiodrama dan bermain peran dalam meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Jawa krama khususnya bagi siswa kelas IIB SMP Negeri 21
Semarang.
Salah satu keunggulan metode sosiodrama dan bermain peran antara lain, dengan metode ini
siswa dapat merasakan berbagai macam peristiwa secara langsung, karena kadang-kadang banyak
peristiwa psikologis atau sosial yang sukar bila dijelaskan dengan kata-kata belaka. Maka perlu
didramatiskan, atau siswa dipartisipasikan untuk berperan dalam peristiwa psikologis atau sosial
tersebut. Dengan metode ini siswa secara langsung menggunakan bahasa Jawa krama untuk
berkomunikasi, meskipun hanya dalam sebuah peran tertentu. Jika membelajarkan berbicara bahasa
Jawa krama tidak melalui praktek langsung, siswa akan mengalami kesulitan dalam berbicara bahasa
Jawa krama.
Berdasarkan pertimbangan dan kenyataan di lapangan mengenai betapa rendahnya
keterampilan siswa dalam berbicara bahasa Jawa krama serta metode sosiodrama dan bermain peran
yang diharapkan dapat
7
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama, maka penulis menentukan
penelitian ini dengan judul Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Krama Dengan
Metode Sosiodrama dan Bermain Peran Pada Siswa Kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang Tahun
Pelajaran 2004/2005.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat peneliti kemukakan bahwa berbicara
sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Ini kaitannya dengan komunikasi antara manusia
dengan manusia lain. Manusia sudah dikodratkan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan
sesama. Dalam berkomunikasi manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Sebagai orang Jawa yang memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa daerah di samping bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, sudah sewajarnya kita berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
dengan sesama orang Jawa. Hal ini sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa Jawa di era
globalisasi yang lebih mengutamakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional.
Mengingat fungsi bahasa khususnya bahasa Jawa sebagai alat komunikasi, maka pemakai bahasa
tersebut harus benar-benar menguasainya. Ironisnya saat ini bahasa Jawa sudah mulai dilupakan,
bahkan oleh pemiliknya sendiri yaitu orang Jawa.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, siswa-siswa di SMP Negeri 21 Semarang memiliki
kemampuan berbicara bahasa Jawa krama sangat rendah. Rendahnya kemampuan siswa berbahasa
Jawa krama khususnya keterampilan berbicara disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama dari 8
siswa itu sendiri yang terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa
ngoko dalam pergaulan sehari-hari. Di samping itu siswa kurang memberikan perhatian yang cukup
terhadap mata pelajaran bahasa Jawa karena keberadaannya yang hanya sebagai mata pelajaran
muatan lokal. Faktor yang kedua adalah guru dalam menyajikan pelajaran kurang menarik dan
kurang melibatkan siswa untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa krama. Metode yang
digunakan oleh guru juga kurang efektif. Lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan menjadi
faktor ketiga yang mempengaruhi kemampuan siswa berbahasa Jawa krama.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah dalam skripsi ini dibatasi pada upaya peningkatan keterampilan berbicara bahasa
Jawa krama alus siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang dengan menggunakan metode
sosiodrama dan bermain peran.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. bagaimanakah peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa kelas IIB SMP
Negeri 21 Semarang setelah dilakukan pembelajaran metode sosiodrama dan bermain peran?
b. adakah perubahan perilaku siswa setelah dilakukan pembelajaran berbicara bahasa Jawa
krama dengan metode sosiodrama dan bermain peran?
9
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui bagaimanakah peningkatan keterampilan siswa setelah dilakukan
pembelajaran berbicara bahasa Jawa krama dengan menggunakan metode sosiodrama
dan bermain peran.
b. untuk mengetahui perubahan perilaku siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang setelah
dilakukan pembelajaran berbicara bahasa Jawa krama dengan menggunakan metode
sosiodrama dan bermain peran.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mendatangkan hasil yang dapat memberikan manfaat praktis
dan teoretis.
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis untuk
kepentingan guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Hasil penelitian ini dapat
dijadikan bahan masukan dalam proses pembelajaran dan memberikan alternatif metode
yang tepat untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa. Selain
memberikan manfaat bagi guru, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi
siswa. Dalam penelitian ini siswalah yang mengalami proses, jadi
10
diharapkan kemampuan berbicara bahasa Jawa krama siswa dapat mengalami
peningkatan.
2. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat menambah khasanah penelitian di
bidang pendidikan dan memberikan sumbangan teori untuk mengembangkan teori dalam
meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa krama pada khususnya dan untuk
mengembangkan teori pembelajaran bahasa pada umumnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka
Kenyataan bahwa keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa masih rendah sampai
saat ini memang dirasakan. Hal inilah yang membuat banyak peneliti mengangkat topik ini.
Meskipun telah banyak penelitian tentang upaya peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa
krama, akan tetapi penelitian-penelitian tersebut belum semuanya sempurna. Untuk itu penelitian
tindakan kelas tentang keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama cukup luas dan masih
banyak bidang yang harus diteliti untuk menyempurnakan penelitian terdahulu.
Dalam kaitannya dengan penerapan metode pembelajaran bahasa Jawa ragam krama,
Listyowati telah melaksanakan penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa
Jawa Ragam Krama Melalui Teknik Bercerita Pengalaman Sehari-hari Pada Siswa Kelas I SLTP
Negeri 1 Cilongok Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 1998/ 1999. yang diterbitkan oleh
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Semarang tahun 1999. Dari penelitian tersebut ditemukan
hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kemampuan berbicara ragam krama melalui teknik
bercerita pengalaman sehari-hari pada siswa kelas II SLTP Negeri I Cilongok Kabupaten Banyumas
tahun pelajaran 1998/1999. Hasil dari laporan penelitian Listyowati, mempunyai keunggulan dalam
hal membicarakan siswa berkomunikasi dengan bahasa terget, yaitu bahasa Jawa ragam krama
dengan pemantauan yang
11 12
seksama. Adapun kelemahannya adalah lingkup bahasa yang digunakan terbatas pada
bercerita pengalaman sehari-hari.
Sumiarsih (1999) melakukan penelitian dengan judul Peningkatan Kemampuan Berbicara
Bahasa Jawa Ragam Krama Melalui Metode Berdialog Pada Siswa Kelas II SLTP 1 Kembaran
Kabupaten Banyumas. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan
berbicara bahasa Jawa ragam krama yang dibuktikan pada siswa kelas II SLTP Negeri 1 Kembaran
Kabupaten Banyumas setelah siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode berdialog.
Romlah (1999) melakukan penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Berbicara
Ragam Krama Melalui Teknik Melanjutkan Cerita Pada Siswa kelas II SLTP Negeri 1 Ajibarang
Tahun Pelajaran 1998/1999. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keterampilan
berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa mengalami peningkatan setelah diterapkan metode
melanjutkan cerita dalam pembelajarannya.
Penelitian dengan topik yang sama dilakukan oleh Waluyo (1999). Penelitiannya diberi judul
Peningkatan Kemampuan Berbicara dalam Bahasa Jawa Krama Melalui Metode Reka Cerita
Gambar Pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Kaligondang Purbalingga Tahun Pelajaran 1998/1999.
Penelitian ini mengkaji tentang peningkatan kemampuan berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa.
Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa dengan metode reka cerita gambar dapat meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa. 13
Pudyahyuningsri (2002) melakukan penelitian dengan judul Meningkatkan Kemampuan
Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama Melalui Metode Demonstrasi Pada Siswa
Kelas IIC SLTP 23 Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Pudyahyuningsri ini mempunyai
kelebihan, diantaranya dengan metode demonstrasi siswa secara langsung mempraktikkan berbicara
bahasa Jawa krama. Kekurangan yang ada dalam penelitian ini adalah, siswa kurang berlatih dalam
mencari kosa kata yang diterapkan dalam percakapan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan
metode demonstrasi kemampuan berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa mengalami peningkatan.
Suharni (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Meningkatkan Keterampilan Berbicara
Melalui Pengajaran Remidial Dengan Media Audio Bagi Siswa Kelas IIF Catur Wulan 2 SLTP
Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2001/2002, menyimpulkan bahwa dengan metode ini minat
belajar siswa menjadi lebih tinggi sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan keterampilan
berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa. Penelitian ini mempunyai kekurangan, diantaranya, siswa
cenderung hanya tahu dan menghapalkan sebatas kosa kata yang diperdengarkan. Mereka tidak
belajar mencari sendiri mana kosa kata yang tepat digunakan dalam suatu konteks pembicaraan, dan
dengan siapa mereka berbicara.
Ismail (2002) juga melakukan penelitian dengan topik yang sama, penelitiannya diberi judul
Meningkatkan Kemampuan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama Melalui Teknik
Menghafal Kosa Kata Pada Siswa Kelas IIA Bulu Temanggung. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa 14
dengan metode ini kemampuan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama meningkat.
Kelemahan dari penelitian ini adalah siswa hanya menghafalkan kosa kata, mereka tidak langsung
menggunakan kata-kata berbahasa Jawa krama tersebut dalam tuturan yang berakibat siswa mudah
lupa.
Antoro (2003) melakukan penelitian berjudul Peningkatan Kemampuan Berbicara Ragam
Krama Melalui Permainan Simulasi P4 pada Siswa Kelas IIIA SLTP Negeri 2 Pekuncen Tahun
Pelajaran 2002/2003. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan
berbicara bahasa Jawa ragam krama dan etos belajar yang signifikan pada siswa kelas IIIA SLTP
Negeri Pekuncen. Setelah siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar melalui permainan simulasi.
Penelitian yang sejalan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian
yang dilakukan oleh Rodiyati (2003) dengan judul Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa
Jawa Ragam Krama Melalui Metode Bermain Peran Pada Siswa Kelas IIB SLTP Negeri Kali Bagor
Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2002/2003. Dalam penelitian ini, kemampuan berbicara
bahasa Jawa ragam krama siswa memang sudah meningkat tetapi belum maksimal. Oleh karena
itulah peneliti mencoba meneliti kembali mengenai topik yang sama dengan harapan hasil yang
dicapai lebih meningkat. Kekurangan penelitian menggunakan metode ini adalah, siswa hanya
mempraktekkan dan membacakan sebuah naskah drama berbahasa Jawa krama, mereka tidak
berlatih mencari kosa kata sendiri, sehingga mereka hanya tahu kosa kata yang mereka perankan. 15
Penelitian-penelitian di atas bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa
Jawa krama dengan metode yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ternyata
metode-metode yang digunakan mampu meningkatkan kemampuan siswa berbicara bahasa Jawa
krama, tetapi masih ada celah atau kekurangan dari penelitian-penelitian tersebut. Untuk itu dalam
penelitian kali ini penulis mencoba menggunakan metode sosiodrama dan bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama. Kedudukan penelitian ini sebagai
pelengkap dan penyempurna penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
2.2 Landasan Teoretis
Dalam landasan teori ini akan dipaparkan teori-teori tentang keterampilan berbicara, ragam
bahasa Jawa, metode sosiodrama dan bermain peran, serta pembelajaran bahasa Jawa dengan metode
sosiodrama dan bermain peran.
2.2.1 Keterampilan Berbicara
Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita
kita lebih sering memilih berbicara untuk berkomunikasi. Karena komunikasi lebih efektif jika
dilakukan dengan berbicara. Jadi berbicara memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa ahli bahasa telah mendefinisikan pengertian berbicara, di antaranya adalah Tarigan
(1986:3-4) yang mengumukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau 16
kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran,
gagasan dan perasaan orang tersebut. Berbicara merupakan sistem tanda-tanda yang audible (dapat
didengar) dan visible (dapat dilihat) dengan memanfaatkan otot dan jaringan tubuh manusia untuk
menyampaikan maksud dan tujuan, gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Lebih jauh lagi
berbicara memiliki pengertian bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik,
psikologi, neurologis, semantik dan linguistik sedemikian ekstensif, sehingga dapat dianggap sebagai
alat menusia yang paling penting terutama bagi kontrol sosial. Jadi, berbicara bukan sekedar
pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata tetapi berbicara merupakan suatu alat untuk
mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun sesuai dengan kebutuhan pendengar (Tarigan,
1986:15).
Dengan berbicara seseorang berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada
orang lain secara lisan. Tanpa usaha untuk mengungkapkan dirinya, orang lain tidak akan mengetahui
apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Tanpa berbicara, seseorang akan mengucilkan diri sendiri, dan
akan terkucilkan dari orang di sekitarnya. Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang aktif dari
seorang pemakai bahasa, yang menuntut prakarsa nyata dalam penggunaan bahasa untuk
mengungkapkan diri secara lisan. Dalam pengertian itu berbicara merupakan bagian dari kemampuan
berbahasa yang aktif produktif (Djiwandono, 1996:68).
Pengertian lain dikemukakan oleh Tarigan, dkk. (1997:13) bahwa berbicara adalah
keterampilan menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa lisan kepada orang lain. Pesan yang
disampaikan tidak dalam wujud 17
asli tetapi dalam bentuk bunyi bahasa. Melalui bunyi bahasa tersebut, pembicara atau penutur
ingin menyampaikan suatu pesan kepada mitra tutur atau lawan bicaranya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:144) berbicara adalah berkata; bercakap;
berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dan sebagainya) atau berunding.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa
berbicara adalah suatu keterampilan mengujarkan bunyi-bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan
berupa ide, gagasan, maksud atau perasaan kepada orang lain.
Keterampilan berbicara tidak dapat dipisahkan dengan keterampilan lain, yaitu menyimak,
membaca dan menulis. Dalam berbicara kita memanfaatkan kosa kata untuk menyampaikan maksud
yang kita inginkan. Penguasaan kosa kata dapat diperoleh dari kegiatan menyimak dan membaca.
Seseorang yang mempunyai keterampilan menyimak dan membacanya baik, secara langsung akan
memiliki perbendaharaan kosa kata yang banyak dan beragam. Hal ini akan sangat mempengaruhi
keterampilan berbicara.
Kegiatan berbicara memiliki tujuan utama untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan
pikiran secara efektif, berbicara harus memahami makna sesuatu hal yang akan dikomunikasikan.
Dia juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengar, dan harus
mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun
perorangan (Tarigan, 1986:15). 18
Menurut Tarigan, dkk (1998:48) tujuan orang berbicara adalah untuk (1) menghibur, (2)
menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) menggerakkan pendengarnya.
Berbicara yang bertujuan menghibur biasa dilakukan oleh pelawak. Pembicara berusaha
bermain kata-kata untuk menciptakan suasana yang santai, penuh canda dan menyenangkan. Tidak
semua orang terampil berbicara yang dapat menghibur orang yang diajak berbicara atau yang
mendengarkan pembicaraannya.
Tujuan lain dari aktivitas berbicara adalah untuk menyampaikan informasi. Orang akan lebih
mudah menyampaikan atau menerima informasi secara lisan. Pembicara dengan tujuan
menginformasikan sering dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjelaskan suatu
proses, menguraikan, menafsirkan atau menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan dan
menanamkan pengetahuan dan menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antar benda, hal atau peristiwa.
Seorang guru sering berbicara kepada muridnya untuk membangkitkan semangat belajar,
gairah mengerjakan tugas rumah. Guru berbicara sebagai upaya membangkitkan inspirasi, kemauan
dan minat siswa. Berbicara semacam ini memiliki tujuan untuk menstimulasi pendengarnya.
Seseorang berbicara juga ada yang bertujuan meyakinkan atau mengubah sikap
pendengarnya. Berbicara dengan tujuan seperti ini membutuhkan keterampilan tersendiri, karena jika
pembicara cukup terampil akan dapat mengubah suatu penolakan menjadi penerimaan, tidak setuju
19
menjadi setuju, permusuhan menjadi persahabatan, dan akan dapat meyakinkan
pendengarnya.
Satu lagi tujuan orang berbicara yaitu untuk menggerakkan pendengarnya. Menggerakkan
dimaksudkan sebagai upaya untuk membuat atau menggerakkan orang agar berbuat, bertindak atau
beraksi seperti yang diinginkan pembicara. Untuk dapat menggerakkan masa, diperlukan pembicara
yang berwibawa. Melalui kepiawaian berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, dan penguasaan
terhadap ilmu jiwa, maka seseorang dapat dengan mudah menggerakkan pendengarnya untuk
melakukan sesuatu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbicara sangat berperan dalam kehidupan
sehari-hari. Manusia dalam berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosialnya lebih sering
menggunakan bahasa lisan dibandingkan dengan komunikasi tulis, yaitu dengan berbicara.
Komunikasi lisan (berbicara) lebih mudah dan sering dipraktekkan dalam kehidupan manusia sehari-
hari.
2.2.2 Ragam Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang kaya, mengapa dikatakan demikian? Karena bahasa
Jawa memiliki berbagai ragam bahasa. Sudaryanto (dalam Sasangka 2004:16) mengemukakan bahwa
tingkat tutur bahasa Jawa ada empat, yaitu 1) ngoko, 2) ngoko alus, 3) krama, dan 4) krama alus.
Kajian yang tidak kalah menarik adalah yang dilakukan oleh Ekowardono dkk.(1993).
Ekowardono mengelompokkan unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi dua jenis, yaitu ngoko dan
krama. Jika unggah-ungguh ngoko ditambahkan dengan kata krama inggil, ungggah-ungguh tersebut
akan 20
berubah manjadi ngoko alus. Jika unggah-ungguh krama ditambahkan dengan kata krama
inggil, unggah-ungguh tersebut menjadi krama alus. Tanpa adanya pemunculan krama inggil dalam
tingkat tutur bahasa Jawa, unggah-ungguh itu hanya berupa ngoko lugu atau krama lugu (1993:5).
Dilihat sekilas tampaknya ada kesamaan antara pendapat yang dikemukakan oleh Sudaryanto dan
Ekowardono.
Widyatmanta (1993:29) mengemukakan bahwa bahasa Jawa terkenal dengan tingkat tutur
bahasanya, yang disebut unggah-ungguh atau tata prunggu, yang berjumlah 13 atau 14 tingkatan.
Harus diakui bahwa tingkatan sebanyak itu menjadi tidak praktis, untuk itu harus ada
penyederhanaan tingkat tutur agar mudah untuk dipelajari. Menurut Widyatmanta (1993:29) tingkat
tutur yang mungkin untuk dihilangkan adalah, bahasa keraton, krama desa, bahasa kasar, dan krama
inggil lengkap. Secara garis besar ragam yang dipakai menurut Widyatmanta ada dua yaitu ngoko
dan krama.
Pendapat lain dikemukakan oleh Nardiati (1993:93) bahwa ragam bahasa Jawa ada empat
macam, yaitu krama hormat, krama lugu, ngoko hormat, dan ngoko lugu. Ragam krama hormat
membutuhkan bentuk kata yang bersifat hormat, sedangkan krama lugu membutuhkan bentuk kata
yang biasa bukan bentuk kata yang bersifat hormat. Ragam ngoko hormat mempertimbangkan kata-
kata yang bersifat ngoko ditambah bentuk tertentu yang berupa krama hormat; sedangkan ngoko
lugu memanfaatkan kosakata ngoko tanpa diwarnai ragam krama. 21
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur atau ragam bahasa jawa
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus.
2.2.3 Metode Sosiodrama dan Bermain Peran
Seorang guru dalam proses pembelajaran tentu tidak dapat lepas dari penggunaan metode-
metode pembelajaran. Metode pembelajaran adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara yang
digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara
individual atau secara kelompok agar pelajaran yang disampaikan dapat terserap, dipahami dan
dimanfaatkan oleh siswa dengan baik (Ahmadi dan Prasetya 1997:52). Jadi seorang guru harus
pandai memilih metode pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Penggunan metode pembelajaran yang kurang tepat dapat menghambat pencapaian tujuan
dalam proses pembelajaran. Sedangkan apabila metode yang digunakan guru tepat, maka tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara efektif.
Roestiyah (2001:1) mengemukakan bahwa metode yang digunakan harus disesuikan dengan
materi yang disampaikan. Pada kenyataannya, cara atau metode mengajar yang digunakan guru
untuk menyampaikan informasi kepada siswa berbeda dengan cara yang ditempuh untuk
memantapkan siswa dalam menguasai pengetahuan, keterampilan serta sikap. Begitu juga dengan
metode yang digunakan, untuk memotivasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuannya untuk
memecahkan suatu masalah yang dihadapi atau untuk menjawab suatu pertanyaan tertentu, akan
berbeda dengan metode yang 22
digunakan untuk tujuan agar siswa mampu berpikir dan mengemukakan pendapatnya sendiri
dalam menghadapi berbagai persoalan.
Ahmadi dan Prasetya (1997:53) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
memilih metode pembelajaran. Hal-hal tersebut adalah (1) metode mengajar harus dapat
membangkitkan motivasi, minat, atau gairah belajar siswa, (2) mampu memberikan kesempatan bagi
siswa untuk mewujudkan hasil karya, (3) dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih
lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi (pembaharuan), (4) harus dapat mendidik murid dalam
teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi, (5) mampu
menyajikan materi yang bersifat pengalaman atau situasi nyata dan bertujuan, (6) dapat menanamkan
dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap utama yang diharapkan dalam kebiasaan cara
bekerja yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, guru dapat menggunakan metode yang tepat untuk
membelajarkan suatu materi kepada siswanya dan dengan metode tersebut tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
Kita mengenal bermacam-macam metode pembelajaran, baik yang tradisional maupun
modern. Salah satu metode tersebut adalah metode sosiodrama dan bermain peran. Metode
sosiodrama adalah metode pembelajaran dengan mendemonstrasikan masalah-masalah sosial
(Ahmadi dan Prasetya 1997:65). Dalam penerapannya, metode sosiodrama dapat digabungkan
dengan metode bermain peran, di mana siswa diikutsertakan dalam permainan peranan di dalam
mendemonstrasikan masalah-masalah sosial. 23
Roestiyah (2001:90) mengemukakan bahwa dengan menggunakan metode sosiodrama siswa
dapat mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan
sosial antar manusia, atau siswa dapat memainkan peranan dalam dramatisasi masalah soial atau
psikologis itu. Oleh karena itu metode sosiodrama dan bermain peran dapat digunakan secara
bersamaan.
Dengan metode sosiodrama dan bermain peran, siswa dapat menghayati peranan apa yang
dimainkan, dan mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki guru. Ia dapat
belajar watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain, bagaimana cara mendekati dan
berhubungan dengan orang lain, dan dalam situasi tersebut mereka harus dapat memecahkan
masalahnya. Melalui metode ini siswa menjadi mengerti bagaimana cara menerima pendapat orang
lain. Siswa juga harus bisa berpendapat, memberikan argumentasi dan mempertahankan
pendapatnya. Jika diperlukan dapat mencari jalan keluar atau berkompromi dengan orang lain jika
terjadi banyak perbedaan pendapat. Lebih bagus lagi jika siswa mampu mengambil kesimpulan atau
keputusan dari tiap-tiap persoalan (Roestiyah 2001:90-91).
Agar pelaksanaan metode ini berhasil dengan efektif, maka harus memperhatikan langkah-
langkah sebagai berikut, (1) guru harus menerangkan kepada siswa untuk memperkenalkan teknik
ini, (2) guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat siswa. Guru mampu
menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk memecahkan masalah itu. (3) agar
siswa paham peristiwanya, maka guru harus bisa mejelaskan dan mengatur adegan yang akan
dimainkan siswa. Guru harus menjelaskan apa 24
yang harus dilakukan siswa, dan bagaimana memerankan naskah yang diberikan guru. Siswa
lain harus menjadi penonton yang aktif, disamping mendengar dan melihat, mereka juga harus bisa
memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah selesai memerankan naskah
(Roestiyah, 2001:96).
Ahmadi dan Prasetyo (1997:64) menyebutkan beberapa nilai positif dari penggunaan metode
sosiodrama dan bermain peran, yaitu (1) dengan metode sosiodrama dan bermain peran melatih anak
untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian, (2) metode ini akan menarik perhatian
anak sehingga suasana kelas menjadi hidup, (3) anak-anak dapat menghayati suatu peristiwa
sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatan sendiri, (4) anak dilatih untuk
menyusun pikiran yang teratur.
Roestiyah (2001:93) juga menyebutkan keunggulan-keunggulan penggunaan metode
sosiodrama dan bermain peran, yaitu, siswa lebih tertarik pada pelajaran sehingga siswa lebih mudah
memahami masalah-masalah sosial yang diperankan. Selain itu siswa dapat menempatkan diri seperti
watak orang yang diperankan, siswa dapat merasakan perasaan orang lain, tenggang rasa, toleransi
dan cinta kasih kepada sesama makhluk, sampai akhirnya siswa dapat berperan dan menimbulkan
diskusi yang hidup karena telah merasakan dan menghayati permasalahannya. Sedangkan siswa lain
yng menonton tidak pasif, tetapi aktif mengamati dan mengajukan saran maupun kritik.
Metode sosiodrama dan bermain peran juga memiliki sisi kekurangan. Kekurangan itu antara
lain; metode ini memerlukan waktu yang cukup banyak, memerlukan persiapan yang teliti dan
matang, kadang-kadang anak malu 25
mendramatisasikan suatu adegan, dan apabila pelaksanaan dramatisasi gagal, kita tidak dapat
mengambil kesimpulan apa-apa (Ahmadi dan Prasetya, 1997:65).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode sosiodrama di dalam
pelaksanaannya dapat digabungkan dengan metode bermain peran. Sosiodrama berarti
medramatisasikan suatu masalah, sedangkan bermain peran berarti siswa diajak untuk memainkan
peranan dalam dramatisasi masalah tersebut. Banyak segi positif dari penggunaan metode
sosiodrama dan bermain peran, yaitu (1) siswa terlatih untuk mendramatisasikan masalah dan
mereka lebih tertarik mengikuti pelajaran, (2) melatih keberanian siswa untuk tampil di muka umum,
(3) membuat kelas menjadi hidup karena dapat menarik perhatian siswa, (4) melatih penghayatan
terhadap suatu peristiwa, (5) melatih anak untuk berpikir secara teratur. Metode sosiodrama dan
bermain peran dapat diterapkan untuk materi apa saja, termasuk pembelajaran bahasa.
2.2.4 Pembelajaran Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama dengan Metode Sosiodrama dan
Bermain Peran
Dalam pembelajaran bahasa, metode sosiodrama dan bermain peran dapat dijadikan pilihan,
khususnya untuk pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jawa. Pada kenyataan sekarang, mata
pelajaran Bahasa Jawa memang kurang diminati oleh kebanyakan siswa, padahal bahasa Jawa
merupakan bahasa daerah yang perlu dipertahankan keberadaannya. Berdasarkan hasil pengamatan
penulis, kesulitan utama siswa dalam berbahasa Jawa adalah pada penguasaan bahasa Jawa ragam
krama. 26
Metode sosiodrama dan bermain peran dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa. Dengan metode sosiodrama siswa dapat belajar
mendramatisasikan sebuah masalah sosial kemudian memerankannya di depan kelas menggunakan
bahasa Jawa ragam krama. Ketika melakukan proses ini siswa secara langsung praktik mengujarkan
bahasa Jawa krama, sehingga siswa lebih mudah memahami penggunaan bahasa Jawa krama, bukan
sekedar menghafal kosa kata.
Langkah awal dalam pembelajaran dengan metode sosiodrama dan bermain peran adalah
guru dapat memilih suatu topik yang dapat didramatisasikan, kemudian guru menyuruh siswa untuk
membuat dialog yang berisi topik tersebut, dan siswa yang memerankannya. Ketika siswa bermain
peran, guru dapat mengamati keterampilan siswa dalam berbicara bahasa Jawa krama.
2.3 Kerangka Berpikir
Keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa SMP Negeri 21 Semarang khususnya kelas
IIB masih sangat rendah. Rendahnya keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa disebabkan
oleh berbagai faktor, salah satunya adalah penggunaan metode pembelajaran yang kurang efektif.
Dalam pembelajaran bahasa Jawa krama siswa hanya menghapalkan materi yang disampaikan guru.
Mereka tidak menggunakan bahasa Jawa ragam krama secara langsung, sehingga mereka mudah
lupa dan kurang paham penggunaannya. 27
Penggunaan metode sosiodrama yang dipadukan dengan metode bermain peran untuk
membelajarkan berbicara bahasa Jawa krama diharapkan dapat menarik dan memotivasi siswa untuk
aktif dalam pembelajaran sehingga keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa dapat
meningkat.
Penelitian tentang penggunaan metode sosiodrama dan bermain peran untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Jawa krama ini dilakukan dalam beberapa siklus sampai target
tercapai. Pada siklus I, guru memberikan penjelasan tentang bahasa Jawa krama kepada siswa secara
singkat. Kemudian guru meminta siswa berkelompok, masing-masing kelompok disuruh mencari
sebuah masalah sosial yang dekat dengan kehidupan mereka dan kemudian siswa mendramatisasikan
masalah sosial tersebut kedalam sebuah dialog berbahasa Jawa krama. Selanjutnya masing-masing
kelompok memerankan dialog tersebut di depan kelas. Ketika siswa bermain peran, guru mengamati
keterampilan mereka dalam berbicara bahasa Jawa krama. Penampilan siswa diamati dan dinilai
berdasarkan tolak ukur yang telah ditentukan. Setelah itu akan dilakukan evaluasi tindakan yang
telah dilakukan pada siklus I. Apabila hasilnya belum memuaskan (masih rendah) maka akan
dilakukan pembelajaran pada siklus II.
Pada siklus II ini masih dilakukan pembelajaran dengan pola yang sama dengan siklus I.
Guru memberikan penjelasan tentang bahasa Jawa krama kepada siswa secara singkat. Kemudian
guru meminta siswa berkelompok, masing-masing kelompok disuruh mencari sebuah masalah sosial
yang dekat dengan kehidupan mereka dan kemudian siswa mendramatisasikan masalah sosial
tersebut kedalam sebuah dialog berbahasa Jawa krama. Selanjutnya masing-masing kelompok
memerankan dialog tersebut di depan kelas. Siswa harus lebih serius dalam memerankan dialog
tersebut. Penampilan siswa 28
diamati dan dinilai berdasarkan tolak ukur yang telah ditentukan. Setelah itu dilakukan
evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan pada siklus II. Apabila hasilnya sudah meningkat
maka dapat dikatakan bahwa metode sosiodrama dan bermain peran efektif untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang.
Berikut skema yang dijadikan pola pikir dalam penelitian tindakan ini.
2.4 Hipotesis Tindakan
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang hendak dipecahkan.
Hipotesis hanya bersifat dugaan yang mungkin benar atau justru mungkin salah. Hipotesis tindakan
dalam penelitian ini adalah: Melalui pembelajaran menggunakan metode sosiodrama dan bermain
peran keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa SMP Negeri 21 Semarang akan mengalami
peningkatan. Masalah Rendahnya keterampilan berbicara bahasa Jawa krama Tujuan akhir Keterampilan
berbicara bahasa Jawa krama meningkat Metode sosio drama dan bermain peran Tolok ukur penilaian
PBM S2 PBM S1 Revisi PBM S1Penilaian dan evaluasi Penampilan siswa S2 Penampilan siswa S1 Input
Output Proses
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian mengenai pembelajaran bahasa Jawa krama dengan menggunakan metode
sosiodrama dan bermain peran ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang bertujuan
meningkatkan mutu pembelajaran. Dengan penelitian tindakan kelas ini, diharapkan kualitas
pembelajaran menjadi lebih baik.
Penelitian ini menggunakan desain model Kemmis dan Taggart dalam Arikunto (2002:84).
Desain yang dikemukakan oleh Kemmis ini merupakan bentuk kajian yang bersifat reflektif.
Penelitian dilakukan dalam beberapa siklus, di mana masing-masing siklus terdiri dari empat
langkah, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Jika tindakan pada siklus I hasilnya
belum memenuhi target yang ditentukan, maka akan dilakukan tindakan siklus II. Jika ternyata hasil
pada siklus II belum memenuhi target, maka akan dilakukan tindakan siklus III, begitu seterusnya.
Siklus I Siklus II R R RO O T T P1 P2
29 30
Keterangan:
P1: Perencanaan siklui 1
P2: Perencanaan siklus 2
T; Tindakan
O: Observasi
R: Refleksi
3.1.1 Prosedur Tindakan pada Siklus I
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan dilakukan persiapan pembelajaran berbicara bahasa Jawa
krama. Langkah awal yang dilakukan yaitu menyusun rencana pembelajaran yang
merupakan program kerja guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan.
Pada tahap ini selain menyusun rencana pembelajaran juga membuat instrumen
nontes yang berupa lembar observasi, wawancara, dan jurnal. Selain menyiapkan instrumen
nontes juga menyiapkan perangkat tes yang berupa pedoman skoring.
2. Tindakan
Tindakan merupakan pelaksanaan rencana pembelajaran yang telah dipersiapkan.
Tindakan yang akan dilakukan secara garis besar adalah pembelajaran berbicara bahasa Jawa
krama dengan metode sosiodrama dan bermain peran. Pada tahap ini, dilakukan tiga tahap
proses belajar mengajar, yaitu apersepsi, proses pembelajaran, dan evaluasi.
Pada tahap apersepsi, siswa dikondisikan untuk siap mengikuti proses pembelajaran.
Guru memberikan penjelasan kepada siswa
31
mengenai tujuan pembelajaran serta manfaat yang akan diperoleh siswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.
Setelah siswa siap mengikuti kegiatan pembelajaran, selanjutnya proses pembelajaran
berbicara bahasa Jawa krama dilaksanakan. Siswa berkelompok, kemudian
mendramatisasikan sebuah masalah sosial yang telah mereka tentukan sebelumnya dengan
cara membuat dialog kemudian memerankannya di depan kelas. Kelompok lain menyimak
penampilan siswa sambil menunggu saat tampil. Setelah satu kelompok selesai tampil
kelompok lain menanggapi dan mengkritisi. Guru mengamati dan menilai keterampilan siswa
dalam berbicara bahasa Jawa krama. Setelah semua kelompok maju, guru mengevaluasi
penampilan mereka dan memberikan masukan kepada siswa jika ada yang kurang dari
penampilan mereka khususnya dalam menggunakan bahasa Jawa ragam krama.
3. Observasi
Observasi adalah mengamati kegiatan dan tingkah laku siswa selama penelitian
berlangsung. Dalam melakukan pengamatan peneliti dibantu oleh seorang teman. Sasaran
yang diamati adalah penampilan siswa ketika memainkan peran sebuah dialog dengan
menggunakan bahasa Jawa krama yang meliputi, keaktifan siswa ketika berdiskusi
kelompok, pilihan kata dalam membuat dialog, intonasi ketika berbicara, pelafalan,
32
unggah-ungguh atau ekspresi saat memerankan dialog dan kelancaran saat
memerankan dialog.
Setelah kegiatan pembelajaran selesai, guru membagikan jurnal kepada siswa untuk
mengetahui kesan, tanggapan dan saran siswa terhadap pembelajaran yang baru saja
dilakukan, baik terhadap materi, teknik, maupun cara mengajar guru.
4. Refleksi
Setelah pelaksanaan tindakan, selanjutnya peneliti melakukan refleksi. Refleksi
dilakukan dengan menganalisis hasil tes lisan dan nontes siklus I dengan tujuan mengetahui
hasil atau dampak pelaksanaan tindakan. Dari hasil refleksi tersebut dapat disusun rencana
untuk siklus II. Masalah-masalah pada siklus I dicari pemecahannya, sedangkan kelebihan-
kelebihannya dipertahankan dan ditingkatkan.

3.1.2 Prosedur Tindakan pada Siklus II


1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan dalam siklus II ini dipersiapkan rencana pembelajaran yang
telah diperbaiki dan disempurnakan. Dalam tahap ini kekurangan-kekurangan yang terjadi
pada siklus I diperbaiki. Guru juga menyiapkan instrumen non tes dan nontes untuk siklus II.
2. Tindakan
Tindakan pada siklus II adalah penyempurnaan tindakan pada siklus I. Pada tahap ini
guru menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan ketika bermain peran. Kemudian
siswa diberi bimbingan dan
33
arahan agar dalam pelaksanaan kegiatan bermain peran dengan bahasa Jawa krama
pada siklus II akan menjadi lebih baik.
3. Observasi
Pada siklus II ini selama proses pembelajaran berlangsung, siswa tetap diamati.
Pengamatan dilakukan untuk melihat peningkatan hasil tes dan perubahan perilaku siswa.
Seperti ketika pada siklus I, setelah kegiatan pembelajaran selesai, guru membagikan jurnal
kepada siswa untuk mengetahui kesan, tanggapan dan saran siswa terhadap pembelajaran
yang baru saja dilakukan, baik terhadap materi, teknik, maupun cara mengajar guru.
4. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mengetahui keefektivan penggunaan metode sosiodrama
dan bermain peran dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa ragam krama, untuk melihat
peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama dan mengetahui perubahan
perilaku siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.

3.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIB SMP Negeri 21 Semarang tahun pelajaran
2004/2005 yang terdiri dari 44 siswa. Alasan peneliti mengambil kelas IIB sebagai subjek penelitian
didasarkan pada. 34
1. Dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa khususnya ragam krama, kelas IIB merupakan
kelas yang memiliki kemampuan paling rendah dibandingkan kelas-kelas lain di SMP Negeri
21 Semarang.
2. Kelas IIB belum mampu berbicara bahasa Jawa krama dengan baik dan benar sesuai kaidah
bahasa Jawa.
3. Materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa krama terdapat pada kurikulum (GBPP 1994)
SMP kelas II.

3.3 Variabel Penelitian


Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu.
a. Variabel terikat, peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama.
Variabel peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa adalah
keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Jawa krama. Target tingkat keberhasilan dari
setiap siswa ditetapkan jika siswa mampu berbicara menggunakan bahasa Jawa krama
dengan baik dan benar yang sesuai dengan aspek penilaian. Aspek-aspek tersebut adalah
pilihan kata, intonasi, pelafalan, unggah-ungguh dan kelancaran. Dalam penelitian ini siswa
dikatakan berhasil jika siswa mampu berbicara bahasa Jawa krama dengan baik dan benar
dan telah mencapai nilai ketuntasan belajar klasikal sebesar 70.
b. Variabel bebas, penggunaan metode sosiodrama dan bermain peran.
Variabel penggunaan metode sosiodrama dan bermain peran dalam pembelajaran
adalah penggunaan metode sosiodrama dan bermain peran
35
dalam membelajarkan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa. Adapun
langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.
1. Guru memilih sebuah masalah sosial kemudian membagi kelas menjadi kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang siswa.
2. Masing-masing kelompok berdiskusi untuk membuat dan mendramatisasikan masalah
tersebut, kemudian memerankannya di depan kelas.
3. Ketika memerankan dialog tersebut, guru mengamati keterampilan siswa dalam
berbicara bahasa Jawa krama. Bagaimana pilihan kata yang digunakan, intonasi
katika berbicara, pelafalan tiap katanya, unggah-ungguh dan kelancaran dalam
berbicara bahasa Jawa krama.
4. Kelompok lain menyimak sambil menunggu giliran untuk tampil.
5. Setiap satu kelompok selesai tampil, kelompok yang lain menanggapi.
6. Setelah semua kelompok tampil, guru melakukan evaluasi terhadap penampilan
masing-masing kelompok.

3.4 Instrumen Penelitian


Penelitian ini menggunakan bentuk instrumen tes dan nontes.
3.4.1 Soal Tes
Tes dalam penelitian ini adalah tes lisan yaitu berbicara bahasa Jawa krama. Penelitian ini
diawali dengan pelaksanaan tes awal atau pretest untuk 36
mengetahui sampai sejauhmana keterampilan siswa dalam berbicara bahasa Jawa krama.
Pada tes awal ini siswa diberi sebuah naskah dialog yang menggunakan bahasa Jawa krama,
kemudian mereka harus memerankan. Setelah proses pembelajaran, diadakan tes berbicara bahasa
Jawa krama untuk mengetahui sejauhmana kemampuan siswa berbicara bahasa Jawa krama setelah
mengikuti proses pembelajaran.
Ada aspek pokok yang dijadikan kriteria penilaian, yaitu pilihan kata, intonasi, pelafalan,
unggah-ungguh dan kelancaran.
Tabel 1. Skor Penilaian No Aspek Bobot Skor Kategori
Penilaian skor Sangat Baik Cukup Kurang
Baik
1. Pilihan 3 4 3 2 1
2. kata 2 4 3 2 1
3. Intonasi 2 4 3 2 1
4. Pelafalan 2 4 3 2 1
5. Unggah- 1 4 3 2 1
ungguh
Kelancar
an
Jumlah 10

Anda mungkin juga menyukai