Anda di halaman 1dari 4

RULES GROUP PROJECT 3

PLAN OF DEVELOPMENT

1. Setiap tim memiliki waktu 15 menit untuk mempresentasikan hasil pengerjaan dan 5 menit
untuk sesi tanya jawab.
2. Minimum slide dalam presentasi adalah 10 slides dan Maximum slide dalam presentasi adalah
15 slides; tidak termasuk cover dan ucapan terima kasih.
3. Di setiap slide harus terdiri dari 50% gambar dan 50% deskripsi.
4. Transisi yang diperbolehkan saat slide berganti hanyalah Fade.
5. Setiap orang di dalam kelompok harus berbicara dan menjelaskan agar mendapatkan nilai.
6. Jika ada kesamaan antar kelompok dalam pengerjaan maka kedua kelompok tersebut nilai tugas
kelompok, dianggap 0.
7. Urutan yang mempresentasikan slide-slide dikembalikan kepada team.
8. Deadline pengumpulan essay dan presentasi adalah Hari Sabtu maksimal pukul 14.00 WITA. Jika
lewat dari itu maka dianggap tugas kelompok bernilai 0.
9. Kelompok yang mempresentasikan hasilnya akan ditunjuk secara acak pada Hari-H dan tidak
semua kelompok akan maju. Semua kelompok harap mempersiapkan presentasinya dengan
baik.
Group Project 3
'Gross Split' Dianggap Bukan Solusi Polemik
'Cost Recovery'
Galih Gumelar , CNN Indonesia
Sabtu, 10/12/2016 13:28 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerhati sektor energi khawatir dengan rencana perubahan rezim
kontrak bagi hasil produksi migas (Production Sharing Contract/PSC) dari sistemcost
recovery menjadi gross split. Perubahan rezim kontrak itu dianggap sebagai jalan pintas bagi
pemerintah untuk menghindari polemik biaya pemulihan produksi migas kepada Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, perubahan sistem PSC ini
memang bisa mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam
membayar cost recovery. Namun, bukan jaminan jika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
migas akan terkerek dengan perubahan rezim tersebut.

Dengan tidak diterapkannya cost recovery, sistem PSC gross split ini berpotensi menghilangkan
kewenangan pemerintah untuk mengaudit setiap KKKS. Sehingga, jumlah pasti produksi migas per
KKKS bisa saja terdistorsi dan berat sebelah, serta berujung pada pelemahan PNBP migas.

"Kalau rezim PSC diubah, maka cadangan produksi migas menjadi taruhannya karena tidak ada
audit yang bisa dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas).
Kasarnya, kehadiran pemerintah di dalam kontrak migas sangat dipertanyakan," jelas Komaidi
dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).

Kendati demikian, Komaidi menilai PSC gross split bisa menarik investor untuk melakukan
eksplorasi mengingat sistemnya yang lebih mudah. Apalagi, skema ini rencananya hanya akan
diterapkan bagi PSC baru dan perpanjangan saja.

Namun, Komaidi meminta pemerintah untuk mengkaji kembali untung rugi PSC tersebut. Alasannya,
skema gross split bukanlah satu-satunya kebijakan yang mampu meningkatkan eksplorasi dan
produksi migas. Terlebih, saat ini harga minyak dunia belum menunjukkan perbaikan.

"Kalau melihat data SKK Migas, sebanyak 35 persen hambatan dalam investasi hulu migas adalah
aspek non teknis seperti perizinan, lahan, dan lain-lain. Mungkin pemerintah perlu membereskan ini
dulu daripada mengubah sistem PSC. Sistem kontrak ini jangan dibuat seolah-olah untuk
membereskan cost recovery saja," jelas Komaidi.

Ketua Bidang Energi Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Tumpak Sitorus juga mengatakan hal
serupa. Dengan memberlakukan PSC gross split, pemerintah hanya dianggap putus asa dalam
mengatasi kebocoran cost recovery setiap tahunnya tanpa memikirkan aspek lain.

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan pemerintah, kata Tumpak, adalah potensi penurunan
PNBP migas karena bagi hasil produksi (split) pemerintah bisa turun dari posisi saat ini 85 persen
dari produksi netto.

"Kami mendukung segala kebijakan Presiden Jokowi, tapi kami juga tetap kritis. Memang
penyelesaiancost recovery tidak pernah diselesaikan secara baik-baik. Tapi, ada baiknya
pemerintah menimbang dulu skema PSC tersebut," ujar Tumpak.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengganti sistem PSC dari
basis cost recovery menjadi gross split. Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas,
di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.

Sistem ini berbeda dengan PSC cost recovery, di mana split antara pemerintah dan KKKS akan
dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (First Tranche
Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (cost recovery).

Belakangan, cost recovery menjadi perdebatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) karena jumlahnya jauh lebih besar dibanding PNBP migas. Ini terlihat dari realisasi cost
recovery pada tahun 2015 yang tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding PNBP migas
sebesar US$12,86 miliar.
Selain itu, pemerintah menganggarkan cost recovery sebesar US$8,5 miliar pada tahun ini dan
masuk di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016. Angka ini
kemudian meningkat US$10,4 miliar di tahun 2017 mendatang.

Silakan kupas tuntas mekanisme Production Sharing Contract (PSC) dan Gross Split (GS), lalu
bandingkan kedua mekanisme tersebut, pilih salah satu yang menurut anda paling efektif untuk
Indonesia dalam menarik investor global!

Anda mungkin juga menyukai