Anda di halaman 1dari 5

Dasar Hukum

Pelaksanaan pengadaan rehabilitasi sekolah wajib mengacu pada Perpres Nomor 54


Tahun 2010 karena anggaran yang digunakan adalah APBN. Hal ini tertuang pada Pasal 2
Perpres 54/2010 yaitu Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang
pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.

Khusus swakelola, dijelaskan pada Pasal 26 Ayat 1 Perpres 54/2010 yaitu Swakelola
merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan,
dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran,
instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.

Pada pasal ini dapat dilihat bahwa swakelola terdiri atas 3 jenis, yaitu:

1. K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran;


2. Instansi Pemerintah Lain; atau
3. Kelompok Masyarakat.

Persyaratan sebuah pekerjaan dapat diswakelolakan yang dituangkan dalam Pasal 26


Ayat 2 adalah:

1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan


kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung
masyarakat setempat;
3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak
diminati oleh Penyedia Barang/Jasa;
4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu,
sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan
ketidakpastian dan risiko yang besar
5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus
untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh
Penyedia Barang/Jasa;
7. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di
laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
9. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
10. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau
11. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus
dalam negeri.
Mari ditelaah satu persatu persyaratan tersebut:
1. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bukan
untuk melaksanakan rehabilitasi gedung dan bangunan, sehingga seharusnya sekolah
tidak dapat melaksanakan swakelola untuk rehabilitasi gedung dan melanggar Pasal 26
Ayat 2 Huruf a.
2. Gedung sekolah juga tidak masuk dalam klasifikasi pekerjaan yang operasi dan
pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat karena
operasi dan pemeliharaan sehari-hari dilaksanakan oleh manajemen sekolah. Contoh
pekerjaan yang operasi dan pemeliharaan memerlukan partisipasi langsung
masyarakat adalah WC Umum atau jalan desa karena memang digunakan langsung
sehari-hari oleh masyarakat.
3. Pasal 26 Ayat 2 huruf c hingga k juga tidak dapat dijadikan dasar untuk swakelola
rehabilitasi sekolah.

Sehubungan dengan hal tersebut maka sekolah tidak dapat melaksanakan rehabilitasi
gedung dengan cara swakelola.

Salah satu alasan yang sering disampaikan adalah dana rehabilitasi merupakan dana
hibah, sehingga dapat dilakukan dengan cara swakelola.

Pendapat ini merupakan pendapat yang masih berdasarkan kepada Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 yang memang menyebutkan bahwa salah satu tipe
swakelola adalah Kelompok masyarakat penerima hibah.

Kata penerima hibah ini telah dihilangkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010.

Bahkan khusus untuk kelompok masyarakat yang boleh melaksanakan swakelola, telah
ditekankan pada Pasal 31 Huruf b Perpres 54/2010 yaitu pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa hanya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola yang
mampu melaksanakan pekerjaan. Hal ini menegaskan bahwa harus ada penilaian
terlebih dahulu apakah kelompok tersebut mampu atau tidak. Kemampuan biasanya
sejalan dengan tugas pokok dari kelompok masyarakat setempat, misalnya kelompok
masyarakat petani pasti memiliki kemampuan dalam hal pertanian, demikian juga
dengan kelompok masyarakat nelayan yang memiliki kemampuan dalam bidang
perikanan.

Hal ini saya ungkapkan karena ada juga yang menyampaikan bahwa swakelola dapat
dilakukan oleh Komite Sekolah, karena komite sekolah merupakan kelompok
masyarakat. Nah, selain tidak memenuhi Pasal 26 Ayat 2, kemampuan komite sekolah
untuk melaksanakan rehabilitasi sekolah apakah sudah dipastikan? Berapa banyak
diantara mereka yang memiliki kemampuan dalam bidang Jasa Konstruksi? Juga apakah
mereka memiliki SKA atau SKT dalam bidang Jasa Konstruksi sesuai wewenang Undang-
Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi?

Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan Rehabilitasi Sekolah dengan cara


swakelola oleh sekolah penerima hibah/bantuan tidak berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

Lebih Baik dan Lebih Hemat

Beberapa alasan lain yang digunakan untuk membenarkan pelaksanaan swakelola adalah
swakelola lebih baik daripada proses tender, sistem swakelola dapat menghemat
anggaran, lebih banyak bangunan yang dapat dibangun dengan menggunakan cara
swakelola dibandingkan dengan lelang, dan dapat menciptakan lapangan kerja.

Swakelola lebih baik?

Kata-kata baik adalah sebuah kata yang amat subjektif karena bergantung cara
pandang dan pengalaman seseorang dalam memandang.
Memang benar bahwa di beberapa daerah, sekolah yang dulu dibangun dengan cara
swakelola, kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan cara lelang/tender. Hal ini karena
kepala sekolahnya amat komit terhadap kualitas sehingga sangat mengawasi
pelaksanaan pembangunan. Juga orang tua siswa yang ikut membangun, dilandasi
dengan semangat bahwa anaknya bersekolah di sekolah tersebut, maka mereka akan
mengerjakan dengan baik.

Tetapi tidak bisa dipungkiri juga, beberapa kepala sekolah malah masuk bui alias hotel
prodeo alias penjara karena dituduh korupsi dana swakelola pembangunan gedung.
Salah satu beritanya dapat dibaca disini.

Juga banyak sekolah yang dibangun dengan mekanisme swakelola, belum lama
digunakan malah rubuh. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan gedung perpustakaan
SD Negeri Pemurus 8 Banjarmasin yang umur bangunannya baru 1 tahun. Contoh lain
adalah pembangunan Gedung Laboratorium IPA SMPN 1 Grogol yang rusak padahal
umurnya baru 2 (dua) minggu.

Masih banyak contoh-contoh lain yang amat mudah diperoleh hanya dengan melakukan
pencarian menggunakan Google.

Ini membuktikan, metode pengadaan, tidak menjamin mutu pekerjaan.

Swakelola lebih hemat?

Sama dengan tulisan swakelola lebih baik, hemat adalah sebuah sifat yang bersifat
subjektif dan sulit diukur. Bisa saja pada saat pelaksanaan pembangunan gedung
sekolah dilakukan penghematan, tetapi baru 1 bulan dipakai malah rubuh, maka sia-
sialah pekerjaan yang telah dilakukan.

Yang harus diingat, swakelola dan menggunakan penyedia barang/jasa harus


berlandaskan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang telah disusun. Penghematan dapat
dilakukan apabila penyusunan HPS dilakukan secara profesional dan tidak di-mark-up
sehingga menguntungkan diri sendiri atau orang lain. HPS juga harus berdasarkan
kepada harga pasar setempat dan telah memperhitungkan pajak dan keuntungan yang
wajar.

Pajak tidak bergantung kepada proses pengadaan, swakelola dan penyedia barang/jasa
tetap harus menghitung PPn sesuai aturan yang berlaku. Jadi tidak benar bahwa kalau
swakelola maka tidak dikenakan pajak.

Kalimat di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga
lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk sanitasi juga tidak
menunjukkan bahwa swakelola bisa lebih hemat. Hal ini berarti HPS yang ditetapkan
sebelumnya masih terlalu tinggi sehingga sebenarnya setelah dilaksanakan dapat
menambah satu lokal lagi.

Penciptaan lapangan kerja dengan metode swakelola juga adalah lapangan kerja semu
karena yang bekerja bukan merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya. Juga kalau
dilaksanakan menggunakan metode lelang/tender, tetap dapat menciptakan lapangan
kerja.

Jebakan Hukum

Yang saya khawatirkan sebenarnya adalah jebakan hukum dari pelaksanaan swakelola
ini, karena dengan pertanyaan sederhana saja, maka Kepala Sekolah penerima bantuan
rehabilitasi sudah sulit untuk menjelaskan. Pertanyaan tersebut adalah sebutkan dasar
hukum dari peraturan perundang-undangan yang membolehkan swakelola rehabilitas
bangunan sekolah dilaksanakan oleh sekolah itu sendiri.

Kalau pembaca searching di google, terlihat sebagian besar yang menjadi korban adalah
Kepala Sekolah, karena kepala sekolah sebagai Pengguna Anggaran (PA) bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan swakelola di sekolahnya, sehingga apabila ada gugatan
hukum, maka yang terkena secara langsung adalah kepala sekolah itu sendiri dan bukan
pemberi bantuan.

Apalagi dalam juklak bantuan sering dituliskan pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai
ketentuan perundang-undangan, sehingga apabila pemberi bantuan ditanya maka bisa
menjawab dengan jawaban diplomatis bahwa pada juknis sudah ditetapkan tetapi
kepala sekolah sendiri yang tidak melaksanakan.

Selain itu, jangan sampai pemberian bantuan ini merupakan cara untuk mempercepat
daya serap anggaran tanpa memperhitungkan konsekwensi hukum yang akan diterima
oleh penerima bantuan pada masa yang akan datang.

Apabila Bapak Menteri bersikeras bahwa sekolah dapat melaksanakan swakelola untuk
rehabilitasi, maka silakan mengusulkan aturan khusus kepada Presiden agar diterbitkan
Peraturan Presiden (Perpres) yang spesifik mengatur mengenai pembangunan atau
rehabilitasi sekolah.

Hal tersebut bukan tidak mungkin, dibuktikan dengan telah dikeluarkannya Perpres
Nomor 59 Tahun 2011 yang mengatur mengenai penunjukan langsung pengadaan
barang/jasa untuk kegiatan Sea Games ke XVI di Palembang.

Jalan Keluar

Pertanyaan berikutnya setelah pembahasan di atas adalah Bagaimana apabila sekolah


telah terlanjur menerima dana untuk rehabilitasi dan diperintahkan melaksanakan
melalui metode Swakelola?

Menafikan pelanggaran pasal 26 Ayat 2 Perpres 54/2010, maka kita dapat menganggap
swakelola tersebut adalah swakelola yang dilaksanakan oleh K/L/D/I penanggung jawab
anggaran, sehingga dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan
2 serta Pasal 29 Perpres 54/2010.

Hal-hal yang wajib diperhatikan adalah:

1. Jumlah tenaga dari luar sekolah (termasuk tukang, pengawas, dll) tidak boleh
melewati 50% dari jumlah keseluruhan pegawai sekolah yang terlibat dalam
pelaksanaan pembangunan. Hal ini karena tujuan utama swakelola adalah
menggunakan tenaga yang dimiliki sendiri dan tidak sekedar menjadi broker pekerjaan
dan selanjutnya dikerjakan oleh pengusaha secara total. Hal ini tertuang pada
ketentuan Pasal 27 Ayat 2 Perpres 54/2010
2. Pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli
dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan dilaksanakan menggunakan metode
pengadaan barang/jasa sesuai Perpres 54/2010. Hal ini berarti apabila bahan
bangunan yang apabila dijumlahkan nilainya melebihi 100 juta, tetap wajib dilelangkan
oleh Kepala Sekolah, tidak boleh hanya dibeli langsung ke toko. Apabila nilainya
dibawah 100 juta, maka menggunakan metode pengadaan langsung dan
memperhatikan bukti-bukti pembayaran sesuai Pasal 55 Perpres 54/2010 dan
menggunakan Standard Bidding Document (SBD) Pengadaan Langsung yang
dikeluarkan oleh LKPP.
3. Hal ini juga berlaku untuk tenaga ahli dan tenaga terampil yang digunakan, tetap
harus memperhatikan ketentuan tenaga ahli dan terampil berdasarkan peraturan
perundang-undangan dalam bidang Jasa Konstruksi, yaitu UU Nomor 18/1999 dan
peaturan turunannya, termasuk Peraturan Menteri PU (PermenPU) Nomor 7 Tahun
2011. Salah satunya adalah tenaga ahli dan terampil wajib memiliki sertitikat keahlian
atau keterampilan yang dikeluarkan oleh LPJK.
4. Kepala sekolah tetap wajib membentuk 3 tim, yaitu tim perencana, pelaksana
dan pengawas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai tahapan dan bidang tugas yang
telah diuraikan pada Lampiran VI Perpres 54/2010.

Anda mungkin juga menyukai