GJ, JHH
GJ, JHH
Disusun Oleh :
dr. Karina Kalani Firdaus
Pembimbing :
dr. Ade Fitra
dr. Lidyawati
Narasumber :
dr. Wahyudi, SpOG
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas
Nama : Ny. M
Tempat, Tanggal lahir : 31 Desember 1973
Umur : 42 thn
Alamat : Kompleks Belian RT 02/RW 02
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan terakhir : SD
No.Rekam Medis : 37-89-12
Tanggal masuk : 17 Maret 2016
Tanggal pemeriksaan : 17 Maret 2016
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Tumbuhnya benjolan pada perut bagian kiri bawah yang disertai nyeri terus-menerus sejak 10
hari Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS).
2
Keluhan sakit kepala (+). Riwayat keluhan serupa, diabetes mellitus (DM), asma, penyakit
ginjal, penyakit jantung, dan penyakit stroke disangkal oleh pasien. Pasien tidak memiliki
riwayat operasi, alergi obat, dan alergi makanan.
Riwayat Menstruasi
Menarche usia tahun 11 thn. Sebelumnya, siklus teratur dengan durasi 28 hari. Durasi haid 5-7
hari. Frekuensi mengganti pembalut 3-4x/hari. Nyeri sebelum haid sebelumnya tidak ada.
Selama 1 tahun SMRS, nyeri sebelum haid (+) dan jumlah perdarahan berkurang
Riwayat Pernikahan
Saat ini, pasien dalam pernikahan yang pertama dengan usia pasien saat menikah 20 tahun dan
usia suami 21 tahun. Sejak 2 tahun SMRS, pasien tidak berhubungan badan dengan suami.
Riwayat Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan kontrasepsi injeksi 3 bulan selama 3 tahun pada tahun 1997.
Kontrasepsi implant dan IUD disangkal. Tidak ada keluhan selama menggunakan kontrasepsi
tersebut.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anak di kompleks Belian dengan status pendidikan
pasien dan suami keduanya SD. Pasien perokok pasif. Suami merokok 1 bungkus/minggu.
3
Pasien bekerja dengan berdagang setiap hari selama 8-9 jam/hari dengan berjalan keliling
berjualan dagangan. Suami pasien bekerja sebagai nelayan dan pengantar ikan.
Riwayat Gizi
Makan 3x/hari dengan porsi cukup. Pasien jarang mengonsumsi daging, terutama daging
kambing. Sayuran juga lebih jarang dikonsumsi.
Status Generalis
Kesan gizi : Berlebih
Habitus : Piknikus
Berat badan : 100 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks massa tubuh : 39 kg/m2 (Obesitas)
Kulit : Tidak tampak ada kelainan
Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas
Mata : Pupil isokor,diameter 3 mm/3 mm, Refleks cahaya langsung +/+, Refleks
cahaya tidak langsung +/+,konjungtiva anemis +/+,sklera ikterik -/-
langsung baik, refleks cahaya tidak langsung baik.
Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada sekret
Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil T1-T1, arkus faring simetris, faring tidak
hiperemis
Gigi dan mulut : Bibir tampak kering, oral hygiene baik
Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada sekret
Leher : Tiroid tidak membesar, JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar,
Jantung : Bunyi jantung S1-S2 reguler, tidak ada murmur dan gallop
Paru : Kedua lapang paru vesikuler, tidak ada ronkhi dan wheezing, kedua
lapang paru sonor/sonor
Abdomen
Inspeksi : cembung, luka bekas operasi (-),
Palpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba, teraba massa soliter sepanjang regio
umbilikal, lumbal sinistra dan iliaka sinistra berukuran 10x15x5 cm, konsistensi padat,
batas tegas
4
Perkusi : timpani (+) dan pekak diatas massa (+), shifting dullness (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 , edema pitting di kedua kaki (-)/(-)
motorik dan sensorik baik.
Pemeriksaan Ginekologis
Pemeriksaan VT dan bimanual :
Terdapat pembesaran uterus, sebesar kepala satu tangan, permukaan licin, konsistensi padat,
nyeri (+) pada forniks lateral.
KIMIA KLINIK
Parameter 23/1/16 Nilai normal
HBsAg (-) (-)
HIV (-) (-)
ELEKTROLIT
Parameter 8/3/16 Nilai Normal
Na 132 135-147 meq/l
Kalium 3.8 3.5-5 meq/l
Chlor 106 94-111 meq/l
KIMIA DARAH
Parameter 17/3/16 Nilai Normal
Ureum 21.2 18-55 mg/dL
Kreatinin 0.57 0,7-1,3 mg/dL
GDS 82 <126 mg/dL
SGOT 14 0-35 U/L
5
SGPT 11 0-45 U/L
Bilirubin total 0.43 0.3-1.2 mg/dl
Albumin 3.1 3.2-5.0 g/dl
BT 2 menit 1-6
CT 7 menit 6-11
Kesan :
Sinus Rhythm, HR 100x/m, PR 0.16 ms, QRS 0.08 ms, ST elevasi dan depresi (-), normoaxis.
Kesimpulan : Normal resting ECG.
6
1.4.3 CT Scan (5 Maret 2016)
9
memberat. Dalam 3 bulan terakhir, massa dirasa membesar dengan lebih cepat disertai
adanya peningkatan frekuesi buang air kecil. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan massa
abdomen soliter berukuran 15x10x5 cm di lumbal-iliaka sinistra. Pada pemeriksan dalam dan
bimanual, didapatkan pembesaran uterus dan nyeri (+) pada forniks lateral. Pada
pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia mikrositik, hipoalbuminemia, dan
trombositosis. Pada pemeriksaan CT Scan, dikonfirmasi adanya massa pada uterus.
1.6 Diagnosis
- Mioma uteri
- Anemia Mikrositik hipokrom
- Hipoalbuminemia ringan
1.7 Tatalaksana
Rencana pengobatan:
1. IVFD Ringer Lactate/12 jam
2. Kaltrofen sup 3 x1
3. Sulfas ferrosus 2x1
4. Pro laparotomi
Rencana diagnostik:
USG
Uraian pembedahan :
1. Posisi terlentang di meja operasi dalam anestsi spinal, dilakukan asepsis & antisepsis
lapangan operasi dan sekitarnya.
2. Dilakukan insisi mediana sampai 3 jari dibawah umbilikus
3. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus membesar diameter 35 x 25 cm, permukaan
licin. Tampak sebagian berdegeneratif kistik. Tampak perlengketan omentum-
peritoneium dilakukan adhesiolisis
10
4. Eksplorasi : kedua tuba membesar. Kesan : endometriosis tuba dan kedua ovarium
normal.
5. Diputuskan untuk melakukan histerektomi total.
6. Puncak vagina dijahit dengan optime 1 secara Veston dan digantungkan dengan
ligamentum rotundum kiri dan kanan.
7. Diyakini ulang tidak ada perdarahan dan dilakukan reperitonisasi dengan chromic catgut.
8. Rongga abdomen dicuci denagn aqua dibersihikan dan diyakini uang tidak ada
perdarahan, dinding abdomen ditutup lapis demi lapis dengan meninggalkan
deksametason intra abdomen.
9. Perdarahan selama operasi sekitar 300 cc, urin jernih 200 cc.
11
1.9 Follow Up
20/03/2016 Sadar (+), nyeri CM, TSS Post IVFD Asering : Kaen
12
di tempat TD : 150/90 Histerektomi a/i 3B : 2000 cc
operasi (+), mmHg FN : 93 mioma uterus + Ceftriakson 3x1 g IV
perdarahan aktif x/m endometriosis Metronidazole 3x500
(-)
Lab : mg IV
Hb 10.6 g/dL Kaltrofen 3 x 100 mg
Ht 31.9% supp
Leu : 12.020
Tromb :
400.000
/mikroL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Uterus
Uterus terletak dalam rongga pelvis diatara vesica urinaria (yang terletak anterior) dan rectum
(posterior). Ukuran uterus rerata panjang 8 cm, lebar 5 cm, dengan ketebalan 4 cm, dan volume
antara 80-200 ml. Komponen uterus terbagi menjadi 3 yaitu fundus, korpus, dan serviks.
Uterus terdiri dari 3 lapisan jaringan berupa : 1) endometrium, lapisan paling dalam, merupakan
lapisan paling aktif dan sensitive terhadap perubahan hormon siklik ovarium, 2) myometrium,
13
merupakan bagian terbesar dari volume uterus dan merupakan lapisan otot dengan dominan sel
otot polos, dan 3) Lapisan serosa/perimetrium, jaringan tipis epitel.i
14
uterus/lapisan serosa (subserosal), atau yang bertangkai dan dapat berada di kavitas uterus atau
diatas lapisan serosa, dimana jika berada dalam kavitas uterus dinamakan mioma geburt
(pedunculated).i
2.2.1 Epidemiologi
Insidens terjadinya mioma uteri bervariasi dengan kelompok usia dan ras. Selama usia
reproduktif, risiko mioma meningkat dengan usia. Insidens mioma pada usia reproduktif 20-
25%, dan meningkat menjadi 30-40% pada usia diatas 40 tahun. Dalam hal ras, mioma paling
umum ditemui pada ras afrika-amerika dan paling jarang ditemui pada ras asia. Pada kelompok
usia <35 tahun dengan ras afrika-amerika, insidens mencapai 60% dan meningkat menjadi 80%
pada usia 50 tahun. Sementara pada wanita kaukasian, insidens 40% pada usia 35 tahun dan
meningkat 70% pada usia 50 tahun.ii Pada studi yang dilakukkan oleh Laughlin et al, didapatkan
prevalensi mioma pada ras afrika-amerika 18%, 8% pada ras amerika putih, 10% pada wanita
hispanik, dan 13% pada kelompok lain yang sebagian besar terdiri dari ras Asia. ii, iii
Di
Indonesia, RS Kandou Manado selama bulan Juli 2013-2014, terdapat 401 kasus ginekologi
dengan mioma uteri menempati urutan kedua tumor ginekologi tersering dengan prevalensi
31.7% (127 kasus) dengan kista ovarium menempati urutan pertama dengan prevalensi 32.2%
(129 kasus).iv
2.2.2Patologi
Secara makroskopik, mioma terlihat sebagai tumor berbentuk bulat, putih, konsistensi padat dan
seperti karet, serta pada pemotongan transversal akan tampak gambaran whorl atau gelungan
yang terdapat jaringan ikat luar yang tipis yang membedakannya dari jaringan myometrium
sekitar.
Secara histologis, mioma uteri terdiri dari sel otot polos yang memanjang dan berkumpul
menjadi suatu ikatan. Untuk aktivitas mitosis sangat jarang sehingga hal tersebut
membedakannya dari leomiosarkoma.
15
Gambar 6. 1) Gambaran mioma secara makroskopik 2) Gambaran mioma secara histologi2
Pada saat pembedahan, gambaran mioma dapat berbeda dari mioma pada biasanya apabila
jaringan otot digantikan dengan zat degeneratif seperti perdarahan dan nekrosis yang prosesnya
diistilahkan dengan degenerasi yang bisa daam bentuk hialin, kalsifikasi, kistik, myxoid,
carneous, atau lemak. Proses tersebut merupakan varian normal. Proses degenerasi dan nekrosis
sering timbul pada mioma uteri dikarenakan terbatasnya terbatasnya suplai darah dalam mioma
akibat dari rendahnya densitas arteri dibandingkan jaringan myometrium sekitar sehingga lebih
beresiko terjadinya hipoperfusi, iskemi, dan secara klinis terdapat nyeri akut.v
2.2.2.1 Genetik
Mioma bersifat monoclonal (berasal dari satu sel progenitor) dengan 40% diantaranya memiliki
kromosom abnormal. Kelainan yang cenderung ditemui, terutama pada mioma besar, seluler, dan
atipikal, adalah adanya translokasi antara kromosom 12 dan 14, delesi pada kromosom 7, dan
trisomy pada kromosom 12. Sisanya, 60%, cenderung memiliki mutasi yang tidak terdeteksi. ii,iv
16
tubuh terekspos dengan produksi estrogen yang persisten. Sementara, pada pasien dengan
obesitas akan memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi dari normal akibat peningkatan konversi
androgen menjadi estrogen oleh jaringan adiposa serta penurunan produksi hepar akan sex
hormone binding globulin. Pada pasien dengan tumor dan mengonsumsi medroksiprogesteron
asetat (MPA) dengan dosis lebih tinggi berhubungan dengan pertumbuhan leiomyoma.
Sementara pada pasien masa reproduktif yang meggunakan terapi hormone estrogen dan
progesterone seperti pada pengguna pil kombinasi oral didapatkan tidak memiliki efek atau
bahkan menurunan risiko mioma. Merokok juga didapatkan menurunkan risiko terjadinya
mioma dikarenakan asap rokok mengubah metabolism estrogen dan menurunkan kadar estrogen
fisiologis aktif, estradiol.
Berbeda dengan estrogen, peran progesterone terhadap pembentukan mioma masih kontroversi
karena terdapat efek stimulasi maupun inhibisi. Pada beberapa uji klinis, ditemukan bahwa
progestin eksogen membatasi pertumbuhan mioma. Seperti yang dijelaskan pada paragraph
sebelumnya, penggunaan medroxyprogesteron menunjukkan insidens mioma yang lebih rendah.
Sementara itu, pada beberapa studi didapatkan efek stimulasi pada pertumbuhan mioma sebagai
contoh antiprogestin RU486 memicu atrofi pada mioma uteri. Selain itu, pada wanita yang
diberikan agonis gonadotropin-release hormone (GnRH), akan memicu penurunan ukuran pada
mioma. Sementara apabila diberikan bersamaan dengan progestin, akan memicu peningkatan
ukuran mioma. Pada beberapa penelitian terbaru, didapatkan bahwa progesterone adalah mitogen
primer untuk pertumbuhan tumor dan peran estrogen adalah untuk meng-upregulate reseptor
progesterone. Mioma didapatkan memiliki peningkatan konsentrasi reseptor progesterone A dan
B dibandingkan pada myometrium normal.
17
mempromosikan mitogenesis (TGF-beta, EGF, IGF, prolactin), atau memicu angiogenesis
(bFGF, VEGF).
18
sehingga sulit untuk diinterpretasikan. Bekas atlet kampus memiliki penurunan prevalensi 40%
dibandingkan yang non-atlet selama masa kuliahnya.
Merokok
Merokok dapat mengurangi insidens mioma. Beberapa kandungan rokok mengurangi
bioavailabiitas estrogen dalam jaringan, menurunkan konversi androgen menjadi estron akibat
inhibisi aromatase oleh nikotin, meningkatkan hidroksilasi estradiol, dan menstimulasi kadar sex
hormone-binding globulin.
2.2.3Patogenesis mioma
Pembentukan mioma terdiri dari dua komponen yaitu : 1) perubahan miosit normal menjadi
miosit abnormal, 2) Pertumbuhan miosit abnormal menjadi neoplasma. Pembentukan bersifat
multifactorial dengan genetika dan beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya pembentukan.viii
19
Gambar 7. Klasifikasi Mioma berdasarkan Letak
20
dan endometrium. Kondisi tersebut diperberat dengan disregulasi factor pertumbuhan vasoaktif
sehingga pada saat terjadi menstruasi, perdarahan pada vena yang terdilatasi tidak bsia
ditanggulangi oleh mekanisme hemostatik fisiologis. Gejala lain seperti anemia, palor, pingsan,
sesak, dan lemah dapat dikeluhkan akibat perdarahan yang banyak. Selain itu, juga dapat
diperberat dengan nyeri akut dan kolik selama haid.
21
Gejala kompresi lain yang dapat ditemui pada kasus mioma tertentu, terutama pada yang letak di
dinding posterior uterus dapat menyebabkan gejala rektal seperti tenesmus, nyeri pinggang
belakang atau konstipasi dengan gejala yang cenderung memberat saat haid. Nyeri pinggang,
khususnya di kanan, dapat disebabkan oleh kompresi pada ureter dan dapat didukung dengan
kebiasaan pasien untuk berubah posisi tidur yang mengarah pada mioma.
2.2.4 Diagnosis
Mioma sering terdiagnosa secara tidak disengaja melalui pemeriksaan ginekologis yang
dilakukan disebabkan oleh adanya keluhan nyeri dan gangguan siklus menstruasi dan gejala
pressure akibat penekanan benjolan terhadap bagian-bagian sekitar benjolan.
Pemeriksaan Fisik
Mioma sering ditemukan pada pemeriksaan ginekologis (pelvis) dengan ditemukannya
pembesaran pada uterus, dengan permukaan yang cenderung tidak rata.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan mioma, pada pemeriksaan laboratorium sering ditemukan anemia defisiensi
besi akibat perdarahan, polisitemia akibat peningkatan produksi eritorpoeitin dan trombositosis
akibat perdarahan berlebihan.ix Trombositosis adalah reaktan fase akut dan terbagi menjadi
trombositosis primer/essensial, yang disebabkan kelainan pada sumsum tulang, dan
trombositosis sekunder/ reaktif yang disebabkan oleh inflamasi, infeksi, perdarahan, kanker,
reaksi alergi, gagal ginjal, defisiensi besi, defisiensi vitamin, anemia hemolitik, trauma,
pankreatitis, dan kegiatan berat seperti olahraga.x
Pemeriksaan Radiologi
Setelah penemuan pembesaran uterus, salah satu hal yang harus pertama dilakukan adalah
pemeriksaan sonografi. Temuan sonografi dapat bervariasi dari gambaran hipoekoik sampai
hiperekoik, tergantung pada rasio otot polos dengan jaringan ikat serta terjadinya degenerasi atau
kalsifikasi yang paling khas pada temuan sonografi. Kalsifikasi sering tampak hiperekoik dan
umumnya terdapat di pinggiran massa atau tersebar secara acak pada massa. Degenerasi kistik
atau myxoid umumnya akan tampak dalam mioma terdapat bagian hipoekoik mutipel, dinding
polos, bulat, berukuran irregular dan cenderung kecil. Apabila terdapat temuan massa pelvis
disertai menorrhagia, dismenorea, atau infertilitas, maka kavitas endometrium harus dievaluasi
adanya mioma submukosa, polip endometrium, atau anomali. Apabila endometrium tebal atau
irregular maka histeroskopi dapat dilakukan. Pada wanita infertil, histerosalpingografi (HSF)
dapat dilakukan pada evaluasi awal untuk menentukan adanya patologi endometrium dan
gangguan patensi tuba. MRI juga dilakukan apabila pada kasus habitus pasien yang sulit dinilai
secara pemeriksaan fisik seperti pada obesitas.
22
2.2.5Tata Laksana
Rencana tata laksana umumnya tergantung pada gejala dan tanda dari watchful waiting, terapi
medikamentosa, sampai pembedahan. Pada mioma asimptomatik, tanpa mempertimbangkan
ukurannya, tata laksana awal berupa observasi dengan evaluasi pemeriksaan ginekologi tahunan.
Apabila penilaian terhambat dengan ukuran uterus dan obesitas pada pasien, maka dapat juga
ditambahkan pemeriksaan sonografi. Pemeriksaan dianjurkan tahunan dikarenakan umumnya
mioma bertumbuh lambat dengan kecepatan pertumbuhan diameter rata-rata berdasarkan suatu
studi longitudinal yang dilakukan oleh DeWaay (2002), sekitar 0,5cm/tahun.
Pada mioma simptomatik, tata laksana yang dianjurkan berupa terapi medis dengan pilihan terapi
berdasarkan pada jenis keluhan klinis. Terapi medikamentosa dapat bersifat tunggal atau
digabungkan dengan operasi seperti pada penggunaan GnRH agonis. Beberapa obat yang dapat
digunakan diantaranya OAINS dan terapi hormon (GnRH agonist, GnRH antagonis, androgen,
antiprogestin).
Gambar 9 . Indikasi terapi medikamentosa berdasarkan gejalaiv
OAINS
Kerja obat OAINS dalam menghambat pembentukan prostaglandin menjadi dasar dari
penggunaan OAINS dalam kasus mioma dengan dismenore dan menorrhagia. Berdasarkan studi
terakhir, didapatkan bahwa wanita dengan dismenora dan menorrhagia memiliki kadar
prostaglandin, tepatnya prostaglandin F2 dan E2 dalam endometrium yang lebih tinggi
dibandingkan wanita asimptomatik.iv,viii OAINS mengurangi nyeri dismenorea dengan
menurunkan tekanan intrauterine dan menurunkan kadar prostaglandin dalam cairan menstruasi.
OAINS terbukti efektif secara signifikan, sampai dapat mengurangi dismenorea sampai 85%,
dibandingkan acetaminophen, baik pada penggunaan ibuprofen, naproxen, asam mefenamat,
maupun aspirin.xi OAINS pada dosis standard dapat mengurangi perdarahan sampai 30-40%
disertai penurunan siklus anovulasi. Berdasarkan suatu Cochrane review terhadap 9 RCT yang
23
dilakukan 1996-2007, OAINS secara efektif mengurangi perdarahan dibandingkan placebo
namun kurang efektif apabila dibandingkan dengan asam tranexamat dan hormone androgen
(danazo, levonorgestrel).viii
Terapi hormon Pil Kombinasi dan Levonorgestrel-Releasing Intrauterine System
Pil kombinasi dan progestin telah digunakan untuk memicu atrofi endometrium dan menurunkan
produksi prostaglandin. Pada studi yang dilakukan oleh Friedman dan Thomas (1995) didapatkan
pada wanita yang menggunakan pil kombinasi dosis rendah memiliki durasi siklus menstruasi
yang lebih rendah dan tidak ditemukan pembesaran uterus. Penggunaan levonorgestrel-releasing
intrauterine system (LNG-IUS) dapat mengurangi perdarahan akibat mioma, kecuali pada kasus
mioma yang terletak dalam kavitas endometrium. Kontrasepsi hormone merupakan pilihan
medikamentosa pada mioma dengan perdarahan. Namun, dikarenakan efek yang terkadang tidak
dapat diprediksi, maka ACOG merekomendasikan observasi dan evaluasi berkala ukuran mioma
dan uterus. Contoh LNG-IUS di Indonesia adalah Mirena.
Terapi hormon Androgen (Danazol, gestrinone)
Danazol merupakan hormon sintetik testosterone, derivate isoxazol 17-alpha ethinyl testosterone,
dan merupakan terapi lini utama endometriosis yang pertama dikenalkan pada tahun 1971 oleh
Grenblatt et al. Sementara, gestrinone merupakan hormon anabolic sintetik trienic 19-norsteroid
dengan anti-estradiol campuran progestogen (hormone steroid yang dapat mengikat dan
mengaktivasi reseptor progesterone) dan anti-progestogen.
Danazol dan gestrinone didapatkan mengurangi ukuran mioma dan memperbaiki gejala
perdaahan, namun dikarenakan efek samping yang menonjol seperti jerawat dan hirsutisme,
maka tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama.
Terapi hormon - GnRH Agonis (GA)
Agonis GnRH mengurangi ukuran mioma dengan bekerja pada efek pertumbuhan estrogen dan
progestron. GA akan menstimulasi reseptor pada gonadotrop hipofisis sehingga terjadi pelepasan
luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) sehingga terjadi flare yang
terjadi selama 1 minggu sehingga pada jangka waktu lama akan terjadi desensitisasi stimulasi
GnRH. Maka akan terjadi penurunan sekresi gonadotropin sehingga terjadi penurunan kadar
estrogen dan progesterone 1-2 minggu setelah awal pemberian GnRH agonis. iv Salah satu
mekanisme yang dicurigai adalah bahwa mioma memiliki reseptor GnRH dan agonis dapat
secara langsung mengurangi ukuran mioma. Hasil dari terapi agonis GnRH berupa penurunan
signifikan volume uterus dan mioma. Pada sebagian besar wanita mengalami penurunan volume
uterus sampai 40-50% dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan pertama terapi. Efek klinis dari
24
penurunan volume mioma berupa perbaikan nyeri dan menorrhagia. Terapi disarankan selama
total 3-6 bulan, diikuti pemberhentian penggunaan GA sehingga menstruasi normal akan kembali
dalam 4-10 minggu. Namun, mioma cenderung tumbuh kembali dan kembali ke ukuran sebelum
terapi dalam 3-4 bulan. Namun, meskipun terdapat pertumbuhan, didapatkan penurunan gejala
sekitar 1 tahun pada 50% pengguna GA. Efek samping berupa penurunan estrogen serum
sehingga terjadi gejala vasomotor, perubahan libido, epitel kering vagina, dan dyspareunia.
Namun, GA sebagai terapi tunggal tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang, 6 bulan.
Dikareanakan dapat menyebabkan penurunan tulang trabecular sekitar 6%. Contoh GnRH agonis
adalah goserelin asetat (zoladex) dan leoprorelin asetat (divalin).
Terapi hormon GnRH antagonis (GAA)
Agen tersebut menyebabkan efek hipoestrogen seperti GA namun tanpa adanya flare
gonadotropin dan memiliki onset kerja lebih cepat. Injeksi subkutan harian memicu pengurangan
mioma yang sebanding dengan pemberian GA. Namun, limitasi pada penggunaan obat-obat ini
adalah injeksi harian. Contoh GnRH antagonis adalah cetrorelix dan ganirelix.
Terapi hormone antiprogestin
Secara fisiologis, progesterone akan terikat pada reseptor progesterone A (PR-A) atau B (PR-B).
Pada kasus mioma, reseptor PR-A jauh lebih banyak ditemukan dibandingkan PR-B. Salah satu
antiprogestin yaitu mifepristone dapat mengurangi volum mioma sampai setengahnya dengan
dosis 2.5,5,10, atau 50 mg selama 12 minggu setiap hari. Studi Steinauer dkk (2004) didapatkan
bahwa mifeproston secara efektif mengurangi gejala. 91 terjadi amenorea, 75 % perbaikan nyeri
dan 70% memiliki gejala tekanan yang lebih sedikit. Namun, pada 40% pengguna mifepristone
dilaporkan gejala vasomotor. Contoh antiprogestin adalah mifepristone.
Penanganan bedah
Meskipun gejala perdarahan dan nyeri dapat membaik dengan terapi medikamentosa dan
intervensi radiologis, sebagian besar kasus memerlukan terapi pembedahan dari histeretomi,
miomektomi dan miolisis.
25
Histerektomi
Pilihan terapi pembedahan yang paling umum pada mioma dan bersifat definitif. Pada studi oleh
Carlson dkk (1994) didapatkan histerektomi pada mioma simptomatik menyebabkan perbaikan
gejala yang signifikan pada nyeri, gejala urin, kelemahan, gejala psikologis, dan disfungsi
seksual.
Miomektomi
Reseksi tumor dapat menjadi pilihan pada wanita simptomatik yang masih memiliki keinginan
untuk memiliki anak. Miomektomi dapat memperbaiki gejala nyeri, infertilitas, dan perdarahan,
pada sekitar 70-80% kasus menorrhagia terjadi perbaikan gejala setelah tindakan miomektomi.
2.3Endometriosis
Penyakit kronik jinak yang terjadi pada 10% wanita usia reproduktif, dengan insidens tertinggi
pada usia 25-29 tahun, ini didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium (kelenjar
endometrium dan/atau sel stroma) diluar kavitas uterus. Manifestasi klinis yang paling sering
ditemui adalahnya adanya implantasi endometrium pada peritoneum, kista ovarium dengan
dengan pinggiran jaringan endometrium (kista coklat) atau endometrioma, dan nodul
endometrium (massa padat yang terdiri endometrium, adipose, dan jaringan fibromuskular
diantara rektum dan vagina). Sebagian besar jaringan endometrium ditemui masih dalam rongga
pelvis. Inflamasi pelvis kronik merupakan hallmark dari patofisiologi endometriosis.xii Bukti-
bukti terbaru menemukan adanya factor inflamasi dan factor imun yang dapat dilepaskan oleh sel
endometrium, yang memainkan peran besar dalam implantasi, keberlangsungan hidup, dan
pertumbuhan jaringan endometrium. Penyebab endometriosis dihipotesiskan akibat jaringan
menstruasi yang refluks ke dalam kavitas peritoneum dan menempel ke bagian intraabdominal
lainnya atau disebut dengan retrograde menstruation. Teori tersebut didukung oleh temuan
bahwa sering ditemukannya jaringan endometrium di dekat tuba fallopi dan seringnya kasus
pada wanita dengan obstruksi aliran mens untuk keluar seperti pada stenosis serviks, septum
vagina transversal, dan himen yang imperforasi. Pada studi terbaru, ditemukan bahwa ada
kemungkinan pengaruh imunologis terhadap terjadinya endometriosis. Pada cairan abdomen
wanita dengan endometriosis didapatkan peningkatan kadar makrofag, leptin, TNF-alpha, dan
IL-6.xiii
Faktor risiko endometriosis mirip dengan mioma yaitu riwayat keluarga derajat pertama
(meningkat sampai 6x lipat) dan ekspos terhadap estrogen lebih lama (menarche dini dan
menopause telat). Faktor risiko lainnya yang sering dikaitkan dengan endometriosis adalahnya
26
IMT rendah dan tingginya konsumsi kafein dan alcohol, nuliparitas, durasi menstruasi lama (>5
hari), dan siklus menstruasi lebih pendek (<28 hari). Penggunaan kontrasepsi hormone oral dan
olahraga rutin (>4 jam per minggu) dapat mengurangi risiko.
Manifestasi klinis endometriosis bervariasi dari nyeri rongga pelvis berat dan infertilitas sampai
asimptomatik. Pada suatu studi case-control di UK didapatkan 73% dismenorea, nyeri abdomen
atau pelvis, atau menorrhagia. Namun, endometriosis memiliki variansi manifestasi klinis
diantaranya dyspareunia, dismenorea, dyschezia, dysuria, gangguan gastrointestinal, perdarahan
rectum, dan gangguan siklus menstruasi dari oligomenorrhea atau hipermenorrhea, nyeri panggul
bawah, dan infertilitas. Gejala tidak khas lain dapat nyeri pinggang atau abdomen kronis. Pada
pemeriksaan dapat tidak ditemukan adanya kelainan tetapi terkadang juga dapat ditemukan
kelainan berupa massa pada forniks posterior, gerakan uterus dan ovarium terbatas, atau massa
pada adneksa. Pemeriksaan disarankan dilakukan pada awal siklus haid karena bagian
endometriosis akan lebih besar dan mudah terasa nyeri. Gold standard untuk diagnosis
endometriosis adalah laparoskopi eksplorasi dan sangat tergantung pada kemampuan operator.
Namun pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan tanda-tanda ke arah inflamasi. Untuk
terapi endometriosis, serupa dengan mioma yaitu dengan NSAID, hormon (baik kombinasi
estrogen.progestin, androgen), GnRH agonis.
27
BAB III
DISKUSI
Pada kasus ini, terdapat wanita berusia 42 tahun, mengeluhkan adanya massa yang
membesar selama 1 tahun terakhir dimana terjadi perubahan siklus haid dari segi jumlah dan
durasi yang lebih sedikit dan adanya nyeri saat haid yang sebelumnya disangkal. Dalam 3 bulan
terakhir, massa dirasa membesar dengan lebih cepat disertai adanya peningkatan frekuesi buang
air kecil. Keluhan nyeri saat berkemih dan rasa tidak lampias disangkal. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan massa abdomen soliter berukuran 15x10x5 cm di lumbal-iliaka sinistra. Pada
pemeriksan dalam dan bimanual, didapatkan pembesaran uterus dan nyeri (+) pada forniks
lateral. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia mikrositik, hipoalbuminemia, dan
trombositosis. Pada pemeriksaan CT Scan, dikonfirmasi adanya massa pada uterus. Setelah
dilakukan operasi histerektomi, didapatkan adanya multiple mioma uteri degeneratif kistik,
endometriosis tuba bilateral, dan adhesi peritoneal.
Berhubung abdomen merupakan lokasi dari berbagai organ, maka dalam menghadapi
keluhan massa dari abdomen, harus diketahui organ yang berkaitan dengan massa yang
membesar tersebut. Secara garis besar, dalam menghadapi masa abdomen/pelvis terdapat
penyebab ginekologis, bedah, neurologis, dan hematologi. Pada anamnesa, didapatkan adanya
keluhan perubahan siklus haid, nyeri sesaat sebelum haid, dan keluhan buang air kecil. Keluhan
buang air besar dan gejala neurologis (seperti kesemutan, kejang) disangkal. Maka dari itu
penyebab bedah dan neurologis dapat disangkal dan penyebab ginekologis diperkirakan. Setelah
menentukan letak penyebab ginekologis antara lain kehamilan, berasal dari uterus, tubal, atau
ovarium. Pada anamnesa didapatkan gejala gangguan siklus disertai gejala mikturasi yang
berhubungan dengan gejala penekanan (frekuensi BAK meningkat dan menjadi lebih sedikit)
yang menyertai masa pada pelvis yang umumnya berkaitan dengan mioma uteri pada wanita usia
reproduktif.xiv Namun, juga terdapat nyeri sesaat haid yang dapat mengarah pada endometriosis.
Untuk mengonfirmasi, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan masa abdomen-pelvis berukuran 15 x10 x 5 cm di lumboiliakal sinistra. Pada
pemeriksaan dalam dan bimanual didapatkan pembesaran uterus dan nyeri pada forniks lateral.
Hasil tersebut semakin mengonfirmasi bahwa permasalahan pada uterus, dengan salah satu
diagnosis utamanya adalah suspek mioma uteri. Pada pemeriksaan laboratoium didapatkan
28
anemia mikrositik, hipoalbuminemia, dan trombositosis. Anemia mikrositik dapat disebabkan
oleh anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, dan talasemia. Berhubung prevalensi
anemia defisiensi besi cukup tinggi di Indonesia dan keluhan pasien sudah cukup lama, anemia
dapat disebabkan oleh ane defisiensi besi dan anemia penyakit kronik. Trombositosis reaktif
dapat menjadi alasan dari trombositosis pada pasien ini trombositosis reaktif dapat terjadi pada
inflamasi. Pada pemerikaan CT-scan dan USG, dapat dipastikan adanya pembesaran uterus yang
dicurigai akibat mioma uteri. Melihat seluruh data tersebut, diagnosis mengarah pada mioma
uteri. Untuk diagnosis harus dilakukan laparotomy dan histerektomi total. Setelah dilakukan
laparotomy, baru diketahui adanya mioma uteri disertai endometriosis tuba.
Penyebab dari terjadinya mioma sampai saat ini masih belum dipastikan. Untuk faktor
genetic, pada pasien ini disangkal adanya riwayat keluarga dengan mioma atau tumor apapun.
Namun, harus diingat bahwa 70% dari kasus mioma tidak terdeteksi dan cenderung terdeteksi
secara tidak sengaja pada pemeriksaan USG untuk keluhan lain. Mioma cenderung bersifat
asimptomatik sehingga semakin tidak terdeteksi. Faktor resiko pada pasien ini yang ditemui
diantaranya : paritas, diet, dan olahraga.
Pada pasien ini, paritas menjadi masalah dimana paritas yang hanya satu dan sudah 21
tahun yang lalu. Setelah itu, pasien berusaha hamil kembali 3 tahun setelah anak pertama namun
tidak pernah hamil. Tidak berhasilnya hamil ini awalnya dapat disebabkan oleh cara yang salah
berhubung pasien mengaku berhubungan hanya 1-2x/minggu sehingga kemungkinan hamil
dibandingkan standard (3x/minggu) lebih kecil, namun juga dapat diperburuk oleh endometriosis
tuba bilateral yang menyebabkan hambatan pada perpindahan sel telur ke tuba. Asosiasi antara
endometriosis dan infertilitas sampai saat ini belum dapat ditentukan, namun secara teori, adhesi,
kisa atau lesi pada kavitas pelvis dapat mengganggu folikulogenesis dan ovulasi, membatasi
mobilitas fimbrae, menginhibisi penangkapan ovum oleh fimbrae, sehingga menyebabkan
hambatan pada fertilisasi serta menyebabkan timbulnya dyspareunia yang semakin akan
membatasi aktivitas seksual sehingga kemungkinan hamil akan semakin menurun. Studi oleh
Lessey (2002) juga menemukan bahwa disfungsi endometrium juga merupakan factor yang
mempengaruhi fertilitas. Adanya mioma multipel juga menyebabkan kemungkinan hamil
menurun dikarenakan meskipun terdapat ovum yang berhasil difertilisasi oleh sel sperma, maka
akan timbul hambatan pada implantasi ovum tersebut. Berbagai studi menemukan bahwa mioma
khususya tipe submukosa dapat menyebabkan infertilitas dikarenakan penurunan kejadian
implantasi.viii Studi terbaru menemukan bahwa pada wanita yang memiliki paritas tinggi maka
29
akan sering terjadi remodelling uterus saat involusi uterus post partum yang dapat menyebabkan
kehancuran pembuluh darah yang menyuplai mioma.ii,iv
Berat badan juga menjadi masalah pada pasien ini. Pasien tergolong obese dan
kemungkinan memiliki lemak tubuh diatas >30%. Berdasarkan studi, risiko mioma meningkat
ii,iv
21% setiap peningkatan 10 kg dan IMT. Pengaruh IMT terhadap peningkatan risiko ini jug
masih terbatas pada pasien premenopause. Studi-studi prospektif menunjukkan adanya
peningkatan IMT berhubungan secara signifikan terhadpa risiko mioma uteri. Obesitas
diperkirakan berhubungan dengan mioma dikarenakan peningkatan kadar hormon endogen,
penurunan globulin hormone-binding dalam plasma, perubahan metabolisme estrogen pada
premenopause, dan perubahan peninyalan sel myometrium seperti reseptor insulin, insulin-like
growth factor, dan reseptor peroxisome proliferator-activated. Namun, pada wanita
postmenopause, hubungan tersebut tidak ditemukan.xv
Suatu studi mendapatkan bahwa konsumsi daging dan babi meningkatkan insidens
mioma namun sayuran hijau menurunkan insidens.ii Pasien ini juga memiliki diet yang jarang
mengonsumsi sayuran yang bersifat protekstif terhadap mioma, meskipun pasien jarang
mengonsumsi daging. Efek protektif dari asupan sayuran dan buah yang tinggi dapat
berhubungan dengan serat dan substansi aktif lainnya seperti fitoestrogen dan lycopene. Serat
dapat mempengaruhi metabolisme hormone sek dan asam empedu melalui gangguan pada
sirkulasi enterohepatif, perubahan metabolisme usus, dan peningkatan ekskresi pada feces.
Fitoestrogen, khususnya isoflavonoid dan lignin, memiliki aktivitas estrogen sedang dan anti-
estrogen. Pada pasien dengan diet vegetarian, memiliki kadar estriol urin dan estrogen total yang
lebih rendah dan kadar globulin sex hormone-binding plasma yang lebih tinggi. Substansi
lycopene yang terdapat pada warna kuning, oranye, dan merah pada berbagai buah dan sayuran
berhubungan dengan penurunan risiko berbagai tipe kanker dikarenakan sifat antioksidan dan
aktivitas provitamin A, khususnya untuk mioma, baru dibuktikan pada satu studi hewan saja.
Pasien juga tidak rutin olahraga dimana olahraga bersifat protektif terhadap mioma dikarenakan
penurunan massa tubuh yang dapat dikonversikan menjadi estrogen.
Merokok dikatakan memiliki sifat protektif terhadap mioma berhubung kandungan rokok
mengurangi bioavailabiitas estrogen dalam jaringan, menurunkan konversi androgen menjadi
estron akibat inhibisi aromatase oleh nikotin, meningkatkan hidroksilasi estradiol, dan
menstimulasi kadar sex hormone-binding globulin.iv Namun, sifat protektif baru terbukti melalui
studi yang terkontrol, sementara pada kasus nyata terdapat berbagai factor lain yang
30
mempengaruhi. Pada pasien ini, pasien tidak merokok namun suami pasien aktif merokok. Hal
itu seharusnya bisa membantu mencegah terjadinya mioma, namun kebetulan suami pasien
bekerja sebagai nelayan dan jarang bertemu dengan pasien sehingga pasien tidak terlalu
terekspos dengan asap rokok.
Diet :
Jarang
jarang olahra
sayura olahra
ga
ga
n
Tidak
pernah Miom Obesita Endometriosi
olahrag
a a s
s
Tidak
Tidak Parita
memiliki
memiliki s
anak
anak
>20
>20 renda
tahun h
Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini, didapatkan adanya anemia mikrositik, trombositosis,
dan hipoalbuminemia. Ketiga temuan ini mendukung kearah adanya penyakit kronik dan
berkaitan dengan inflamasi yaitu pada kasus ini endometriosis. Salah satu diagnosis banding
anemia mikrositik adalah anemia defisiensi besi dan perdarahan, namun pada pasien ini terjadi
oligomenorrhea sehingga anemia mikrositik lebih diarahkan pada penyakit kronik yang sudah
berjalan minimal 1 tahun terakhir yaitu pertumbuhan mioma dan endometriosis. Trombositosis
dan hipoalbuminemia juga disebut sebagai tanda inflamasi khususnya inflamasi kronik.
31
Gambar 6 Analisa diagnosis Endometriosis dan Mioma Ny. M
BAB IV
KESIMPULAN
Pada pasien ini, terdapat beberapa factor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
mioma dan endometriosis diantaranya faktor adanya obesitas, kurangnya kebiasaan olahraga,
32
diet yang kurang protektif terhadap kejadian mioma, serta paritas yang rendah. Manifestasi klinis
pada pasien ini lebih mengarah kearah endometriosisnya terutama keluhan utama berupa nyeri
dan oligomenorrhea. Gejala mioma yang tampak pada pasien ini berupa gejala penekanan mioma
yaitu meningkatnya frekuensi buang air kecil yang sesuai dengan literature dimana biasanya
mioma memiliki variasi manifestasi klinis dari asimptomatik sampai timbul gejala-gejala
penekanan/pressure.
DAFTAR PUSTAKA
33
i Behera, MA. Uterus Anatomy. Medscape. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1949215-
overview#a4 [Accessed on 30/04/2016]
ii Parker, WH. (2007). Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine myomas. Fertility and Sterility.
[Online] 87(4). P. 725-732. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17430732. [Accessed on
15/04/2016].
iii Sparic R, Mirkovic L, Malvasi A, Tinelli A. (2016) Epidemiology of Uterine Myomas: A Review. Int J Fertil
Steril. 9(4):p 424-435.
iv Pasinggi, S., Wagey, F. and Rarung, M. (2015). Prevalensi Mioma Uteri Berdasarkan Umur di RSUP Prof.
DR. R.D Kandou Manado. Jurnal e-Clinic, 3(1).
v Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw Williams Gynaecology. 2nd Ed. New York:
McGrawHill. 2012
vi Schwartz SM, Marshall LM, Baird DD. Epidemiologic contributions to understanding the etiology of
uterine leiomyomata. Environ Health Perspect 2000;108(Suppl 5):8217.
vii Ross RK, Pike MC, Vessey MP, Bull D, Yeates D, Casagrande JT. Risk factors for uterine fibroids:
reduced risk associated with oral contracep- tives. Br Med J (Clin Res Ed) 1986;293:35962.
viii Stewart E. Histology and Pathogenesis of Uterine Leiomyomas(fibroids). Available from :
http://www.uptodate.com/contents/histology-and-pathogenesis-of-uterine-leiomyomas-fibroids. [Accessed on
30/04/2016]
ix Simms-Stewart D, Fletcher H. Counselling Patients with Uterine Fibroids : A Review of the Management and
Complications. Obstetrics and Gynecology International. Vol 2012.
x Mayo Clinic. Thrombocytosis. Available from : http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/thrombocytosis/basics/causes/con-20032674. [ Accessed on 3 July 2016 on 20.00 WIB]
xi Livshits A, Seidman DS. Role of Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs in Gynecology. Pharmaceuticals
2010. 3. 2082-2089.
xii Avcioglu SN, Altinkaya SO, Kucuk M, Demircan-Sezer S. Yuksel H. Can Platelet Indices be New Biomarkers
for Severe Endometriosis?. ISRN Obstetrics and Gynecology. Vol 2014.
xiii Schrager S, Falleroni J, Edgoose J. Evaluation and Treatment of Endometriosis. Am Fam Physician.
2013;87(2):107-113.
xiv Pathiraja P. Abdominal Masses in Gynecology. Available from : https://www.glowm.com/pdf/Chap-
11_Pathiraja.pdf. [Accessed on 7 Oktober 2016]
xv He Y, Zeng Q, Shengyong D, Qin L, Li Guowei, Wang P. Associations between uterine fibroids and lifestyles
including diet, physical activity, and stress : a case-control study in China. Asia Pac J Clin Nutr.22(1) : 109-117.
2013