Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

PENGGUNAAN MgSO4 UNTUK MENGURANGI GEJOLAK


KARDIOVASKULER PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN
INTUBASI ENDOTRAKEA

Oleh:
Surya Meka Novita Sari
H1A 212 058

Pembimbing: dr. Hijrineli Sy, Sp. An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2017
BAB I

PENDAHULUAN
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea merupakan tindakan yang banyak
dilakukan pada anestesi umum.1 Tindakan ini sering menimbulkan respon kardiovaskuler yang
berlebihan. Respon ini berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, dan aritmia.
Hal tersebut terjadi akibat timbulnya refleks simpatis dan simpatoadrenal yang berlebihan.
Respon ini mungkin pada orang sehat tidak berbahaya, tetapi sangat berbahaya bagi pasien
dengan faktor risiko sebelumnya seperti hipertensi, coronary artery disease, cerebrovascular
disease, dan aneurisma intrakranial.2
Terdapat beberapa teknik yang telah digunakan dalam mengatasi respon kardiovaskuler
tersebut. Teknik-teknik itu antara lain dengan mendalamkan anestesi, memberikan obat anestesi
lokal, memberikan opioid (fentanil, alfentanil), memberikan beta adrenergik blocker, vasodilator
(nitrogliserin, sodium nitroprusid), calcium channel blocker (diltiazem), dan alfa 2 adrenergik
agonis (clonidin, deksmedetomidin) dan magnesium sulfat.1,3
Magnesium sulfat bekerja memblok secara langsung pelepasan katekolamin dari ujung
saraf adrenergik dan kelenjar adrenal. Magnesium sulfat bekerja sebagai nonkompetitif inhibitor
pada ligan saluran kalsium IP3 (inositol 1,4,5- triphosphate) dan ikatan IP3.3 Hal ini akan
melibatkan beberapa proses termasuk ikatan reseptor hormon, ligan saluran kalsium, dan aliran
ion antarmembran dan regulasi adenylate cyclase, kontraksi otot, aktivitas saraf, kontrol tonus
vasomotor, eksitabilitas otot jantung dan pelepasan neurotransmiter.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Magnesium Sulfat (MgSO4)
Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan ion yang sangat dibutuhkan untuk fungsi seluler
dalam tubuh., seperti penyimpanan, metabolisme, dan pembentukan energi. Magnesium
berfungsi sebagai kofaktor untuk berbagai proses biologis, termasuk sintesis protein, fungsi
neuromuskular, dan stabilisasi asam nukleat. Magnesium merupakan komponen intrinsik dari
adenosin 5-triphosphatases dan regulator endogen beberapa elektrolit.4
Tubuh manusia dewasa mengandung rata-rata 24 gram magnesium, disimpan terutama
dalam tulang (60%) dan kompartemen intraseluler otot (20%) dan jaringan lunak (20%),
terutama terikat sebagai chelators, seperti adenosin 5- trifosfat dan DNA. Sebanyak 23 % dari
magnesium intraseluler terionisasi dan mengatur homeostasis magnesium ruang intraseluler.
Ruang ekstraseluler hanya mengandung magnesium 1% dari total magnesium tubuh, termasuk
0,3% di dalam plasma. Magnesium plasma terionisasi (60%), dalam bentuk anion (7%), atau
protein yang terikat (33%), dengan konsentrasi normal magnesium total plasma berkisar 0,7-1,0
mM (1,7-2,4 mg/dl).3
Pemeliharaan homeostasis magnesium sebagian besar diatur oleh penyerapan usus dan
ekskresi ginjal. Magnesium lebih banyak diserap di intestinal dan dieksresikan melalui ginjal.
Penyerapan melalui intestin melalui 2 mekanisme yang berdasarkan pada dosis dan formulasi
diet, yaitu pada konsentrasi intraluminal yang rendah predominan dengan mekanisme aktif
transeluler transport dan pada konsentrasi yang lebih tinggi melalui difusi pasif. Adapun
penyerapan magnesium melalui intestinal adalah 40-50%.3
Adapun mekanisme ekskresi di ginjal, 80% plasma magnesium di filtrasi di glomerulus
dengan lebih dari 95% akan direabsorbsi kembali. reabsorpsi lebih banyak terjadi di ansa henle
dan 15-25% di proksimal tubulus dan 5-10% di distal tubulus. mekanisme reabsorpsi magnesium
adalah melalui difusi pasif paraseluler yang mengikuti dari reabsorpsi klorida. Selain itu, jumlah
magnesium dalam tubuh juga dipengaruhi oleh hormone. Parathormon dan vitamin D
menstimulasi reabsorpsi magnesium di renal dan intestinal. Sedangkan insulin dapat mengurangi
eksresi magnesium di renal dan mempercepat pengambilan seluler.3

3
Ekskresi magnesium biasanya 5 mmol/hari jika fungsi ginjal normal, tapi bisa menurun
hingga kurang dari 0,5% (0,03 mmol/hari) akibat gangguan pada extrarenal. Namun, orang
sangat rentan terhadap hipermagnesemia pada gangguan fungsi ginjal.2,3
Mekanisme kerja MgSO4
Magnesium merupakan kation terbanyak keempat dalam tubuh dan kation intraseluler
terbanyak kedua setelah kalium. Sekitar satu setengah dari total magnesium tubuh terdapat dalam
tulang dan 20% dalam otot rangka. 3 Magnesium diperlukan dalam pelepasan asetilkolin pada
ujung saraf presinaptik dan dapat menghasilkan efek yang mirip dengan obat yang menghambat
masuknya kalsium. Ion magnesium terlibat sebagai kofaktor dari sekitar 300 reaksi enzimatik
dalam tubuh dan juga berperan dalam beberapa proses penting seperti pengikat reseptor hormon,
pintu saluran kalsium, masuknya ion melewati membran, regulasi sistem adenilsiklase, aktivitas
neuronal, tonus vasomotor, perangsangan jantung dan pelepasan neurotransmitter.4
Magnesium termasuk non kompetitif inhibitor dari inositol trifosfat-gated saluran
kalsium magnesium berfungsi sebagai antagonis kalsium endogen dengan mempengaruhi
penyerapan dan distribusi. Magnesium juga menunjukkan efek modulatori pada saluran natrium
dan kalium, sehingga mempengaruhi membran potensial. Pada sistem saraf pusat, efek depresi
timbul pada pemberian magnesium, bertindak sebagai antagonis pada reseptor N-Methyl D-
Aspartat (NMDA) glutamat dan penghambat pelepasan katekolamin.5

Gambar 2.1: Mekanisme Aksi Magnesium dikutip dalam Herroeder et al. Magnesium-Essentials for
Anesthesiologists. Anesthesiology. 2011 (114);1-23

4
Magnesium bersaing dengan kalsium pada saluran membran.1 Hal ini dapat menghambat
banyak respon yang dimediasi kalsium seperti pelepasan katekolamin dari kedua kelenjar adrenal
dan terminal saraf adrenergik perifer dalam merespon stimulasi simpatik dan memiliki sifat
vasodilatasi. Magnesium juga menghambat pelepasan asetilkolin presinap pada sambungan
neuromuskular dan dapat mengakibatkan waktu onset dini dan potensiasi blokade neuromuskular
yang tak terduga. Selain itu, sebagai antagonis reseptor NMDA dalam sistem saraf pusat,
magnesium menurunkan sensitisasi nosiseptor perifer dan respon stres pada pembedahan dan
dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan opioid dalam periode perioperatif.2,3 .
Efek MgSO4 terhadap Fisiologi Sel
Magnesium menurunkan aktivasi Ca ATPase dan Na-K ATPase yang terlibat dalam
pertukaran ion selama fase depolarisasi-repolarisasi. Defisiensi magnesium akan mengganggu
kerja pompa ATPase yang akan meningkatkan natrium dan kalsium ekstrasel dan menurunkan
kalium intrasel. Hal ini akan mengganggu stabilitas membran sel dan organ sel dalam sitoplasma.
Aksi pada kanal ion Magnesium berperan sebagai pengatur keseimbangan perbedaan ion dalam
kanal ion. Konsentrasi magnesium intrasel yang rendah akan mengakibatkan kalium keluar sel,
dengan demikian akan merubah konduksi dan metabolisme sel.2
Efek pada Sistem Kardiovaskular
Kerja magnesium pada kanal kalsium dan pompanya sebenarnya sebagai pengatur aliran
di transmembran dan intraseluler. Selain itu, magnesium juga mempunyai efek tidak langsung
pada otot jantung dengan menghambat ambilan kalsium oleh troponin C di miosit dan akan
mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Dengan meningkatnya dosis yang diberikan,
magnesium akan menunjukkan efek inotropik negatif. Magnesium akan menurunkan tekanan
arteri sistemik dan arteri pulmonal dengan jalan menurunkan resistensi pembuluh darah.
Pemberian magnesium dosis 3 atau 4 gram dengan cepat akan menurunkan tekanan sistolik
arteri. Efek inotropik positif dan kronotropik dikompensasi oleh peningkatan cardiac index,
sedangkan resistensi pembuluh pulmonal tidak mengalami perubahan. Gangguan pergerakan ion
dalam sel yang diakibatkan oleh karena dismagnesemia akan mempengaruhi eksitabilitas sel-sel
jantung pada nodus SA, yang bertanggung jawab terhadap gangguan irama jantung.2
Laringoskopi dan intubasi endotrakeal
Laringoskopi dan intubasi endotrakea adalah suatu tindakan untuk menjaga jalan nafas
dengan cara memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea melalui mulut atau hidung dengan

5
menggunakan bantuan laringoskop. Laringoskopi dan intubasi endotrakea pertama kali dilakukan
pada tahun 1895 oleh Kirsten. Ahli anestesi rutin melakukan intubasi endotrakea pada anestesi
umum. Perkembanggan peralatan dan pemakaian pelumpuh otot yang disertai ketrampilan ahli
anestesi menjadikan intubasi endotrakea tindakan yang aman dan umum dilakukan dalam dunia
anestesi.1
Laringoskopi dan intubasi endotrakea berisiko menimbulkan berbagai komplikasi dan
efek samping. Tindakan laringoskopi maupun intubasi endotrakhea menyebabkan terjadinya
respon pada sIstem kardiovaskular, respirasi, susunan saraf pusat, mata, saluran pencernaan, dan
lain-lain.1,6
Inervasi dari Jalan Napas

Gambar 2.2: Inervasi Jalan Napas dikutip dari Purchase, K. Blunting The Intubation Respons: Facr or
Fiction. University of Kwazulu-Natal. Discipline of Anaesthetics. 2014 (2)

Inervasi faring dipersarafi oleh nervus glossofaringeus dan nervus vagus. Nervus
glosofaringeus yang menginervasi sensoris dari 1/3 posterior dari lidah, tonsil, anterior epiglotis
dan seluruh bagian faring. Adapun inervasi motorik berasal dari nervus vagus cabang faring.2
Adapun inervasi laring adalah nervus laryngeal interna yang merupakan cabang dari
nervus laryngeal superior yang menginervasi sensoris dari posterior epiglotis hingga ke plika
vokalis. Sedangkan nervus laryngeal recurrent menginervasi laring hingga bawah dari plika
vokalis dan trakea. Adapun inervasi motorik berasal dari nervus laryngeal recurrent yang
menginervasi seluruh otot laring kecuali muskulus crikoid.2

6
Dapat disimpulkan bahwa orofaring, 1/3 posterior lidah dan anterior epiglotis diinervasi
oleh nervus glossofaringeus dan posterior glotis serta distal struktur jalan napas diinervasi oleh
cabang dari nervus vagus.2
Efek Intubasi terhadap Kardiovaskuler

Mekanisme yang tepat dari respon intubasi masih sulit dipahami tetapi telah diketahui
bahwa hal tersebut merupakan respons dari simpatis dan parasimpatis. Efeknya akan terlihat
dalam 30 detik setelah intubasi dan berlangsung selama kurang dari 10 menit sesudahnya.3
Respon simpatik yang terjadi adalah melalui jalur polisinaps yang berhubungan dengan nervus
glossopharingeus dan nervus vagus yang merupakan aferen ke sistem saraf simpatik melalui
batang otak dan sumsum tulang belakang. Hal ini menyebabkan respon otonom menyebar di sisi
eferen termasuk peningkatan kontraksi jantung dan pelepasan mediator adrenergik termasuk
norepinefrin, epinefrin dan vasopresin. Efek dari lonjakan otonom ini adalah peningkatan
tekanan darah (BP), denyut jantung (HR), peningkatan tekanan arteri pulmonal dan penurunan
fraksi ejeksi. Adapun refleks parasimpatis didapatkan melalui monosynaptic dan lebih umum
pada anak-anak tetapi dapat terjadi pada beberapa orang dewasa. Refleks ini yang dimediasi oleh
peningkatan tonus vagal pada node SA.2
Respon hemodinamik untuk laring dan intubasi trakea bersifat sementara dan pada
kebanyakan pasien dianggap hanya sebagai risiko kecil. Pada orang sehat rata-rata peningkatan
tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik masing-masing lebih dari 53 mmHg dan 34
mmHg. Laju jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit. Respon peningkatan laju jantung pada
laringoskopi bervariasi, meningkat pada 50% kasus. Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi
perubahan EKG (biasanya extrasystole atau premature contraction), tetapi lebih sering terjadi
pada tindakan intubasi. Respon ini mungkin kurang berarti klinis pada pasien yang sehat, tetapi
dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovascular disease. Peningkatan tekanan
darah dan laju jantung akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Keadaan ini bisa
berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung.2
Respon tersebut terjadi akibat adanya peningkatan rangsangan simpatis. Peningkatan
rangsangan ini terjadi karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren
laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakea. Peningkatan rangsangan simpatis ini
akan menyebabkan kelenjar suprarenalis mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin

7
sehingga pada sistem kardiovaskuler akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah,
laju jantung, dan disritmia.1-3
Rangsangan simpatis terhadap jantung akan menimbulkan efek yang berlawanan dengan
efek yang terjadi pada rangsangan nervus vagus, yaitu meningkatkan kecepatan timbulnya
impuls pada nodus SA, meningkatkan kecepatan rangsang terhadap semua bagian jantung, serta
meningkatkan kontraksi otot jantung. Perangsangan terhadap saraf simpatis akan menyebabkan
kelenjar suprarenal akan mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin. Hormon ini akan
meningkatkan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion natrium dan ion kalsium, dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung pada nodus SA. Peningkatan permeabilitas terhadap ion
kalsium menyebabkan meningkatnya kekuatan kontraksi otot jantung.2
Efek Pemberian MgSO4
Magnesium merupakan ion bervalensi dua.4 Magnesium berperan penting sebagai salah
satu kation di dalam cairan interseluler tubuh. Magnesium juga berperan dalam beberapa proses
termasuk hormon receptor binding, kanal ion kalsium, pergerakan ion di transmembran,
pengaturan enzim adenilat siklase, kontraksi otot, kontrol tonus vasomotor, eksitabilitas jantung
dan pelepasan neurotransmiter. Mekanisme kerjanya seperti berperan sebagai antagonis ion
kalsium.7
Magnesium bekerja sebagai kompetitif inhibitor gerbang IP3 pada kanal kalsium dan
mencegah ikatan IP3 dengan reseptornya. Karena itu magnesium adalah antagonis kalsium di
tingkat seluler pada kanal IP3. Ion magnesium mempunyai efek depresi pada sel otot jantung dan
otot polos pembuluh darah, menghambat pelepasan katekolamin dari medulla adrenal, dan
akhiran saraf adrenergik. Ion magnesium memblok secara langsung reseptor katekolamin,
menurunkan curah jantung, dan tonus vaskuler sehingga terjadi hipotensi. Oleh karena itu,
magnesium sering digunakan untuk mengatasi peningkatan tekanan darah dan laju jantung pada
tindakan laringoskopi dan intubasi.2,3
Tindakan laringoskopi dan intubasi dapat menstimulasi pelepasan katekolamin dari
medulla adrenal. Adanya perubahan parameter hemodinamik >20% dari nilai dasar pasien dapat
diinterpretasikan sebagai nilai abnormal. Hal ini lebih banyak terjadi pada pasien-pasien dengan
penyakit jantung dan kelainan paru. Kalsium memiliki pengaruh besar dalam pelepasan
katekolamin dari medulla adrenal dan stimulasi simpatis pada nervus adrenergik terminal.

8
Magnesium merupakan kompetitor dari penyatuan kalsium pada membran channel. Sehingga
magnesium dapat mengurangi efek simpatis dan memblok pengeluaran katekolamin.1,2
Pemberian MgSO4 dipercaya dapat menurunkan level dari epinefrin dan menyebabkan
penurunan dari kontraksi atrium, bradikardi, dan vasodilatasi.7 Dalam Puri et al menunjukkan
bahwa dosis MgSO4 50 mg/KgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dapat
menurunkan respon kardiovaskuler pada intubasi dibandingkan dengan pemberian lidokain.
Penelitian lain dalam penelitian Azim et al didapatkan penggunaan MgSO4 30 mg/KgBB atau 40
mg/KgBB setara dengan efek yang didapatkan pada pemberian dosis MgSO4 50 mg/KgBB.
Dalam beberapa penelitian lain disebutkan bahwa penggunaan MgSO4 dapat mengurangi
gejolak kardiovaskular pada saat tindakan intubasi. Dalam penelitian Puri dan Batral didapatkan
hasil bahwa penggunaan MgSO4 50 mg/KgBB pada saat intubasi pasian yang akan melalukan
CABG menurunkan perubahan menjadi segmen ST pada saat tindakan laringoskopi. Penelitian
lain yang dilakukan oleh James et al juga menunjukkan penggunaan MgSO460 mg/KgBB
menunjukkan penurunan dari TD dan tekanan arteri.
MgSO4 terlibat dalam beberapa proses fisiologis termasuk kontrol tonus vasomotor,
rangsangan jantung dan pelepasan neurotransmiter. Melalui berbagai metode menyebabkan
vasodilatasi dan menurunkan pelepasan katekolamin dari terminal saraf dan kelenjar adrenal.
Panda et al menyebutkan bahwa dosis efektif minimal MgSO4 diperlukan untuk melemahkan
respon intubasi pada pasien hipertensi terkontrol adalah 30 mg/KgBB. Adapun dosis yang lebih
tinggi dikaitkan dengan hipotensi signifikan. James et al membandingkan antara Lignocaine (1,5
mg/KgBB), alfentanil (10 g/KgBB) dan MgSO4 (40 mg/KgBB) pada pasien hamil dengan
hipertensi dan proteinuria, didapatkan tekanan darah sistolik melebihi dasar nilai-nilai 5 menit
pertama setelah intubasi trakea pada kelompok lignocaine, namun tidak ada peningkatan berarti
tekanan terjadi pada dua kelompok lainnya. Alfentanil menyebabkan perubahan paling tidak
dalam denyut jantung, tetapi mengakibatkan depresi janin yang signifikan. Dalam penelitian
berikutnya dilakukan penelitian untuk membandingkan antara MgSO4 40 mg/KgBB dengan
MgSO4 30 mg/KgBB dan alfentanil 7.5 g/KgBB. Kesimpulan yang didapatkan bahwa kedua
metode tersebut dapat mengendalikan respon hemodinamik. Adapun penggunaan kombinasi
tersebut lebih baik dalam mengendalikan baik BP dan respon HR. Namun tidak ada perbedaan
dalam out come janin antara kedua kelompok.

9
BAB III
KESIMPULAN
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea merupakan tindakan yang banyak
dilakukan pada anestesi umum. Tindakan ini sering menimbulkan respon kardiovaskuler yang
berlebihan. Respon ini berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, dan aritmia.
Hal tersebut terjadi akibat timbulnya refleks simpatis dan simpatoadrenal yang berlebihan akibat
stimulasi oleh ion kalsium.
Magnesium merupakan kompetitor dari ion kalsium. Magnesium juga berperan dalam
beberapa proses termasuk hormon receptor binding, kanal ion kalsium, pergerakan ion di
transmembran, pengaturan enzim adenilat siklase, kontraksi otot, kontrol tonus vasomotor,
eksitabilitas jantung dan pelepasan neurotransmiter. Mekanisme kerjanya seperti berperan
sebagai antagonis ion kalsium. Sehingga, magnesium sulfat terbukti efektif dalam mengurangi
gejolak kardiovaskuler pada saat laringoskopi dan intubasi endotrakea. Adapun dosis yang dapat
diberikan 30-50 mg/KgBB.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Randika, Prayoga. Pengaruh Magnesium Sulfat 30 mg/KgBB Intravena terhadap Respons
Kardiovaskuler Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi. Penelitian Karya Tulis
Ilmiah. Universitas Diponegoro. 2009
2. Purchase, K. Blunting The Intubation Respons: Fact or Fiction. University of Kwazulu-
Natal. Discipline of Anaesthetics. 2014 (2)
3. Herroeder, Susanne, Marianne, & Stefan et al. Magnesium-Essentials for
Anesthesiologists. Anesthesiology. 2011 (114);1-23
4. Akhtar, Moh. Irfan, Hameed Ullah, & Moh. Hamid. Magnesium, A Drug of Diverse Use.
The AGA Khan University, Departement of Anaesthesia, Medical Collage. Journal of the
Pakistan Medical Association. 2011, 61 (12); 1220-1227
5. Azim, Moh. Safavi, & Sajad et al. Different Doses of Intravenous Magnesium Sulfate on
Cardiovascular Changes following the Laryngoscopi and Tracheal Intubation: A Double-
blind Randomized Controlled Trial. Journal of Reseacrh in Pharmacy Practice. 2015 (4)
6. Kotwani, Manish, Deepti & Vandana. A Comparative Study of Two doses of MgSO4 in
Attenuating Haemodynamic Responses to laryngoscopy and Intubation. International
Journal of Research in Medical Sciences. 2016 (4); 2548-2555
7. Panda, Nidhi, Neerja, & Seema. Minimal Effective Dose of MgSO4 for Attenuation of
Intubation Response in Hypertensive Patients. Journal of Clinical Anesthesia.
ELSIVIER. 2013 (25); 92-97

11

Anda mungkin juga menyukai