TUGAS TERSTRUKTUR
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Rehabilitasi Ekosistem Pesisir
yang dibimbing oleh Bapak Dr. H. Rudianto, MA
Oleh :
2.4 Mangrove
Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan
mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surt air laut, yakni
tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut.
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di
pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan
bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam.
Selanjutnya ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang
terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan
faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove (Onrizal, 2008).
Menurut Arief (2003), adapun fungsi mangrove yakni menjaga garis pantai
tetap stabil, melindungi pantai dari erosi atau abrasi, menahan sedimen
secara periodik, sebagai penyerap karbondioksida, pengolah bahan
limbah, sebagai kawasan pemijah dan berlindung, serta sebagai habitat
alami berbagai jenis biota darat dan laut lainnya.
3. METODOLOGI
3.1 Analisis Tingkat Kerusakan
Menurut Taofiqurohman et al. (2012), analisis tingkat kerusakan
pesisir di kota Semarang ditentukan dengan menghitung perubahan garis
pantai dengan menggunakan metode Thieler et al. (2008), yang
menghitung jarak antar vektor garis pantai setiap tahun, agar diketahui
pergerakan total garis pantai. Perhitungan ini memanfaatkan transek-
transek sebagai acuan dari perubahan garis pantai. Tiap transek berjarak
30 meter, dengan asumsi 1 transek mewakili 1 piksel citra Landsat.
Setelah mengetahui jarak kemunduran garis pantai maka daerah tersebut
dapat di klasifikasikan ke dalam beberapa tingkat kerusakan pantai.
Lokasi yang perlu dilakukan rehabilitasi adalah lahan-lahan kritis yang
dengan kondisi rusak. Setelah diketahui tingkat keparahan kerusakan
suatu lokasi maka dapat ditentukan langkah rehabilitasi yang akan
diambil. Penentuan tingkat kerusakan pantai didasarkan kepada klasifikasi
dari Litbang PU Pengairan tahun 1993, berdasarkan jarak kemunduran
garis pantai sebagai berikut:
- Amat sangat berat : > 10 m/tahun
- Amat berat : 5,0 10,0 m/tahun
- Berat : 2,0 5,0 m/tahun
- Sedang : 0,5 2,0 m/tahun
- Ringan : < 0,5 m/tahun
Kerusakan mangrove dapat dihitung melalui tingkat kerapatan jenis
dan tutupan hutan mangrove terhadap wilayah pesisir, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Kerapatan jenis dapat dihitung dengan
4.2 Ekonomi
Menurut Gumilar (2012), salah satu penyebab kerusakan mangrove
mangrove adalah adanya kepentingan ekonomi seperti konversi lahan
tambak yang semakin marak belakangan ini karena usaha tambak
memberikan peluang pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat pesisir.
Selain itu, ada persepsi para pembudidaya bahwa mangrove dapat
mengundang burung yang menjadi ancaman bagi organisme budidaya.
Dorongan ini lah yang memicu masyarakat mangacuhkan kelestarian
lingkungan.
Data yang diolah oleh kelautan dan Perikanan Kota Semarang tahun
2008 dalam Fauziah (2014), menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut
telah menyebabkan kerugian ekonomi akibat kerusakan mangrove
sebesar 729 juta per tahun, sebanyak 2.889 ha areal tambak rusak dan
menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 110 juta. Selain itu juga,
kenaikan muka air laut juga mengakibatkan erosi yang berdampak
sebanyak 10.425 rumah rusak dan kerugian yang timbul akibat kerusakan
infrastruktur pantai sebesar 5,6 Milyar Rupiah.
4.3 Lingkungan
Kerusakan pesisir yang terjadi di kota Semarang adalah kerusakan
akibat penurunan permukaan muka tanah (Lampiran 2). Permasalahan
penurunan tanah di kota Semarang cukup sulit di atasi oleh Pemerintah.
Dari tahun ke tahun, penurunan muka tanah semakin luas dan dalam.
Semakin luas daerah amblesan tanah dapat mengakibatkan perluasan
daerah yang terkena banjir pasang surut (rob). Kondisi amblesan yang
cukup parah terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang terutama pada
Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk. Untuk memperjelas
kondisi amblesan tanah di Kota Semarang dapat dijabarkan pada Tabel 2.
berikut ini.
Tabel 2. Luasan Amblesan Tanah Lingkup Kecamatan di Kota
Semarang (dalam Ha)
cm/tahun
Kecamatan
0-2 2-4 4-6 6-8 >8
Gayamsari 166,885 106,153 126,628 25,563 9,039
Genuk 483,623 504,301 445,543 103,260 544,072
Pedurungan 261,180 91,401 408,065
Semarang Selatan 0,672
Semarang Tengah 69,343 250,077 28,855
Semarang Timur 204,191 129,649 27,295 42,539 12,356
Semarang Barat 403,679 11,625
Semarang Utara 147,518 262,329 294,531 396,829
Sumber: RTRW Kota Semarang (2009)
Wilayah pesisir Kota Semarang tersusun oleh aluvium muda dengan
kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga mengalami proses
pemampatan secara alami akibat beban lapisan tanah di atasnya dan
gangguan dari aktivitas manusia. Proses ini akan mempercepat terjadinya
penurunan muka tanah (Murdohardono, 2006). Akibat penurunan muka
tanah, garis pantai di wilayah pesisir kota Semarang pun turut mengalami
perubahan yang cukup signifikan.
Menurut Wibawa (2012), perubahan garis pantai terlihat dalam waktu
12 tahun telah terjadi pergeseran garis pantai sebesar 49,54 meter di
wilayah Kecamatan Tugu Semarang. Hal tersebut disebabkan oleh
hilangnya fungsi mangrove sebagai pemecah gelombang laut penyebab
bencana abrasi. Tanaman mangrove memiliki salah satu ciri khas yaitu
akar berongga sehingga dapat memantulkan gelombang dan menahan
sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru (Arief, 2003). Jika
hal ini terus meningkat pada tahun-tahun mendatang tentu saja, hal
ekstrim yang terjadi adalah hilangnya Kota Semarang.
Secara umum kerusakan ekosistem mangrove di kawasan pesisir
Kota Semarang sudah mencapai 90% dan dalam kategori rusak
berat/tutupan lahan di bawah 25% (RTRWP Kota Semarang, 2009). Perda
Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) pasal 27, menyebutkan bahwa luas RTH Kawasan Pantai
Berhutan Bakau Wilayah Kecamatan Tugu ditetapkan sebesar 225,000
ha. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi kesenjangan antara peraturan
yang ada dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Gambaran kerusakan
mangrove pada tahun 2009 dan 2014 di Kecamatan Tugu Kota Semarang
ditampilkan pada Lampiran 3.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis SWOT
Berikut ini adalah hasil analisis SWOT dari strategi rehabilitasi
mangrove yang akan dilakukan di wilayah pesisir kota Semarang antara
lain:
5.1.1 Kekuatan (Strength)
Fungsi utama kawasan mangrove adalah untuk menahan laju abrasi
pantai. Selain itu, kawasan mangrove memiliki manfaat ekonomi yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengolah beberapa bagian
mangrove untuk dijadikan berbagai jenis olahan. Kondisi kawasan ini
dapat memotivasi masyarakat pesisir untuk membantu pelestarian
mangrove, selain itu peluang untuk memasukkan aturan pelestarian
mangrove ke dalam kearifan lokal menjadi semakin kuat. Beberapa
program yang dapat dilakukan untuk mencapai strategi memaksimalkan
fungsi utama mangrove yaitu memasukkan aturan pengelolaan ke dalam
kearifan lokal dan meningkatkan semangat swadaya masyarakat dalam
penanaman dan pengelolaan mangrove.
5.1.2 Kelemahan (Weakness)
Dalam melakukan rehabilitasi kawasan pesisir kota Semarang
memiliki beberapa kelemahan yakni kurangnya dana yang dimiliki Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Selain itu, pengawasan yang
dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang juga
kelurahan-kelurahan di wilayah pesisir kota Semarang terhadap ekosistem
mangrove masih sangat kurang karena petugas yang dimiliki sangat
terbatas untuk bisa melakukan pengawasan secara berkala. Pengawasan
secara berkala sangat penting dilakukan demi tercapainya keberhasilan
rehabilitasi ekosistem mangrove.
5.1.3 Peluang (Opportunities)
Saat ini pemerintah sangat memperhatikan proyek rehabilitasi.
Dalam pengelolaan ekosistem mangrove, pemerintah memberikan
kebijakan-kebijakan yang tepat dan penguatan hukum mengenai
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah memberikan dukungan terhadap proyek rehabilitasi
ekosistem mangrove. Selain itu, masyarakat pesisir kota Semarang telah
memahami arti penting melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove. Hal
ini tentu dapat mendukung proyek rehabilitasi itu sendiri. Dengan adanya
partisipasi dari masyarakat pesisir maka pengawasan secara berkala
dapat terus dilakukan, mengigat masyarakat pesisir lah yang memiliki
kepentingan langsung baik sebagai sumberdaya maupun sebagai
ekosistem dengan fungsi ekologisnya dengan wilayah rehabilitasi.
5.1.4 Ancaman (Threats)
Wilayah pesisir Kota Semarang tersusun oleh aluvium muda dengan
kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga dapat mengganggu kehidupan
mangrove itu sendiri terutama pada saat fase pembibitan. Tanah yang
tidak stabil dapat mengakibatkan bibit mangrove ambruk dan memberikan
efek domino pada mangrove lainya. Disamping itu dari segi sosial
ekonomi, tampak kecenderungan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan
lahan mangrove secara tidak bijaksana. Konversi ekosistem mangrove
menjadi berbagai kawasan pengembangan mengakibatkan munculnya
berbagai konflik. Ditambah lagi dengan pengawasan dan penegakan
hukum yang masih lemah.
c. Rekapitulasi Anggaran
No Deskripsi Jumlah (Rp)
.
1 Rapat dan Kesekretariatan 11.600.000
2 Penyuluhan dan Penanaman Mangrove 32.250.000
Total 43.850.000
Penasehat:
Pembantu Dekan I
Dr. Ir. Happy Nursyam, MS
Ketua Bidang Kelautan, Dinas Kelutan, Perikanan dan Peternakan Kota
Semarang
dr. Toha Tusihadi
Pembina:
Dosen Ilmu Kelautan
Dr. H. Rudianto, MA
Penanggung Jawab:
Ketua : Kasi Eksplorasi dan Konservasi;
Ir. Burhanuddin
Sekretaris : Ketua Komunitas Pecinta Lingkungan Universitas
Brawijaya
Yuni Setyaningrum Wijayanti
Divisi-Divisi
Divisi Perencanaan Program (Koord) : M. Alfandi, S.Ilkom
Bagian Penyuluhan dan Pelatihan : Dwi Utomo Sahid R., S.T
Bagian Kampanye Lingkungan : Erwin Prasetyo Wijanarko
Bagian Rehabilitasi Hutan : Yuliastuti P., S.T
Divisi Pembiayaan dan Pengelola Keuangan (Koord) : Nursyahfira
Divisi Perlengkapan (Koord) : Mifta Fatmalawati, St.Pi
Divisi Sosialisasi Program (Koord) : Nanda Dyah W.
Divisi Akomodasi, Transportasi dan Komunikasi (Koord) : Stefanus H.U
Program Restorasi Kawasan Pesisir, bekerjasama dengan:
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Pertanian
MercyCrop
Bintari
Komunitas Peduli Lingkungan Universitas Brawijaya
Paguyupan Nelayan Pesisir Kota Semarang
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari uraian di atas antara lain:
Kerusakan pesisir di kota Semarang di akibatkan karena hilangnya
ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi berbagai kawasan
pengembangan dan abrasi pantai.
Abrasi pantai dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan
berujung pada banjir pasang yang melanda kawasan pesisir.
Kerusakan mangrove telah memberikan dampak negatif masyarakat
lokal serta masyarakat global.
Ekosistem mangrove memiliki urgensi dalam ekosistem pesisir yakni
memiliki tiga fungsi yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove.
Diperlukan dukungan yang besar dalam mewujudkan proyek
rehabilitasi ekosistem mangrove.
6.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan rehabilitasi perlu dilakukan sesegera
mungkin melihat tingkat kerusakan mangrove yang telah terjadi mengingat
mangrove juga memerlukam waktu untuk tumbuh. Selain itu, sosialisasi
kepada masyarakat dengan pendekatan partisipatif.
DAFTAR PUSTAKA
b. Tahun 2014