Anda di halaman 1dari 28

PROJECT PROPOSAL REHABILITASI MANGROVE

DI WILAYAH PESISIR KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH

TUGAS TERSTRUKTUR
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Rehabilitasi Ekosistem Pesisir
yang dibimbing oleh Bapak Dr. H. Rudianto, MA

Oleh :

YUNI SETYANINGRUM WIJAYANTI


NIM. 135080500111038
KELAS B2

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bila ditinjau dari lokasi (Lampiran 1.), kota Semarang merupakan
salah satu kota pantai di Pulau Jawa yang sangat strategis. Sejalan
dengan bertambahnya aktifitas perkotaan, wilayah pesisir kota Semarang
dibangun dan dikembangkan dengan fungsi utamanya sebagai kawasan
permukiman dan perumahan, kawasan pergudangan, serta pusat
pelayanan umum (Suryanti dan Marfai, 2005). Sehingga dapat dikatakan
bahwa perkembangan tata guna lahan di pesisir kota Semarang sangat
progresif. Akibatnya, di sepanjang pesisir kota Semarang terjadi
ketidakseimbangan ekosistem pantai dan kerusakan fisik pantai.
Dalam beberapa tahun terakhir, pesisir kota Semarang mengalami
perubahan garis pantai yang cukup signifikan. Menurut (Kodoatie, 2007
dalam Miladan, 2009), tiap tahun kawasan pesisir kota Semarang
mengalami penurunan tanah mencapai 10 cm. Selain itu, wilayah pesisir
kota Semarang tersusun atas aluvium muda dengan kompresibilitas tanah
yang tinggi. Hal ini diperparah dengan adanya isu global yakni perubahan
iklim yang menyebabkan bencana di kota Semarang. Bencana tersebut
berupa banjir, kenaikan muka air laut, penurunan muka tanah (land
subsidence) maupun masuknya air laut ke wilayah daratan (rob).
Permasalahan ini sangat merugikan masyarakat khususnya
masyarakat pesisir. Secara fisik, penurunan tanah akan berdampak pada
Apabila kerusakan pesisir terus berlangsung maka akan terjadi tekanan
terhada daya dukung pantai yang mengganggu dan mengurangi fungsi
pantai. Menurut Mulyadi et al. (2010), permasalahan utama kerusakan
mangrove adalah pengaruh dan tekanan habitat mangrove bersumber dari
keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi
areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan, kegiatan-
kegiatan komersial maupun pergudangan. Pada akhirnya hal ini akan
mengancam kelangsungan sistem di pantai termasuk kelangsungan hidup
setempat baik secara sosial-ekonomi maupun lingkungan.
Secara sosial-ekonomi, kerusakan mangrove berdampak pada
kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di pesisir.
Menurut Purwoko (2005), kerusakan ekosistem hutan mangrove
berdampak pada kesempatan kerja dan berusaha, dimana 85,4%
responden menyatakan agak sulit sampai dengan sulit mendapatkan
kesempatan bekerja dan berusaha. Untuk itu, kawasan hutan mangrove
perlu dikelola. Dengan masuknya teknologi, pengelolaan hutan mangrove
hendaknya jangan hanya melihat nilai ekonomi saja akan tetapi juga harus
memperhitungkan nilai sosial-budaya dan kelestarian.
Pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rehabilitasi kawasan hutan mangrove. Menurut Kordi (2012),
mangrove adalah sekelompok tumbuhan, terutama golongan halofil yang
terdiri dari beragam jenis, dari suku tumbuhan yang berbeda- beda tetapi
memiliki kesamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat
tumbuhannya dan genangan pasang surut air laut yang
mempengaruhinya. Segala tumbuhan dalam hutan mangrove saling
berinteraksi dengan lingkungannya baik yang bersifat biotik maupun
abiotik yang saling bergantung disebut ekosistem mangrove.
Mengingat mangrove memiliki urgensi dalam pelayanan lindungan
seperti proteksi terhadap abrasi, proteksi lahan daratan pesisir dari tiupan
angin kencang dan arus gelombang laut, menstabilisasi substrat/sedimen,
proteksi terumbu karang dari suspensi koloid tanah dalam air, pengendali
intrusi air laut, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang tsunami,
pembersih air dari pencemaran polutan, dan tempat rekreasi (Kusmana,
2010). Di dalam proposal ini akan mengusulkan tindakan rehabilitasi
kawasan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir kota Semarang
yang memiliki potensi tinggi terkena ancaman banjir pasang air laut (rob).
Kecamatan yang memiliki potensi besar terkena banjir rob adalah
kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk. Dengan dilakukan
program rehabilitasi ekosistem mangrove diharapkan mampu mengatasi
permasalahan abrasi wilayah pesisir kota Semarang. Selain itu, program
ini bertujuan untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang telah rusak.
1.2 Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat Pesisir Kota
Semarang
Kota Semarang merupakan kota pantai besar di Pulau Jawa dengan
letak geografis yang strategis sehingga penggunaan tata guna lahan kota
Semarang cukup progresif. Hal ini menyebabkan berbagai permasalahan
yang cukup kompleks. Permasalahan tersebut terkait dengan kondisi
sosial ekonomi maupun fisik lingkungan kota pesisir tersebut. Secara
umum permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir kota Semarang
terdapat 2 isu permasalahan utama yakni permasalahan global dan
permasalahan lokal.
1.2.1 Permasalahan dalam lingkup global
Permasalahan global pada hal ini terkait dengan dampak
eksternalitas dari permasalahan dunia yang mengancam wilayah pesisir
termasuk di kota Semarang. Pada hal ini permasalahan yang cukup
menjadi perhatian dunia terkait dengan keberlanjutan wilayah pesisir yakni
adanya perubahan iklim. Menurut Miladan (2009), perubahan iklim ini
terjadi akibat adanya pemanasan global. Perubahan iklim ini pula
berdampak pada terjadinya berbagai macam bencana di wilayah pesisir
seperti halnya naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub,
terjadinya banjir, meningkatnya intensitas badai tropis, maupun
gelombang panas di lautan. Pada hal ini dampak yang sangat dirasakan
oleh masyarakat wilayah pesisir yakni dengan adanya kenaikan
permukaan air laut mengancam keberadaan daratan di wilayah pesisir
tersebut.
1.2.2 Permasalahan dalam lingkungan lokal
Permasalahan-permasalahan lokal yang terjadi di pesisir kota
Semarang yakni:
Kerusakan fisik habitat terutama ekosistem mangrove
Pemanfaatan ruang pesisir yang berlebihan seperti halnya konversi
ekosistem mangrove menjadi kawasan pembangunan lainnya dan
kawasan tambak
Abrasi pantai
Banjir rob
Penurunan muka tanah (land subsidence)
Konflik antar masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan proposal rehabilitasi mangrove di kawasan
pesisir kota Semarang antara lain:
Menyamakan pemahaman antara masyarakat, instansi yang terkait dan
pemerintah tentang urgensi ekosistem mangrove.
Memberikan informasi mengenai kondisi kerusakan wilayah pesisir di
kota Semarang.
Mengumpulkan dukungan, bantuan dana untuk program rehabilitasi
mangrove di wilayah pesisir kota Semarang.
Mejalankan program kerja Komunitas Pecinta Lingkungan Universitas
Brawijaya yaitu rehabilitasi ekosistem mangrove.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Wilayah Pesisir
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, Wilayah Pesisir
didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir sangat
rentan terhadap tekanan lingkungan baik berasal dari darat maupun dari
laut. Hal ini dikarenakan beberapa kegiatan pembangunan di kawasan
daratan dan lautan, masih banyak yang memberikan pengaruh negatif
pada lingkungan sehingga berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan pesisir dan laut.
Menurut Ghofar (2004), wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan, dimana wilayah ini merupakan
wilayah jebakan nutirent (nutrient trap). Namun, jika wilayah ini rusak
maka wilayah ini disebut sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants
trap). Sehingga dapat dikatakan bahwa pesisir sangat rentan terhadap
kerusakan dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah
pesisir juga menerima tekanan lingkungan yang paling berat.

2.2 Penurunan Muka Tanah


Pengembangan tata guna lahan di wilayah pesisir kota Semarang
sangat progresif mengingat pentingnya fungsi utama kota Semarang
sebagai kota pantai di Pulau Jawa yang sangat strategis. Hal ini
berdampak pada berubahnya keseimbangan ekosistem pesisir baik dari
segi fisik dan biologis. Dalam beberapa tahun terakhir, pesisir kota
Semarang mengalami kerusakan akibat adanya perubahan garis pantai
yang cukup signifikan serta ancaman bencana bajir pasang air laut (rob).
Perubahan garis pantai diakibatkan karena adanya penurunan muka
tanah. Menurut Marsudi (2002) dalam Pryambodo (2012), penurunan
tanah sendiri didefinisikan sebagai perubahan tinggi negatif dari suatu
acuan tinggi titik (tinggi referensi). Gambaran kerusakan ekosistem pesisir
dapat dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di
kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan,
fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.
2.3 Rehabilitasi
Menurut Rusdianti dan Sunito (2012), rehabilitasi merupakan
kegiatan/upaya, termasuk di dalamnya pemulihan dan penciptaan habitat
dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil.
Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Untuk itu,
ekosistem yang telah rusak perlu direhabilitasi untuk memulihkan fungsi
alamiahnya.

2.4 Mangrove
Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan
mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surt air laut, yakni
tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut.
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di
pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan
bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam.
Selanjutnya ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang
terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan
faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove (Onrizal, 2008).
Menurut Arief (2003), adapun fungsi mangrove yakni menjaga garis pantai
tetap stabil, melindungi pantai dari erosi atau abrasi, menahan sedimen
secara periodik, sebagai penyerap karbondioksida, pengolah bahan
limbah, sebagai kawasan pemijah dan berlindung, serta sebagai habitat
alami berbagai jenis biota darat dan laut lainnya.
3. METODOLOGI
3.1 Analisis Tingkat Kerusakan
Menurut Taofiqurohman et al. (2012), analisis tingkat kerusakan
pesisir di kota Semarang ditentukan dengan menghitung perubahan garis
pantai dengan menggunakan metode Thieler et al. (2008), yang
menghitung jarak antar vektor garis pantai setiap tahun, agar diketahui
pergerakan total garis pantai. Perhitungan ini memanfaatkan transek-
transek sebagai acuan dari perubahan garis pantai. Tiap transek berjarak
30 meter, dengan asumsi 1 transek mewakili 1 piksel citra Landsat.
Setelah mengetahui jarak kemunduran garis pantai maka daerah tersebut
dapat di klasifikasikan ke dalam beberapa tingkat kerusakan pantai.
Lokasi yang perlu dilakukan rehabilitasi adalah lahan-lahan kritis yang
dengan kondisi rusak. Setelah diketahui tingkat keparahan kerusakan
suatu lokasi maka dapat ditentukan langkah rehabilitasi yang akan
diambil. Penentuan tingkat kerusakan pantai didasarkan kepada klasifikasi
dari Litbang PU Pengairan tahun 1993, berdasarkan jarak kemunduran
garis pantai sebagai berikut:
- Amat sangat berat : > 10 m/tahun
- Amat berat : 5,0 10,0 m/tahun
- Berat : 2,0 5,0 m/tahun
- Sedang : 0,5 2,0 m/tahun
- Ringan : < 0,5 m/tahun
Kerusakan mangrove dapat dihitung melalui tingkat kerapatan jenis
dan tutupan hutan mangrove terhadap wilayah pesisir, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Kerapatan jenis dapat dihitung dengan

Jumlah individu suatu jenis


menggunakan rumus: K=
luas petak contoh
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kerapatan
Kriteria Penutupan (%)
(pohon/ ha)
Baik Sangat Padat > 70 1500
Sedang > 50 - < 70 1000 1500
Rusak
Jarang < 50 1000

Sumber: Kepmen. LH. No. 21. Tahun 2004


3.2 Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rehabilitasi kawasan mangrove di kawasan pesisir kota
Semarang. Proyek rehabilitasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengembalikan kondisi suatu lingkungan ke kondisi semula. Kebutuhan
akan rehabilitasi mangrove sangat diperlukan mengingat urgensi
ekosistem mangrove di kawasan pesisir yang telah rusak. Rehabilitasi
mangrove memerlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu
dilakukan manajemen rehabilitasi yang baik dengan menerapkan fungsi
manajemen POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling).
3.2.1 Planning
Sebelum melakukan proyek rehabilitasi mangrove diperlukan suatu
perencanaan. Proses perencanaan proyek rehabilitasi ini merupakan
upaya untuk meraih atau mendapatkan sesuatu secara terkoordinasi.
Dalam proses mengidentifikasi suatu perencanaan proyek rehabilitasi
berdasarkan pendekatan SWOT yang telah di lakukan sebelumnya.
Analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunities, Threats) perlu
dilakukan dalam melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove. Menurut
Subhan et al. (2014), analisis SWOT dilakukan untuk menganalisis faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan
ancaman) dari proyek rehabilitasi yang akan dilaksanakan. Dari analisis
SWOT tersebut maka dapat menentukan strategi dalam mengatasi
berbagai masalah yang mungkin akan muncul.
3.2.2 Organizing
Pengkoordinasian dalam proyek rehabilitasi mangrove dapat
dimaknai sebagai usaha kerja sama yang dilakukan antara individu,
indvidu dengan organisasi maupun organisasi dengan organisasi
sehingga mereka dapat saling mengisi satu sama lain guna mncapai
tujuan yang telah ditentukan bersama. Dalam proyek rehabilitasi
mangrove, diperlukan kerja sama yang baik antara masyarakat pesisir,
lembaga lingkungan hidup yang terkait, pemerintah, dan pihak-pihak
swasta yang memberikan bantuan sehingga kegiatan rehabilitasi dapat
berjalan dengan efektif dan efisien.
3.2.3 Actuating
Tahap pelaksanaan adalah tahapan utama dalam melaksanakan
proyek rehabilitasi mangrove. Masyarakat pesisir perlu turut serta dalam
merehabilitasi kawasan mangrove. Masyarakat harus terlibat dalam
berbagai tahapan rehabilitasi mangrove mulai dari perencanaan hingga
tahapan monitoring. Karena masyarakat pesisir lah pelaku utama dalam
rehabilitasi mangrove suatu kawasan pesisir.
3.2.4 Controlling
Kegiatan monitoring dilakukan untuk mangawasi pelaksanaan dan
pemeliharaan ekosistem mangrove. Tahap pengawasan ini sangat penting
untuk memastikan bahwa proyek rehabilitasi ini sukses/tidaknya mencapai
tujuan rehabilitasi mangrove. Pengawasan dapat dilakukan dengan
mengamati kondisi hutan mangrove yang memiliki kondisi baik, rusak
ringan, dan rusak berat; laju pertumbuhan mangrove; pencatatan tingkat
kegagalan; hingga perkiraan biaya rehabilitasi. Monitoring dilakukan oleh
masyarakat sekitar yang merupakan kelompok pelestari mangrove.
4. KEADAAN UMUM WILAYAH PESISIR KOTA SEMARANG
4.1 Sosial
Menurut Iswahyuni dan Santoso (2005), kerusakan pesisir yang
terjadi di kota Semarang memberikan dampak pada psikologi sosial
masyarakat pesisir. Salah satu kecamatan pesisir yang berada di kota
Semarang adalah Kecematan Tugu. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Diarto et al. (2012), penduduk yang berprofesi sebagai
nelayan di Kecamatan Tugu Kota Semarang sangat sedikit, yaitu 7 orang.
Sedangkan profesi terbanyak adalah sebagai buruh industri, yaitu 1.085
orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir masih memiliki
minat yang rendah untuk mengeksplorasi kekayaan sumberdaya laut.
Menurut Tohir (2001), jenis mata pencaharian di pesisir adalah
heterogen. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat
kesejahteraan hidup rata-ratanya masih belum menggembirakan karena
sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan. Pada
realita sosial, nelayan memiliki kebudayaan yang berbeda dibandingkan
dengan masyarakat lainnya. Pola kebudayaan ini menjadi kerangka
berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.

4.2 Ekonomi
Menurut Gumilar (2012), salah satu penyebab kerusakan mangrove
mangrove adalah adanya kepentingan ekonomi seperti konversi lahan
tambak yang semakin marak belakangan ini karena usaha tambak
memberikan peluang pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat pesisir.
Selain itu, ada persepsi para pembudidaya bahwa mangrove dapat
mengundang burung yang menjadi ancaman bagi organisme budidaya.
Dorongan ini lah yang memicu masyarakat mangacuhkan kelestarian
lingkungan.
Data yang diolah oleh kelautan dan Perikanan Kota Semarang tahun
2008 dalam Fauziah (2014), menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut
telah menyebabkan kerugian ekonomi akibat kerusakan mangrove
sebesar 729 juta per tahun, sebanyak 2.889 ha areal tambak rusak dan
menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 110 juta. Selain itu juga,
kenaikan muka air laut juga mengakibatkan erosi yang berdampak
sebanyak 10.425 rumah rusak dan kerugian yang timbul akibat kerusakan
infrastruktur pantai sebesar 5,6 Milyar Rupiah.

4.3 Lingkungan
Kerusakan pesisir yang terjadi di kota Semarang adalah kerusakan
akibat penurunan permukaan muka tanah (Lampiran 2). Permasalahan
penurunan tanah di kota Semarang cukup sulit di atasi oleh Pemerintah.
Dari tahun ke tahun, penurunan muka tanah semakin luas dan dalam.
Semakin luas daerah amblesan tanah dapat mengakibatkan perluasan
daerah yang terkena banjir pasang surut (rob). Kondisi amblesan yang
cukup parah terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang terutama pada
Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk. Untuk memperjelas
kondisi amblesan tanah di Kota Semarang dapat dijabarkan pada Tabel 2.
berikut ini.
Tabel 2. Luasan Amblesan Tanah Lingkup Kecamatan di Kota
Semarang (dalam Ha)
cm/tahun
Kecamatan
0-2 2-4 4-6 6-8 >8
Gayamsari 166,885 106,153 126,628 25,563 9,039
Genuk 483,623 504,301 445,543 103,260 544,072
Pedurungan 261,180 91,401 408,065
Semarang Selatan 0,672
Semarang Tengah 69,343 250,077 28,855
Semarang Timur 204,191 129,649 27,295 42,539 12,356
Semarang Barat 403,679 11,625
Semarang Utara 147,518 262,329 294,531 396,829
Sumber: RTRW Kota Semarang (2009)
Wilayah pesisir Kota Semarang tersusun oleh aluvium muda dengan
kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga mengalami proses
pemampatan secara alami akibat beban lapisan tanah di atasnya dan
gangguan dari aktivitas manusia. Proses ini akan mempercepat terjadinya
penurunan muka tanah (Murdohardono, 2006). Akibat penurunan muka
tanah, garis pantai di wilayah pesisir kota Semarang pun turut mengalami
perubahan yang cukup signifikan.
Menurut Wibawa (2012), perubahan garis pantai terlihat dalam waktu
12 tahun telah terjadi pergeseran garis pantai sebesar 49,54 meter di
wilayah Kecamatan Tugu Semarang. Hal tersebut disebabkan oleh
hilangnya fungsi mangrove sebagai pemecah gelombang laut penyebab
bencana abrasi. Tanaman mangrove memiliki salah satu ciri khas yaitu
akar berongga sehingga dapat memantulkan gelombang dan menahan
sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru (Arief, 2003). Jika
hal ini terus meningkat pada tahun-tahun mendatang tentu saja, hal
ekstrim yang terjadi adalah hilangnya Kota Semarang.
Secara umum kerusakan ekosistem mangrove di kawasan pesisir
Kota Semarang sudah mencapai 90% dan dalam kategori rusak
berat/tutupan lahan di bawah 25% (RTRWP Kota Semarang, 2009). Perda
Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) pasal 27, menyebutkan bahwa luas RTH Kawasan Pantai
Berhutan Bakau Wilayah Kecamatan Tugu ditetapkan sebesar 225,000
ha. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi kesenjangan antara peraturan
yang ada dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Gambaran kerusakan
mangrove pada tahun 2009 dan 2014 di Kecamatan Tugu Kota Semarang
ditampilkan pada Lampiran 3.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis SWOT
Berikut ini adalah hasil analisis SWOT dari strategi rehabilitasi
mangrove yang akan dilakukan di wilayah pesisir kota Semarang antara
lain:
5.1.1 Kekuatan (Strength)
Fungsi utama kawasan mangrove adalah untuk menahan laju abrasi
pantai. Selain itu, kawasan mangrove memiliki manfaat ekonomi yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengolah beberapa bagian
mangrove untuk dijadikan berbagai jenis olahan. Kondisi kawasan ini
dapat memotivasi masyarakat pesisir untuk membantu pelestarian
mangrove, selain itu peluang untuk memasukkan aturan pelestarian
mangrove ke dalam kearifan lokal menjadi semakin kuat. Beberapa
program yang dapat dilakukan untuk mencapai strategi memaksimalkan
fungsi utama mangrove yaitu memasukkan aturan pengelolaan ke dalam
kearifan lokal dan meningkatkan semangat swadaya masyarakat dalam
penanaman dan pengelolaan mangrove.
5.1.2 Kelemahan (Weakness)
Dalam melakukan rehabilitasi kawasan pesisir kota Semarang
memiliki beberapa kelemahan yakni kurangnya dana yang dimiliki Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Selain itu, pengawasan yang
dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang juga
kelurahan-kelurahan di wilayah pesisir kota Semarang terhadap ekosistem
mangrove masih sangat kurang karena petugas yang dimiliki sangat
terbatas untuk bisa melakukan pengawasan secara berkala. Pengawasan
secara berkala sangat penting dilakukan demi tercapainya keberhasilan
rehabilitasi ekosistem mangrove.
5.1.3 Peluang (Opportunities)
Saat ini pemerintah sangat memperhatikan proyek rehabilitasi.
Dalam pengelolaan ekosistem mangrove, pemerintah memberikan
kebijakan-kebijakan yang tepat dan penguatan hukum mengenai
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah memberikan dukungan terhadap proyek rehabilitasi
ekosistem mangrove. Selain itu, masyarakat pesisir kota Semarang telah
memahami arti penting melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove. Hal
ini tentu dapat mendukung proyek rehabilitasi itu sendiri. Dengan adanya
partisipasi dari masyarakat pesisir maka pengawasan secara berkala
dapat terus dilakukan, mengigat masyarakat pesisir lah yang memiliki
kepentingan langsung baik sebagai sumberdaya maupun sebagai
ekosistem dengan fungsi ekologisnya dengan wilayah rehabilitasi.
5.1.4 Ancaman (Threats)
Wilayah pesisir Kota Semarang tersusun oleh aluvium muda dengan
kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga dapat mengganggu kehidupan
mangrove itu sendiri terutama pada saat fase pembibitan. Tanah yang
tidak stabil dapat mengakibatkan bibit mangrove ambruk dan memberikan
efek domino pada mangrove lainya. Disamping itu dari segi sosial
ekonomi, tampak kecenderungan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan
lahan mangrove secara tidak bijaksana. Konversi ekosistem mangrove
menjadi berbagai kawasan pengembangan mengakibatkan munculnya
berbagai konflik. Ditambah lagi dengan pengawasan dan penegakan
hukum yang masih lemah.

5.2 Manajemen Rehabilitasi Mangrove


5.2.1 Planning
Kegiatan yang perlu dilakukan untuk mendukung program rehabilitasi
ekosistem mangrove antara lain dengan: penanaman bibit mangrove,
pembuatan alat pemecah ombak (APO), pembangunan sabuk pantai dan
sosialisasi kepada masyarakat. Menurut Ardiansyah dan Buchori (2014),
penanaman bibit mangrove dilakukan di lahan-lahan kritis dengan kondisi
rusak, mengingat mangrove membutuhkan waktu untuk tumbuh sehingga
dapat menghalau gelombang laut dengan kuat. Untuk pembangunan
sabuk pantai dapat dilakukan di lahan-lahan kritis dengan kondisi rusak
berat saja. Hal ini dikarenakan dalam pembangunan sabuk pantai
membutuhkan biaya yang cukup besar.
5.2.2 Organizing
Rehabilitasi mangrove memerlukan pengorganisasian yang dapat
dilakukan dengan membentuk suatu struktur organisasi. Struktur
organisasi atau tim inti kemudian dipecah menjadi beberapa jabatan.
Masing-masing jabatan memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
kegiatan rehabilitasi mangrove. Dalam menentukan jabatan masing-
masing anggota harus di dasarkan pada kemampuan masing-masing
individu. Tim inti dibentuk pada saat rapat pendahuluan.
5.2.3 Actuating
Tahap pelaksanaan merupakan usaha agar tujuan proyek rehabilitasi
dapat terwujud dengan baik seperti yang diharapkan. Tahap ini perlu
menggerakkan sumber daya manusia untuk mau bekerja demi mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perencanaan dan
pengorganisasian akan berjalan kurang baik jika tidak disertai dengan
pelaksanaan.
a. Rapat Pendahuluan dan Penelitian
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mulai melakukan
pekerjaan rehabilitasi mangrove adalah membentuk tim inti yang akan
bertugas sebagai tenaga pendamping masyarakat dalam melaksanakan
program rehabilitasi mangrove di suatu kawasan mangrove. Setelah tim
inti terbentuk, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan, target,
tolak ukur keberhasilan dan jadwal kerja program serta para mitra kerja
baik individu, swasta, LSM dan dinas terkait untuk bersedia membantu
pendanaan dalam program rehabilitasi mangrove yang akan
dilaksanakan. Semua hasil rapat pendahuluan, dituangkan dalam bentuk
proposal. Setelah proposal dibuat, maka kegiatan selanjutnya adalah
mencoba menawarkan proposal tersebut kepada beberapa lembaga
donor dan atau penyandang dana yang sekiranya memiliki kesepahaman
dan tujuan yang sama dalam menyelamatkan pesisir pantai di program
rehabilitasi mangrove kita.
Setelah penelitian awal dilakukan, maka dapat dilakukan sosialisasi
kepada masyarakat setempat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
tahap sosialisasi adalah sistem pengumpulan masyarakatnya yang
terkadang agak menyulitkan. Apabila tidak didapatkan akses langsung ke
birokrasi pemerintahan, maka sistem pengumpulan masyarakat bisa
dilakukan dengan cara turut serta dalam kegiatan masyarakat setempat,
baru kemudian mempresentasikan hasil penelitian kita kepada mereka.
b. Penentuan Lokasi
Lokasi rehabilitasi mangrove ditentukan berdasarkan tingkat
kerusakan mangrove. Lokasi yang perlu dilakukan rehabilitasi adalah
lokasi yang memiliki tingkat kerusakan berat. Dari data penelitian yang
dilakukan oleh Wibawa (2012), di Kecamatan Tugu mengalami perubahan
garis pantai sebesar 49,54 meter dalam kurun waktu 12 tahun terakhir.
Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kecamatan Tugu Semarang
mengalami perubahan garis pantai sekitar 4,2m/tahun, sehingga dapat
dikategorikan kecamatan Tugu kota Semarang memiliki tingkat kerusakan
pantai yang berat. Dengan kondisi demikian, perlu dilakukan rehabilitasi
ekosistem mangrove untuk mengurangi laju abrasi di wilayah tersebut.
c. Penentuan Jenis dan Penanaman Mangrove
Dalam penanaman bibit, para stakeholder perlu memahami sifat-sifat
ekologi tiap-tiap jenis mangrove di lokasi tersebut. Di kecamatan Tugu,
jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah jenis Avicennia marina,
Brugueira gymnoriza, dan Rhizopora appiculata. Setelah mengetahui
mangrove yang mendominasi maka dapat ditentukan jenis mangrove yang
akan di tanam, penentuan jenis mangrove sendiri berdasarkan jenis
mangrove yang ada di wilayah tersebut, tidak mendominasi suatu wilayah,
serta memiliki kemungkinan hidup yang tinggi. Menurut Abdullah et al.
(2014), konservasi berdasarkan komunias (CBC) dapat digunakan untuk
memanajemen keberlanjutan dari area terlindung. Ekosistem mangrove
yang sehat memiliki biodiversitas yang tinggi. Untuk itu perlu menanam
jenis mangrove yang belum banyak ditemukan di kecamatan Tugu seperti
Rhizopora stylusa, Rhizopora mucronata, Sonneratia casiolaris dan
Bruguiera cylindrical.
Gambar 1. Penanaman Bibit Mangrove di Salah Satu Tambak Milik
Warga di Kecamatn Tugu, Kota Semarang (Yesiana et
al., 2015)

Sebelumnya, para pelaksana perlu melakukan kemiringan dan


ketinggian substrat lokasi sesuai dengan kebutuhan jenis mangrove yang
akan ditanam. Pada dasarnya mangrove perlu ditanam di ketinggian
subtrat yang berbeda tergantung pada besarnya kebutuhan paparan
mangrove terhadap genangan air pasang. Untuk merangsang
pertumbuhan alami mangrove, buah/ biji dapat dikumpulkan dan disebar
secara langsung di permukaan air. Mangrove juga dapat ditanam secara
acak dengan jarak tanam sebesar 2 meter. Jika mangrove ditanam sejajar
maka dapat menciptakan saluran air di antara baris yang dapat
mengganggu pasokan air ke mangrove.
5.2.4 Controlling
Pengawasan secara berkala dilakukan oleh masyarakat setempat.
Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi.
Mengingat masyarakat pesisir lah yang memiliki kepentingan langsung
terhadap ekosistem mangrove dalam pemanfaatan nya sebagai fungsi
ekonomi. Menurut (), keikutsertaan masyarakat setempat dari awal akan
lebih memastikan bahwa proram rehabilitasi mangrove merupakan
kebutuhan masyarakat setempat.
Pengawasan tersebut meliputi: waktu pertumbuhan mangrove,
mencatat kegagalan yang terjadi, menyesuaikan tingkat kepadatan
optimal, mengamati pengaruh pemanfaatan mangrove, dan mengamati
karakter ekosistem mangrove yang direhabilitasi.
Dalam melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove perlu dilakukan
penilaian estimasi keberhasilan atau pun kegagalan. Menurut Bosire et al.
(2008) dalam Thornron dan Johnstone (2015), mengungkapkan bahwa
ada empat indikator untuk menentukan keberhasilan suatu proyek
rehabilitasi mangrove: pertumbuhan vegetasi dan suksesi floral;
rekruitmen fauna; evolusi lingkungan serta proses dan potensi untuk
mengeksploitasi secara berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan
pengontrolan dan penelitian guna memperkirakan kemungkinan adanya
penghambat.

Gambar 1. Pembangunan APO di Kelurahan Karanganyar Kecamatan


Tugu, Kota Semarang (Yesiana et al., 2015)
Ekosistem mangrove perlu dilindungi dari abrasi untuk menghindari
efek domino. Pembangunan alat pemecah ombak (APO) digunakan untuk
melindungi daerah pantai dari gangguang gelombang. Menurut
Yulistiyanto (2009), selain untuk melindungi bibit mangrove, APO juga
diharapkan dapat mengurangi laju erosi pantai dan menangkap sedimen
di daerah yang dilindungi. APO dipasang di depan tanaman bakau, atau di
lahan-lahan yang memiliki tingkat abrasi tinggi. Pembangunan APO
dilakukan oleh masyarakat setempat yang memiliki tambak.

5.3 Biaya Rehabilitasi Mangrove


Biaya merupakan aspek utama dalam melakukan rehabilitasi
mangrove. Hal ini dikarenakan rehabilitasi mangrove merupakan proyek
yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya dalam suatu proyek
diibaratkan sebagai mesin untuk menggerakkan proyek rehabilitasi.
Untuk itu estimasi biaya rehabilitasi mangrove sangat diperlukan. Berikut
ini adalah perincian biaya yang akan dikeluarkan dalam proyek rehabilitasi
mangrove:
a. Rapat dan Kesekretariatan
No Deskripsi Volume Harga satuan Jumlah
(Rp) (Rp)
1 Surat Menyurat 1 set 300.000
2 ATK 1 set 200.000
3 Proposal 10 buah 10.000 100.000
4 Pamflet kegiatan 200 300 60.000
lembar
5 Spanduk 4 buah 85.000 340.000
6 Backdrop Kampanye 1 buah 200.000 200.000
7 Komputer 1 set 6.000.000
8 Akomodasi rapat 600.000
pembentukan kelembagaan
9 Akomodasi rapat proposal 600.000
10 Akomodasi rapat koordinasi 700.000
perencanaan kegiatan
11 Akomodasi Observasi dan 2.500.000
Sosialisasi Pra-pelaksanaan
Total 11.600.000

b. Penyuluhan dan Penanaman Mangrove


No Deskripsi Volume Harga Jumlah
satuan (Rp) (Rp)
1 Materi penyuluhan dan 1 set x 2 300.000 600.000
sosialisasi ekosistem tempat
Mangrove
2 Proyektor dan Layar portabel 1 set x 2 300.000 600.000
tempat
3 Kenang-kenangan 7 buah 70.000 490.000
4 Penggandaan Brosur 200 300 60.000
Rehabilitasi lembar
5 Pementasan Aksi Teatrikan 2 tempat 400.000 800.000
6 Panggung + Soundsystem 2 tempat 1.500.000 3.000.000
7 Perijinan Kegiatan 2 tempat 500.000 1.000.000
8 Transportasi 2 bus 1.000.000 2.000.000
9 Komunikasi 200.000
10 Konsumsi 2 hari 5.000.000 10.000.00
0
11 Persiapan Lahan Kerja 2 tempat 300.000 600.000
12 Bibit Mangrove 2 tempat x 4.500.000 9.000.000
3000 bibit
13 Kaos Aksi Rehabilitasi 100 buah 25.000 2.500.000
14 Tenda 1 set x 2 200.000 400.000
tempat
15 Sepatu Mangrove dan 4.000.000
peralatan
Total 35.250.00
0

c. Rekapitulasi Anggaran
No Deskripsi Jumlah (Rp)
.
1 Rapat dan Kesekretariatan 11.600.000
2 Penyuluhan dan Penanaman Mangrove 32.250.000
Total 43.850.000

5.4 Kelembagaan dalam Kegiatan Rehabilitasi Mangrove


5.4.1 Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan yang akan dilakukan akan dijelaskan pada uraian
berikut ini :
Nama kegiatan : Rehabilitasi Mangrove
Pelaksana : Lembaga Lingkungan Hidup Mangrove Jaya
Waktu : 25 27 November 2016
Tempat : Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota
Semarang, Jawa Tengah
5.4.2 Dasar Kegiatan
Dasar kegiatan ini merupakan program dari Rehabilitasi kawasan
pesisir di kota Semarang yang diselenggarakan oleh Lembaga
Lingkungan Hidup Mangrove Jaya.
5.4.3 Susunan Keanggotaan Lembaga
Dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove, pendekatan
kelembagaan masyarakat perlu dilakukan. Kelembagaan masyarakat
merupakan salah satu stakeholder penting dalam mencegah kerusakan
ekosistem mangrove. Kegiatan ini menggunakan dasar Co-management,
dimana dibentuk berdasarkan kerjasama antara para stakeholder yaitu:
Masyarakat, Pemerintah, Swasta, Peneliti dan Komunitas Mahasiswa.
Dari kerjasama tersebut dibentuklah Lembaga Lingkungan Hidup
Mangrove Jaya dengan anggota yang terdiri dari perwakilan para
stakeholder, dan akan membuat program-program untuk rehabilitasi
kawasan Pesisir. Berikut merupakan susunan anggota dalam lembaga ini:
Pelindung:
Pimpinan Dinas Kelutan, Perikanan dan Peternakan Kota Semarang
Dr. Ednawan Haryono, M.Si.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya


Prof. Dr. Ir. Diana Arfiati, MS

Penasehat:
Pembantu Dekan I
Dr. Ir. Happy Nursyam, MS
Ketua Bidang Kelautan, Dinas Kelutan, Perikanan dan Peternakan Kota
Semarang
dr. Toha Tusihadi

Pembina:
Dosen Ilmu Kelautan
Dr. H. Rudianto, MA

Kasi Pengelolaan Pantai, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP Kota


Semarang
Ir. Sahidan Muhlis, MP

Penanggung Jawab:
Ketua : Kasi Eksplorasi dan Konservasi;
Ir. Burhanuddin
Sekretaris : Ketua Komunitas Pecinta Lingkungan Universitas
Brawijaya
Yuni Setyaningrum Wijayanti
Divisi-Divisi
Divisi Perencanaan Program (Koord) : M. Alfandi, S.Ilkom
Bagian Penyuluhan dan Pelatihan : Dwi Utomo Sahid R., S.T
Bagian Kampanye Lingkungan : Erwin Prasetyo Wijanarko
Bagian Rehabilitasi Hutan : Yuliastuti P., S.T
Divisi Pembiayaan dan Pengelola Keuangan (Koord) : Nursyahfira
Divisi Perlengkapan (Koord) : Mifta Fatmalawati, St.Pi
Divisi Sosialisasi Program (Koord) : Nanda Dyah W.
Divisi Akomodasi, Transportasi dan Komunikasi (Koord) : Stefanus H.U
Program Restorasi Kawasan Pesisir, bekerjasama dengan:
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Pertanian
MercyCrop
Bintari
Komunitas Peduli Lingkungan Universitas Brawijaya
Paguyupan Nelayan Pesisir Kota Semarang
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari uraian di atas antara lain:
Kerusakan pesisir di kota Semarang di akibatkan karena hilangnya
ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi berbagai kawasan
pengembangan dan abrasi pantai.
Abrasi pantai dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan
berujung pada banjir pasang yang melanda kawasan pesisir.
Kerusakan mangrove telah memberikan dampak negatif masyarakat
lokal serta masyarakat global.
Ekosistem mangrove memiliki urgensi dalam ekosistem pesisir yakni
memiliki tiga fungsi yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove.
Diperlukan dukungan yang besar dalam mewujudkan proyek
rehabilitasi ekosistem mangrove.

6.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan rehabilitasi perlu dilakukan sesegera
mungkin melihat tingkat kerusakan mangrove yang telah terjadi mengingat
mangrove juga memerlukam waktu untuk tumbuh. Selain itu, sosialisasi
kepada masyarakat dengan pendekatan partisipatif.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Kanisius. Yogyakarta.

Abdullah, K. Abdulla, M. S., and Dasimah, O. 2014. Community-Based


Conservation in Managing Mangrove Rehabilitation in Perak and
Selangor. Procedia. 153: 121 131.

Diarto., Boedi, H., dan Sri, S. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam


Pengelolaan Lingkungan Kawasan Hutan Mangrove Tugurejo di Kota
Semarang. Jurnal Ilmu Lingkungan. 10 (1): 1 7.

Fauziah, A. N. 2014. Kajian Kerentanan Iklim: Sebuha Penilaian Kembali


di Wilayah Pesisir Kota Semaramg. Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota. 10 (3): 316 329.

Ghofar, A. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan


Berkelanjutan. Bogor.

Gumilar, I. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan


Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu.
Jurnal Akuatika. 3 (2): 198 211.

Iswahyuni, N. E dan Santoso, R. S. 2005. Analisis Kebijakan Reklamasi


Pantai di Kawasan Pantai Marina Semarang. Dialogue JIAKP. 2 (3):
1029 1038.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2004


tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan
Mangrove.

Kusmana, C. 2010. Respon Mangrove terhadap Pencemaran. Skripsi.


Bogor: IPB.

Miladan, N. 2009. Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Kota Semarang


Terhadap Perubahan Iklim. Skripsi. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Mulyadi, E., O. Hendriyanto, N. Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove


sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2 (1): 11 18.

Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan


Mangrove. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Pigawati, B. 2005. Identifikasi Potensi dan Pemetaan Sumberdaya Pesisir


Pulau-Pulau Kecil dan Laut Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan
Riau. Ilmu Kelautan. 10 (4): 229 - 236.
Pryambodo, D. G. Penurunan Muka Tanah di Pesisir Semarang (Studi
Kasus: Daerah Industri Kaligawe). Jurnal Ilmiah Geomatika. 18 (2):
107 115.

Purwoko, A. 2005. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau


(Mangrove) Terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan
Secanggang, Kebupaten Langkat. Tesis. Universitas Sumatera
Utara.

Rusdianti, K. dan Sunito, S. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove


Serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem
Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6 (1): 1 17.

Suryanti, E. D dan Marfai, M. A. 2008. Adaptasi Masyarakat Kawasan


Pesisir Semarang Terhadap Bahaya Banjir Pasang Air Laut (Rob).
Jurnal Kebencanaan Indonesia. 1 (5): 335 346.

Taofiqurohman, A. dan Ismail, M. F. A. 2012. Analisis Spasial Perubahan


Garis Pantai di Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal
Perikanan dan Kelautan Tropis. 8 (3): 75 80.

Thornron, S. R., and Johnstone, R. W. 2015. Mangrove Rehabilitation in


High Erosion Areas: Assessment Using Bioindicators. Estuarine,
Coastal and Shelf Science. 30: 1- 9.

Tohir, M. 2002. Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan


dan Menuliskan. Semarang: UNDIP.

Yesiana, R., Rizki, K. Y., dan Amalia, W. 2015. Pengelolaan Kawasan


Pesisir Kota Semarang: Sebuah Potret Berkelanjutan. Co-USD. 221
227.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Administrasi Kota Semarang

Lampiran 2. Penurunan Muka Tanah Periode Juni 2004 November 2005


Lampiran 3. Gambaran Kerusakan Mangrove
a. Tahun 2009

b. Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai