Anda di halaman 1dari 4

Oct 13, 2010 Helvry Sinaga rated it really liked it

Shelves: ayu-utami
inilah buku Ayu Utami yang pertama kali saya baca. Tahun 2006 saya sudah membeli
bukunya Larung, namun saya sendiri sampai sekarang belum membacanya. Saya termasuk
terlambat membacanya, karena sudah 12 tahun berlalu dari pertama kali dicetak, barulah saya
berkesempatan.

Novel ini mendapat banyak pujian. sambutan tersebut dari berbagai kritikus dan dianggap
memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Dari dunia akademis juga memberikan
sumbangannya lewat karya ilmiah suatu penelitian mengenai novel Saman dan Larung.
Beberapa judul karya akademis yang mengupas novel ini yaitu sebagai berikut.

1. Skripsi: Perilaku Seksual dalam Novel Saman Karya Ayu Utami. Oktivita, Universitas
Muhamadiyah Surakarta (2009).

2. Skripsi: Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman karya Ayu Utami. Lina
Puspita Yuniati, Universitas Negeri Semarang, 2005.

3. Jurnal: Novel Saman dan Larung dalam Perspektif Feminin Radikal. Baban Banita
S.S. M.Hum, Universitas Padjajaran, Bandung (tanpa tahun).

4. Jurnal: Challenging Tradition: the Indonesian novel Saman. Rochayah Machali dan Ida
Nurhayati, UNSW, Sydney (tanpa tahun).

5. Jurnal: Sexuality, Morality, and the Female Role: Observation on recent Indonesian
Womens Literature. Monika Arnez and Cahyaningrum Dewoyati, Universitat Hamburg and
Universitas Gajah Mada (tanpa tahun).

6. Thesis: Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality, in Ayu Utami's novels:
Saman, Larung, and Bilangan Fu. Widyasari Listyowulan, Ohio University, 2010.

7. Thesis: No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in the Literary


Work of Ayu Utami. Micaela Campbell, University of Victoria, 2001.

8. Perlawanan perempuan terhadap hegemoni laki-laki dalam novel Saman dan Larung
karya Ayu Utami (sebuah pendekatan feminisme). Agustina Fridomi, (tanpa tahun).

Keberadaan Saman, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kedua novel Ayu Utami lainnya,
yakni Larung dan Bilangan Fu. Dari ketiga novel itu persoalan power, gender, dan sexuality
diangkat oleh Listyowulan (2010) dalam thesisnya. Ia menyimpulkan bahwa Novel Ayu
Utami 'menyuarakan' ketiga point tersebut dalam kehidupan manusia di Indonesia. Berikut
petikan konklusi thesisnya.

To recapitulate the discussion in this thesis: the three points offered in Utamis novels Saman,
Larung and Bilangan Fu are the contention between traditional and orthodox religions, the
clash of power that occurs between state and individual, and the freedom of expressing
womens sexuality (Page 147).
Saman adalah cerita tentang suatu hubungan persahabatan dan suatu tindakan besar untuk
mengatasi masalah. Persahabatan itu antara empat wanita muda, Yasmin Moningka, seorang
pengacara sukses yang bekerja di Law Firm ayahnya. Laila, seorang penulis dan fotografer.
Shakuntala, seorang penari yang sedang menempuh studi master di New York. Terakhir, Cok,
seorang wanita pengusaha. Dengan tokoh utama: Saman atau Wisanggeni, seorang Pastor
yang beralih menjadi aktivis hak asasi manusia.

Permulaan cerita ketika Laila bertemu dengan Sihar Situmorang, seorang sarjana
pertambangan disuatu offshore di Prabumulih, Sumatera Selatan. Konflik dalam dunia kerja
pertambangan yang didominasi oleh pria, menjadi tontonannya ketika ia ke lokasi tersebut. Ia
ke sana untuk mengambil beberapa capture sebagai bahan iklan perusahaan minyak yang
mengontrak agensinya. Ia kagum pada Sihar karena kekerasan hatinya untuk melawan
atasannya (lebih tepat rekanan) yang memaksa Sihar agar pengeboran dilakukan. Ia
menyaksikan bagaimana Sihar berargumentasi dan dengan risiko kehilangan pekerjaan.
Alhasil, perhitungan yang tepat oleh insinyur tambang itu memang benar. Alat bor tidak
bekerja semestinya, dan mengakibatkan gempa lokal dan salah seorang rekan Sihar terlempar
ke laut dan tak berbekas raga.

Laila mengenalkan Sihar pada Saman. Siapa Saman? Nama aslinya adalah Wisanggeni. Dia
tadinya adalah seorang Pastor yang bertugas di Prabumulih. Apa yang menyebabkan ia
bertugas di Prabumulih, tergambar dalam novel ini. Ia terikat dengan kenangan masa kecil.
Masa kecil yang cukup mistis. Ibunya mengalami kejadian mistis ketika sedang mengandung
adiknya, mengalami kejadian aneh, dan bayi dalam kandungan tersebut hilang begitu saja.
Misa Requeim dilakukan. demikian hal tersebut terjadi kembali. Perut ibunya yang tadinya
hamil, mendadak lenyap bersama suara-suara yang didengar Wisanggeni tiap malam. Ibunya
meninggal, dan ia memutuskan masuk ke Seminari. Pengalaman mistik di Prabumulih
membuat Wisanggeni ingin menyusuri kembali masa kecilnya di rumahnya dulu. Ia bertugas
di satu gereja katolik kecil di sana.

Dimanakah ada potret ketidakadilan? jangan lihat di lukisan atau di buku-buku filsafat, tapi
lihatlah di sekeliling. Pemerintah masa lalu yang merajalela dengan mengatasnamakan demi
keadilan, justru berlaku tidak adil di tanah Prabumulih. Dengan berdalih bahwa akan
membangun suatu perkebunan sawit yang menyejahterakan masyarakat, aparat pemerintah
daerah mendatangi tiap penduduk untuk menjual tanah miliknya. Siapa lagi yang
berkepentingan kalau bukan pengusaha yang rakus dan menyuap para penguasa.

Wisanggeni bersama dengan masyarakat setempat berusaha membangun kembali lahan yang
tidak mau dikompromikan dengan cara menanam kembali pohon-pohon karet muda,
diharapkan berproduksi lama dan tentu meningkatkan ekonomi mereka. Namun apa yang
membuat Wis bertahan adalah kesedihan hatinya melihat Upi ketika ia kembali ke rumah
masa kecilnya. Upi digambarkan adalah seorang gadis remaja yang memiliki gangguan jiwa
sampai pada taraf mengganggu dan meresahkan. Masyarakat disana tidak tahu bagaimana
merawat atau mendampingi Upi. Yang mereka lakukan adalah memasung dan memasukkan
Upi ke sebuah ruangan yang dilihat Wis seperti kandang burung.

Di bagian dunia yang lain, Shakun Tala meninggalkan Indonesia karena menerima beasiswa.
Ia seorang penari. Dalam novel ini ia bercerita dari sudut pandangnya sebagai seorang anak
dari ayah yang ia benci, seorang sahabat bagi tiga orang. Ia meninggalkan apa yang orang
bilang itu norma. Baginya, hidup dengan pilihannya sekarang adalah hidup atas kebebasan,
yang ia pertanggungjawabkan sendiri. Ia muak dengan segala kemapanan dan aturan yang
mengatakan bahwa wanita harus menjaga diri sebelum menikah, dan sebagainya. Dan
baginya adalah suatu hal aneh ketika menyaksikan temannya Laila begitu tergila-gilanya
dengan Sihar yang telah beristri. Ia menyediakan tempat bagi ketiga sahabatnya untuk
menemani Laila yang akan bertemu Sihar di New York, karena di Jakarta tidaklah bisa.

Siapa Saman? itulah nama baru Wisanggeni. Ia menggunakan nama Saman untuk
menghilangkan jejak dari kejaran aparat. Apa yang dilakukan di Prabumulih membuat gerah
pengusaha dan aparat. Ia dicari dan pernah disekap oleh intelijen. Hal itu tidak membuatnya
trauma, malah ia meminta kepada paroki agar ia "dibela" namun sepertinya gereja juga tidak
mau mengikutkan dirinya pada pilihan Wis, dan Wis menempuh jalannya sendiri. Ia keluar
dari kepastoran, dan menjadi aktivis hak asasi manusia. Ia beralih nama menjadi Saman, dan
ia pun berkenalan dengan Yasmin Moningka. Wis pernah menjadi pembimbing rohani
mereka berempat ketika mereka masih SMP.

Apa yang terjadi diantara Saman dan Yasmin sesungguhnya adalah realita yang dibungkus
dalam cerita novel. Ada banyak keraguan menenai konsep-konsep hidup. Misalnya,
bagaimana persepsi Hawa ketika disalahkan karena menggoda Adam? Apa pandangan
patriarki ketika melihat suatu "imajinasi" yang terlalu liar?

Agar pemahaman topik ini bisa utuh, memang lebih baik dilanjutkan dengan novel ayu utami
selanjutnya. jadi, saya harus baca lagih nih kelanjutannya. :)

Sekilas tentang Penulis


Yustina Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat tahun 1968. Novel pertamanya ini merebut
perhatian pembaca dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri yaitu pemenang pertama
dalam sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta, 1998 serta penghargaan The Prince Claus
Prize di tahun 2000 dari negeri Belanda.
Apa yang menjadi warna baru dalam dunia sastra Indonesia oleh karya Ayu Utami ini
mendobrak ketabuan dalam norma penulisan, salah satunya adalah kata-kata seperti orgasme,
masturbasi, organ kelamin, dan kondom disebutkan berkali-kali.

Utami menyelesaikan S1-nya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Anak bungsu dari 5
bersaudara ini memilih menjadi penulis. Ia juga sebelumnya berkarir di dunia jurnalistik
(sampai sekarang?). Media tempat ia berkarir antara lain Majalah Forum Keadilan, MATRA,
KALAM dan salah satu pendiri Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Mungkin karena terlibat
dalam dunia jurnalistik, bobot fakta yang ia tampilkan dalam novelnya ini lebih terasa tidak
fiksi, seolah mendekati keadaan sebenarnya. Dari latar belakang ini saya bisa menyimpulkan
bahwa penulis yang juga sekaligus jurnalis, memasukkan fakta-fakta yang tidak tersembunyi
yang mereka temukan kepada pembaca, sekaligus memberitahu ada sesuatu hal yang serius
dengan fakta itu. Dan mereka punya pena untuk menuliskannya.

Akhirnya, dengan kemampuan saya yang sangat terbatas, saya mengapresiasi karya ini,
karena satu hal. Ayu Utami berani. berani menuliskan, terlepas dari apakah itu suatu bentuk
ketidaksopanan dalam beretika menulis, saya rasa itu relatif jika dikaitkan dengan suatu cita-
cita yang tidak munafik.

@hws121010

Anda mungkin juga menyukai