Anda di halaman 1dari 8

PEMANFAATAN INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL UNTUK PERAKITAN PADI BERDAYA

HASIL TINGGI

Bambang S*1 dan Dian C. Prayantini1


1
Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora, Gedung A4, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
*Bambang Sujatmiko, e-mail: iko_9@yahoo.com

Abstrak

Variasi somaklonal adalah keragaman yang muncul selama kultur in-vitro berlangsung baik yang
bersifat genetik maupun epigenetik (Larkin & Scowcroft, 1981). Keragaman yang muncul pada
karakter agronomis diketahui dapat diwariskan. Perbaikan karakter hasil merupakan salah satu fokus
dalam perakitan tanaman padi. Dua galur digunakan pada penelitian ini yaitu Namtc-2 dan Namtc-3.
Metode yang digunakan untuk menginduksi keragaman somaklonal mengacu pada Thadavong et al.,
(2002) dengan modifikasi pada media regenerasi. Dari kegiatan induksi somaklonal variasi diperoleh
empat somaklon harapan yang memiliki hasil yang lebih tinggi hingga 32.15% dibandingkan galur
awalnya.

Kata kunci: variasi somaklonal, padi, hasil.

Pengantar

Beras merupakan bahan makanan utama bagi 3.5 miliar penduduk dunia. Konsumsi beras
diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk. Data IRRI pada
tahun 2009 melaporkan bahwa luas area penanaman padi dunia mencapai 158 juta hektar, dengan
produksi mencapai lebih dari 700 juta ton per tahun, dari jumlah tersebut, 90% produksi padi dunia
terdapat di Asia (sekitar 640 juta ton), dengan China sebagai penyumbang produsen padi terbesar,
sementara di Afrika dan Amerika Latin hanya menyumbang masing-masing 25 juta ton. Dari data
tersebut, pada tahun 2035, diperkirakan kebutuhan akan beras bertambah 116 juta ton (Seck et al.,
2012). Untuk mencukupi kebutuhan akan beras yang semakin meningkat diperlukan penanaman
varietas unggul baru (VUB) yang mampu berproduksi tinggi di lahan yang rentan terhadap serangan
hama penyakit. Kegiatan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru dapat
dilakukan melalui pendekatan bioteknologi. Bioteknologi yang dipadukan dengan pemuliaan
konvensional dapat dimanfaatkan untuk mendukung program perbaikan genetik tanaman terutama
dalam peningkatan efisiensi dan pemecahan masalah yang tidak bisa atau sulit dilakukan secara
konvensional. Salah satu teknik bioteknologi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
keragaman tanaman padi adalah melalui variasi somaklonal.
Variasi somaklonal adalah keragaman yang muncul selama kultur in-vitro berlangsung, baik
yang bersifat genetik maupun epigenetik (Larkin & Scowcroft, 1981). Induksi variasi somaklonal
dapat digunakan untuk manipulasi genetik tanaman dengan sifat poligenik selain juga dimanfaatkan
untuk perakitan varietas baru dalam program pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk peningkatan
ketahanan tanaman terhadap penyakit dan perbaikan morfologi tanaman untuk peningkatan hasil.
Variasi somaklonal merupakan perubahan genetik yang bukan disebabkan oleh segregasi atau
rekombinasi gen, seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan. Pemuliaan tanaman melalui
kultur jaringan bermanfaat dalam menginduksi keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan
genetik (Yunita, 2009).
Kultur in vitro tanaman dapat menginduksi atau menghasilkan keragaman antar sel, jaringan
dan organ yang menyebabkan perbedaan dalam kultur atau antar somaklon. Keragaman yang terjadi
di tahap in vitro sering terjadi secara spontan disebabkan oleh adanya sel-sel yang mengalami
perubahan secara genetik. Umumnya variasi somaklonal dihasilkan dari sel-sel yang mengalami satu
atau lebih perubahan sebagai berikut; perubahan fisik dan morfologi pada kalus yang belum
berdiferensiasi, perbedaan pada kemampuan untuk membentuk organ di level in vitro, perubahan
antar tanaman yang dihasilkan, dan perubahan di level kromosom (Skirvin et al., 1993). Tanaman
hasil variasi somaklonal dapat mengalami perubahan sifat yang berbeda dengan tanaman awalnya
baik secara permanen maupun sementara Perubahan sifat yang sementara dihasilkan dari pengaruh
epigenetik atau fisiologis dan bersifat tidak dapat diwariskan dan dapat kembali ke sifat tanaman awal
(Kaeppler et al., 2000). Sedangkan perubahan sifat yang permanen diartikan sebagai keragaman
somaklonal yang dapat diwariskan dan mampu mengekspresikan keragaman yang dimiliki oleh
tanaman awal bahkan memunculkan keragaman baru yang disebabkan oleh mekanisme genetik
yang tidak dapat dijelaskan (Larkin & Scowcroft, 1981).
Wattimena dan Mattjik (1992) menyatakan, keragaman genetik pada kultur jaringan dapat
dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus dan sel bebas) yang relatif lebih panjang. Untuk
mendapatkan kestabilan genetik pada teknik kultur jaringan, dapat dilakukan dengan cara
menginduksi sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi. Variasi somaklonal dalam
kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase
pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan
atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro (Skirvin et al. 1993; Jain 2001).
Lestari et al. (2010) melaporkan bahwa melalui variasi somaklonal telah diperoleh beberapa
varietas yang lebih baik kualitasnya antara lain tahan penyakit, kekeringan, dan produksi lebih tinggi.
Adanya keragaman genetik yang luas di dalam plasma nutfah memberikan peluang yang besar untuk
perbaikan genotipe tanaman. Berbagai sifat dapat berubah akibat variasi somaklonal tetapi
diharapkan karakter unggul seperti rasa dan kualitas yang ada tetap menyerupai tanaman induknya.
Dengan variasi somaklonal dimungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter tertentu dan
tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dipunyai tanaman induknya (Ahloowalia
& Maluszynki, 2001).
Tujuan penelitian ini ialah untuk menginduksi keragaman pada galur asal dan mendapatkan
somaklon yang memiliki karakter produksi tinggi.

Bahan dan Metode

Alat dan Bahan


Alat - alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: laminar air flow cabinet Esco TM,
autoklaf, oven BinderTM, timbangan analitik, pH meter, botol kultur, pinset, pisau scalpel dan cawan
Petri. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu benih yang telah dikupas berasal dari dua galur
(Namtc-02 dan Namtc-03). Alkohol 70% dan larutan pemutih komersial (Bayclin TM) digunakan sebagai
bahan sterilan benih.

Metode
Metode yang digunakan meliputi: induksi kalus, regenerasi dan perakaran mengacu pada
Thadavong et al (2002) dengan modifikasi pada media regenerasi. Modifikasi dilakukan dengan
menurunkan konsentrasi zat pengatur tumbuh Benzyl amino purine (BAP) dari 4 mg/l menjadi 3 mg/l.
Induksi variasi somaklonal dilakukan melalui empat tahapan in-vitro, yaitu: tahap induksi kalus, tahap
regenerasi, tahap multiplikasi, dan tahap perakaran. Lingkungan tumbuh yang digunakan yaitu 12 jam
penyinaran, kecuali pada tahap induksi kalus yang menggunakan perlakuan gelap dan terang. Suhu
ruang kultur diatur pada 240C. Setelah tahap kultur in-vitro selesai, dilanjutkan dengan aklimatisasi
dan verifikasi.
1. Tahap induksi kalus
Tahap induksi kalus ini merupakan tahapan awal yang sangat menentukan
keberhasilan program somaklonal variasi. Kalus yang berkembang dengan baik akan
menghasilkan banyak regeneran yang potensial menjadi individu-individu yang beragam.
Media yang digunakan untuk menginduksi kalus yaitu media dasar MS yang ditambahkan
2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dengan beberapa konsentrasi yaitu 1.5 mg/l, 2 mg/l,
2.5 mg/l dan 3 mg/l .
2. Tahap regenerasi dan multiplikasi
Pada tahap ini kalus yang terbentuk diregenerasikan untuk menghasilkan tunas. Tahap
ini merupakan tahap kritis dimana komposisi media sangat menentukan terbentuknya tunas
yang akan berkembang menjadi plantlet. Media yang digunakan pada tahap regenerasi kalus
adalah media dasar MS ditambah 3 mg/l BAP, 1 mg/l Indole acetic acid (IAA) dan 800 mg/l
dan 1000mg/l Casein hidrolysate (CH). Respon multiplikasi diamati pada media dengan
komposisi yang sama dengan media regenerasi.
3. Tahap perakaran
Tahap perakaran diperlukan untuk menginduksi akar dari tunas yang telah diperoleh
pada tahap sebelumnya sehingga bisa menjadi plantlet utuh. Media yang digunakan untuk
menginduksi perakaran adalah media dasar MS yang ditambah 1 mg/l Indole butyric acid
(IBA).
Plantlet yang telah tumbuh dan memiliki perkaran yang baik selanjutnya di aklimatisasi di
green house selama 2 minggu. Plantlet yang tumbuh dengan baik selanjutnya di pindah tanam ke
polybag yang berisi tanah, kompos dan cocopeat. Benih yang diperoleh dari plantlet yang
diaklimatisasi digunakan sebagai materi untuk verifikasi dan diberi kode R1. Verifikasi dilakukan
hingga 4 kali untuk melihat kestabilan sifat baru yang telah terinduksi.

Hasil dan Pembahasan

Tahap induksi kalus


Benih padi yang ditanam pada media yang mengandung beberapa konsentrasi zpt 2,4-D
menunjukkan respon yang beragam. Meskipun demikian, secara umum kalus terbentuk pada umur 2
minggu setelah tanam. Persentase kalus tertinggi ditunjukkan oleh eksplan yang ditanam pada media
induksi kalus yang mengandung 2 mg/l dan 3 mg/l 2,4-D yaitu mencapai 96%. Selain konsentrasi 2,4-
D pembentukan kalus juga dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh terutama penyinaran, dimana kondisi
terang lebih efektif untuk induksi kalus dibandingkan kondisi gelap.

Tabel 1. Pembentukan kalus pada media induksi kalus yang mengandung berbagai konsentrasi 2,4-D
pada kondisi terang dan gelap.
Terang Gelap
2,4-D (mg/l) Biji yang Biji yang
Ukuran kalus Ukuran kalus
membentuk membentuk
(mm) (mm)
kalus (%) kalus (%)
0 0.00 0.00 0.00 0.00
1.5 60.00 4.80 44.00 2.90
2 96.00 6.50 64.00 3.50
2.5 70.00 6.40 58.00 3.20
3 96.00 6.95 78.00 3.80

Mengacu pada penggunaan 2,4-D sebagai zpt, dilaporkan oleh Raina (1989) bahwa 2,4-D
adalah golongan auksin yang paling sesuai untuk menginduksi kalus pada tanaman padi. Hal yang
sama juga dilaporkan pada penelitian Thadavong et al. (2002). Namun, keefektifan tersebut juga
bergantung pada konsentrasi 2,4-D yang digunakan dan kondisi kultur. Pada penelitian ini,
konsentrasi 2,4-D sebesar 3 mg/l adalah yang paling efektif untuk menginduksi kalus baik pada
kondisi terang maupun pada kondisi gelap.

Tahap regenerasi, multiplikasi, dan perakaran


Kalus yang telah berumur 3 minggu dipindah tanam ke media regenerasi untuk menginduksi
tunas. Green spot muncul 2 minggu setelah kalus dipindah tanam pada media regenerasi. Green
spot berdiferensiasi menjadi dua yaitu tunas dan akar. Dari dua komposisi media regenerasi yang
digunakan, media yang mengandung 800 mg/l CH lebih efektif dalam menginduksi pertunasan yaitu
sebesar 23.08%.

Tabel 2. Respon kalus pada beberapa media regenerasi yang berbeda


Jumlah
Jumlah kalus yang membentuk
tunas/kalus
Media
Green Tunas
Akar (%)
spot (%) (%)
MS dasar 10 10 15 2.30
MS + 1mg/l IBA+ 3 mg/l BAP + 800 mg/l 17.95 23.08 23.08 15.88
CH 17.39 13.04 21.73 9.33
MS + 1mg/l IBA+ 3 mg/l BAP + 1000
mg/l CH

Respon multiplikasi tunas terbanyak juga diperoleh pada media yang ditambahkan 800 mg/l
CH. Jumlah rata-rata tunas yang dihasilkan dari tiap kalus mencapai 15.88. Berdasarkan regeneran
yang dihasilkan dan multiplikasi tunas yang bisa diinduksi, didapatkan bahwa media regenerasi yang
mengandung 1 mg/l IBA ditambah 3 mg/l BAP dan 800mg/l CH adalah media regenerasi yang terbaik.
Berdasarkan Khana dan Raina (1998) bahwa keberhasilan regenerasi pada kultur jaringan tanaman
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya genotipe, sumber eksplan, komposisi media, zpt dan
linkungan tumbuh.
Tunas yang telah terbentuk dan berhasil dimultiplikasi selanjutnya ditanam pada media
perakaran untuk mendapatkan plantlet utuh. Perakaran mulai terbentuk setelah tunas berumur 7 hari
pada media perakaran. Plantlet diaklimatisasi apabila akar primer dan sekunder telah terbentuk
dengan baik. Plantlet siap diaklimatisasi setelah berumur 3 minggu pada media perakaran.

Gambar 1. Tahap kultur in-vitro pada kegiatan induksi somaklonal variasi. A: kalus yang berasal dari
biji berumur 3 minggu; B: Inisiasi green spot dan tunas, 2 minggu setelah subkultur. C:
Pemanjangan tunas; D: Perbanyakan tunas pada media multiplikasi.

Verifikasi tingakat green house dan lapang


Penelitian ini sebagaimana tersebut pada pengantar bertujuan untuk mendapatkan padi yang
memiliki daya hasil tinggi. Karena itu verifikasi untuk tujuan mengamati perubahan karakter secara
morfologi dan kestabilan sifat yang telah terinduksi sangat penting untuk dilakukan. Pengamatan
dikhususkan pada karakter yang berkaitan dengan hasil yaitu: tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah
anakan produktif, seed setting dan berat 100 benih.
Kegiatan verifikasi dimulai dengan menanam benih hasil aklimatisasi yang selanjutnya
disebut R1, dilanjutkan dengan selfing pada generasi R1. Benih hasil selfing R1 selanjutnya disebut
R2. Verifikasi dilakukan hingga keturunan ke 4 atau generasi R4. Penamaan ini mengacu pada
Adkins et al. (1995).

Namtc-3
Verifikasi pertama dilakukan dengan membandingkan karakter morfologi 14 somaklon yang
dihasilkan dengan galur asalnya (Namtc-3). Namun pada saat dilakukan verifikasi tersebut terjadi
ledakan hama wereng coklat, sehingga dari total 14 somaklon hanya 2 somaklon yang dapat tumbuh
dengan normal. Oleh karena itu pada verifikasi tahap kedua hanya difokuskan pada kedua somaklon
tersebut yaitu nomor 4-12 dan 7-12.

Tabel 3. Penampilan somaklon dan galur asalnya (Namtc-3) pada verifikasi tahap pertama dimana
terjadi ledakan hama wereng coklat.
Kode Status
Namtc-3 Abnormal
1-4
1-5
2-5
3-2
3-3
3-5
4-2
4-11
4-12* Normal
5-1 Abnormal
7-9
7-10
7-11
7-12* Normal
Verifikasi kedua dilakukan dengan menanam keturunan dari somaklon 4-12 dan 7-12 dan
dibandingkan dengan galur Namtc-3. Sebanyak 8 keturunan dari somaklon 4-12 dan 1 keturunan dari
nomor 7-12 diamati pada verifikasi kedua. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk karakter
tinggi tanaman, somaklon 2985 adalah yang tertinggi yaitu rata-rata 109 cm dan yang terpendek
adalah somaklon 2987 yang hanya 81 cm. Jumlah anakan dan anakan produktif tertinggi diperoleh
somaklon 2985, sedangkan untuk seed setting (nisbah antara jumlah bulir yang berisi terhadap
jumlah bulir keseluruhan) somaklon 2989 adalah yang tertinggi yaitu 95.74%. Untuk karakter berat
100 benih, semua somaklon memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding galur asalnya.

Tabel 4. Penampilan somaklon yang berasal dari nomor 4-12 dan 7-12 dibandingkan dengan galur
asalnya (Namtc-3).

Karakter morfologi yang diamati


Tinggi
Kode Jumlah Jumlah anakan Seed setting Berat 100
tanaman
anakan produktif (%) biji (g)
(cm)
Namtc-3 107 29 26 93.49 2.65
4-12:
2985 109 39 37 95.07 2.90
2987 81 18 18 93.27 2.78
2989 105.5 26 26 95.74 2.91
2991 91 14 14 93.88 2.83
2993 96 20 17 92.66 2.77
3004 106.5 27 27 95.58 2.85
3006 104 25 25 92.08 2.73
3008 99.66 25 24 95.08 2.89
7-12:
2996 99 31 27 95.67 2.86

Verifikasi ketiga dilakukan dengan menanam keturunan dari sembilan somaklon pada
verifikasi kedua dimana masing somaklon ditanam 3 nomor. Namun sebagaimana pada verifikasi
tahap pertama, pada verifikasi tahap ketiga terjadi serangan penyakit yang disebabkan oleh jamur
ustilago. Nomor-nomor yang tidak terserang hingga panen selanjutnya digunakan sebagai bahan
untuk verifikasi tahap keempat. Nomor-nomor yang terpilih adalah 2987-4, 2996-8, 3004-2, 3008-3,
dan 3008-4.

Tabel 5. Penampilan somaklon dibandingkan dengan galur asalnya (Namtc-3) pada generasi ke-4.
Karakter morfologi yang diamati
Tinggi
Kode Viabilitas Jumlah anakan Seed setting Berat 100
tanaman
benih (%) produktif (%) biji (g)
(cm)
Namtc-3 94.39 78.98 28.33 84.09 2.71
4-12:
2987-4 91.91 96.67 22.73 83.37 2.78
3004-2 98.64 96.67 32.61 91.25 2.86
3008-3 96.31 92.82 32.63 86.84 2.82
3008-4 97.75 96.16 28.30 87.20 2.90
7-12:
2996-8 95.33 78.50 29.00 91.38 2.78

Penampilan kelima nomor somaklon pada generasi ke-4 secara umum lebih baik
dibandingkan dengan galur asalnya. Untuk tinggi tanaman somaklon 3008-4 memiliki nilai tertinggi
yaitu 97.75%. Somaklon 2987-4 dan 3004-2 unggul dalam hal viabilitas benih yang mencapai
96.67%, sedangkan untuk jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh somaklon 3008-3 yaitu 32.63.
Seed setting tertinggi diperoleh somaklon 2996-8 dengan nilai 91.38%. Untuk karakter berat 100 biji,
semua somaklon memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan galur asalnya. Karena pada saat
verifikasi ketiga pengamatan tidak dapat dilakukan dengan obyektif akibat serangan ustilago, maka
dilakukan verifikasi kelima yang difokuskan pada karakter potensi hasil. Verifikasi dilakukan pada dua
kondisi yaitu pada lahan yang bebas wereng coklat dan lahan yang terjadi serangan wereng coklat.
Verifikasi untuk potensi hasil dilakukan di kabupaten Tulungagung tepatnya di dusun Bolu, desa
Punjul, kecamatan Karangrejo.

Tabel 6. Potensi hasil pada kondisi tanpa serangan wereng coklat dan saat terjadi serangan wereng
coklat.
Kode Potensi hasil 50 tanaman (g)
Tanpa serangan wereng coklat Terjadi serangan wereng coklat
Namtc-3 1333.5 887.9
2996-8 1724.6 1040.3
3004-2 1755.9 1722.5
3008-3 1762.5 1003.0
3008-4 1755.7 961.0

Uji potensi hasil yang dilakukan terhadap empat somaklon harapan pada saat tanpa
serangan wereng coklat dan saat terjadi serangan wereng coklat memperlihatkan bahwa penampilan
empat somaklon lebih baik dibandingkan galur asalnya. Pada kondisi tanpa serangan wereng coklat
somaklon 3008-3 mampu menghasilkan gabah kering sebesar 1762.5 g/50 tanaman atau setara
dengan 8.812 ton/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan galur asalnya yang hanya 1333.5 g/50 tanaman
atau setara dengan 6.668 ton/ha. Perbedaan hasil yang lebih mengesankan adalah saat pengujian
dilakukan di lahan yang terjadi serangan wereng coklat. Somaklon 3004-2 mampu berproduksi
mendekati kondisi normal yaitu 1722.5 g/50 tanaman atau setara dengan 8.61 ton/ha. Jika
dibandingkan dengan galur asalnya yang hanya menghasilkan 887.9 g/50 tanaman atau setara
dengan 4.44 ton/ha, hasil somaklon 3004-2 hampir dua kali lipat lebih tinggi.

Gambar 2. Penampilan tanaman padi saat uji potensi hasil. A: tanaman padi normal; B:tanaman padi
yang terserang wereng coklat.

Namtc-2
Verifikasi yang dilakukan pada galur Namtc-2 hingga saat ini baru memasuki verifikasi tahap
pertama. Hal ini dikarenakan galur Namtc-2 memiliki umur yang relatif dalam yaitu antara 6-7 bulan.
Tujuh somaklon ditanam bersama dengan galur asalnya. Pada verifikasi tahap pertama empat nomor
somaklo yang memiliki jumlah anakan dan anakan produktif yang lebih tinggi dibandingkan galur
asalnya (Namtc-2), dimana somaklon 2-6 memiliki anakan terbanyak yaitu 41 dan anakan produktif
terbanyak ditunjukkan oleh somaklon 2-1 yaitu 33. Untuk karakter tinggi tanaman, terdapat satu
somaklon yang jauh lebih pendek dibanding galur asalnya maupun somaklon yang lain yaitu 2-7 yang
memiliki tinggi tanaman 140cm.

Tabel 7. Penampilan somaklon dibandingkan dengan galur asalnya (Namtc-3) pada generasi ke-4.
Karakter morfologi yang diamati
Tinggi
Kode Jumlah Jumlah anakan Seed setting Berat 100
tanaman
anakan produktif (%) biji (g)
(cm)
Namtc-2 202 29 24 81.30 3.04
2-1 223 39 33 71.64 2.93
2-2 174 34 21 79.65 3.00
2-3 199 31 28 74.42 3.13
2-4 195 26 23 74.15 2.85
2-5 199 37 24 80.40 3.08
2-6 198 41 32 74.83 2.93
2-7 140 21 9 63.41 2.78

Gambar 3. Penampilan tanaman pada verifikasi pertama. A: malai somaklon; B: malai galur asal
(Namtc-2); C: somaklon tinggi; D: somaklon pendek.

Somaklon yang berasal dari galur Namtc-3 secara umum memiliki daya hasil yang lebih
tinggi dibandingkan dengan galur asalnya. Kestabilan sifatnya juga stabil dari generasi pertama
sampai generasi ke-5. Secara teori berdasarkan Adkins et al (1995) kestabilan sifat somaklon dicapai
pada generasi ke-4 sehingga panduan untuk verifikasi individu yang diperoleh dari program induksi
variasi somaklonal dilakukan sampai generasi ke-4 (R-4). Sedangkan untuk somaklon yang berasal
dari galur Namtc-2, verifikasi masih akan dilanjutkan untuk melihat kestabilan sifat yang diinduksi.
Peningkatan hasil tanaman melalui teknik induksi variasi somaklonal juga telah dilaporkan
berhasil untuk beberapa jenis tanaman antara lain padi Fatmawati yang juga tahan blas, tanaman
nilam yang memiliki kadar minyak hingga 150% lebih tinggi daripada kontrol serta pisang abaka
berdaya hasil tinggi yang tahan terhadap layu fusarium (Gati et al., 2010; Mariska dan Kadir, 2007;
Purwati et al., 2007).

Kesimpulan
Induksi variasi somaklonal adalah teknik dalam kultur in-vitro yang potensial untuk digunakan
dalam pemuliaan padi berdaya hasil tinggi. Melalui teknik tersebut berhasil diperoleh empat somaklon
harapan dari galur Namtc-3 yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan galur asalnya baik
pada kondisi tanpa serangan wereng coklat maupun saat terjadi serangan wereng coklat.
Peningkatan hasil yang bisa dicapai adalah setara dengan 2.144 ton/ha (32.15%) pada kondisi tanpa
serangan wereng coklat dan 4.17 ton/ha (93.92%) saat terjadi serangan wereng coklat. Sedangkan
untuk somaklon dari galur Namtc-2 terdapat empat nomor yang memiliki jumlah anakan dan anakan
produktif lebih tinggi dibandingkan galur awalnya.

Daftar Pustaka

Adkins, S.W., R. Kunanuvatchaidah & I.D. Godwin. 1995. Somaclonal variation in rice-drought
tolerance and other agronomic characters. Aust. J. Bot. 43:201-209.

Ahloowalia, B.S. & M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-a new paradigm in plant breeding.
Euphytica 118:167-173.

Jain, S.M. 2001. Tissue culture-derived variation in crop improvement. Euphytica 118:153156.

Kaeppler, S.M., H.F. Kaeppler, Y. Rhee. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants.
Plant Mol Biol 43:179188.
Khanna, H.K. & S.K. Raina. 1998. Genotype x culture media interaction effects on regeneration
response of three indica rice cultivars. Plant Cell Tissue and Organ Culture 52:145-153.

Larkin, P. & W. Scowcroft. 1981. Somaclonal variation-a novel source of variability from cell cultures
for plant improvement. Theor Appl Genet 60:197214.

Lestari, E.G., I.S. Dewi, R. Yunita & D. Sukmadjaja. 2010. Induksi mutasi dan keragaman
somaklonal untuk meningkatkan ketahanan penyakit blas daun pada padi fatmawati. Buletin
Plasma Nutfah 16(2):96-102.

Raina, S.K. 1989. Tissue culture in rice improvement: status and potential. Adv.Agron. 42: 339-398.

Seck, P.A. A. Diagne. S. Mohanty. M.C.S. Wopereis. 2012. Crops that feed the world 7: rice. Food
Sec. 4:7-24.

Skirvin, R.M., M. Norton, K.D. McPheeters. 1993. Somaclonal variation: has it proved useful for plant
improvement?. Acta Hortic 336:333340.

Thadavong, S., S. Prapa, W. Wasana, J. Peeranuch. 2002. Callus induction and plant regeneration
from mature embryos of glutinous rice (Oryza sativa L.) cultivar tdk1. Kasetsart J. (Nat.Sci.)
36: 334-344

Wattimena, G.A. & N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan tanaman secara in vitro. Dalam Tim Laboratorium
Kultur Jaringan (Ed.). Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Yunita, R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan tanaman
toleran cekaman abiotik. Jurnal Litbang Pertanian 28(4):142-148.

Anda mungkin juga menyukai