NIM : A31114006 Tugas : RMK Metodologi Penelitian Akuntansi
MENGUPAS KEAKUAN AKUNTAN
MELALUI FENOMENOLOGI A. Fenomenologi Transendental Asumsi bahwa Aku dalam fenomenologi adalah pusat dari lingkungan (the zeo point) (Husserl, 2006:6), akhirnya mengarah pada bagaimana Aku dalam tubuhku (live body) yang mengambil ruang dan tempat tertentu mendapatkan pengalaman. Pengalaman ini membentuk intuisi Aku. Asumsi inilah yang akan diturunkan ke metode penelitian yang menekankan pada pemahaman akan pentingnya intensi (niat). Bagaimana Aku berhubungan dengan Aku lain dalam lingkungan? Husserl (2006:6) menjawabnya dengan: All Is apprehend themselves as relative middle points of one and the same spatial [Allraum-temporal [Weltzeit] world that in its indeterminate infinity is the total surrounding of each I. For each I the other Is are not the middle points but surrounding points Bisa jadi asumsi tentang manusia sebagai Aku inilah yang menjadikan fenomenologi unik karena penelitian fenomenologi berpusat pada individual dan bagaimana individual ini (Aku) memahami suatu konteks tertentu karena lingkungannya yang tidak sepenting keberadaan Aku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Warren (2012:41) mengenai tujuan utama penggunaan fenomenologi adalah memahami keberadaab Aku sebagai being dan rasionalitas Aku (reasons):...the problem of the world is the essential relation between being and reasons. Bagaimana Aku artinya akan memaknai dan melakukan sesuatu dipicu oleh alasan, dan inilah intentionality. Kekuatan dari pemahaman tentang Aku inilah yang membedakan fenomenologi dari metodologi lainnya, atau apa yang disebut sebagai kesadaran murni (pure consciousness): Kesadaran murni menurut Huserl, bukanlah suatu interprestasi atas dunia atau pengganti keberadaan dunia yang objektif, namun kemunculan relasi antara noema dan noesis, di mana relasi ini ada karena pengalaman. Karena pengalaman menjadi poin penting mengapa kita memiliki kesadaran tertentu, sejarah menjadi sangat penting dalam fenomenologi. Jika dibawa ke rana akuntansi, maka penelitian berbasis fenomenologi tentu tidak dapat dugunakan untuk menelaah sebuah organisasi atau sebuah sistem, karena organisasi ataupun sebuah sistem bukan Aku. Fokus fenomenologi riset akuntansi adalah pribadi/individual akuntan. Jika seorang akuntan atau seorang Aku berada di tengah lingkungan dimana terjadi kecurangan dan ia juga merupakan pelaku kecurangan akuntansi, maka seorang fenomenolog, karena asumsinya atas realita yang berpusat pada Aku sang akuntan, akan melihat bagaimana akuntan tersebut memahami kecurangan akuntansi sebagai sebuah realita yang dimaknai sebagai realitas konkret bersumber dari pengalaman saat Aku sang akuntan berinteraksi dengan lingkungan. Pemaknaan ini bukan interprestasi namun sejatinya sebuah realitas yang sangat nyata yang muncul karena diri akuntan. Dalam teknik analisis fenomenologi transcendental, ada beberapa kata kunci yang harus dipahami fenomenologi: 1. Noema 2. Noeis 3. Epoche (Bracketing) 4. Intentional Analysis 5. Eidetic Reductions Perlu dipahami bahwa seorang fenomennolog mencoba melakukan objektivikasi atas subjektivikasi, sehingga sebenarnya kurang tepat apabila fenomenologi mengahruskan embededdedness. Memasuki relung kesadaran seseorang bukan berarti mengharuskan peneliti masuk ke dalam lingkungan individu yang diteliti. Istilah bracketing, atau memberikan tanda kurung, atau epoche menegaskan hal ini. Analisis fenomenologi selalu dimulai dengan identifikasinoema atau apa yang bisa disebut sebagai analisis tekstural (seperti tekstur pemukaan). Berdasarkan indentifikasi noema ini, peneliti melakukan bracketing atau meletakkan tanda kurung pada apa yang ia tangkap teksturr lain di bawah tekstur (analisis struktural) untuk mendapatkan noeis, sebagai level pemaknaan yang lebih dalam. Husserl (2006:155) menjelaskan bahwa ketika epoche ataubracketing dilakukan maka pengurungan makna tersebut harus disertai pemahaman bahwa pemaknaan tersebut muncul pada waktu dan ruang tertentu yang menjadikannya pengalaman bagi sang Aku: Makna yang lebih dalam dan menjadi kesadaran murni adalah noeis yaitu kesadaran yang muncul akibat pengalaman karena dan pada waktu (Allraum) dan tempat (Weltzeit) tertentu. Pemahaman akan relasi noema-noeis ini memungkinkan fenomenolog mengambil sebuah pemahaman lanjutan tentang bagaimana noeis membentuk noema. Ini adalah pemahaman akan intentional analysis. Akhirnya, seorang fenomenolog akan mampu mendapatkan hasil sebuah kondensasi dari seluruh proses pemaknaan; atau ide yang melandasi keseluruhan kesadaran murni tersebut (eidetic reduction). Dalam fenomenologi, terdapat proses yang simultan antara koleksi dan analisis data. Epoche tidak dapat dilakukan semata dengan seperangkat pertanyaan terstruktur atau semi terstruktur, namun ia merupakan sebuah proses yang berkembang blossoming /evolving) dari proses penggalian kesadaran. Metodologi fenomenologi sebenarnya tidak menggunakan wawancara sebagai alat koneksi data. Fenomenologi menggunakan epoche yang sejatinya sangat berbeda dengan wawancara. Dapat dibayangkan bagaimana seorang fenomenolog harus selaku waspada akan bracketing apa yang akan dilakukan pada setiap respon pertanyaan ? proses ini seperti mengupas lapisan bawang, hingga tidak ada lagi temuan yang dapat dikatakan baru, yang artinya data sudah jenuh. Tentu menjadi sangat tidak efektif bagi fenomenolog untuk mmenyiapkan seperangkat pertanyaan, karena justru pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjauhkan fenomenolog dari proses pengupasan kesadaran. Seandainyapun ini dilakukan, maka saat fenomenolog duduk dan membaca kembali transkripsi wawancaranya, melakukan bracketing ada transkripsinya. Ia bisa jadi sadar bahwa proses epoche belum selesai dan harus kembali melakukan wawancara. Dengan kata lain, fenomenolog bisa menyiapkan beberapa tema sesuai isu penelitian, namun ia harus cukup cerdas untuk mampu memunculkan pertanyaan berdasarkan respon informan dan bracketing yang dilakukan. Bagaimana jika fenomenolog menemukan lebih dari satu bracketing seperti di respon pertama dan kedua Bapak Romeo? Tentu ia harus mencatat temuannya hingga ia selesai dengan proses bracketing yang tadi ditemuinya. Perhatikan pula contoh pertanyaan terakhir fenomenolog. Tampak bahwa ia mencoba mencari waktu (Allraum) dan tempat (Welzeit) untuk memahami lebih dalam tentang bracketing. Proses bracketing akan mampu menguatkan noema atau kesadaran terluar (eksplisit/tampak) dan noesis (kesadaran terdalam yang melandasinya). Saya biasanya meminta mahasiswa untuk membuat semacam kertas kerja atau table untuk mempermudah pemetaan noema-noesis-intentional analysis-eidetic reduction seperti yang ditampilkan pada table dibawah ini. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana kemudian seorang fenomenolog akhirnya tahu bahwa ia telah mendapatkan kesadaran terdalam? Jawabannya sederhana, yaitu tidak lagi memberikan bracketing baru. Pada contoh di tabel, tentu proses fenomenologi sebenarnya belum selesai karena fenomenolog belum sampai pada titik jenuh. Ia masih mendapatkan hal yang baru pada setiap respon informannya. Tabel dibawah ini sengaja disajikan untuk memperlihatkan bagaimana proses analisis fenomenologi transcendental dapat dilakukan dan betapa cermatnya seorang fenomenolog harus segera melakukan analisis saat wawancara dilakukan. Delapan alur Tanya jawab tadi saja telah menghasilkan kertas kerja yang begitu rumit.
B. Penyajian Hasil dan Pembahasan dalam Studi Fenomenologi
Seringkali artikel yang mengklaim menggunakan fenomenologi hampir tidak pernah menampakkan analisis fenomenologinya pada bagian hasil dan pembahasan. Hal ini dapat memberi kesan bahwa penelitian kualitatif apapun metodenya, hanyalah sekedar wawancara dan observasi. Seharusnya memang, metode apapun yang digunakan harus menjadi bagian penting hasil dan pembahasan. Walaupun fenomenologi transcendental seperti tabel sebelumnya ditampilkan semua dibagian hasil dan pembahasan. Sebagaimana hasil uji regresi dilampirkan pada penelitian, kertas kerja analisis fenomenologi pun cukup menjadi lampiran dan tidak perlu menjadi bagian utama dalam tubu penelitian. Kata kunci penyajian fenomenologi adalah pada penyajian hasil dan pembahasan. Sederhananya, fenomenolog perlu mengaitkan pembahasan dan analisis fenomenologinya. Perhatikan tiga contoh penyajian hasil penelitian fenomenologi berikut:
Evolusi fenomenologi: posfenomenologi dan fenomenologi Tauhid
Fenomenologi dan postfenomenologi maih menggunakan kebenaran empiris semata dalam mendapatkan pengetahuan, belum kebenaran Ilahiyah. Lalu apakah posfenomenologi dan fenomenlogi islam dapat diintegrasikan? Ya, dengan menggunakan Hyperpostenomenology sebagai metode analisis. Pengungkapan makna yang sebelumny tidak ada disebut poesis, yaitu mengungkapkan makna yang sebelumnya tidak ada.