Anda di halaman 1dari 18

Anemia Defisiensi Besi pada Perempuan

Michael Steven

102013186

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Email : Michael_steven_aja@yahoo.com

Pendahuluan
Darah adalah suatu suspense partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung
elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan
lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah
sendiri. Komponen cair darah yang disebut plasma teridiri dari 91-92% air yang berperan sebagai
medium transport, dan 8-9% zat padat. Zat padat tersebut antara lain protein-protein seperti
albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim; unsur organic seperti zat nitrogen
nonprotein (urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino), lemak netral, fosfolipid kolesterol,
dan glukosa, dan unsure anorganik berupa natrium, klorida, bikarbonat, kalsium, kalium,
magnesium, fosfor, besi, dan iodium. Walaupun semua unsure memainkan peranan penting
dalam homeostasis, tetapi peranan protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah.1
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah, (eritrosit), beberapa sel darah putih
(leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transfor atau
pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi,
dan trombosit untuk hemostatis. Sel-sel ini mempunyai umur yang terbatas, sehungga diperlukan
pembentukan optimal yang konstan untuk mempertahan jumlah yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan ini, yang disebut hematopoiesis (pemebentukan
dan pematangan sel darah) terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra, pelvis, sternum,
iga-iga, dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan meningkat, misalnya

1
pada pendarahan atau penghancuran sel (hemolisis), maka dapat terjadi pembentukan lagi dalam
seluruh tulang panjang, seperti yang terjadi pada anak-anak.1

Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis pada pasien dewasa jika


keadaan memungkinkan. Sekiranya keadaan tidak memungkinkan,
anamnesis dilakukan secara allo anamnesis. Anamnesis yang perlu dilakukan
meliputi:

Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa

Keluhan utama

Bertanya tentang awitan dan gejala awal. Pasien mengeluh mudah


lelah, nafas menjadi lebih berat, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala
lainnya. 2
Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu: 2,3
Pika: suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan
seperti es batu, kotoran atau kanji
Glositis : iritasi lidah
Keilosis : bibir pecah-pecah
Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti
sendok.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Ditanyakan juga pola pertumbuhan sekiranya pasien anak/remaja.

Riwayat penyakit sekarang


Ditanya tentang faktor resiko yang mungkin ada pada pasien.
Misalnya, kebiasaan makannya atau status diet, ambilan obat dan

2
jangka waktunya, status sosioekonomi (malnutrisi), status menstruasi
(pada wanita, sering pada premenopause).2,3
Penyakit yang dialami sekarang seperti perdarahan saluran makanan,
perdarahan genitourinarius, hemosiderosis paru, dan hemolisis
intravascular serta tempuh lamanya penyakit tersebut.2,3

Riwayat penyakit dahulu


Ditanya jika pasien mempunyai riwayat gastrektomi parsial atau total,
by pass usus halus proksimal.3
Ditanya adakah pasien ada mengonsumsi obat terutama aspirin.3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Status generalis:

a. Keadaan umum: Tampak sakit ringan, pucat.


b. Kesadaran: Kompos mentis
c. Tanda-tanda vital: dalam batas normal.

Pemeriksaan fisik lain

a. Kepala ditemukan konjungtiva anemis. Dapat juga ditemukan


stomatitis angularis, atrofi papil lidah2-4
Gambar 1

Angular cheilosis / stomatitis angularis4

3
Gambar 2

glossitis karena atrofi papil lidah4

b. Thoraks - murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran


jantung
c. Abdomen - Bisa ditemukan splenomegali pada pasien ADB yang
berat, persisten dan ADB yang tidak diterapi.
d. Ekstremitas Khas ditemukan koilonikia yaitu kelainan pada
kuku, tidak ditemukan edema pada tungkai.2-4
Gambar 3

Koilonychia (kuku sendok)4

Pemeriksaan Penunjang

Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit

Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemogglobin mulai


dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan
berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Penigkatan anisositosis
ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW

4
dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang
RDW pada kedua jenis ini hasilnya sering tumpang tindih.

Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memaki angka <80fl, tapi pada penilitian ADB di
Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah <78fl memberi
sensitivitas dan sfesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV,MCH,MCHC
dan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit selalu dapat
mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.

Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan


poiklilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia
dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika
terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin (ring cell),
atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-
kdang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena
cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan dengan
episode perdarahan akut.2-3

Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)

Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. TIBC
menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin
dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diganosis ADB, kadar besi
serum menurun <50g/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350g/dl, dan saturasi
transferin <15%. Ada juga memakai saturasi transferin <16%, atau <18%. Harus diingat bahwa
besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar dengan kadar puncak pada jam 8
sampai 10 pagi.

Ferritin serum

Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik kecuali pada keadaan
inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cutt off point) untuk feritin aserum pada ADB
diapakai angka <12g/l, tetapi ada juga yang memakai <15g/l. untuk daerah tropik di mana

5
angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan oleh negara barat
tampaknya haris dikoreksi. Pada satu penilitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali
pemakaian feritin serum <12g/l dan <20/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivtas tertinggi (84%) justru dicapai pada
pemakaian feritin serum <40mg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Hercberg
untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum <20mg/l sebagai kriteria
diagnosis ADB. Jika terdapat inflamasi atau infeksi yang jelas seperti artritis reumatoid, maka
feritin serum 50-60g/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum
merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu
banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun
tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya
defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi
besi.2

Protoporfirin

Protoporfirin merupakan bahan antara dalam pembentukan heme. Apabila sintesis heme
terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit.
Angka normal adalah kurang dari momg/dl. Untuk defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah
lebih dari 100mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik
dan keracunan timah hitam.2

Kadar reseptor transferin

Kadar reseptor transerin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan
cara immunologi adalah 4-9g/L. Pengukuran reseptor transferin terutama digunakan untuk
membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi bila dipakai rasio
reseptor teransferin dengan log feritin serum. Ratio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5
sangat mungkin anemia karena penyakit kronik2

Pemeriksaan sumsum tulang

Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan


normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut

6
sebagai micronormoblast. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain)
menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-
60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast
negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold
standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh
pemeriksaan ferritin serum yang lebih paraktis.2

Studi ferokinetik

Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua
jenis studi ferokinetik yaitu Plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi
meninggalkan plasma, dan erithrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur peredaran besi
dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penilitian.2

Pemeriksaan penyakit penyebab

Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi. Antara lain
pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif
misalnya teknik Kato-katz, pemeriksaan darah samar feses, endoskopi, barium intake atau
barium inloop, dan lain-lain tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.2

Manifestasi klinis

Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Sklera berwarna biru juga
sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi normal. Pada defisiensi ringan sampai sedang
(Hb 6-10 g/dL) mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) dan
pergeseran kurva disosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga sedikit saja keluhan
anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas. Pagofagia, yaitu keinginan untuk
makan bahan yang tidak biasa seperti es atau tanah, mungkin ada. Pada beberapa anak, memakan
bahan yang mengandung timah hitam dapat menyebabkan plumbisme bersamaan. Bila Hb
menurun sampai dibawah 5 g/dL, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi

7
jantung terjadi, dan bising sitolik sering ada. Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita.
Pada kasus menahun, dapat terjadi pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang
terlihat pada anemia hemolitik kongenital. Perubahan ini membaik dengan perlahan-lahan
bersama terapi substitusi. Anak dengan defisiensi besi mungkin gemuk atau kurang berat, dengan
tanmda lain kurang gizi. Iritabilitas dan anoreksia yang khas untuk kasus lanjut mungkin
merupakan gambaran defisiensi besi jaringan, karena dengan terapi besi perbaikan yang nyata
dalam perilaku sering terjadi sebelum terjadi perbaikan hematologis yang nyata.

Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual. Sejumlah laporan
menduga bahwa anemia defisiensi besi, dan bahkan defisiensi besi tanpa anemia yang berarti,
mempengaruhi lama tahan menaruh perhatian, kewaspadaan, dan belajar bayi maupun remaja,
tetapi itu tidak tegas benar apakah defisiensi besi merupakan penyebab atau apakah ia sekedar
membantu mengidentifikasi bayi-bayi yang berperilaku suboptimal atas dasar lain. Juga tidak
jelas apakah defek yang teramati akan menetap setelah terapi yang adekuat, karena hasil dari
penelitian terkendali berbeda-beda.

Monoamin oksidase (MAO), suatu enzim tergantung besi, memainkan peran penting
dalam reaksi neurokimiawi di susunan saraf pusat. Defisiensi besi menyebabkan penurunan
dalam aktivitas enzim seperti katalase, dan sitokrom. Katalase dan peroksidase mengandung
besi, tetapi kepentingan biologiknya belum diketahui benar. Tidak mungkin untuk mengukur besi
in vivo dalam kompartemen itu dengan mudah dan tepat, meskipun ini merupakan area vital
dalam metabolisme besi.5

Gejala khas defisiensi besi


Gejala yang khas ditemukan pada anemia defisiensi besi tapi tidak ditemukan pada anemia
lain adalah:
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

8
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem, dan
lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala
yang terdiri dari anemia hipokrom mikrosikter, atrofi papil lidah, dan disfagia.2,4

Diagnosis kerja

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap
diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung criteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau criteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya def besi, sedangkan
tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu atau
dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al)
sebagai berikut:

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC
<31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d.2

Dua dari tiga parameter di bawah ini :


- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC >350 mg/dl
- Saturasi transferin: <15%, atau
Feritin serum <20 mg/dl, atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi
(butir-butir hemosiderin) negative, atau
Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi.
Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan

9
tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.2

Diagnosis banding

Thalassemia minor. Thalassemia dan thalassemia minor adalah penyebab tersering mikrositosis,
baik dengan ataupun tanpa anemia mikrositik hipokromm ringan. Individu keturunan Asia berisiko
memiliki delesi tiga atau empat gen , mengakibatkan penyakit hemoglobin H (4) atau hidrop fetalis
dengan hanya hemoglobin Bart (4).3

Anemia akibat inflamasi. Anemia adalah komponen yang sering terjadi pada penyakit inflamasi kronik.
Hepsidin, protein yang diproduksi di hati, memainkan peranan kunci dalam homeostasis zat besi.
Inflamasi menyebabkan peningkatan produksi hepsidin yang menginterupsi proses pelepasan zat besi oleh
makrofag dan juga menginterupsi penyerapan zat besi dari usus yang mengakibatkan anemia. Anemia
akibat inflamasi dapat bersifat normositik atau, yang lebih jarang, mikrositik. Pada saat tertentu, situasi
ini memiliki tantangan klinis, yaitu saat anak dengan penyakit inflamasi yang berhubungan dengan
perdarahan (inflammatory bowel disease) mengalami anemia mikrositik. Pada situasi ini, satu-satunya uji
diagnostik spesifik yang dapat membedakan dua entitas ini secara jelas adalah aspirasi sumsum tulang
dengan pewarnaan sampel untuk zat besi. Kadar feritin yang rendah mengindikasikan adanya defisiensi
besi yang terjadi bersamaan. Uji coba terapi zat besi tidak terindikasi tanpa diagnosis spesifik pada anak
yang tampak sakit sistemik.3

Tabel 1. Membedakan Gambaran Anemia Mikrositik3

Pemeriksaan Anemia Defisiensi Besi Thalassemia Minor Anemia karena Inflamasi


Besi serum Rendah Normal Rendah
Serum iron-binding Tinggi Normal Rendah atau normal
capacity
Ferritin serum Rendah Normal atau tinggi Normal atau tinggi

10
Cadangan besi Rendah atau tidak ada Normal atau tinggi Normal atau tinggi
sumsum tulang
Sideroblas sumsum Menurun atau tidak ada Normal atau Normal atau meningkat
tulang meningkat
Protoporfirin eritrosit Tinggi Normal atau sedikit Tinggi
bebas meningkat
Hemoglobin A2 atau F Normal Tinggi thalassemia ; Normal

normal thalassemia
Red blood cell Tinggi Normal/meningkat Normal/meningkat
distribution width

Etiologi

Remaja putri yang mengalami menstruasi tanpa mendapatkan suplementasi besi beresiko
tinggi untuk mengalami defisiensi besi. Anemia defisiensi besi karena diet paling sering terjadi
pada orang yang mengkonsumsi dan mendapatkan protein dalam jumlah besar serta sedikit
mengkonsumsi bahan makanan yang tinggi zat besi. Anemia defisiensi besi juga dapat
ditemukan pada anak dengan penyakit inflamasi kronik sekalipun, tanpa perdarahan kronik.5

Reaksi gastrointestinal ini tidak berkaitan dengan abnormalitas enzim dalam mukosa,
seperti defisiensi lactase, atau alergi susu yang khas. Khas, bayi yang mengalami anemia yang
lebih berat dan terjadi lebih awal daripada yang diharapkan hanya akibat ketidakcukupan
masukan besi.5 Kelainan histologis pada mukosa saluran gastrointestinal seperti menjadi
tumpulnya vili, yang terlihat pada anemia defisiensi lanjut dan dapat menyebabkan kebocoran
darah serta menurunkan absorbsi besi, lebih memperburuk masalah.5

Epidemiologi

Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada
anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak usia
sekolah (5-8 tahun ) di kota sekitar 5,5% anak praremaja 2,6 % dan gadis remaja yang hamil
26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3%
menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2%

11
menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang
saat pubertas.
Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit
putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam lebih
rendah.7

Patofisiologi

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin


menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron dpleted state atau negative iron
balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbs besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan besi terus
berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan
pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc
protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity
(TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer,
disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel
serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring
serta bebagai gejala lainnya.2

Penatalaksanaan

Medika mentosa
Terapi besi oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah, dan aman.
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan
pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg

12
sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg
mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari ang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai
tiga kali normal.2
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate.
Sediaan ini harganya lebih mahal, tapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas
ferosus. Terdapat juga sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek samping yang
lebih rendah, tapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebainya diberikan saat
lambung kososng, tapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah
makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau
setelah makan.2
Efek samping utama besi peroral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15
sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah,
serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping, besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi
menjadi 3x100 mg.2
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12
bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan
yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia
sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat
vitammin C, tapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang
banyak mengandung besi.2

Terapi besi parenteral


Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan harganya
lebih mahal. Oleh karena resiko ini, maka besi parenteral hanya diberikan pada indikasi tertentu.
Indikasi pemberin besi parenteral adalah:2
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
Kepatuhan terhadap obat yang rendah
Gangguan pencernaan seperti koilitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
Penyerapan besi terganggu misalnya pada gastrektomi

13
Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh
pemberian oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic telengiectasia
Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehemilan trimester tiga atau
sebelum operasi
Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada anemia gagal ginjal
kronik atau anemia akibat penyakit kronik

Preparat yang tersedia ialah iron dextra complex (mengandung 50mg besi/ml), iron sorbital
citric acid complex dan yang terbaru iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman.
Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena perlahan.
Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit.
Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis meskipun jarang (0,6%). Efek samping
lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.2
Terapi besi parenteral bertujuan mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar
500 sampai 1000 mg. dosis yang dibserikan dapat dihitung menggunakan dosis:

Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB X 2.4 + 500 atau 1000 mg

Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal
dari protein hewani.
Vitamin c diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi
darah pada anemia kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
- Anemia yang sangat simptomatil, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat
menyolok.
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed reds cell) untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena.2

14
Respons terhadap terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons
baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal
lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15g/hari atau 2g/dl setelah 3-4 minggu.
Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka
perlu dipikirkan:
Pasien tidak patuh minum obat
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat
yang sama ada defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.

Jika dijumpai keadaan seperti ini. Harus dilakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang
sewajarnya.2

Non medika mentosa


Secara keseluruhan di dunia, dasar terjadinya kekurang zat besi adalah masalah diet.
Untuk mengharapkan populasi penduduk yang kekurangan zat besi ini mengambil langkah
sendiri untuk meningkatkan konsumsi zat besi secara signifikan dengan menambahkan makan
daging sebagai sumber besi adalah kurang realistik.8
Penambahan besi nonheme untuk diet nasional telah dimulakan di beberapa wilayah di
dunia. Namun, beberapa masalah dihadapi oleh perusahaan termasuklah perubahan rasa dan
penampilan makanan setelah penambahan besi. Selain itu, makanan pokok seperti roti (terutama
di eropah) mengandung iron chelators yang bisa menghambat penyerapan suplemen besi (fosfat,
phytates, karbonat. Oksalat). Selain itu pasien yang mengalami gejala pica yang berhubungan
dengan anemia defisiensi besi perlu diidentifikasi dan dikonsultasi untuk menghentikan
memakan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat.8,9

Komplikasi

Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan memaksa otot tergantung,
pada tingkat yang lebih besar dari pada orang sehat, setelah metabolisme

15
anaerobik. Hal ini diyakini terjadi karena kekurangan zat besi yang mengandung
enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama daripada anemia.8
Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan meningkatkan terjadinya
insufisiensi koroner dan iskemia miokard. Demikian pula, dapat memperburuk
status paru pasien dengan penyakit paru kronis.8
Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada pasien kekurangan
zat besi. Kuku menjadi rapuh atau longitudinal bergerigi dengan perkembangan
koilonychia (kuku sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila lingual dan
kelihatan mengkilap. Angular stomatitis dapat terjadi dengan celah di sudut
mulut. Disfagia mungkin terjadi bila memakan makanan padat, dengan anyaman
(webbing) dari mukosa pada persimpangan hipofaring dan esofagus (Plummer-
Vinson sindrom); ini telah dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa daerah
esofagus. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat besi dengan kehilangan
progresif sekresi asam, pepsin, dan faktor intrinsik dan pembentukan antibodi
terhadap sel parietal lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul.8
Itoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima pasien dengan anemia
kekurangan zat besi kronis dengan manifestasi gangguan vasomotor, nyeri
neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.8
Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang kekurangan zat besi, dan
ada laporan bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti bahwa ini adalah
langsung disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak meyakinkan karena adanya
faktor lain.8,9
Masalah jantung. Anemia kekurangan zat besi dapat menyebabkan detak jantung
yang cepat atau tidak teratur. Jantung harus memompa darah lebih banyak untuk
mengkompensasi kekurangan oksigen yang dibawa oleh darah. Hal ini
dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung.9
Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia defisiensi besi dikaitkan
dengan kelahiran prematur dan bayi berat badan lahir rendah. Tetapi kondisi ini
mudah dicegah pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi sebagai bagian
dari perawatan pralahir mereka.9

Pencegahan

16
Mengingat tingginya prevalensi anemia efisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:2

Pendidikan kesehatan :
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan
kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing
tambang.
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi.2
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang
sering dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan
dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.2
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilkasis pada segmen penduduk yang rentan,
seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak
balita memakai pil besi dan folat.2
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di
Negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan
besi. 2

Prognosis

Prognosis anemia defisiensi besi umumnya baik. ADB merupakan satu gejala yang
mudah diobati dengan hasil yang sangat baik. Namun prognosis ADB yang baik dan diperburuk
oleh karena kondisi penyakit yang mendasarinya (underlying disease) seperti neoplasia.
Demikian pula prognosis dapat diubah oleh suatu kondisi penyerta seperti penyakit arteri
koroner.8

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dibahas diatas didapatkan bahwa hipotesis telah diterima
yaitu anak perempuan pada kasus tersebt menderita anemia defisiensi besi. Anemia Defisiensi
besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi
hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah
akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah .

17
Daftar Pustaka

1. Baldy CM. Komposisi darah dan sistem makrofag-monosit. Dalam : Price SA, Wilson
LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC; 2005.
h.247-9
2. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Pendekatan terhadap pasien anemia, Anemia
defisiensi besi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : Interna Publishing; 2009. h.1127-36
3. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. Iron deficiency anemia. Harrison's principles of internal
medicine. 17th ed. McGraw Hill 2008: p 1919-21
4. Hoffbrand AV, Pettit JE, Vyes P. Hypochromic Anemias dalam Atlas of Clinical
Hematology. Elsavier 4th ed 2010: p 75-80
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson.15th ed (1). Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. h. 1688-712
6. Windiastuti E. Anemia defisiensi besi. UKK hematologi-onkologi IDAI; 2009.Telah
diunduh dari : http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20125795911. 30 April
2017
7. Permono B, Sutaryo, Ugrasena. Anemia defisiensi besi. Dalam : Buku ajar hematology
oncology. Jakarta : Badan penerbit IDAI; 2005. h.30-42.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Anemia defisiensi zat besi dan anemia pada penyakit
kronik. Dalam : Buku ajar patologi Robbins. Jakarta : EGC; 2007.h.459-461

9. Conrad ME, Besa EC. Iron deficiency anemia. August 2009. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com, 30 April 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai