Anda di halaman 1dari 3

Teori Kebenaran Ilahiah (agama): kebenaran yang ada bukan bersumber kepada akal manusia

melainkan wahyu yang ditutunkan tuhan. Sebagai makluk pencari kebanaran, maka manusia
dapat menemukan kebenaran dalam agama yang diturunkan tuhan. Dengan demikian, kebenaran
dalam realita dianggap benar jika koheren dengan nilai agama atau wahyu sebagai penentu
kebenaran mutlak.

Kebenaran Religious

Berpendirian bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang bersumber
dari tuhan, kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani
yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus,
pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi
harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu
kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia

Dalam teori tentang kebenaran religious ini, penulis mempersempit pambahasan hanya pada
agama yang penulis anut, yaitu Islam. Pemahaman tentang kebenaran dalam pandangan Islam
adalah percaya dan meyakini terhadap apa yang diNashkan oleh Allah dalam Kitab sucinya dan
mempercayai terhadap sada Rosulullah untuk dijadikan sebagai pegangan hidup dengan tujuan
selamat dunia dan akhirat.

Kebenaran religious menjadi sebagai sebuah kebenaran yang mutlak untuk tiap penganutnya
sekalipun dalam tiap kitab suci dan sabda yang dijadikan pedoman dalam teori kebenaran
memiliki perbedaan pemahaman, tafsir, pendapat sebab kebenaran disini tidak hanya
diperuntukan untuk kepentingan kelompok (bersifat universal) maka perlu
adanya mujtahidin untuk membahasakannya supaya tidak menjadikan kebenaran sebagai sumber
konflik.

Dr. M.J. Langeveld dalam bukunya berjudul Menuju ke Pemikiran Filsafat mengemukakan
bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan obyek yang dijurusi . Olehnya
kemudian diuraikan beberapa teori yag menginterpretasikan hubungan itu:

1. Realisme Naf (Nave Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran dan
obyek.

2. Imanen (Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk oleh
pemikiran, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya dengan obyek yang
sebenarnya.

3. Transenden (Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran


pemikiran dengan benda yang sebenarnya.

4. Transcendental (Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran dengan


bentuk-bentuk transendental dan sekunder .
4. Kebenaran Religius atau teori kebenaran performatif (The Performative Theory of
Thruth)

Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Jhon Austin, dan Peter Strawson.
Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang
hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan
sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin
ditolak oleh para filsuf ini.

Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan
yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapijusteru dengan pernyataan
itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Misalnya, Dengan ini
saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan TX. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah
realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan TX.

Di satu pihak, teori ini dapat dipakai secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula negatif. Secara
positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya. Saya
bersumpah akan menjadi suami yang setia. Tetapi secara negatif, orang dapat pula terlena
dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas begitu
saja. Misalnya, Saya berdoa agar kamu berhasil, seolah-olah dengan pernyataan itu ia berdoa,
padahal tidak. Atau, saya bersumpah, saya berjanji akan setia, seakan-akan dengan janji itu ia
setia. Kita semua bisa terjebak dengan pernyataan seperti itu seolah-olah dengan dengan
pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan,
belum dengan sendirinya mennjadi realitas

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. Kebenaran tak cukup
hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective,
universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan
oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran
filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran

Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui
agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat
memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia
mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti
fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama
berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI
adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543)
mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan
dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang
otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin
masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial
yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini
seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan
tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai