Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Pengertian
Chronic Kidney Disease merupakan akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap (Dongoes, Edisi 3 th 2000). Jumlah Chronic Kidney Disease
belakangan ini terus bertambah. Hipertensi dan diabetes adalah dua penyebab paling
umum Chronic Kidney Disease , sekitar diatas 60% dari jumlah pasien menurut hasil uji
dialisis.
Chronic Kidney Disease atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner &
Suddart, 2001; 1448).
Chronic Kidney Disease merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dari
lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun (Price, 1992; 812).
Chronic Kidney Disease terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak
dimulai. Pada kebanyakan individu, transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit
yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun (Barbara C. Long, 1996;
368).
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat berdasarkan LFG, yang digunakan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
ml ( 140umur ) x berat badan
LFG( /1,73 m2 )=
mnt 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Ket : pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas dasar derajat peyakit


Deraja Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
t
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 30 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 15 29
5 Gagal ginjal terminal < 15 atau dialisis
Sumber: Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Vol.1 Jilid II Ed.IV
B. Patofisiologi
Menurut Price (1992; 817), penyebab CKD, antara lain: Infeksi saluran, misalnya
pielonefritis kronik. Pada infeksi ginjal terjadi respon imun dan peradangan yang
menyebabkan edema interstisium dan kemungkinan pembentukan jaringan parut.
Tubulus adalah organ yang paling sering terkena dan dapat mengalami atrofi.
Kemampuan ginjal untuk memekatkan urine akan menurun karena kerusakan tubulus-
tubulus. Akibat dari keruskan tubulus-tubulus yang mengalami atrofi menyebabkan
kerusakan pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi dari glomerulus semakin menurun
beban solute meningkat sedangkan GFR sedikit menurun dari batas normal.
Penyakit peradangan, misalnya glomerulonefritis yaitu antibodi (IgG) dapat
dideteksi pada kapiler glomerular dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk
agregat molekul. Agregat molekul tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada beberapa
yang terperangkap di glomerulus menyebabkan respon inflamasi, jika kejadian ini
berulang akan mengakibatkan ukuran ginjal berkurang seperlima dari ukuran normal.
Akibat respon inflamasi ini lama kelamaan menyebabkan korteks mengecil menjadi
lapisan yang tebalnya 1mm-2mm. Peradangan ini juga mengakibatkan terbentuknya
berkas jaringan parut yang merusak sisa korteks menyebabkan permukaan ginjal menjadi
kasar dan ireguler yang pada ahirnya glomeruli dan tubulus juga menjadi jaringan parut
dan terjadi kerusakan glomerulus yang parah. Fungsi glomelurus menurun yang pada
akhirnya menyebabkan penurunan GFR.
Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis. Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama
menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia
renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris, dan mempunyai permukaan yang berlubang-
lubang dan bergranula. Secara histologist, lesi yang esensial adalah sklerosis arteri-arteri
kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol aferen. Penyumbatan arteri dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron
rusak. Nefron yang masih tersisa berusaha menjaga homeostatisnya, mengalami
hipertrofi dalam usaha melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Lama-kelamaan
kemampuan glomelurus melakukan filtrasi semakin menurun yang kemudain beban
solute meningkat sedangkan GFR sedikit menurun dari batas normal.
Gangguan kongenital dan herediter, misalnya penyakit ginjal polikistik dan
asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista
multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan. Semakin lama kerusakan pada parenkim ginjal
semakin meluas yang pada akhirnya mengenai glomelurus dan akan terjadi kerusakan
pada glomelurus. Hal ini mengakibatkan Filtrasi dari glomerulus semakin menurun
beban solute meningkat sedangkan GFR sedikit menurun dari batas normal (Price,
2005:937).
Penyakit metabolik, misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
Pada kerusakan ginjal yang disebabkan oleh diabetes melitus, terjadi peningkatan
konsentrasi glukosa dalam aliran darah (sifat glukosa yang banyak pekat/lengket) yang
selanjutnya darah yang mengandung glukosa ini mengalami proses filtrasi/penyaringan
terjadi di glomelurus. Karena viskositas darah yang tinggi yang disebabkan oleh
peningkatan kadar glukosa dalam darah, maka lama-kelamaan akan menimbulkan
kerusakan pada glomelurus ginjal. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan
berkurangannya fungsi nefron dan terjadi kerusakan pada nefron tersebut. Nefron yang
masih tersisa berusaha menjaga homeostatisya mengalami hipertrofi dalam usaha
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Filtrasi dari glomerulus semakin menurun
beban solute meningkat sedangkan GFR sedikit menurun dari batas normal (Rani V,
2012).
Nefropati toksik , misalnya penyalahgunaan obat-obatan analgesik atau bahan
kimia/nefropati timbale. Penyalahgunaan analgetik dalam waktu lama dapat
menyebabkan cedera ginjal. Ginjal merupakan salah satu yang bekerja sebagai alat
ekskresi utama untuk zat-zat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam
melaksanakan fungsi eksklresi ini maka ginjal mendapat tugas mengangkat hampir 25%
dari seluruh aliran darah mengalir ke kedua ginjal. Besarnya aliran darah yang menuju ke
ginjal ini menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam
sirkulasi cukup tinggi, akibatnya bahan-bahan yang bersifat toksik akan mudah
meneyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan fungsi
ginjal yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan ginjal termasuk
glomerulus pada akhirnya terjadi penurunan GFR. Penyebab kerusakan ginjal yang lain
yaitu nefropati obstruktif (batu saluran kemih), infeksi saluran kemih dan gangguan pada
jaringan penyambung yang juga mempengaruhi filtrasi dari glomerulus (Rani V, 2012).

Dari beberapa etiologi CKD yang sudah dijelaskan di atas, pada akhirnya
kerusakan pada ginjal yang terjadi akan menyebabkan penurunan filtrasi dari glomerulus,
peningkatan beban solute, dan penurunan GFR yang menyebabkan keseimbangan antara
peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat di pertahankan.
Akibatnya terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit diantaranya ureum meningkat,
serta defisiensi asam folat. Kegagalan fungsi ginjal dalam mempertahankan metabolisme
serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia inilah yang
disebut CKD. Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 5 stadium,
yaitu:
1. Stadium 1
Kerusakan ginjal ditandai dengan albuminaria persisten, GFR normal atau
meningkat, GFR > 90 ml/menit/1,73 m. Pada stadium 1 penderita belum merasakan
gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal.
Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas
normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih
yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2. Stadium 2
Penurunan GFR ringan, GFR 60-89 ml/menit/1,73 m. Kelainan ginjal yang ditandai
dengan albuminaria persisten. Biasanya tidak ada gejala yang menunjukkan ginjal
yang rusak. Karena ginjal melakukan pekerjaan dengan baik bahkan ketika mereka
sedang tidak berfungsi pada 100 %, kebanyakan orang tidak akan tahu bahwa
mereka memiliki tahap 2 CKD. Jika mereka mengetahui mereka berada di tahap 2,
itu biasanya karena mereka sedang diuji untuk kondisi lain seperti diabetes atau
tekanan darah tinggi ( dua penyebab utama penyakit ginjal ).
Cara lain seseorang dapat menemukan mereka berada di tahap 2 CKD meliputi:
- Kreatinin atau urea dalam darah lebih tinggi dari tingkat normal
- Ditemukan darah atau protein dalam urin
- Bukti kerusakan ginjal pada MRI , CT scan , USG atau kontras X ray
- Sebuah riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik (PKD)

3. Stadium 3
Penurunan GFR sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m ditandai dengan:
- Kelelahan : Merasa lelah adalah umum untuk orang dengan CKD dan sering
disebabkan oleh anemia .
- Terlalu banyak cairan: Ginjal mungkin kehilangan kemampuan mereka untuk
mengontrol berapa banyak cairan tetap dalam tubuh. Seseorang mengalami
pembengkakan (edema) di kaki mereka lebih rendah, tangan atau wajah di
sekitar mata, dengan terlalu banyak cairan seseorang bahkan bisa merasakan
sesak napas.
- Perubahan buang air kecil: Urin mungkin berbusa jika ada protein di dalamnya,
atau gelap oranye, coklat, teh berwarna atau merah jika mengandung darah.
Seseorang mungkin buang air kecil lebih (poliuria) atau kurang, atau bangun di
malam hari untuk kencing pergi ke kamar mandi (nokturia). Ini terjadi akibat
ginjal kehilangan fleksibilitas baik dalam memekatkan maupun mengencerkan
urine.
- Terdapat azotemia. Azotemia adalah kelainan biokimia yaitu peningkatan kadar
kreatinin dan nitrogen urea darah dan berkaitan dengan penurunan laju filtrasi
glomerular.
- Masalah tidur: Beberapa orang memiliki kesulitan tidur atau tetap tertidur.
Gatal, kram otot atau kaki, gelisah bisa membuat mereka terjaga.
4. Stadium 4
Penurunan GFR berat yaitu 15-29 ml/menit/1,73 m.
- Kelelahan: Merasa lelah adalah umum untuk orang dengan CKD dan sering
disebabkan oleh anemia. Kerusakan ginjal pada CKD menyebabkan produksi
eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan
keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi
anemia berat atau sedang.
- Terlalu banyak cairan: Ginjal mungkin kehilangan kemampuan mereka untuk
mengontrol berapa banyak cairan tetap dalam tubuh. Seseorang mengalami
pembengkakan (edema) di kaki, tangan atau wajah di sekitar mata. Dengan
terlalu banyak cairan seseorang bahkan bisa merasakan sesak napas.
- Perubahan buang air kecil: Urin mungkin berbusa jika ada protein di dalamnya,
atau gelap oranye, coklat, teh berwarna atau merah jika mengandung darah.
Seseorang mungkin buang air kecil lebih (poliuria) atau kurang dari normal,
atau bangun di malam hari untuk pergi kencing ke kamar mandi (nokturia).
- Masalah tidur: Beberapa orang memiliki kesulitan tidur atau tetap tertidur.
Gatal, kram otot atau kaki, gelisah bisa membuat mereka terjaga.
- Perubahan rasa: Makanan mungkin tidak terasa seperti biasanya, atau mungkin
memiliki rasa logam.
- Napas uremik: Sebagai urea menumpuk dalam darah (uremia), dapat dideteksi
dalam napas yang menyebabkan bau mulut. Sindrom uremia juga bisa
menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam
(H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu
menyekresi ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-).
Penurunan eksresi fosfat dan asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah
tidak dapat dihindarkan
- Kehilangan nafsu makan: Orang-orang dalam tahap ini mungkin tidak merasa
seperti makan, dan beberapa orang melaporkan mengalami rasa logam di mulut
atau bau mulut.
- Kesulitan dalam berkonsentrasi: Mengalami kesulitan mengingat atau berfokus
pada membaca dapat terjadi pada pasien dg CKD.
- Masalah saraf: Mati rasa atau kesemutan pada jari-jari kaki atau jari tangan
merupakan gejala CKD.
5. Stadium 5
Gagal ginjal dengan GFR < 15 ml/menit/1,73 m.
- Kehilangan nafsu makan.
- Mual atau muntah
- Sakit kepala
- Menjadi lelah karena tidak bisa berkonsentrasi
- Gatal
- urim sedikit (oliguria= < 400ml/24 jm) atau tidak ada urin (anuria)
- Pembengkakan , terutama di sekitar mata dan pergelangan kaki
- Kram otot
- Kesemutan di tangan atau kaki
- Perubahan warna kulit
- Peningkatan pigmentasi kulit
Karena ginjal tidak lagi mampu menghilangkan limbah dan cairan dari tubuh
dan racun terdapat di dalam darah, menyebabkan perasaan sakit secara
keseluruhan. Ginjal juga memiliki fungsi lain mereka tidak lagi mampu
melakukan seperti mengatur tekanan darah , memproduksi hormon yang
membantu membuat sel-sel darah merah dan mengaktifkan vitamin D untuk
kesehatan tulang .

C. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium merupakan pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis penyakit, guna mendukung atau menyingkirkan diagnosis lainnya.
Pemeriksaan laboratorium merupakan penelitian perubahan yang timbul pada
penyakit dalam hal susunan kimia dan mekanisme biokimia tubuh (perubahan ini
bisa penyebab atau akibat). Pemeriksaan laboratorium juga sebagai ilmu terapan
untuk menganalisa cairan tubuh dan jaringan guna membantu petugas kesehatan
dalam mendiagnosis dan mengobati pasien.
Peran perawat dalam pemeriksaan laboratorium yaitu menyiapkan pasien
untuk pengambilan specimen yang akan diperiksa. Pada pasien dengan CKD
spesimen yang diperiksa dalam pemeriksaan laboratorium antara lain:
a. Urine
Cara pemeriksaan
1) Pemeriksaan urine midstream.
Specimen urin yang dikeluarkan dengan cara umum biasanya tidak dapat
digunakan untuk pemeriksaan bacteriology. Teknik cleancatch midstream
teknik ini untuk mengambil urin ditengah tengah pengeluaran urin saat buang
air kecil dan bukan saat memulai dan mengakhirinya serta dilakukan dengan
cara yang bersih). Cara pengumpulan clean-catch midstream
a) Instruksi untuk pasien laki-laki
(1) Buka gland penis dan bersihkan daerah disekitar meatus dengan
sabun. Hilangkan semua sabun dengan kapas yang dibasahi air
(2) Jangan mengumpulkan urin yang pertama kali keluar buang bagian
ini
(3) Kumpulkan bagian berikutnya kedalam botol steril bermulut lebar
atau tabung gelas yang berdiameter besar dengan dilindungi dan
ditutup steril
(4) Jangan mengumpulkan beberapa tetes urin terakhir karena sekresi
prostat dalam masuk kedalam specimen urin pada akhir pancaran.
b) Instruksi untuk pasien perempuan
(1) Pisahkan kedua labia agar orifisium uretra tidak tertutup
(2) Bersihkan daerah disekitar meatus urinaria dengan menggunakan
spons yang dibasahi sabun cair
(3) Usap perineum dari depan kebelakang
(4) Hilangkan semua bekas sabun dengan kapas yang dibasahi air, dengan
cara menghapusnya dari depan kebelakang
(5) Pertahankan agar labia tetap terpisah dan lakukan urinasi dengan kuat
tetapi bagian pertama urin yang memancar keluar jangan ditampung
(koloni bakteri terdapat pada bagian distal orifisium uretra ; pancaran
urin yang pertama akan membasuh dan membersihkannya dari
kontaminan uretra tersebut)
(6) Kumpulkan bagian pancaran tengah dari aliran urin dengan memastikan
agar wadah yang digunakan untuk mengumpulkan specimen urin tidak
mengenai alat kelamin.
Yang diperiksa dan hasilnya
a) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak
ada (anuria).
b) Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat. Sedimen kotor,
kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
c) Berat jenis: kurang dari 1,015 ( menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan tubular,
dan rasio urine dengan serum biasanya 1:1.
e) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mereabsorpsi
natrium.
f) Protein: derajat tinggi proteinuria secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
2) Pengumpulan urine 24-jam
Cara pengumpulan urin: pasien dianjurkan agar mengosongkan kandung
kemih pada waktu yang ditentukan (seperti pukul 08.00 pagi), urine ini
dibuang. Semua urine yang dikeluarkan selama 24 jam berikutnya
dikumpulkan. Specimen terakhir dikumpulkan dan disimpan 24 jam sesudah
pengumpulan dimulai (yaitu, pukul 08.00 pagi). Kandung kemih harus
kosong ketika pemeriksaan dimulai dan berakhir. Urine dikumpulkan pada
sebuah wadah yang bersih. Bergantung pada pemeriksaan yang akan
dilakukan, zat pengawet dapat ditambahkan atau specimen urine mungkin
harus disimpan dalam lemari pendingin.
Yang diperiksa dan hasilnya:
- Klirens kreatinin: mungkin agak turun.
b. Darah
1) Cara pemeriksaan
Untuk mengukur kadar ureum (BUN), kumpulkan 3-5 ml darah vena.
Penderita dianjurkan untuk puasa terlebih dulu selama 8 jam sebelum
pengambilan sampel darah untuk mengurangi pengaruh diet terhadap hasil
laboratorium.
Untuk pemeriksaan darah lengkap, darah diambil dari vena, atau
kapiler dan dimasukkan ke dalam tabung tutup ungu. Jumlah darah yang
dibutuhkan sebanyak 2-3 mL untuk pemeriksaan eritrosit, 1 ml untuk
pemeriksaan Hb. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan dengan cara fotoelektrik
atau sahli. Nilai hematokrit atau PCV dapat ditetapkan secara automatik
menggunakan hematology analyzer atau secara manual (makrohematokrit dan
mikrohematokrit)
Untuk pemeriksaan GDA digunakan darah yang berasal dari arteri.
Tempat pengambilan darah arteri yaitu arteri radialis, arteri femoralis, arteri
brakhialis maupun arteri dorsal pedis.
Untuk memeriksa kadar protein digunakan sampel serum. Pengukuran
protein telah banyak menggunakan analyzer kimiawi otomatis. Pengukuran
kadar menggunakan prinsip penyerapan (absorbance) molekul zat warna.
Protein total biasanya diukur dengan reagen Biuret dan tembaga sulfat basa.
Penyerapan dipantau secara spektrofotometri pada 545 nm. Albumin sering
dikuantifikasi sendiri. Sedangkan globulin dihitung dari selisih kadar antara
protein total dan albumin yang diukur.
Untuk pemeriksaan elektrolit menggunakan sampel serum. Metode
pemeriksaan Kalsium yaitu O-cresolphthalein-complexone. Metode
pemeriksaan magnesium yaitu Xylidyl Blue.Metode pemeriksaan kalium dan
natrium yaitu ISE (Ion Selective Elektroda).
2) Yang diperiksa dan hasilnya
a) BUN/ kreatinin: meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar
kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap: Ht: menurun pada adanya anemia. Hb: biasanya
kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM: waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada
azotemia.
d) GDA: pH: penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2), terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hidrogen dan amonia
atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun. PCO2 menurun.
e) Natrium serum: mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau
normal), menunjukan status dilusi hipernatremia.
f) Kalium: peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
SDM). Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai
kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Peningkatan kalium ditandai dengan
gelombang T yang tinggi atau T-inversi.
g) Magnesium/ fosfat: meningkat.
h) Kalsium: menurun.
i) Protein (khusunya albumin): kadar serum menurun dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karen akurang asam amino esensial
j) Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine
2. Pemeriksaan radiologi
Peran perawat dalam pemeriksaan radiologi adalah menjelaskan apa yang akan
dilakukan pada pasien dan mengapa hal ini dilakukan serta membantu radiographer
dalam memberikan posisi yang tepat bagi pasien sesuai pemeriksaan yang akan
dilakukan.
a. KUB foto
KUB foto dapat menunjukan ukuran ginjal/ ureter/ kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu). Cara pemeriksaan: pemeriksaan ini menggunakan
bahan kontras yaitu uatu zat yang memiliki nomor atom tinggi yang berguna
untuk membedakan jaringan yang tidak dapat dilihat oleh foto rontgen biasa.
Pada pemeriksaan IVP, bahan kontras yang digunakan berbahan baku yodium
(I) dan jenis bahan kontrasnya positif (yang tampak opaque pada foto rontgen).
Persiapan pasien terdiri dari: Sehari sebelum pemeriksaan dilakukan,
pasien diminta untuk makan-makanan lunak yang tanpa serat (seperti bubur
kecap) maksudnya supaya makanan tersebut mudah dicerna oleh usus sehingga
faeces tidak keras. Makan terakhir pukul 19.00 (malam sebelum pemeriksaan)
supaya tidak ada lagi sisa makanan diusus, selanjutnya puasa sampai
pemeriksaan berakhir. Malam hari pukul 21.00, pasien diminta untuk minum
laksatif (dulcolax) sebanyak 4 tablet. Delapan jam sebelum pemeriksaan
dimulai, pasien tidak diperkenankan minum untuk menjaga kadar cairan. Pagi
hari sekitar pukul 06.00 (hari pemeriksaan), pasien diminta untuk memasukkan
dulcolax supossitoria melalui anus, supaya usus benar-benar bersih dari sisa
makanan / faeces. Selama menjalani persiapan, pasien diminta untuk tidak
banyak bicara dan tidak merokok supaya tidak ada intestinal gas (gas disaluran
pencernaan)
Bahan kontras dimasukkan/diinjeksi melalui vena fossa cubiti.
Setelah diinjeksi dilakukan foto sebanyak 4 kali yaitu: 5 menit ost injeksi, 15
menit post injeksi, 30 menit post injeksi dan post miksi (pasien disuruh
berkemih lalu difoto kembali setelah berkemih)
b. Pielogram retrograd
Pemeriksaan ini menunjukan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. Cara
pemeriksaannya: sebuah kateter dimasukkan ke dalam ureter setelah dilakukan
sistoskopi, kemudian kontras disuntikkan melalui kateter dan akan
menggambarkan sistem pelvicalyces dan ureter.
c. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, massa. Cara pemeriksaannya: memasukan kateter melalui arteri
femoralis dan aorta abdominalis sampai setinggi arteri renalis.zat kontraks di
suntikan pada tempat ini akan mengalir ke dalam arteri renalis dan cabang-
cabangnya.
d. Sisteoutretrogram berkemih
Pemeriksaan ini menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter,
retensi. Cara pemeriksaan: dengan memasukkan medium kontras melalui
sebuah kateter ke dalam kandung kemih
e. Ultrasono ginjal
Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara yang dipancarkan ke dalam
tubuh untuk mendeteksi abnormalitas. Organ organ dalam sistem urinarius
akan menghasilkan gambar-gambar ultrasound yang khas. Abnormalitas seperti
akumulasi seperti akumulasi cairan, massa, malformasi, perubahan organ
ataupun obstruksi dapat diidentifikasi. Pemeriksaan USG merupakan teknik non
invasive dan tidak memerlukan persiapan khusus kecuali menjelaskan prosedur
serta tujuaanya kepada pasien.
f. Biopsi ginjal
Pemeriksaan ini berguna untuk mengevaluasi perjalanan penyakit ginjal dan
mendapatkan specimen bagi pemeriksaan mikroskopik electron serta
imunofluresen, khusus bagi penyakit glumerulus cara pemeriksaan: biopsy
ginjal dilakukan dengan menusukkan jarum biopsy melalui kulit kedalam
jaringan renal atau dengan biopsy terbuka melalui luka insisi yang kecil
didaerah pinggang.. Sebelum biopsy dilakukan, pemeriksaan koagulasi perlu
dilakukan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi setiap resiko terjadinya
perdarahan pasca biopsy.
g. Endoskopi ginjal, nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal; keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
h. EKG: pemeriksaan EKG ini digunakan dalam rangka melihat gambaran
mengenai hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia dan gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia) mungkin abnormal menunjukan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/ basa

D. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sudoyo, 2006 perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal
kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.2 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajat
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil resiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan (progression) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal (transplantasi),
hemodialisis, peritoneal dialysis
Sumber : Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Vol.1 Jilid II Ed.IV
Penjabaran masing-masing rencana tatalaksana menurut Sudoyo, 2006
meliputi :
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsy
dan pemeriksaan hispatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20-30%
dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid
ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktur urinarius, obstruksi traktus urinarius, dan
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah:
1) Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60
ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan aupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein yang diberikan 0,6-0,8/kg bb/hari dan jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Anjuran terhadap
pembatasan asupan protein dilakukan karena kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat dan ion
unorganik lain juga di ekskreikan oleh ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronis akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain
dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
2) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis berfungsi untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertropi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi,
terutama penghambat enzim converting angiotensin (ACE inhibitor)
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan
hal paling penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes,
pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Seperti, mulai terjadi peningkatan tekanan darah sampai timbulnya uremia.
f. Terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5 atau End Stage Renal Disease (ESRD), yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialysis, dan transplantasi ginjal.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Debra Castner (2010), beberapa pendekatan keperawatan yang dapat
digunakan dalam memberikan asuhan terhadap pasien CKD yaitu:
a) Meninjau dan memastikan obat serta dosis yang sesuai bagi pasien CKD untuk
menghindari keparahan kerusakan ginjal. Obat-obat tertentu, seperti
metformin, bifosfonat, dan NSAID, tidak sesuai sama sekali untuk pasien
dalam CKD stadium lanjut. Perawat perlu mengetahui referensi obat yang baik
meliputi peringatan dan penyesuaian bagi pasien dengan CKD
b) Monitor asupan pasien dan output serta kepatuhan terhadap pembatasan diet.
Awasi setiap kenaikan atau penurunan berat badan 3 pound (1,4 kg) dalam 24
jam
c) Memantau tekanan darah untuk mengidentifikasi masalah dan mengukur
respon pasien terhadap pengobatan.
d) Auskultasi paru-paru dan jantung. Inspirasi crackles dan S3 dapat
menunjukkan overload cairan. Detak jantung tak beraturan dapat menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit.
e) Mendidik pasien dan keluarga tentang CKD. Pasien lebih mungkin untuk
berhasil dalam membatasi atau memperlambat komplikasi ketika mereka
memahami penyakit dan alasan-alasan untuk perawatan
f) Dorong pasien untuk belajar tentang dialisis, bahkan jika itu tidak diperlukan
sekarang. Mendidik pasien tentang pilihan pengobatan untuk gagal ginjal,
seperti dialisis peritoneal dan hemodialisis, dan transplantasi ginjal.

E. Komplikasi
1. Gagal jantung kongestif.
2. Perdarahan gastrointestinal atas/ esofageal.
3. Infeksi saluran kencing.
4. Obstruksi tarktus urinarius.
5. Hipertensi.
6. Gangguan perfusi/ aliran darah ginjal.
7. Gangguan elektrolit.

Anda mungkin juga menyukai