Anda di halaman 1dari 125

1

PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN


NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DI SUSUN OLEH :

FAJAR SITI SOLIKHA


NIM. P.11017

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
1
2

PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP PENURUNAN


NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I
RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

DI SUSUN OLEH :

FAJAR SITI SOLIKHA


NIM. P.11017

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
201
i
2
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Fajar Siti Solikha

NIM : P.11017

Program studi : DIII Keperawatan

Judul karya tulis ilmiah : Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri

Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes

Melitus Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr.

Moewardi Surakarta

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa tugas akhir ini adalah

hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai

dengan ketentuan akademik yang berlaku.

Surakarta, Mei 2014

Yang membuat pernyataan

FAJAR SITI SOLIKHA


NIM. P.11017

ii
iii

LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh:

Nama : Fajar Siti Solikha

NIM : P.11017

Jurusan : DIII Keperawatan

Judul : PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP

PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN

NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI

RUANG MELATI I RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah

Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

Ditetapkan di : Surakarta

Hari /Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014

Pembimbing : Siti Mardiyah, S.Kep., Ns. (...)


NIK.201183063

iii
iv

iv
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Karya Tulis Ilmiah dengan judul PEMBERIAN MASASE KAKI TERHADAP

PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY. S DENGAN

DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG MELATI I RSUD DR.

MOEWARDI SURAKARTA.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terikasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Atiek Murhayati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku ketua program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku sekretaris ketua program studi DII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. Siti Mardiyah, S.Kep.,Ns., selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Nurul Devi Ardiani, S.Kep.,Ns., selaku dosen penguji sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku dosen penguji
sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat,

v
vi

memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan


serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memebrikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman mahasiswa program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.

Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu


keperawatan.Amin.

Surakarta,Mei2014



()

Penulis



vi
vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................. vii

DAFTAR TABEL....................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR x

LAMPIRAN.................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Tujuan Penulisan ................................................................ 4

C. Manfaat Penulisan .............................................................. 5

BAB II LANDASAN TEORI

A. Diabetes Melitus................................................................. 6

B. Nyeri................................................................................... 39

C. Masase................................................................................ 54

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien .................................................................. 59

B. Pengkajian .......................................................................... 60

vii
viii

C. Daftar Perumusan Masalah ................................................ 67

D. Intervensi............................................................................ 69

E. Implementasi.. ................................ 71

F. Evaluasi .............................................................................. 79

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 85

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ............................................................................ 103

B. Saran................................................................................... 109

Dafar Pustaka

Lampiran

Daftar Riwayat Hidup

viii
ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri ..................................... 47

2 Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri ........................................................ 48

ix
x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tabel 3.1 Genogram .................................................................................. 60

x
xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup


Lampiran 2. Asuhan Keperawatan
Lampiran 3. Look Book
Lampiran 4. Pendelegasian
Lampiran 5. Jurnal Utama
Lampiran 6. Lembar konsul

xi
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel

terhadap insulin (Corwin, 2009). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus

bertambah banyak, WHO memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah

pengidap Diabetes Melitus diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang

di dunia dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025

jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia

di prediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006).

Diabetes Melitus tipe II adalah intoleransi karbohidrat yang

ditandai dengan resistensi insulin, defisiensi relative (bukan absolut)

insulin, kelebihan produksi glukosa hepar dan hiperglikemia (Valentina,

2007). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO

memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus

diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang di dunia dan dalam kurun

waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan

membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia di prediksi kenaikan

1
2

jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada

tahun 2030 (Sudoyo, 2006).

Data studi global menunjukkan bahwa jumlah penderita Diabetes

Melitus pada tahun 2012 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada

tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi

552 juta pada tahun 2030 (Indonesia Diabetes Federation, 2011).

Neuropati merupakan salah satu komplikasi jangka panjang dari

Diabetes Melitus pada pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Neuropati

terdiri dari neuropati perifer, otonom, proximal, dan vokal. Neuropati

dapat bersifat polineuropati dan mononeuropati (Kohnle, 2008).

Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan penebalan

mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran

oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen ke

jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan afinitas hemoglobin

meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat.

Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen

sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Penyakit saraf yang di

sebabkan Diabetes Melitus di sebut neuropati diabetik (Corwin, 2009).

Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri

seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin

(Kohnle, 2008). Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf

cranial atau sistem saraf otonom (Price, 2005).


3

Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol

terjadinya neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah

dengan cara terapi komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi

yang dapat di gunakan adalah touch teraphy khususnya masase. Selain

pengendalian kadar glukosa darah dapat juga dilakukan masase pada

daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black & Hawks, 2005).

Dari studi kasus tersebut di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh

nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuk-

tusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati

(2012) dengan judul penelitian Pengaruh Masase Kaki secara Manual

Terhadap Sensasi Proteksi Nyeri dan Ankle Brachial Index (ABI) pada

Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa masase kaki secara manual dapat meningkatkan

sensasi proteksi dan menurunkan nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe

II. Dari studi kasus di dapatkan data bahwa Ny. S mengeluh nyeri pada

kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di tusuk-tusuk

dengan skala nyeri 4 intensitas hilang timbul.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menyusun

Karya Tulis Ilmiah dengan judul PEMBERIAN MASASE KAKI

TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN

KEPERAWATAN NY. S DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI

RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA


4

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum :

Melaporkan hasil Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri

Pada Asuhan Keperawatan Ny.S dengan Diabetes Melitus tipe II di

ruang Melati RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.

2. Tujuan khusus :

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. S dengan Diabetes

Melitus tipe II

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. S

dengan Diabetes Melitus tipe II

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. S

dengan Diabetes Melitus tipe II

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. S dengan

Diabetes Melitus tipe II

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. S dengan Diabetes

Melitus tipe II

f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian masase kaki terhadap

penurunan nyeri pada Ny. S dengan Diabetes Melitus tipe II


5

C. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah

1. Bagi Penulis

Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi pengalaman

belajar dalam meningkatkan dan ketrampilan penulis dalam memberi

Asuhan Keperawatan

2. Institusi

a. Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan

kesehatan berkaitan dengan pasien dengan Diabetes Melitus tipe II.

b. Pendidikan

Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi

institusi keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah

dalam penanganan kasus Diabetes Melitus tipe II.

3. Pasien dan Keluarga

Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan

tentang cara mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa

hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara

klinis, maka Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan

postprandial, arterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati,

dan neuropati (Price, 2005).

Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas

sel terhadap insulin. Hiperglikemia biasa disebabkan defisiensi insulin,

seperti yang dijumpai pada diabetes melitus tipe 1, atau karena

penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti yang dijumpai

pada diabetes melitus tipe 2 (Corwin, 2009).

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang

kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan

neurologis (Sujono & Sukarmin, 2008).

6
7

2. Etiologi

Menurut Price (2005) penyebab Diabetes Melitus meliputi :

a. Diabetes Melitus tipe I

adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik

dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap

perusakan imunologik sel-sel yang meproduksi insulin.

Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan

respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa

infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel

beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang

dirangsang oleh glukosa.

Obat-obatan tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit

autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasien-

pasien diabetes tipe I. Antibodi sel-sel pulai langerhans memiliki

presentase yang tinggi pada pasien dengan Diabetes Melitus tipe I

awitan baru dan memberikan bukti yang kuat adanya mekanisme

autoimun pada patogenesis penyakit.

b. Diabetes Melitus tipe II

Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik

terdapat dalam Diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu

subtipe penyakit Diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal

dominan.


8

Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi

insulin, serta kerja insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh

berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang

selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan

reseptor insulin intrinsik.

Sekitar 80% pasien Diabetes Melitus tipe II mengalami

obesitas, karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka

kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang

menyebabkan Diabetes tipe II.

3. Klasifikasi

Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes

Associations Expert Committee on the Diagnosis and Classification of

Diabetes Melitus, menjabarkan 3 kategori utama Diabetes (Corwin,

2009), yaitu :

a. Diabetes Melitus tipe I (Diabetes Melitus Dependen Insulin)

Diabetes Melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia

akibat ketiadaan absolut insulin. Sebelumnya tipe diabetes ini

disebut sebagai Diabetes Melitus dependen insulin, karena individu

pengidap penyakit ini harus mendapatkan insulin pengganti.

Diabetes Melitus tipe I biasanya dijumpai pada individu yang tidak

gemuk berusia kurang dari 30 tahun. Diabetes Melitus tipe I

diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau

langerhans. Individu yang memiliki kecenderungan genetik


9

penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan

yang menginisiasi proses otoimun. Sebagai contoh faktor pencetus

yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps),

rubella, atau sitomegalovirus (CMV) kronis. Pada Diabetes

Melitus tipe ini ini diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol

kadar gula darah.

b. Diabetes Melitus tipe II (Diabetes Melitus tidak tergantung insulin

atau non insulin dependent diabetes melitus)

Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler

terhadap insulin. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin

ketidakmampuan pancreas untuk menghasilkan insulin yang cukup

untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun

kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang

normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma

meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta

pancreas, Diabetes Melitus tipe II yang sebelumnya disebut

Diabetes Melitus tidak tergantung insulin atau non insulin

dependent Diabetes Melitus, sebenarnya kurang tepat karena

banyak individu yang mengidap Diabetes tipe II dapat ditangani

dengan insulin.

Diabetes Melitus tipe II terjadi paling sering pada

individu berusia lebih dari 30 tahun dan berkaitan dengan

kegemukan. Diperkirakan juga bahwa terdapat sifat genetik yang


10

belum teridentifikasi yang menyebabkan pankreas mengeluarkan

insulin yang berbeda,atau menyebabkan reseptor insulin atau

perantara kedua tidak dapat berespons secara adekuat terhadap

insulin.

c. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)

Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya

tidak mengidap Diabetes. Penyebab Diabetes Gestasional

berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen

serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama

kehamilan.

4. Patofisiologi

Pada Diabetes Melitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan

oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produkasi

glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang

berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap

berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial

(sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka

ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring

keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).

Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi

ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.


11

Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari

kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan

dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein

dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat

mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya

simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

(Smeltzer, 2002).

Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di

otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan

glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes

kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009).

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis

(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi

lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi

tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan

hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang

mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan

produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam

yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya

berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan

tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,


12

hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan

menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.

Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan

memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi

gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai

pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi

yang penting (Smeltzer, 2002)

Pada Diabetes Melitus tipe II sering kali memperlihatkan

gejala yang tidak spesifik sehingga dugaan dan pemeriksaan Diabetes

tipe 2 mungkin terlambat (Corwin, 2009). Menurut Smeltzer (2002)

terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin

akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai

akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu

rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi

insulin pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi

intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,

keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar

glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit


13

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar

glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus tipe II. Meskipun

terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas Diabetes

Melitus Melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah

yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan

keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi

pada Diabetes Melitus tipe II. Meskipun demikian Diabetes Melitus

tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya

yang dinamakan Sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketoik

(HHNK).

Diabetes Melitus tipe II paling sering terjadi pada penderita

Diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat

intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun)

dan progresif, maka awitan Diabetes Melitus tipe II dapat berjalan

tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering

bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,

polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina

atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).

Untuk sebagian besar pasien (kurang-lebih 75%), penyakit

Diabetes Melitus tipe II yang dideritanya ditemukan secara tidak

sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani pemeriksaan

laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya


14

penyakit Diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi

Diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer,

kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis

ditegakkan.

Pandangan kabur pada Diabetes Melitus disebabkan karena

komplikasi mikrovaskuler dimana terjadi perubahan pada pembuluh-

pembuluh darah kecil di retina. Hal ini ditandai dengan adanya

penrunan ketajaman penglihatan atau pandangan kabur (Smeltzer,

2002). Selain itu, komplikasi jangka panjang dari Diabetes Melitus

adalah gangguan penglihatan yang meliputi retinopati atau kerusakan

pada retina karena tidak mendapatkan oksigen (Corwin, 2009).

Menurut Corwin (2009) tingginya kadar glukosa darah

menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia

dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan

ketersediaan oksigen ke jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan

afinitas hemoglobin meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan

teroksigenasi tidak adekuat. Diabetes Melitus merusak sistem saraf

perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan

otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes Melitus di sebut

neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer

meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau

seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008). Neuropati


15

dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau sistem

saraf otonom (Price, 2005).

Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat

aterosklerosis (Pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut

berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit

komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Kerusakan

makrovaskular dapat terjadi bahkan tanpa adanya Diabetes Melitus

(kadar glukosa plasma kurang dari 126 mg/100mL). Efek vaskular dari

diabetes kronis antara lain adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan

penyakit vascular perifer yang terjadi akibat aterosklerosis (Corwin,

2009).

5. Manifestasi Klinik

Menurut Price (2005) manifestasi klinik dari Diabetes Melitus

antara lain :

a. Glukosuria : adanya kadar glukosa dalam urin.

b. Poliuri : sering kencing dan diuresis osmotik.

c. Polidipsi : banyak minum akibat dari pengeluaran cairan dan

elektrolit yang berlebih.

d. Polifagi : banyak makan akibat menurunnya simpanan kalori.

e. Penurunan berat badan secara drastis karena defisiensi insulin juga

mengganggu metabolisme protein dan lemak.

f. Kelelahan

g. Pandangan yang kabur


16

6. Komplikasi

Menurut Corwin (2009) komplikasi Diabetes Melitus tipe I

dan II dapat digolongkan menjadi komplikasi akut dan kronik yaitu :

a. Komplikasi akut

1) Ketoasidosis diabetik

Komplikasi akut yang ditandai dengan perburukan

semua gejala Diabetes, ketoasidosis diabetik dapat terjadi

setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut atau

trauma. Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan gejala

adanya Diabetes tipe I.

2) Koma nonketoktik hiperglikemia hiperosmolar

Komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap

Diabetes tipe II karena Diabetes tipe II dapat mengalami

hipergikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari

300mg/dl. Biasanya dijumpai pada lansia pengidap Diabetes

setelah mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat.

3) Efek somogyi

Komplikasi akut yang ditandai dengan penurunan unik

kadar glukosa darah di malam hari, kemudian dipagi hari kadar

glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada

paginya. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak


17

4) Fenomena fajar

Hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 dan 9 pagi)

tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar

glukosa pada pagi hari.

5) Hipoglikemia

Pengidap Diabetes tipe I dapat mengalami komplikasi

akibat hipoglikemia setelah injeksi insulin. Gejala yang

mungkin terjadi adalah hilangnya kesadaran.

b. Komplikasi jangka panjang

1) Sistem kardiovaskuler

Terjadinya kerusakan mikrovaskuler di arteriol kecil,

kapiler, venula. Kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri

besar dan sedang. Semua organ dan jaringan ditubuh akan

terkena akibat dari gangguan mikro dan makrovaskuler ini.

2) Gangguan penglihatan

Meliputi renopati, atau kerusakan pada retina karena

tidak mendapatkan oksigen.

3) Kerusakan ginjal

Kerusakan kapiler glomelurus akibat hipertensi dan

glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran

basal dan pelebaran glomelurus. Lesi-lesi sklerotik nodular,

yang disebut nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di


18

glomelurus sehingga semakin menghambat aliran darah dan

akibatnya merusak nefron.

4) Sistem saraf perifer

Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer,

termasuk komponen sensorik dan motorik divisis somatik dan

otonom. Penyakit saraf yang disebabkan Diabetes Melitus

disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan

hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari

hiperglikemi, termasuk hiperglikolosiasi protein yang

menyebabkan fungsi saraf.

5) Ulkus/ gangren/ kaki diabetik

7. Data Penunjang

Pemeriksaan diagnostik pada Diabetes Melitus menurut

Doenges (2002) antara lain :

a. Glukosa darah : meningkat 100-200 mg/dl atau lebih.

b. Aseton plasma (keton) : positif secara metabolik.

c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat

d. Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330

mosm/lt

e. Elektrolit

1) Natrium : mungkin normal, meningkat atau menurun.

2) Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler

selanjutnya akan menurun).


19

f. Haemoglobin glikosilat : kadarnya melipat 2-4 dari dari normal.

g. Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan

penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi

alkalosis respiratorik.

h. Trombosit darah : hematokrit mungkin meningkat atau (dehidrasi /

leukositosis, hema konsentrasi, merupakan respon terhadap stres atau

infeksi).

i. Ureum atau kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi

atau penurunan fungsi ginjal).

j. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengidentifikasikan

adanya pankreatitis akut sebagai penyebab dari DKA (Diabetik

Keto Asidosis).

k. Insulin darah mungkin menurun bahkan sampai tidak ada (tipe I)

atau normal sampai tinggi (tipe II) yang mengidentifikasikan

infusiensi insulin atau gangguan dalam penggunaannya (endogen

atau eksogen).

l. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid

dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.

m. Urin : gula dan aseton positif berat jenis dan osmolalitas mungkin

meningkat.

n. Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran

kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.


20

Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus ada sedikitnya 2 kali

pemeriksaan :

a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11.1 mmol/L)

b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)

c. Glukosa plasma 2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

8. Diagnosis Banding

Menurut Valentina (2007), diagnosis banding untuk Diabetes Melitus

tipe II adalah sebagai berikut :

a. Diabetes Melitus tipe 1

b. Diabetes Autoimun Laten Pada Dewasa

c. Diabetes Melitus sekunder : gangguan pancreas (hemokromatosis,

pancreatitis kronis, pankreatektomi), gangguan hormonal

(cushing syndrome, akromegali), dan induksi obat (steroid, tiazid)

9. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer (2002), tujuan utama terapi Diabetes

adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa

darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta

neuropatik. Terdapat lima komponen dalam penatalaksaan Diabetes,

yaitu :

a. Diit

Diit dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari

penatalaksanaan diabetes yang diarahkan untuk mencapai tujuan

berikut ini :


21

1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin

dan mineral)

2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai

3) Memenuhi kebutuhan energi

4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui

cara-cara yang aman dan praktis

5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

Kebutuhan kalori bagi penderita Diabetes Melitus,

diupayakan dalam pengendalian asupan kalori total untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai dan

pengendalian kadar glukosa darah. Kebutuhan karbohidrat

diupayakan untuk meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks

(khususnya yang berserat tinggi) seperti roti gandum utuh, nasi

beras tumbuk, sereal dan pasta/mie yang berasal dari gandum yang

masih mengandung bekatul. Disamping itu, penggunaan sukrosa

(gula pasir) dengan jumlah yang sedang (tidak berlebihan) kini

lebih banyak diterima sepanjang pasien masih dapat

mempertahankan kadar glukosa serta lemak yang adekuat dan

mampu mengendalikan berat badannya. Meskipun demikian,

karbohidrat sederhana (seperti susu dan buah-buahan) tetap harus

dikonsumsi dengan jumlah yang tidak berlebihan.


22

Konsumsi lemak dari makanan pada penderita Diabetes

dibatasi hingga < 300 mg/hari untuk membentu mengurangi faktor

risiko, seperti kenaikan kadar koleterol serum yang berhubungan

dengan proses terjadinya penyakit koroner yang menyebabkan

kematian pada penderita Diabetes. Asupan protein dapat diperoleh

dari konsumsi beberapa makanan sumber protein nabati seperti

kacang-kacangan dan biji-bijian yang utuh untuk membantu

asupan kolesterol serta lemak jenuh. Perencanaan menu harus

mencakup hidangan yang berisikan jenis makanan kelompok pati,

sayuran, dan bua, dengan menekankan pada karbohidrat komplek

dan membatasi gula sederhana serta lemak.

b. Latihan

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan Diabetes

Melitus karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan

mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan

menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian

insulin, sirkulasi darah, dan tonus otot.

Latihan sangat bermanfaat pada Diabetes karena dapat

menurunkan berat badan, mengurangi stress, dan mempertahankan

kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah

yaitu meningkatkan kadar high density lipoprotein (HDL) dan

menurunkan kadar koleterol serta trigliserida. Meskipun demikian


23

penderita Diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari 250

mg/dl dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh

melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urin

memperlihatkan hasil negatif dan kadar glukosa telah mendekati

normal. Latihan dengan kadar glukosa yang tinggi akan

meningkatkan sekresi glucagon, growth hormone, dan

katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih

banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

c. Pemantauan

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara

mandiri SMBG (self monitoring of blood glucose), penderita

Diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan

kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan

deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan

berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang

memungkinkan akan mengurangi komplikasi Diabetes jangka

panjang.

d. Terapi medikamentosa

Terapi medikasmentosa yang digunakan bagi penderita

Diabetes Melitus adalah (Smeltzer, 2002) :

1) Agen antidiabetik oral

Agen antidiabetik oral sesuai bagi penderita Diabetes

Melitus tipe II yang tidak dapat diatasi dengan diet dan


24

latihan, tetapi obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan.

Obat anti diabetic oral dibagi menjadi dua golongan yaitu

golongan sulfonilurea dan golongan biguanid.

2) Terapi insulin

Pada Diabetes Melitus tipe I tubuh kehilangan

kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin

eksogenus harus diberikan dalm jumlah tidak terbatas. Pada

Diabetes Melitus tipe II insulin juga mungkin diperlukan

sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar

glukosa darah jika diet dan obat antidiabetik oral tidak

berhasil mengontrolnya.

e. Pendidikan

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang

memerlukan perawatan mandiri yang khusus seumur hidup.

Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan Diabetes yang

harus diajarkan pada penderita diabetes melitus adalah dengan

mambagi informasi dan keterampilan.

B. Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus

Pada asuhan keperawatan pasien Diabetes Melitus terdiri dari

pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.


25

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan

yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang

pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalaj-masalah,

kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial

dan lingkungan (Dermawan, 2012).

Menurut Doengoes (2000) fokus pengkajian pada pasien

dengan Diabetes Melitus meliputi :

a. Aktivitas/ istirahat : terdapat gejala lemah, letih, sulit bergerak/

berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/ istirahat.

Ditandai adanya takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau

aktivitas, letargi, disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot.

b. Sirkulasi : adanya riwayat hipertensi, gejala IMA, kebas,

kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang

lama. Ditandai adanya takikardi, perubahan tekanan darah

postural, hipertensi, nadi yang menurun/ tidak ada, distrimia, kulit

panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung.

c. Integritas ego : stress, tergantung pada orang lain, kecemasan, peka

rangsang.

d. Eliminasi : Poliuria, nokturia, nyeri/ kesulitan berkemih, ISK baru/

berulang, nyeri tekan abdomen, diare. Urine encer, pucat, poliuri,

urine berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites,

bising usus lemah dan menurun ; hiperaktif (diare).


26

e. Makanan/cairan : nafsu makan menurun, mual/ muntah, melanggar

diet (konsumsi karbohidrat/ glukosa meningkat), haus ditandai

kulit kering/ bersisik, turgor jelek, distensi abdomen, muntah,

nafas bau aseton.

f. Neurosensori : adanya gejala pusing, sakit kepala, kesemutan,

kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan.

Ditandai adanya disorientaasi, mengantuk, letargi, stupor/ koma

(tahap lanjut), gangguan memori, kacau mental, reflek tendon

menurun, kejang (tahap lanjut dari DKA).

g. Nyeri/kenyamanan : nyeri/tegang abdomen ditandai wajah

meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.

h. Pernafasan : merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa

sputum, frekuensi nafas meningkat.

i. Keamanan : kulit kering, gatal, ulkus ditandai demam, diaforesis,

laserasi, menurunnya rentang gerak, parestesia/paralis otot.

j. Seksualitas : infeksi vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme

pada wanita.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan

sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di

observasi di lapangan. Ada beberapa diagnosa keperawatan yang

muncul pada pasien Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :


27

a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati

perifer)

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik

(hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah),

masukan dibatasi (mual, kacau mental)

c. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit

kronis (Diabetes Melitus)

d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren

pada pada ekstermitas

e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan

metabolisme sel

f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi

jaringan tidak adekuat, proses inflamasi

g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber

informasi.

h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa

tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi

pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih

3. Intervensi

Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan

masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang

akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang

melakukan dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).


28

Menurut Wilkinson (2006) perencanaan asuhan keperawatan di buat

sesuai dengan ONEC yaitu O (observation), N (nursing), E

(education), C (colaboration).

Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang

dapat diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan

adalah pernyataan yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur

berdasarkan kemampuan dan kewenangan perawat (Dermawan, 2012).

Menurut Dermawan penulisan tujuan dan hasil berdasarkan SMART

meliputi Specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak

menimbulkan arti ganda, Measurable yaitu dimana tujuan keperawatan

harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat,

didengar, dirasakan, dan dibau), Achievable yaitu tujuan harus dapat

dicapai, dan hasil yang diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar

mengukur respon klien terhadap asuhan keperawatan,

Reasonable/Realistic yaitu dimana tujuan harus dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan

singkat dan realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu

rasa pencapaian. Time yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam

penulisan kriteria hasil dan mempunyai batasan waktu yang jelas.

Berdasarkan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2011)

yang muncul pada pasien Diabetes Melitus meliputi :


29

a. Nyeri kronis berhubungan dengan agen biologis (neuropati

perifer)

Tujuan : Nyeri kronis berkurang sampai dengan hilang dengan

Kriteria hasil:

1) Ekspresi wajah rileks

2) Skala nyeri 0-1

3) TTV dalam batas normal

TD: 120/80 mmHg

N : 60-100 x/menit

S: 36-37,50C

RR: 16-20 x/menit

Intervensi:

1) Kaji nyeri P, Q, R, S, T

Rasional: Mempengaruhi pilihan, keefektifan intervensi

serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami

pasien

2) Ajarkan teknik relaksasi

Rasional: Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien,

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan meningkatkan

kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama

3) Informasikan pada pasien bila nyeri timbul, ajarkan teknik

relaksasi


30

Rasional: Agar Pasien mengetahui bagaimana cara

mengontrol nyeri

4) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik

Rasional: Untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi

obat

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit

kronis (Diabetes Melitus)

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan

Kriteria hasil:

1) Asupan nutrisi adekuat

2) Nafsu makan meningkat

3) Hb, Albumin dalam batas normal

4) GDS dalam rentang normal

Intervensi:

1) Kaji A, B, C, D

Rasional: Untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat

keadekuatan pemasukan makanan

2) Monitor Hb, hematokrit, dan kadar gula darah

Rasional: Untuk Memantau fluktuasi kadar gula darah

3) Menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari RS

dan makan sedikit tapi sering

Rasional: Agar Pasien mengerti makanan apa saja yang boleh

dimakan dan menambah asupan nutrisi


31

4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan

nutrisi yang di butuhkan pasien

Rasional: Pemberian Diet yang sesuai dapat mempercepat

penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi

c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik

(hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebih (diare, muntah),

masukan dibatasi (mual, kacau mental).

Tujuan : kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi

Kriteria hasil :

1) Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda-

tanda vital stabil ( TD: 120/80mmHg. N : 80-100xmenit, S :

36-37Oc)

2) Nadi perifer dapat diraba

3) Turgor kulit dan pengisisan kapiler baik

4) Kadar elektrolit dalam batas normal

Intervensi :

1) Observasi nadi perifer , pengisian kapiler, turgor kulit dan

membran mukosa

Rasional: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau

volume sirkulasi yang adekuat

2) Pantau tanda-tanda vital

Rasional: hipovolemia dapat di manifestasikan oleh

hipotensi dan takikardi


32

3) Pantau masukan dan pengeluaran catat berat jenis urin

Rasional: memberikan perkiraan kebutuhan cairan

pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang

diberikan

4) Ukur berat badan setiap hari

Rasional: mengetahui status hidrasi dan volume sirkulasi

5) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500

ml/hari

Rasional : Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi

d. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren

pada pada ekstermitas.

Tujuan : tercapainya proses penyembuhan luka

Kriteria hasil :

1) Berkurangnya oedem disekitar luka

2) Pus dan jaringan berkurang

3) Adanya jaringan granulasi

4) Bau busuk luka berkurang

Intervensi :

1) Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan

Rasional: pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses

penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan

selanjutnya


33

2) Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka

secara aseptik menggunakan larutan yang tidak iriatif,

angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan

nekrotomi jaringan yang mati

Rasional: merawat luka dengan teknik aseptik

menggunakan larutan yang tidak iriatif, akan merusak

jaringan granulasi yang timbul, sisa balutan jaringan

nekrosis dapat menghambat proses granulasi.

3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin,

pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian

antibiotik

Rasional: insulin akan menurunkan kadar gula darah,

pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan

antibiotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar

gula darah untuk mengetahui perkembangan penyakit.

e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan

metabolisme sel.

Tujuan : Hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan

Kriteria hasil:

1) Melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri

2) Meminta bantuan untuk aktifitas sehari-hari

Intervensi:

1) Kaji kemampuan mobilisasi pasien


34

Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan tingkat

mobilisasi pasien

2) Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif

Rasional: Meningkatkan Sirkulasi darah, mempertahankan

tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah

kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena

imobilisasi

3) Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL

Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam

perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien

4) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien

Rasional: Menurunkan Insiden komplikasi kulit dan

pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik : perfusi

jaringan tidak adekuat, proses inflamasi.

Tujuan : pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri

Kriteria hasil :

1) Pasien mengungkapkan peningkatan energi

2) Pasien dapat beraktifitas secara bertahap

Intervensi :

1) Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas

sehari-hari

Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi atau bantuan


35

2) Batasi aktifitas pasien, misal mandi atau sibin ditempat

tidur atau mandi dengan duduk

Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan

3) Anjurkan untuk melakukan aktifitas sesuai kemampuan

pasien

Rasional: membatasi pengeluaran energi yang berlebihan

4) Bantu atau dorong perawatan dan kebersihan pasien

Rasional: meningkatkan sirkulasi dan kebersihan tubuh

5) Ubah posisi pasien sesuai kemampuan

Rasional: menurunkan resiko infeksi

6) Rencanakan bersama keluarga mengurangi energi yang

berlebihan saat melakukan aktifitas harian

Rasional: membantu pasien untuk beristirahat

g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber

informasi.

Tujuan : diharapkan pengetahuan pasien tentang penyakit,

prognosis, dan kebutuhan pengobatan bertambah

Kriteria hasil :

1) Pasien mampu mengungkapkan pemahaman tentang

penyakit, mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala

dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan

faktor penyebab


36

Intervensi :

1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan

penuh perhatian dan selalu ada untuk pasien

Rasional: memberikan kesempatan untuk mengambil

bagian dalam proses belajar

2) Bekerja sama dengan pasien dalam menata tujuan belajar

yang diharapkan

Rasional: partisipasi perencanaan, meningkatkan antusias

dan kerjasama pasien

3) Beri pendidikan kesehatan mengenai penyakit dan

pencegahannya

Rasional: pasien dan keluarga paham tentang hal-hal yang

belum diketahui sehubungan dengan penyakitnya

4) Evaluasi tingkat pemahaman pasien dan keluarga setelah

penyuluhan kesehatan

Rasional: mengetahui pemahaman pasien dan keluarga

setelah diberi pendidikan kesehatan

h. Resiko tinggi infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa

tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi

pernafasan yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih.

Tujuan : tidak terjadi infeksi


37

Kriteria hasil :

1) Pasien mampu mendemonstrasikan tekhnik mencegah

infeksi

Intervensi :

1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan (demam,

kemerahan, pus, luka)

Rasional: mengetahui tanda-tanda infeksi dan

mengintervensi segera

2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci

tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan

dengan pasien termasuk dengan pasien sendiri

Rasional: mencegah timbulnya infeksi silang atau

nosokomial

3) Pertahankan tekhnik maseptik pada prosedur infansif

Rasional: mencegah timbulnya infeksi

4) Pasang kateter atau lakukan perawatan genetalia

Rasional: mengurangi resiko terjadinya penyakit mulut atau

gusi

5) Bantu pasien untuk melakukan oral higiene

Rasional: menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut

atau gusi


38

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh

perawat dan pasien, merupakan tahap keempat dari proses

keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana

keperawatan (Dermawan, 2012).

Fokus utama dari komponen implementasi adalah pemberian

asuhan keperawatan yang aman dan individual dengan pendekatan

multifokal, implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan

yang diperlukan untuk memenuhi kriteria hasil seperti yang

digambarkan dalam rencana tindakan, tindakan dapat dilaksanakan

oleh perawat, anggota keluarga, anggota tim kesehatan lain, atau

kombinasi dari yang disebutkan diatas (Dermawan, 2012).

5. Evaluasi

Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan

klien dan menentukan keputusan dengan cara membandingkan data

yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam,

2009).

Tipe pernyataan tahapan evaluasi dapat dilakukan secara

evaluasi formatif (evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan

keperawatan) dan evaluasi sumatif (evaluasi akhir) (Dermawan, 2012).

Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan

pada SOAP. S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data


39

atau data obyektif), A (Analysis atau analisis), P (Plan of care atau

rencana asuhan keperawatan)

C. Nyeri

1. Pengertian

Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional

mendefisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman

emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan

jaringan yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian saat terjadi kerusakan.

Nyeri merupakan pengalaman pribadi, subjektif, yang

dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variabel-

variabel psikologis lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan

memotivasi setiap orang untuk menghentikan rasa tersebut

(Andarmoyo, 2013).

2. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) meliputi :

a. Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya

dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera

akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang


40

cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat)

dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung

dari beberapa detik hingga enam bulan.

Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (self-

limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa

pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi

kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam

bulan), memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri

ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi.

Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini, seperti

pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, pasca

persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya.

Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem

saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti

peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan

denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal

pasien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya

ketidaknyamanan berkaitamn dengan nyeri yang dirasakannya.

Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan

memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis,

mengerang kesakitan, mengerutkan wajah.


41

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten

yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik

berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya

berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik dapat tidak

mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering

sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan

respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya.

Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosi

yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan actual

dan potensial atau digambarkan dengan istilah kerusakan

(international Association for the study of pain); awitan yang

tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat

dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan

durasinya lebih dari enam bulan (NANDA, 2011).

b. Klasifikasi nyeri berdasarkan asal

Nyeri di klasifikasikan berdasrkan asalnya dibedakan menjadi

nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik.

1) Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) merupakan nyeri

yang diakibatkan oleh aktivasi atau sensititasi nosiseptor

perifer yang merupakan reseptor khusus yang mengantarkan


42

stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat terjadi karna

adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot,

jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri post

operatif dan nyeri kanker.

Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif

merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif

yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih terlokalisasi.

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neropatik merupakan suatu hasil suatu cidera

atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer

maupun sentral. Berbeda dengan nyeri noseseptif, nyeri

neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses input

saraf sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer. Nyeri

ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti

terbakar, tingling, shooting, shock like, hypergesia, atau

allodinya. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya merupakan

nyeri kronis

c. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi

Klasifikasi nyeri berdasarkan dibedakan sebagai berikut :

1) Superficial atau kutaneus

Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan

stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung nyeri dan

terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.


43

Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau

laserasi.

2) Visceral dalam

Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat

stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat

difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya

bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada

superficial. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak

menyenangkan, dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala

otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung

organ yang terlibat. Contoh sensasi pukul (crushing) seperti

angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus

lambung.

3) Nyeri alih (referred pain)

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri

visceral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri.

Jalan masuk neuron sensori dari organ yang terkena kedalam

segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri

dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena.

Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah

dalam sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai

karakteristik. Contoh nyeri yang terjadi pada infark miokard,


44

yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri; batu

empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.

4) Radiasi

Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas

dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lain.

Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh

bawah . nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan. Contoh

nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral

yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai

dari iritasi saraf skiatik.

3. Pengalaman Nyeri

Menurut Andarmoyo (2013) mendeskripsikan 3 fase

pengalaman nyeri. Fase tersebut antara lain fase antipasti, fase sensasi,

dan fase akibat/aftermath.

a. Fase antipasti

Fase antipasti terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini

mungkin bukan merupakan fase yang paling penting karena fase

ini bias mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan

seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan

nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,

terutama dalam memberikan informasi yang adekuat kepada klien.


45

b. Fase sensasi

Fase sensasi terjadi pada saat nyeri terasa. Fase ini terjadi

ketika klien merasakan nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif

maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.

Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang

dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat tolerabsi tinggi

terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil.

Sebaliknya, orang yang toleransinya bterhadap nyerinya rendah

akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien

dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan

nyeri tanpa bantuan. Sebaliknya, orang yang toleransi terhadap

rendah sudah mencari sudah mencari upaya mencegah nyeri,

sebelum nyeri datang.

c. Fase akibat/aftermath

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang.

Pada fase ini klien masih membutuhkan control dari perawat,

karena nyeri bersifat krisis sehingga fdimungkinkan klien

mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami

episode nyeri berulang, respon akibat (aftermath) dapat menjadi

masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu

memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang.


46

4. Respon Fisiologis Terhadap Terhadap Nyeri

Menurut Andarmoyo (2013) respon fisiologis terhadap terhadap nyeri

meliputi :

a. Respon Fisiologis

Perubahan atau respon fisiologis dianggap sebagai

indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan verbal

pasien mengungkapkan bahwa respon fisiologis harus digunakan

sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien

tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi

laporan verbal dan nyeri individu.

Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat

membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri masuk ke medulla

spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf

otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress.

Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom

menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-

menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam visceral

maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi.


47

Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri

Respon Penyebab atau efek


Stimulasi simpatik*
Dilatasi respon bronkheolus dan Menyebabkan peningkatan
peningkatan frekuensi pernafasan asupan oksigen
Peningkatan frekuensi denyut Menyebabkan transport
jantung oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, Meningkatkan tekanan darah
peningkatanmtekanan darah) diserati perpindahan suplai
darah dari perifer dan visera
ke otot-otot skeletal dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi
tambahan
Diaphoresis Mengontrol temperature
tubuh selama stress
Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk
melakukan aksi
Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan
yang lebih baik
Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk
melakukan aktivitas dengan
lebih cepat
Stimulasi parasimpatik*
Pucat Menyebabkan suplai darah
berpindah ke perifer
Ketegangan otot Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan Akibat stimulasi vagal
tekanan darah
Pernafasan yang cepat dan tidak Menyebabkan pertahanan
teratur tubuh gagal akibat stress
nyeri yang terlalu lama
Mual dan muntah Mengembangkan saluran
cerna
Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi
fisik


48

b. Respon Perilaku

Respon perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat

beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi

pertama bahwa ada sesuatu tang tidak beres, respon perilaku

seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk

mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim dimana

pengukuran tidak memungkinkan (missal orang tersebut menderita

retardasi mental yang berat atau tidak sadar).

Tabel 2.2 Respon Perilaku Nyeri

Respon perilaku nyeri pada pasien


Vokalisasi Mengaduh, menangis, sesak nafas,
mendekur
Ekspresi wajah Meringis, menggelutukkan gigi,
mmengernyitkan dahi, menutup
mata atau mulut dengan lebar,
menggigit bibir
Gerakan tubuh Gelisah, imobilisasi, ketegangan
otot, peningkatan gerakan jari dan
tangan, aktivitas melangkah yang
tanggal ketika berlari atau
berjalan, gerakan ritmik atau
gerakan menggosok, gerakan
melindungi sebagian tubuh
Interaksi sosial Menghindari percakapan, focus
hanya pada aktivitas, menghindari
kontak sosial, penurunan rentan
perhatian


49

5. Pengkajian Keperawatan Tentang Nyeri

Menurut Smeltzer (2002) deskripsi verbal tentang nyeri.

Individu merupakan penilaian terbaik dari nyeri yang dialaminya

karenanya harus diminta untuk mengambarkan membuat tingkatnya.

Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual

dalam berbagai cara:

a. Intensitas nyeri

Indivudu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri

pada skala verbal (misalnya: tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat,

atau sangat hebat, atau 0-10:0 tidak nyeri. 10 = nyeri sangat

hebat).

b. Karakteristik nyeri

Hal ini termasuk letak dimana nyeri pada berbagai organ

(mungkin merupakan alih), durasi (menit, jam, hari, bulan, dan

sebagainya), irama ( misalnya terus menerus, hilang timbul,

periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan

dari nyeri), kualitas (misalnya nyeri seperti ditusuk, seperti

terbakar, sakit, nyeri seperti di gencet).

c. Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Faktor-faktor yang meredakan nyeri misalnya gerakan,

kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas.

Apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang


50

akan menghilangkan nyerinya. Perilaku ini sering didasarkan pada

pengalaman atau trial and error.

d. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang

lain, gerakan fisik, bekerja dan aktifitas santai. Nyeri akut sering

berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

e. Kekhawatiran individu tentang nyeri

Hal ini meliputi berbagai masalah yang luas, seperti

beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan

perubahan citra diri.

6. Penilaian Respon Intensitas Nyeri

Menurut Andarmoyo (2013) penilaian respon intensitas nyeri meliputi

sebagai berikut :

a. Skala deskriptif

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat

keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal

(Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang

terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama dengan di sepanjang garis. Pendeskripsi

ini di rangking dari tidak rasa nyeri sampai nyeri yang tidak

tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan

meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia


51

rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa

paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak

menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah

kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

b. Skala numeric

Skala penilaian numeric (Numerical rating scales, NRS)

lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam

hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri

sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan sakla

untuk menilai nyeri, maka di rekomendasikan patokan 10 cm.

Contoh pasien post-appendiktomi hari pertama menunjukkan skala

nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan, hari ketiga

perawatan pasien menunjukkan skala nyerinya 4.

c. Skala analog visual

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah

suatu garis lurus horizontal sepanjang 10cm, yang mewakili

intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendekripsi verbal pada

setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunjuk pada titik pada

garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis

tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan tidak ada atau tidak

nyeri, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan berat atau

nyeri yang paling buruk. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris


52

diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis

dari tidak ada nyeri diukur dan ditulis dalam centimeter.

7. Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Smeltzer (2002) penatalaksanaan nyeri meliputi :

a. Intervensi Farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi

farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau

pemberi perawatan utama lainnya dan pasien. Obat-obat tertentu

untuk penatalaksanaan nyeri mungkin di resepkan atau kateter

epidural dipasang untuk memberikan dosis awal. Namun demikian,

adalah perawat yang mempertahankan analgesia, mengkaji

keefektifannnya, dan melaporkan jika intervensi tersebut tidak

efektif atau menimbulkan efek samping. Penatalaksanaan nyeri

memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara

pemberi perawatan kesehatan.

b. Tindakan Non Farmakologis

1) Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara

umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena

masase dapat membuat relaksasi otot.

2) Terapi es dan panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi

pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun


53

begitu, ketidakefektifannya dan mekanisme kerjanya

memerlukan study lebih lanjut. Di duga bahwa terapi es dan

panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-

nosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti cidera.

3) Stimulasi saraf elektris transkutan

Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS)

menggunakan unit yang dijalankan oleh batterai dengan

elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi

kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.

TENS telah digunakan baik pada menghilangkan nyeri akut

atau kronik.

4) Distraksi

Distraksi merupakan teknik memfokuskan pasien

pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang

sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap tekhnik kognitif efektif lainnya

5) Teknik relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan

nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang

nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas

abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat

memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan

nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan


54

menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi

(hirup, dua, tiga) dan ekhalasi (hembuskan, dua, tiga).

6) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus

untuk mencapai efek positif tertentu.

D. Masase

1. Pengertian

Masase merupakan salah satu seni penyembuhan yang tertua.

Hipocrates telah membuat tulisan yang merekomendasikan

penggunaan jenis masase rubbing dan friction untuk masalah sendi

dan sirkulasi. Masase merupakan tehnik manipulasi pada jaringan

lunak tubuh, umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan

kelelahan dan memperbaiki sirkulasi (Associated Bodywork & masase

professional, 2007).

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum,

masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat

relaksasi otot. (Smeltzer, 2002).

2. Tujuan

Tujuan masase menurut Kusyati dkk (2006) meliputi :

1) Mengurangi ketegangan otot

2) Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis


55

3) Mengkaji kondisi kulit

4) Meningkatkan sirkulasi/ peredaran darah pada area yang di

masase

3. Klasifikasi masase

Menurut Prihatin (2013) dalam perkembangannya, masase

dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah sebagai

berikut:

a. Sport masase

Sport masase adalah masase yang khusus diberikan

kepada orang yang sehat badannya, terutama olahragawan karena

pelaksanannya memerlukan terbukanya hampir seluruh tubuh.

Tujuan sport masase adalah:

1) Memperlancar peredaran darah.

2) Merangsang persarafan terutama saraf tepi untuk

meningkatkan kepekaan rangsang.

3) Meningkatkan ketegangan otot dan meningkatkan kekenyalan

otot untuk meningkatkan daya kerja otot.

4) Mengurangi atau menghilangkan ketegangan saraf dan

mengurangi rasa sakit.

b. Segment masase

Segment masase adalah masase yang ditujukan untuk

membantu penyembuhan terhadap gangguan atau kelainan-

kelainan fisik yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Ada


56

beberapa macam segment masase salah satunya adalah masase

terapi.

c. Cosmetic masase

Cosmetic masase adalah masase yang khusus ditujukan

untuk memelihara serta meningkatkan kecantikan muka serta

keindahantubuh berserta bagian-bagiannya.

d. Masase yang lain seperti; shiatshu, refleksi, tsubo, dan erotic

masase.

e. Macam-macam manipulasi dalam masase dan pengaruhnya.

Manipulasi yang dimaksud adalah cara menggunakan

tangan untuk melakukan masase pada daerah-daerah tertentu serta

untuk memberikan pengaruh tertentu pula. manipulasi pokok

masase adalah:

1) Effleurage (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama yang

dilakukan pada seluruh permukaan tubuh. Tujuannya adalah

memperlancar peredaran darah dan cairan getah bening (limfe).

2) Friction (menggerus), yaitu gerakan menggerus yang arahnya

naik dan turun secara bebas. Tujuannya adalah membantu

menghancurkan miogelosis, yaitu timbuan sisa-sisa

pembakaran energi (asam laktat) yang terdapat pada otot yang

menyebabkan pengerasan pada otot.

3) Petrissage (memijat), yaitu gerakan menekan kemudian

meremas jaringan. Tujuannya adalah untuk mendorong


57

keluarnya sisa-sisa metabolisme dan mengurangi ketegangan

otot.

4) Tapotemant (memukul), yaitu gerakan pukulan ringan berirama

yang diberikan pada bagian yang berdaging. Tujuannya adalah

mendorong atau mempercepat aliran darah dan mendorong

keluar sisa-sisa pembakaran dari tempat persembunyiannya.

5) Vibration (menggetarkan), yaitu gerakan menggetarkan yang

dilakukan secara manual atau mekanik. Mekanik lebih baik

daripada manual. Tujuannya adalah untuk merangsang saraf

secara halus dan lembut agar mengurangi atau melemahkan

rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat menimbulkan

ketegangan.

4. Indikasi dan Kontraindikasi Masase

Indikasi dan Kontraindikasi Masase menurut Prihatin (2013)

meliputi :

a. Indikasi

Indikasi merupakan suatu keadaan atau kondisi tubuh

dapat diberikan manipulasi masase, serta masase tersebut akan

memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh. Indikasi dalam

masase adalah:

1) Keadaan tubuh yang sangat lelah.


58

2) Kelainan-kelainan tubuh yang diakibatkan pengaruh cuaca

atau kerja yang kelewat batas (sehingga otot menjadi kaku dan

rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan).

b. Kontraindikasi

Kontraindikasi atau pantangan terhadap masase adalah

sebagai keadaan atau kondisi tidak tepat diberikan masase, karena

justru akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi tubuh itu

sendiri. Kontra-indikasi dalam masase adalah:

1) Pasien dalam keadaan menderita penyakit menular.

2) Dalam keadaan menderita pengapuran pembuluh darah arteri.

3) Pasien sedang menderita penyakit kulit. Adanya luka-luka

baru atau cedera akibat berolahraga atau kecelakaan.

4) Sedang menderita patah tulang, pada tempat bekas luka, bekas

cedera, yang belum sembuh betul.

5) Pada daerah yang mengalami pembengkakan atau tumor yang

diperkirakan sebagai kanker ganas atau tidak ganas.


49

BAB III

LAPORAN KASUS

Pada bab ini penulis akan menuliskan laporan kasus Pemberian Masase

Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan

Diabetes Melitus Tipe II. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 pukul

07.00 WIB, pengelolaan Asuhan Keperawatan dilakukan pada tanggal 10-12

April 2014 di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Pada kasus ini data diperoleh dengan cara autoanamnesa atau

pengkajian yang dilakukan secara langsung kepada pasien, dan alloanamnesa atau

pengkajian yang melihat di dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga.

Penulis juga memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien yang akan

disampaikan dalam laporan kasus.

A. Identitas Pasien

Pada pengkajian di peroleh data identitas pasien yaitu Ny. S dengan

umur 55 tahun, jenis kelamin perempuan, beralamat di jebres, pekerjaan ibu

rumah tangga, tingkat pendidikan SMA, tanggal masuk RS 04 April 2014 jam

09.00 WIB, Dokter mendiagnosa bahwa Ny. S menderita Diabetes Melitus

tipe II. Penanggung jawab terhadap Ny. S adalah Tn.P dengan umur 60 tahun,

pekerjaan buruh, beralamat di Jebres, dan hubungan Tn.P dengan pasien

adalah Suami.

59
60

B. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB di

Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Pada pengkajian tanggal 10 April 2014 diperoleh keluhan utama

pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki. Kemudian dari pengkajian

riwayat kesehatan sekarang pasien mengatakan 1 minggu sebelum masuk

rumah sakit pasien mengeluh badan terasa lemas, pusing, kedua telapak kaki

terasa kaku serta banyak minum, banyak makan, berat badan menurun dari 55

kg menjadi 50 kg kemudian oleh pihak keluarga dibawa ke IGD RSUD Dr.

Moewardi Surakarta.

Riwayat kesehatan dahulu pasien mengatakan sebelumnya sudah

pernah di rawat di rumah sakit 1 bulan yang lalu di rawat dengan riwayat

penyakit yang sama. Pasien mengetahui bahwa dirinya mempunyai riwayat

penyakit Diabetes Melitus selama 2 tahun, pasien tidak memiliki riwayat

penyakit asma, alergi, ataupun penyakit menular lainnya.

     




61

Keterangan :

:Laki-Laki

: Perempuan

: Tinggal Satu Rumah

: Pasien

: Riwayat DM

Dalam riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan di dalam

keluarganya ada yang menderita Diabetes Melitus seperti dirinya yaitu

bapaknya. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit jantung,

asma, alergi serta penyakit menular lainnya seperti TBC dan hepatitis. Dalam

riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan lingkungannya bersih, tidak

dekat dengan pembuangan sampah, dan sarana kamar mandi lengkap dengan

air bersih.

Pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon terdapat 11

pola kesehatan fungsional. Dalam pengkajian tersebut didapatkan data sebagai

berikut : pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit setiap pasien merasa sakit pasien selalu

memeriksakannya ke dokter atau puskesmas yang ada di sekitarnya. Selama

sakit pasien mengatakan memahami tentang penyakitnya, dan akan mematuhi

diet dan terapi yang telah diberikan.

Dalam pola nutrisi dan metabolisme diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit makan dengan frekuensi 3x sehari, jenis makan

nasi, sayur, lauk, dengan porsi 1 piring habis, berat badan pasien 55 kg, tinggi


62

badan pasien 160 cm, pasien minum air putih 1500 cc/hari dan teh tawar 2

gelas/hari. Pola nutrisi pasien selama sakit dengan menggunakan pengkajian

Antropometri, Biochemical data, Clinical sigh Dietary (ABCD).

Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama

sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical meliputi hasil

laboratorium berupa Hb 12,5 g/dl (Normal 12,0 18,0 g/dl ), GDS 200 mg/dl,

GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, rambut lengket,

dan kotor. Kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva

tidak anemis, sklera putih, penglihatan tidak kabur, pasien terlihat lemah,

selama sakit pasien mengatakan nafsu makan menurun, badan terasa lemas,

pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary history

yaitu pasien mengatakan diberi diit dengan frekuensi 3 kali sehari dengan

menu nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu

200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan

bersantan, dulu sebelum mengetahui penyakitnya pasien menyukai manis dan

asin tetapi sekarang pasien mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya.

Pada pengkajian pola eliminasi diperoleh data, pasien mengatakan

sebelum sakit buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau

khas, dan berwarna kuning, ketika buang air besar pasien tidak ada keluhan,

pasien mengatakan buang air kecil sehari 5-6 kali sebanyak 1500 cc/24 jam,

bau amoniak, dan berwarna kuning jernih. Pasien mengatakan selama sakit

buang air besar 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, berbau khas, dan


63

berwarna kuning, pasien terpasang DC dengan jumlah urine 1000 cc/24 jam,

berbau amoniak, dan berwarna Kuning jernih.

Pada pengkajian pola aktivitas dan latihan diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit dapat beraktivitas secara mandiri. Pasien

mengatakan selama sakit aktivitas seperti makan dan minum, toileting,

berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi Range Of Motion di

bantu oleh keluarga dengan nilai scoring 2 (di bantu orang lain).

Pada pengkajian pola istirahat dan tidur diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit tidur siang 2 jam sedangkan tidur malam 9 jam.

pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur.

Pasien mengatakan selama sakit tidur siang 1 jam sedangkan tidur malam 7

jam. Pasien tidak menggunakan obat tidur, dan tidak terdapat gangguan tidur.

Pada pengkajian pola kognitif dan perceptual diperoleh data, Ny. S

mengeluh nyeri pada kedua telapak kaki saat aktivitas berlebih nyeri seperti di

tusuk-tusuk dengan skala nyeri 4 durasi 5-10 menit intensitas hilang timbul.

Pasien mengatakan sebelum sakit 5 panca inderanya berfungsi dengan baik,

penglihatan pasien baik, pendengaran baik, indera pembau baik, dan tidak

menggunakan alat bantu pendengaran dan penglihatan. Pasien mengatakan

selama sakit juga tidak ada gangguan panca indera, pasien mampu melihat

dengan baik, indera pembau baik, dan selalu menjawab ketika di ajak

berbicara.

Pada pengkajian pola persepsi dan konsep diri diperoleh data, pada

pengkajian body image yaitu pasien mengatakan kurang mampu melakukan


64

aktivitas karena keadaan tubuhnya yang lemah. Pada pengkajian ideal diri

yaitu pasien mengatakan menerima penyakitnya dengan ikhlas, dan berharap

agar dirinya cepat sembuh dan segera pulang. Dalam peran diri pasien

mengatakan tidak bisa melakukan perannya secara maksimal sebagai seorang

ibu rumah tangga. Pada pengkajian identitas diri yaitu pasien mengatakan

sebagai ibu rumah tangga dan pasien mampu mengenali dirinya sendiri. Pada

pengkajian harga diri yaitu pasien mengatakan tidak merasa malu sehubungan

dengan kondisi fisiknya saat berhubungan dengan orang lain.

Pada pengkajian pola hubungan dan Peran diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit memiliki hubungan baik dengan keluarga, anak,

dan masyarakat. Pasien mengatakan selama sakit keluarganya menjadi lebih

perhatian dan merasa memiliki hubungan yang lebih erat.

Pada pengkajian pola seksualitas dan Reproduksi diperoleh data,

pasien mengatakan sebelum sakit tidak ada gangguan dalam hubungan seksual

dengan suaminya. Selama sakit pasien mengatakan tidak melakukan hubungan

suami istri selama sakit.

Pada pengkajian pola mekanisme koping diperoleh data, pasien

mengatakan sebelum sakit tidak mempunyai masalah dengan keluarga dan

apabila mempunyai masalah dengan keluarga dan apabila mempunyai masalah

selalu dimusyawarahkan dengan baik. Pasien mengatakan selama sakit tidak

mempunyai masalah dengan keluarga dan menerima sakitnya dengan ikhlas.

Pada pengkajian pola Nilai dan Keyakinan diperoleh data, pasien

mengatakan beragama Islam dan sebelum sakit pasien menjalankan sholat


65

lima waktu dan selalu berdoa. Selama sakit pasien mengatakan menjalankan

shalat lima waktu diatas tempat tidur dan selalu berdoa.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan data meliputi keadaan umum

pasien lemah, kesadaran composmentis. Tanda-tanda vital (tekanan darah

145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC). Bentuk

kepala mesochepal, tidak ada luka pada kulit kepala, rambut tampak hitam,

lengket dan kotor. Mata berdiameter kanan dan kiri sama, palpebra normal,

konjungtiva tidak anemis, sklera putih, pupil isokor, reflek terhadap cahaya

positif, dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung simetris, tidak

ada polip,dan tidak ada secret. Mulut tampak kotor, mukosa bibir kering, bau

tidak sedap, gigi tampak kotor, tidak ada gigi berlubang, dan tidak ada carries

gigi. Telinga kotor, bau, dan ada sedikit serumen. Leher tidak ada pembesaran

kelenjar tiroid.

Pada pemeriksaan fisik paru-paru meliputi Inspeksi yaitu bentuk

dada kanan dan kiri simetris, tidak terdapat luka dan lesi, pergerakan dada

kanan dan kiri sama, tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan penggunaan

otot bantu pernafasan, regular, dan RR 20 x/menit. Palpasi yaitu tidak terdapat

nyeri tekan, vocal fremitus kanan dan kiri teraba sama. Perkusi yaitu suara

sonor pada area ICS I-VI dextra, redup pada ICS III-V sinistra. Auskultasi

yaitu suara nafas dasar vesikuler, tidak ada whezing.

Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan data meliputi pengkajian

inspeksi diperoleh data ictus cordis tidak tampak. Palpasi diperoleh data ictus

cordis teraba pada ICS V medial linea midclavicula sinistra, tidak kuat angkat.


66

Pemeriksaan auskultasi jantung diperoleh data suara jantung S1 dan S2

reguler, tidak terdapat suara jantung tambahan, suara jantung dan denyut nadi

perifer sama. Pemeriksaan perkusi jantung didapatkan data pekak mulai dari

ICS II linea parasternal dextra sampai ICS IV linea parasternal dextra, ICS II

linea parasternal sinistra sampai ICS IV medial linea midclavicula sinistra.

Pemeriksaan fisik abdomen meliputi inspeksi yaitu simetris, tidak

asites, dan tidak terdapat lesi. Pengkajian auskultasi yaitu bising usus

13x/menit. Pengkajian palpasi yaitu tidak terdapat nyeri tekan, hepar tidak

teraba. Pengkajian perkusi yaitu suara timpani pada kuadran II, III, IV, serta

pekak pada kuadran I. pemeriksaan fisik genetalia yaitu genetalia bersih, tidak

ada edema, terpasang DC ukuran 16 sejak 10 April 2014, Rectum bersih, dan

tidak ada pembesaran hemoroid.

Pemeriksaan fisik ekstermitas meliputi ekstremitas atas tangan kanan

tidak ada edema, terpasang infus Nacl 20 tpm dan dapat bergerak bebas,

kekuatan otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang,

perabaan akral hangat. Ekstremitas atas tangan kiri tidak ada edema, kekuatan

otot 5, capillary reffile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan

akral hangat. Pengkajian pemeriksaan ekstermitas bawah meliputi pasien

mengeluh nyeri pada kedua kaki saat aktivitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk,

skala nyeri 4 dengan kriteria sedang, nyeri hilang timbul dengan frekuensi

kadang-kadang.

Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal

07 April 2014 adalah kimia urine berat jenis 1,006 (Normal 1,015-1,025), PH


67

7,0 (Normal 4,5-8,0), leukosit negatif, nitrit negatif, protein 25 mg/dl, glukosa

200 mg/dl, keton negatif, urobilinogen negative, bilirubin negatif, eritrosit 10

juta/ul (Normal 0-87 juta/ul ). Pemeriksaan hematologi meliputi Hb 12,5

(Normal 12,0 18,0 g/dl ), hematokrit 40% (Normal 33-45%), leukosit 10

103/ul (Normal 4,5-11 103/ul), trombosit 197 103/ul (Normal 150-450 103/ul),

eritrosit 4,76 106/ul (Normal 4,5-5,9 106/ul), GDS 300 mg/dl (Normal 60-

140), creatinin 0,8 mg/dl (Normal 0,8-1,3 mg/dl), ureum 38 mg/dl (Normal

<50 mg/dl), Natrium 138 mmol/l (Normal 136-145 mmol/l), kalium 4,5

mmol/l (Normal 3,7-5,4 mmol/l), klorida 99 mmolo/l (Normal 98-106

mmol/l), dan GDP 129 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl), kolestrol total 151

mg/dl (Normal 50-200 mg/dl), LDL 90 mg/dl (Normal 88-201 mg/dl), HDL

40 mg/dl (Normal 37-92 mg/dl), trigliserida 155 mg/dl (Normal < 150 mg/dl).

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 April 2014 jam 07.00 WIB yaitu

GDP 160 mg/dl (Normal 70-110 mg/dl) dan GDS 200 mg/dl.

Program terapi tanggal 10 April 2014 adalah infus Nacl 0,9% 1500

cc/24 jam dengan dosis tetesan 20 tetes per menit, injeksi novorapid dosis 8-8-

8 IU (SC), injeksi ceftriaxone 2gr/24jam (IV) (tanggal 4-6 April 2014), injeksi

omeprazole 40mg/12jam (IV), captopril tablet 3x25mg (peroral) dan

paracetamol tablet 3x500mg (peroral), diet DM 1700 kkal.

C. Daftar Perumusan Masalah

Pada kasus Ny.S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan data

obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak

kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri


68

hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi hilang

timbul. Data obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri,

pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90

kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S memiliki riwayat

Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu. Berdasarkan data fokus tersebut

penulis melakukan analisa data dan merumuskan prioritas keperawatan utama

yaitu nyeri kronis. Berdasarkan hasil perumusan masalah tersebut, penulis

menegakkan diagnosa keperawatan utama nyeri kronis berhubungan dengan

agen injury biologis (neuropati perifer).

Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan

data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan berkurang

dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif diperoleh data

pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu

rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan

sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm,

IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%),

GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa

bibir kering. Konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah.

Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan analisa data dan

merumuskan diagnosa keperawatan kedua yaitu ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ).

Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan

data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah dan


69

lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri,

makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan

ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh data pasien terlihat

lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan. GDS 200

mg/dl. Pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90

kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit). Berdasarkan data fokus

tersebut penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa

keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel.

D. Intervensi

Perencanaan yang di lakukan untuk diagnosa pertama nyeri kronis

berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer). Setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat

berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks, skala

nyeri 1, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60-

100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit). Intervensi untuk

diagnosa ini antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : mempengaruhi

pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri yang

dialami pasien), berikan teknik relaksasi masase (rasional : mengurangi rasa

nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap nyeri, dan

meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama),

informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas

dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri),


70

kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (rasional : untuk mempercepat

penyembuhan melalui terapi obat).

Perencanaan yang dilakukan untuk diagnosa kedua

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

penyakit kronis ( DM ). Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam diharapkan tidak terjadi gangguan nutrisi dengan kriteria hasil yaitu

asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb, Albumin, Hematokrit

dalam batas normal, GDS dalam rentang normal (80-110 mg/dl). Intervensi

untuk diagnosa ini antara lain kaji pola nutrisi ( A, B, C, D ) (Rasional : untuk

mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan

makanan), monitor kadar gula darah sewaktu (rasional : untuk menmantau

fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan kepada pasien untuk makan

diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering (rasional: agar pasien

mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan

nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi

yang dibutuhkan pasien (rasional : pemberian diet yang sesuai dapat

mempercepat penurunan gula darah dan nmencegah komplikasi).

Perencanaan yang dilakukan untuk diagnosa ketiga hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan

mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil badan tidak terasa lelah dan

lemas, melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Intervensi untuk

diagnosa ini antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional :


71

mengetahui tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien

dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional : Meningkatkan sirkulasi

darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak

sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena

imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari (rasional :

Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi

keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien (rasional

: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis,

pneumonia)).

E. Implementasi

Untuk mencapai tujuan dari kriteria hasil diatas, pada tanggal 10

April 2014 pukul 07.00 WIB sampai dengan 12 April 2014 pukul 14.00 WIB

dilakukan implementasi sebagai berikut :

Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis

berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul

07.00 WIB melakukan perkenalan kemudian pengkajian. Pukul 07.30 WIB

memonitor tanda-tanda vital pasien, respon Ny. S mengatakan bersedia untuk

diukur tanda-tanda vitalnya, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit,

pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. Pukul 07.40 WIB mengkaji nyeri, respon

pasien pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah

saat beraktifitas berlebih, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul

dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang,

pasien tampak meringis menahan nyeri. Pukul 09.30 WIB memberikan obat


72

oral paracetamol 500 mg dan captopril 25 mg, obat masuk peroral. Pukul

10.00 WIB melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien

mengatakan nyeri sudah berkurang dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, nyeri

dirasakan ketika aktifitas, nyeri seperti di tusuk-tusuk, nyeri hilang timbul

durasi 5-10 menit dengan frekuensi kadang-kadang, pasien mengatakan kaki

terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien tampak rileks.

Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis

(DM) yaitu pukul 08.00 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat

masuk melalui intravena. Pukul 08.10 WIB mengkaji intake nutrisi pasien,

Antropometri berupa berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama

sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu Hb

12,5 ( Normal 12,0 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 200 mg/dl,

GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, lengket, kotor.

kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis,

sklera putih, badan terlihat lemah, pasien mengatakan selama sakit nafsu

makan berkurang, badan terasa lemas, pasien terlihat kurangnya minat pada

makanan, pasien hanya menghabiskan setengah dari porsi menu RS. Dietary

history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien

minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan

pasien tidak menyukai makanan bersantan, dulu sebelum mengetahui

penyakitnya pasien menyukai manis dan asin tetapi sekarang pasien

mengontrolnya demi kesembuhan sakitnya. Pukul 08.30 WIB melakukan


73

pemeriksaan kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien

mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS

200 mg/dl, dan injeksi insulin masuk lewat sub cutan. Pukul 09.15 WIB

menginformasikan kepada pasien untuk mematuhi diet dari RS dan

memberikan diit sesuai program, respon pasien mengatakan nafsu makan

pasien berkurang tetapi akan mematuhi diit dari RS, diit rumah sakit habis

setengah porsi dari porsi menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan

kadar gula darah dan memberikan insulin 8 UI, respon pasien mengatakan

bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 190 mg/dl, dan

insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.45 WIB memberikan diet

sesuai program, pasien terlihat kurangnya minat terhadap makan, pasien

terlihat lemah, dan menu diit RS hanya dihabiskan setengah porsi.

Pada tanggal 10 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 08.50 WIB

mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien mengatakan aktivitas

dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum, toileting, berpakaian,

mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga,

pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan

dan kekuatan otot 5. Pukul 09.20 WIB membatu pasien makan, respon pasien

bersedia dibantu oleh perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 12.45 WIB

membatu pasien makan (feeding), respon pasien bersedia dibantu oleh

perawat, pasien terlihat lemah. Pukul 14.00 WIB membantu mengubah posisi

pasien sesuai keadaan klien, respon pasien mengatakan badan masih terasa


74

lemas dan lelah terkadang untuk mengubah posisi masih dibantu oleh

keluarga, pasien terlihat lemah, posisi pasien miring kiri.

Pada tanggal 11 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari

kedua, dilakukan implementasi sebagai berikut :

Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis

berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul

07.30 WIB melakukan pengkajian nyeri, diperoleh data pasien mengatakan

nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila

beraktivitas, dengan skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri

hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien

terlihat sedikit tegang. Pukul 07.35 WIB memonitor tanda-tanda vital,

diperoleh data objektif TD : 140/80 mmhg, nadi 89 x/menit, respirasi 18

x/menit, suhu 36,5OC. Pukul 08.45 WIB mengajarkan pasien teknik relaksasi

nafas dalam dan menginformasikan kepada pasien untuk melakukan teknik

relaksasi nafas dalam bila nyeri timbul, respon pasien mengatakan sudah

mengerti tentang teknik relaksasi nafas dalam dan akan melakukan teknik

relaksasi nafas dalam apabila nyeri dirasakan, pasien tampak aktif dalam

perawatan. Pukul 09.50 WIB memberikan obat captopril 25 mg, obat masuk

melalui oral. Pukul 10.00 WIB melakukan teknik relaksasi masase kaki,

respon pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang

dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan saat aktivitas berlebih, nyeri seperti

ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dengan frekuensi


75

jarang, pasien mengatakan kaki terasa lebih nyaman setelah dipijat, pasien

tampak rileks.

Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis

(DM) yaitu pukul 08.00 WIB mengkaji intake pasien dengan melakukan

pengkajian A,B,C,D, meliputi Antropometri yaitu berat badan sebelum sakit

55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan : 160 cm, IMT : 19,53.

Biochemical data meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0 g/dl ), Hematokrit

40% (33-45%), GDS 180 mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi

rambut merata, lengket, kotor. kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir

kering, konjungtiva tidak anemis, sclera putih, badan terlihat masih lemah,

penglihatan tidak kabur, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan,

pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari RS, badan terasa

lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Dietary history yaitu pasien mengatakan

diberi diit makan nasi, sayur, dan lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari,

susu 200cc/hari sesuai menu rumah sakit, dan pasien tidak menyukai makanan

bersantan.

Pukul 08.15 WIB memberikan injeksi omeprazole 40 mg, obat

masuk melalui intravena. Pukul 08.30 WIB melakukan pemeriksaan kadar

gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan

bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 180 mg/dl, dan

insulin masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 09.15 WIB memberikan diet

kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai diet dari


76

RS, porsi RS hanya sisa 3 sendok. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan

kadar gula darah dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien

mengatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS

185 mg/dl, dan insulin masuk 8 UI melalui subcutan. Pukul 12.30 WIB

memberikan diit kepada pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diit

sesuai diit dari RS, porsi RS dihabiskan oleh pasien.

Pada tanggal 11 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB

membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (bersama keluarga mandi

dan membantu cuci rambut pasien), respon pasaien mengatakan badan terasa

segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak

lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan

perawat. Pukul 09.30 mengkaji kemampuan mobilisasi pasien, respon pasien

mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas

di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan

dan minum pasien sudah mandiri, pasien tampak menghabiskan 1 porsi menu

dari RS, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada

tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 13.00 mengajarkan pasien dalam

latihan ROM, respon pasien mengatakan bersedia untuk dilakukan latihan

ROM, pasien tampak aktif dalam tindakan keperawatan.

Pada tanggal 12 April 2014 melanjutkan implementasi pada hari

ketiga, dilakukan implementasi sebagai berikut :


77

Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa pertama nyeri kronis

berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) yaitu pukul

07.35 WIB melakukan pengkajian nyeri, respon pasien mengatakan nyeri pada

kedua telapak kaki, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika

nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 3, nyeri dirasakan

hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, wajah pasien

tampak rileks. Pukul 07.45 memonitor tanda-tanda vital, respon pasien

mengatakan bersedia untuk ditensi dan diperiksa, tekanan darah 120/80

mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. Pukul 10.00 WIB

melakukan teknik relaksasi berupa masase kaki, respon pasien mengatakan

nyeri pada kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat

melakukan aktivitas berlebih, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala

nyeri dari 3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit

dan frekuensi jarang, wajah pasien tampak rileks.

Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa kedua ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis

(DM) yaitu pukul 08.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan

memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia untuk

dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 175 mg/dl, dan insulin masuk 8

UI melalui sub cutan. Pukul 08.10 WIB memberikan injeksi omeprazole 40

mg, obat masuk melalui intravena. Pukul 08.20 WIB memonitor intake nutrisi

pasien, Antropometri meliputi berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan

selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Biochemical data yaitu


78

Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS 175

mg/dl, GDP 160 mg/dl. Clinical Sign yaitu distribusi rambut merata, bersih,

tidak kotor, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab,

konjungtiva tidak pucat, sclera putih, badan tampak rileks dan bertenaga,

penglihatan tidak kabur, pasien mengatakan nafsu makan sudah meningkat,

pasien mengatakan akan mematuhi dietnya sesuai program, pasien

mengatakan badan terasa segar, pasien menghabiskan semua porsi menu RS.

Dietary history yaitu pasien mengatakan diberi diit makan nasi, sayur, dan

lauk, pasien minum air putih 1000 cc/hari, susu 200cc/hari sesuai menu rumah

sakit. Pukul 09.30 WIB memberikan diet kepada pasien, respon pasien

mengatakan akan mematuhi diit sesuai program, semua porsi dihabiskan

sesuai menu RS. Pukul 12.00 WIB melakukan pemeriksaan kadar gula darah

dan memberikan injeksi insulin 8 UI, respon pasien mengatakan bersedia

untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah, GDS 160 mg/dl, dan insulin

masuk 8 UI melalui sub cutan. Pukul 12.50 WIB memberikan diet kepada

pasien, respon pasien mengatakan akan mematuhi diet sesuai program, semua

porsi dihabiskan sesuai menu RS.

Pada tanggal 12 April 2014 diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan perubahan metabolisme sel yaitu pukul 07.00 WIB

membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL (perawatan diri mandi)

dibantu juga oleh keluarga pasien, respon pasien mengatakan badan terasa

segar setelah sibin dan mandi, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak

lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha


79

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan

perawat. Pukul 09.45 WIB mengkaji tingkat kemampuan mobilisasi pasien,

respon pasien mengatakan kemampuan untuk merawat diri, toileting,

berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk aktivitas di

tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri sudah bias mandiri,

makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien mengtaakan sebagian

kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga, pasien mengatakan

badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak menghabiskan 1

porsi menu dari RS, pasien terlihat rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20

tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. Pukul 11.00 WIB membantu

pasien dalam mobilisasi duduk, pasien terlihat rileks dan aktif dalam

perawatan. Pukul 13.30 membantu pasien dalam ROM, respon pasien

mengatakan bersedia untuk melakukan latihan ROM, pasien tampak aktif

dalam tindakan keperawatan dan lebih bertenaga.

F. Evaluasi

Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :

Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen

injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua

telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk,

nyeri hilang timbul dengan skala nyeri dari 4 menjadi 3, durasi 5-10 menit,

dengan frekuensi kadang-kadang, pasien tampak meringis menahan nyeri,

tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu

36OC, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian


80

nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian analgetik.

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien

mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa

lemas, pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari

menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan

sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm,

IMT : 19,53. Pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb

12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April 2014 190

mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak

anemis, sclera putih, badan terlihat lemah, masalah belum teratasi, intervensi

dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS,

informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli

gizi pemberian diet.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas,

pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan

minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan

ambulasi dibantu oleh keluarga, pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL

0,9% 20 tpm pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90

kali/menit, suhu 36oC, respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5, masalah

belum teratasi, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien,


81

ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam

kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan

pasien.

Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :

Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen

injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua

telapak kaki sudah berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan

skala nyeri masih 3, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan

durasi 5 menit dan frekuensi jarang-jarang, wajah pasien terlihat sedikit

tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 89 x/menit, respirasi 18 x/menit,

suhu 36,5OC, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu lakukan

pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian analgetik.

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien terlihat

kurangnya minat pada makanan, pasien mengatakan akan mematuhi diet

sesuai diet dari RS, badan terasa lemas, porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat

badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160

cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5

g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180

mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering, konjungtiva tidak anemis,

sclera putih, badan terlihat masih lemah, masalah teratasi sebagian, intervensi

dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS,


82

informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli

gizi pemberian diit.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk

merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan

ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah

mandiri pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih,

pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat

rileks, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan

otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan

mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih

pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik

sesuai keadaan pasien.

Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu :

Untuk diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen

injury biologis (neuropati perifer) pasien mengatakan nyeri pada kedua

telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas

berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri dari

3 menjadi 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan

frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di masase,

dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri timbul, wajah

pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8


83

O
C, respirasi 18 x/menit, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan

yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi, monitor TTV.

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM) pasien

mengatakan nafsu makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan

mematuhi dietnya sesuai program, pasien mengatakan badan terasa segar,

berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan

160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb

12,5 g/dl, Hematokrit 40%, GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 12 April 2014 160

mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva

tidak pucat, sclera putih, pasien menghabiskan semua porsi menu RS, masalah

teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor

kadar Hb, Ht, dan GDS.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel pasien mengatakan kemampuan untuk merawat

diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga,

untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau kiri

sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien

mengtaakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga,

pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas, pasien tampak

menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak

lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan


84

perawat, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan

kekuatan otot 5, masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan yaitu kaji

kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan

pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan latihan.


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Pemberian Masase Kaki

Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes

Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Disini penulis

akan membahas prioritas diagnosa keperawatan yang utama yaitu nyeri kronis

berhubungan dengan agen injuri biologis (neuropati perifer). Hal ini dilakukan

dengan alasan bahwa penulis membahas diagnosa tersebut sesuai aplikatif jurnal

pada penelitian yang telah dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul Pengaruh

Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle

Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu

2012. Prinsip dari pembahasan ini dengan memperhatikan aspek tahapan proses

keperawatan antara lain pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi

keperawatan, implementasi, dan evaluasi.

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang

bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat

mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan

keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).

Pengkajian dalam kasus ini dilaksanakan tanggal 10 April 2014 jam

07.00 WIB. Dalam pengambilan kasus ini penulis mengumpulkan data dengan

menggunakan metode Autoanamnesa yaitu pengkajian yang dilakukan secara


85
86

langsung kepada pasien. metode Alloanamnesa yaitu pengkajian yang melihat di

dasarkan data dalam status pasien dan dari keluarga.

Pada pengkajian yang didapatkan Ny. S mengeluh nyeri pada kedua

telapak kaki, nyeri bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri

hilang timbul dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-

kadang.

Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam

darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan

penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf

perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang diabetes

melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati

perifer meliputi distalparastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti

tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008).

Pada kasus Ny. S ditemukan bahwa pasien mengalami penurunan berat

badan. Pasien mengatakan BB turun sebelumnya 55 kg menjadi 50 kg. Hal ini

disebabkan karena defisiensi insulin menganggu metabolisme protein dan lemak

sehingga menyebabkan penurunan berat badan (Price, 2005).

Pada kasus Ny. S mengeluh badan terasa lelah dan lemas, pasien

mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum,

toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu

oleh keluarga. Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin akan menggangu

metabolisme protein dan lemak yang akan menyebabkan menurunnya simpanan

kalori sehingga terjadi kelelahan dan kelemahan (Smeltzer, 2002). Rasa lelah dan


87

kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian

besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk

pada pasien diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan (Corwin,

2009).

Rasa lelah muncul karena menurunnya simpanan kalori, sebagai akibat

dari defisiensi insulin yang menggangu metabolisme protein dan lemak menurun

akibat dari berkurangnya glukosa dalam sel/jaringan. Kadar gula yang tinggi

menyebabkan glukosa tidak bisa secara optimal masuk ke dalam sel sehingga

pasien kekurangan energi dan mengalami kelemahan.

Menurut NANDA (2011) diagnosa keperawatan merupakan sebuah label

singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang di observasi di lapangan.

Setelah penulis mendapatkan data-data dari pengkajian Ny. S tanggal 10 April

2014 pukul 07.00 WIB, penulis dapat merumuskan beberapa diagnosa

keperawatan.

Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis dapat

ditegakkan prioritas diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis

berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer).

Menurut NANDA (2011) Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan

emosi yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan jaringan aktual dan potensial

atau digambarkan dengan istilah kerusakan (international association for the

study of pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan

sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan

durasinya lebih dari enam bulan. Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat


88

batasan karakteristik berupa pasien mengeluh nyeri baik secara verbal maupun

isyarat, wajah meringis (topeng), perilaku melindungi, perilaku protektif yang

dapat diamati (NANDA, 2011).

Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional mendefisikan

nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau

yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan.

Nyeri pada pasien DM disebabkan karna tingginya kadar glukosa dalam

darah menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan

penurunan penyaluran oksigen ke jaringan. Diabetes Melitus merusak sistem saraf

perifer, termasuk komponen sensorik. Penyakit saraf yang menyerang Diabetes

Melitus disebut neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati

perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti

tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008).

Diagnosa keperawatan kedua yang bisa ditegakkan adalah

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

penyakit kronis (DM).

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh suatu keadaan dimana asupan

nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2011).

Hal ini disebabkan karena ketidakcukupan insulin, penurunan masukan makanan

oral, status hipermetabolisme (Doengoes, 2000).

Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik

berupa asupan makanan yang tidak adekuat, berat badan dibawah berat badan


89

ideal ditandai dengan pasien menolak makan, melaporkan kurangnya nafsu

makan, adanya bukti asupan makanan yang kurang, kurangnya minat terhadap

makanan, membran mukosa pucat, kelemahan (NANDA, 2011).

Pada Diabetes Melitus tipe II defisiensi insulin dapat menganggu

metabolisme protein dan lemak sehingga dapat menyebabkan penurunan berat

badan (Price, 2005).

Diagnosa keperawatan ketiga yang bisa ditegakkan adalah hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Hambatan

mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah

pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (NANDA, 2011). Hal ini disebabkan

karena defisiensi insulin akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang

akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori sehingga terjadi kelelahan dan

kelemahan (Smeltzer, 2002).

Diagnosa ini dapat dimunculkan apabila terdapat batasan karakteristik

berupa hambatan kemampuan untuk merubah posisi, keterbatasan rentang

pergerakan sendi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan pergerakan fisik,

kelemahan otot, mobilitas yang memuaskan, ketidakstabilan postur tubuh saat

melakukan aktivitas sehari-hari, dispnea saat beraktivitas (NANDA, 2011).

Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan

ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.

Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes kronis juga berperan menyebabkan

kelelahan (Corwin, 2009).


90

Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang

merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana

dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan

keperawatan (Dermawan, 2012).

Tujuan adalah pernyataan pasien dan perilaku keluarga yang dapat

diukur atau diobservasi (NANDA, 2011). Tujuan keperawatan adalah pernyataan

yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan

kewenangan perawat (Dermawan, 2012).

Menurut Dermawan (2012) penulisan tujuan dan hasil berdasarkan

SMART meliputi specific yaitu dimana tujuan harus spesifik dan tidak

menimbulkan arti ganda, measurable yaitu dimana tujuan keperawatan harus

dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien (dapat dilihat, didengar,

dirasakan, dan dibau), achievable yaitu tujuan harus dapat dicapai, dan hasil yang

diharapkan, ditulis perawat, sebagai standar mengukur respon klien terhadap

asuhan keperawatan, reasonable/realistic yaitu dimana tujuan harus dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tujuan dan hasil diharapkan singkat dan

realistis dengan cepat memberikan klien dan perawat suatu rasa pencapaian. time

yaitu batas pencapaian harus dinyatakan dalam penulisan kriteria hasil dan

mempunyai batasan waktu yang jelas.

Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan utama yaitu nyeri kronis

berhubungan dengan agen biologis (neuropati perifer). Tujuan dan intervensinya

adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri

dapat berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil yaitu ekspresi wajah rileks,


91

skala nyeri 0, TTV dalam batas normal (Tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi 60-

100 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 16-20 x/menit).

Intervensi yang akan dilakukan pada prioritas diagnosa nyeri kronis

berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah kaji nyeri P

(provokatif atau paliatif), Q (kualitas atau kuantitas), R (regional atau area), S

(skala keparahan) ,T (time atau waktu) rasional : untuk mengetahui berapa berat

nyeri yang dialami pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam rasional :

mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, mengalihkan perhatian terhadap

nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama,

informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan teknik relaksasi nafas dalam

rasional : agar pasien mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri, lakukan

teknik relaksasi masase rasional : mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter

pemberian analgetik rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi

obat.

Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan yang kedua

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

penyakit kronis (DM). Tujuan dan intervensinya adalah setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Kebutuhan nutrisi terpenuhi

dengan kriteria hasil Asupan nutrisi adekuat, nafsu makan meningkat, Hb,

Albumin dalam batas normal, GDS dalam rentang normal.

Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan kedua

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi ( A, B, C, D) rasional : untuk


92

mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat keadekuatan pemasukan makanan,

monitor kadar gula darah sewaktu rasional : untuk menmantau fluktuasi kadar

gula darah, menginformasikan kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit

dan makan sedikit tapi sering rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja

yang boleh dimakan dan menambah asupan nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi

untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien rasional :

pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan

mencegah komplikasi.

Berdasarkan prioritas diagnosa keperawatan yang ketiga hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel. Tujuan dan

intervensinya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil

melakukan aktifitas sendiri secara mandiri, meminta bantuan untuk aktifitas

sehari-hari.

Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah kaji

kemampuan mobilisasi pasien rasional : mengetahui tingkat kemampuan tingkat

mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan ROM pasif

rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus

otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah

reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas

sehari-hari rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri

sesuai kondisi keterbatasan klien. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan


93

klien rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan dekubitus,

atelektasis, penumonia.

Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan

pasien, merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah

perawat menyusun rencana keperawatan (Dermawan, 2012).

Implementasi keperawatan dilakukan mulai dari tanggal 10-12 April

2014. Implementasi yang akan dibahas pada pembahasan ini adalah tentang

masase kaki pada pasien untuk menurunkan nyeri.

Tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan diagnosa nyeri

kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati perifer) adalah

mengkaji nyeri dalam hal ini untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami

pasien. Tindakan keperawatan selanjutnya yaitu mengajarkan dan

menginformasikan teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi nafas dalam

dilakukan apabila nyeri timbul, hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri

yang dirasakan pasien dan mengetahui bagaimana cara mengontrol nyeri.

Teknik relaksasi lain yang digunakan penulis adalah dengan melakukan

masase yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.

Pemberian teknik masase yang dilakukan pada pasien ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Mulyati (2012) dengan judul Pengaruh Masase Kaki Secara

Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada

Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012. Berdasarkan dari hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa dimana masase kaki secara manual dapat

menurunkan nyeri kaki pada pasien DM tipe II.


94

Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengontrol terjadinya

neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri adalah dengan cara terapi

komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi yang dapat di gunakan

adalah touch teraphy khususnya masase. Selain pengendalian kadar glukosa darah

dapat juga dilakukan masase pada daerah kaki secara rutin sertiap hari (Black &

Hawks, 2005).

Masase tersebut akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tubuh,

dalam hal ini diindikasikan untuk keadaan tubuh yang sangat lelah, otot yang

kaku dan rasa nyeri pada persendian serta gangguan pada persarafan (Prihatin,

2013).

Masase merupakan teknik manipulasi pada jaringan lunak tubuh,

umumnya di lakukan untuk mengurangi stress dan kelelahan dan memperbaiki

sirkulasi (Associated Bodywork & masase professional, 2007). Masase adalah

stimulasi kutaneus tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih

nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Smeltzer, 2002).

Menurut Kusyati dkk (2006) tujuan masase meliputi yaitu mengurangi

ketegangan otot, meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis, mengkaji kondisi

kulit, meningkatkan sirkulasi atau peredaran darah pada area yang di masase.

Maka dari itu dalam hal ini teknik relaksasi berupa masase kaki diterapkan dalam

pengimplementasian untuk megnurangi nyeri.

Menurut Tappan dan Benjamin (1998) dalam jurnal penelitian Mulyati

(2012) masase mempunyai manfaat langsung baik secara fisiologis maupun

psikologis. Masase dapat menciptakan respon relaksasi, meningkatkan proses


95

metabolisme, meningkatkan fungsi jaringan lympatik, mempercepat penyembuhan

dan relaksasi otot, mengurangi tegangan otot, dan tingkat stress. Masase dapat

memperbaiki sirkulasi darah, dan limfe, dengan cara meningkatkan hantaran

oksigen dan zat makanan kedalam sel tubuh, sekaligus juga meningkatkan

pengeluaran sampah metabolisme dari tubuh sehingga dapat mengurangi nyeri.

Menurut Badawi (2009) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) pada

pasien Diabetes Melitus terjadi perubahan elastisitas kapiler pembuluh darah,

penebalan dinding pembuluh darah, dan pembentukkan plak atau thrombus yang

menyebabkan vaskularisasi ke perifer terhambat. Foot massage dapat

mempengaruhi hormon tubuh yaitu dapat meningkatkan sekresi endorfin.

Menurut Ganong (2008) dalam jurnal penelitian Laksmi (2012) endorfin memiliki

efek narkotika alami yaitu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan.

Impuls saraf yang dihasilkan diteruskan menuju hipotalamus untuk menghasilkan

carticotropin releasing factor (CRF). CRF merangsang kelenjar pituitary melalui

medulla adrenal sehingga produksi hormon endorfin meningkat. Endorfin yang

disekresikan kedalam peredaran darah mempengaruhi suasana hati menjadi rileks,

endorfin juga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat

mengurangi rasa sakit atau nyeri.

Tindakan selanjutnya yang dilakukan untuk Ny. S dengan pemberian

terapi analgetik yaitu pemberian paracetamol 3x1 pemberian paracetamol kalau

perlu saja. Menurut ISO (2012) pemberian paracetamol diindikasikan juga untuk

nyeri. Menurut Salma (2011) paracetamol bekerja sebagai inhibitor prostaglandin

lemah dengan menghalangi produksi prostaglandin yang merupakan zat kimia


96

yang terlibat dalam proses pengiriman pesan rasa sakit ke otak, dengan

mengurangi jumlah prostaglandin, paracetamol membantu mengurangi rasa sakit.

Maka dalam hal ini paracetamol diberikan dalam pengimplementasian untuk

mengatasi nyeri pada Ny. S. Skala nyeri pasien 3 (nyeri ringan), hanya timbul saat

beraktivitas sehingga berdasasrkan advice dokter paracetamol diberikan jika perlu

saja.

Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua Nutrisi kurang

dari kebutuhan berhubungan dengan penyakit kronis (DM) adalah kaji pola nutrisi

A, B, C, D rasional : untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat

keadekuatan pemasukan makanan, monitor kadar gula darah sewaktu rasional :

untuk memantau fluktuasi kadar gula darah, menginformasikan kepada pasien

untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi sering rasional : agar

pasien mengerti makanan apa saja yang boleh dimakan dan menambah asupan

nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah dan nutrisi yang

dibutuhkan pasien rasional : pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat

penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.

Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga Hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel adalah Kaji

kemampuan mobilisasi pasien Rasional: mengetahui tingkat kemampuan tingkat

mobilisasi pasien, Ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif maupun pasif

Rasional : meningkatkan sirkulasi darah, mempertahankan tonus otot,

mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah

reabsorbsi kalsium karena imobilisasi, Latih pasien dalam memenuhi kebutuhan


97

ADL Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi keterbatasan klien, Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien

Rasional : menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,

atelektasis, penumonia).

Tahap evaluasi adalah kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan

menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan

tujuan dan pencapaian tujuan (Nursalam, 2009).

Evaluasi yang diterapkan dalam proses asuhan keperawatan yang

diberikan pada Ny. S ini dilakukan dalam bentuk catatan perkembangan, dengan

membandingkan tujuan yang ingin dicapai dan kenyataan yang ada secara

obyektif serta rasional.

Menurut Dermawan (2012) penulisan evaluasi berdasarkan pada SOAP.

S (Subjective data atau data subyektif), O (Objective data atau data obyektif), A

(Analysis atau analisis), P (Plan of care atau rencana asuhan keperawatan).

Evaluasi hasil pada tanggal 10 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu Untuk

diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis

(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri

bertambah saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul

dengan skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. O :

pasien tampak meringis menahan nyeri, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90

x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36OC. A : masalah belum teratasi. P :

intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi,

monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik.


98

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan pasien

mengatakan nafsu makan berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas.

O : pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan setengah porsi dari menu

rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat pada makanan, berat badan sebelum

sakit 55 kg, berat badan selama sakit 50 kg, IMT : 19,53, tinggi badan 160 cm,

pemeriksaan laboratorium tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0

18,0 g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 10 April

2014 190 mg/dl, kulit kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva

tidak anemis, sclera putih, badan terlihat lemah. A : masalah belum teratasi. P :

intervensi dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan

GDS, informasikan kepada pasien untuk mematuhi diitnya, kolaborasi dengan ahli

gizi pemberian diet.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan badan terasa lelah dan lemas,

pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat diri, makan minum,

toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi dibantu

oleh keluarga. O : pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm

pada tangan kanan, tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC,

respirasi 20 kali/menit, dan kekuatan otot 5. A : masalah belum teratasi. P :

intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien

dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan aktivitas dan

latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien.


99

Evaluasi hasil pada tanggal 11 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk

diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis

(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah

berkurang, dirasakan nyeri apabila beraktivitas, dengan skala nyeri 3, nyeri seperti

ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang-

jarang. O : wajah pasien terlihat sedikit tegang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi

89 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5OC. A : masalah teratasi sebagian. P :

intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan tekhnik relaksasi,

monitor TTV, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik.

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien kurangnya minat

pada makanan, badan terasa lemas, pasien mengatakan akan mematuhi diit sesuai

diet dari RS. O : porsi RS hanya sisa 3 sendok, berat badan sebelum sakit 55 kg,

berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. Pemeriksaan

laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0 g/dl ),

Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS tanggal 11 April 2014 180

mg/dl, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. konjungtiva tidak anemis, sclera

putih, badan terlihat masih lemah. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi

dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, Ht, dan GDS,

informasikan kepada pasien untuk mematuhi dietnya, kolaborasi dengan ahli gizi

pemberian diet.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan untuk


100

merawat diri, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, dan

ambulasi dibantu oleh keluarga, untuk makan dan minum pasien sudah mandiri. O

: pasien tampak rileks, rambut bersih tidak lengket, badan bersih, pasien tampak

aktif dalam perawatan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri

meskipun dibantu keluarga dan perawat, pasien terlihat rileks, terpasang infuse

NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A : masalah teratasi

sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan mobilisasi pasien,

ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien dalam kebutuhan

aktivitas dan latihan, ubah posisi secara periodik sesuai keadaan pasien.

Evaluasi hasil pada tanggal 12 April 2014 pukul 14.00 WIB yaitu untuk

diagnosa pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis

(neuropati perifer). S : pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki sudah

berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan aktivitas berlebih, jika nyeri timbul

terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul

dengan durasi 5 menit dan frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa

nyaman setelah di masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam

apabila nyeri timbul. O : wajah pasien tampak rileks, tekanan darah 120/80

mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8 OC, respirasi 18 x/menit. A : masalah teratasi

sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu lakukan pengkajian nyeri, ajarkan

tekhnik relaksasi, monitor TTV.

Dalam melaksanakan implementasi sesuai aplikatif jurnal yang telah

dilakukan Mulyati (2012) dengan judul Pengaruh Masase Kaki Secara Manual

Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes


101

Melitus Tipe II di RSUD Curup Bengkulu 2012, hasil evaluasi akhir masalah

teratasi sebagian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan

keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal penelitian

pengelolaan dilakukan selama 10 hari.

Untuk diagnosa kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan penyakit kronis (DM). S : pasien mengatakan nafsu

makan sudah meningkat, pasien mengatakan akan mematuhi diitnya sesuai

program, pasien mengatakan badan terasa segar, berat badan sebelum sakit 55 kg,

berat badan selama sakit 50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53. O :

Pemeriksaan laborat tanggal 07 April 2014 meliputi Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0

g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDS tanggal 12 April 2014 160 mg/dl, kulit

kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak pucat, pasien

menghabiskan semua porsi menu RS. A : masalah teratasi sebagian. P : intervensi

dilanjutkan yaitu monitor intake nutrisi, monitor kadar Hb, HT, dan GDS.

Untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

perubahan metabolisme sel. S : pasien mengatakan mengatakan kemampuan

untuk merawat diri, toileting, berpakaian, berpindah, dan ambulasi dibantu oleh

keluarga, untuk aktivitas di tempat tidur seperti merubah posisi miring kanan atau

kiri sudah bias mandiri, makan dan minum pasien sudah mandiri, pasien

mengtakan sebagian kegiatan pemenuhan kebutuhan masih diabntu keluarga,

pasien mengatakan badan terasa segar dan sudah tidak lemas. O : pasien tampak

menghabiskan 1 porsi menu dari RS, pasien tampak rileks, rambut bersih tidak

lengket, badan bersih, pasien tampak aktif dalam perawatan dan berusaha untuk


102

memenuhi kebutuhannya sendiri meskipun dibantu keluarga dan perawat,

terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada tangan kanan dan kekuatan otot 5. A :

masalah teratasi sebagian. P : intervensi dilanjutkan yaitu kaji kemampuan

mobilisasi pasien, ajarkan pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, latih pasien

dalam kebutuhan aktivitas dan latihan.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran

dari Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan

Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus Tipe II Di Ruang Melati I Rsud Dr.

Moewardi Surakarta.

A. Simpulan

1. Pengkajian

Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif

yaitu pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah

saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan

skala nyeri 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang. Data

obyektif diperoleh data pasien tampak meringis menahan nyeri,

pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80 mmHg, nadi 90

kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), Ny. S mempunyai

riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu.

Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan

data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu makan

berkurang dan pasien mengatakan badan terasa lemas. Data obyektif

diperoleh data pasien tampak lemah, pasien terlihat menghabiskan

setengah porsi dari menu rumah sakit, pasien terlihat kurangnya minat

pada makanan, berat badan sebelum sakit 55 kg, berat badan selama sakit
103
104

50 kg, tinggi badan 160 cm, IMT : 19,53, Hb 12,5 ( Normal 12,0 18,0

g/dl ), Hematokrit 40% (33-45%), GDP 160 mg/dl, GDS 200 mg/dl, kulit

kering, turgor kulit elastis, mukosa bibir kering. Konjungtiva tidak anemis,

sclera putih, badan terlihat lemah. Berdasarkan data fokus tersebut penulis

melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan kedua

yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan penyakit kronis ( DM ).

Pada kasus Ny. S hasil pengkajian didapatkan data subyektif dan

data obyektif. Data subyektif yaitu pasien mengatakan badan terasa lelah

dan lemas, pasien mengatakan aktivitas dan kemampuan untuk merawat

diri, makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, dan ambulasi dibantu oleh keluarga. Data obyektif diperoleh

data pasien terlihat lemah, terpasang infuse NACL 0,9% 20 tpm pada

tangan kanan. pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah 145/80

mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, dan respirasi 20 x/menit), dan

kekuatan otot 5. Berdasarkan data fokus tersebut penulis melakukan

analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan ketiga yaitu hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel.

2. Diagnosa keperawatan

Dari data pengkajian yang didapatkan maka dapat dirumuskan

diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan

agen injury biologis (neuropati perifer). Diagnosa keperawatan yang

kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


105

berhubungan dengan penyakit kronis ( DM ). Diagnosa keperawatan yang

ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan

metabolisme sel.

3. Intervensi

Perencanaan yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati

perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi

pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri

yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional :

mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian

terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin

berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan

teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana

cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik

(rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat).

Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi (

A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat

keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu

(rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan

kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi

sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh


106

dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional:

pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan

nmencegah komplikasi).

Perencanaan yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel

antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui

tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam

latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah

muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak

sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari

(rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan

klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan

(dekubitus, atelektasis, penumonia)).

4. Implementasi

Implementasi yang di lakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

pertama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati

perifer) antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T ) (rasional : Mempengaruhi

pilihan, keefektifan intervensi serta untuk mengetahui berapa berat nyeri

yang dialami pasien), memberikan teknik relaksasi masase (rasional :

mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien, Mengalihkan perhatian


107

terhadap nyeri, dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin

berlangsung lama), informasikan kepada pasien bila nyeri timbul lakukan

teknik relaksasi nafas dalam (rasional : agar pasien mengetahui bagaimana

cara mengontrol nyeri), kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik

(rasional : untuk mempercepat penyembuhan melalui terapi obat).

Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan penyakit kronis (DM) antara lain kaji pola nutrisi (

A, B, C, D ) (Rasional: untuk mengetahui BB, Hb, turgor kulit dan tingkat

keadekuatan pemasukan makanan), monitor kadar gula darah sewaktu

(rasional: untuk memantau fluktuasi kadar gula darah), menginformasikan

kepada pasien untuk makan diet dari rumah sakit dan makan sedikit tapi

sering (rasional: agar pasien mengerti makanan apa saja yang boleh

dimakan dan menambah asupan nutrisi), kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menentukan jumlah dan nutrisi yang dibutuhkan pasien (rasional:

pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan

nmencegah komplikasi).

Implementasi yang dilakukan selama 3x24 jam untuk diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel

antara lain kaji kemampuan mobilisasi pasien (rasional: mengetahui

tingkat kemampuan tingkat mobilisasi pasien), ajarkan pasien dalam

latihan ROM aktif dan ROM pasif (rasional: Meningkatkan sirkulasi darah

muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak


108

sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi), latih pasien dalam kebutuhan aktivitas sehari-hari

(rasional:Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi keterbatasan klien). Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan

klien (rasional:Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan

(dekubitus, atelektasis, pneumonia)).

5. Evaluasi

Hasil evaluasi pada tanggal 12 April 2014 masalah keperawatan

utama dengan diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan agen injury

biologis (neuropati perifer) masalah teratasi sebagian. Masalah

keperawatan kedua dengan diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penyakit kronis ( DM )

masalah teratasi sebagian. Masalah keperawatan ketiga dengan diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan metabolisme sel

masalah teratasi sebagian.

6. Analisa

Hasil evaluasi akhir masalah keperawatan dengan diagnosa

utama nyeri kronis berhubungan dengan agen injury biologis (neuropati

perifer) sesuai aplikatif jurnal yang telah dilakukan Mulyati (2012) dengan

judul Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi,

Nyeri, Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Diabetes Melitus Tipe II di

RSUD Curup Bengkulu 2012, pada awal pengkajian didapatkan data

bahwa pasien mengatakan nyeri pada kedua telapak kaki, nyeri bertambah


109

saat beraktifitas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan

skala nyeri dari 4, durasi 5-10 menit, dengan frekuensi kadang-kadang,

pasien tampak meringis menahan nyeri, sedangkan pada evaluasi akhir

setelah dilakukan masase didapatkan data pasien mengatakan nyeri pada

kedua telapak kaki sudah berkurang, nyeri timbul hanya saat melakukan

aktivitas berlebih, jika nyeri timbul terasa seperti ditusuk-tusuk dengan

skala nyeri 2, nyeri dirasakan hilang timbul dengan durasi 5 menit dan

frekuensi jarang, pasien mengatakan kaki terasa nyaman setelah di

masase, dan akan melakukan teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri

timbul, wajah pasien tampak rileks sehingga hasil evaluasi akhir yaitu

masalah teratasi sebagian tetapi hal ini belum sesuai dengan jurnal

penelitian karena mengingat keterbatasan waktu pengelolaan pada asuhan

keperawatan hanya dilakukan selama 3 hari, sedangkan pada jurnal

penelitian dilakukan selama 10 hari.

B. Saran

Setelah penulis melaksanakan Pemberian Masase Kaki Terhadap

Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Diabetes Melitus

Tipe II Di Ruang Melati I RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penulis ingin

menyampaikan saran sebagai berikut :

1. Bagi penulis

Diharapkan dapat menjadi pengalaman belajar dalam

meningkatkan ketrampilan pemberian asuhan keperawatan.


110

2. Bagi instansi rumah sakit

Diharapkan dapat meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan

yang berkaitan dengan Diabetes melitus tipe II dengan melakukan masase

kaki pada pasien Diabetes Melitus tipe II.

3. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan dapat menjadikan bahan referensi khususnya

keperawatan medikal bedah dalam penanganan kasus Diabetes Melitus

tipe II.

4. Bagi pasien dan keluarga

Diharapkan dengan informasi dan pengetahuan tentang cara

mengontrol nyeri pada pasien Diabetes Melitus tipe II, pasien dan keluarga

dapat menerapkan teknik masase dalam perawatan mandiri di RS maupun

perawatan di rumah.


DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistyo. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta :

Ar-Ruzz Media.

Associated bodywork & Massage professional. 2007. Learn about Massage.

http://www.massagetherapy.com/learnmore/index.php diakses tanggal 13

april 2014.

Black, J, & hawks, J. 2005. Medical surgical Nursing (7 th ed) St Louis:Elsevier

Saunders Booya et al. Potential risk Factors For Diabetic neuropathy : a

case control study. http://wwww.biomedcentral.com/1471 diakses tanggal

13 April 2014.

Brashers, Valentina L. (2007). Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Corwin, J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC.

Dermawan, deden. (2012). Proses Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen

Publishing.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., and Gelssler, A.C. (2000). Rencana Asuhan

Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Edisi

3 Alih Bahasa: I Made Sumarwati. Jakarta: EGC.

International diabetes Federation. 2011. Diabetes Evidence Demands real action

From The Un summit On non-communicable Diseases. http:// www.idf.org

/ diabetes-evidence- demands-real-action-un- summit-non-communicable-

diseases Diakses tanggal 13 April 2014.




Kohnle. 2008. Sysmtom of diabetic neuropathy. http: //diabetes.noddk .nih.gov/

dm/pubs/neuropathies diakses tanggal 13 April 2014.

Kusyati, Eni, dkk. (2006). Ketrampilan dan Prosedure Laboratorium. Jakarta :

EGC.

Laksmi, dkk. (2012). Pengaruh Foot Massage Terhadap Ankle Brachial Index

(ABI) Pada Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas II Denpasar Barat Tahun

2012. Skripsi Universitas Udayana Fakultas Kedokteran Program Studi

Ilmu Keperawatan.

Mulyati, Leli. (2012). Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi

Proteksi, Nyeri, dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus

Tipe II Di RSUD Curup Bengkulu tahun 2012. Skripsi Akademi

Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu Program Studi Ilmu Keperawatan.

NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : Salemba

Medika.

Price & Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta: EGC.

Prihatin, Pipin Tresna. 2013. Masase. http : // file.upi.edu/Direktori /FPTK?

JUR.PEND. KESEJAHTERAAN KELUARGA/ 1 96310161990012-

PIPIN TRESNA PRIHATIN/BG 123 Dasar Rias (Pipin)/Bahan ajar 4

Dasar Rias.pdf. diakses tanggal 14 april 2014.




Salma. 2011. Paracetamol Analgesik dan Antipiretik Terpopuler.

http:/majalahkesehatan.com/paracetamol-analgesik-danantipiretik-

terpopuler/ diakses tanggal 14 april 2014.

Smeltzer, S.C&Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner&Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC.

Sudoyo. (2006). Buku Ajar Penyakit Ilmu dalam (edisi 3). Jakarta : pusat Penerbit

Departemen penyakit Dalam FKUI.

Sujono & Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan

Gangguan Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Wilkinson, mJudith M. (2006). Buku saku Diagnosis Keperawatan dengan

Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai