Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api atau oleh penyebab lain, misalnya pajanan
suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia serta radiasi. Penyebab luka bakar di
RSCM 56% api, 40% air mendidih, 3% listrik dan 1% bahan kimia5.
I. PATOFISIOLOGI
Kulit merupakan barrier yang kuat untuk transfer energi ke lapisan di bawahnya. Area
luka di again kulit terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona koagulasi, zona stasis dan zona
hiperemia.1,2
a. Zona koagulasi
Jaringan ini rusak irreversibel saat terjadi trauma luka bakar.
b. Zona stasis
Area yang mengelilingi zona nekrotik terjadi gangguan perfusi dengan derajat sedang. Pada zona
stasis terjadi kerusakan vaskular dan kebocoran pembuluh darah.
c. Zona hiperemia
Karakter dari zona ini adalah vasodilatasi akibat inflamasi.
1. Fase Akut/syok. Penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas),
breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi).
2. Fase Sub-akut, berlangsung setelah fase syok teratasi. Terjadi kerusakan atau kehilangan
jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan proses
inflamasi disertai eksudasi protein plasma dan infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
3. Fase Lanjut, terjadi setelah penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah yang timbul
adalah jaringan parut, kontraktur dan deformitas akibat kerapuhan jaringan atau organ
strukturil.
II. DIAGNOSIS
1. Evaluasi luas area luka bakar, dengan:
a. Palmar surface method: palmar pasien (termasuk jari-jari) mencapai 1 % Total Body Surface
Area (TBSA).
b. Wallaces rule of nines
c. Lund and Browder charts: menghitung variasi bentuk tubuh pada berbagai macam usia dan
menghasilkan penilaian akurat pada luka bakar anak.
2. Usia: bayi, anak dan dewasa
3. Kedalaman luka.
4. Luka bakar derajat 2 dan 3 yang sirkumferensial dapat menyebabkan restriksi aliran darah
pada ekstremitas, dada yang dapat menghambat respirasi, membutuhkan eskarotomi.
1. Fase akut/syok berupa menghindarkan pasien dari sumber penyebab luka bakar, evaluasi
ABC, periksa apakah terdapat trauma lain, resusitasi cairan, pemasangan kateter urine,
pemasangan nasogastric tube (NGT), tanda vital dan laboratorium; manajemen nyeri,
profilaksis tetanus, pemberian antibiotik dan perawatan luka.
2. Fase sub-akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil. Penanganan fase
akut berupa mengatasi infeksi, perawatan luka, dan nutrisi.
3. Fase lanjut dilakukan rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kemandirian melalui
pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal.
IV. Pembahasan
Pada pasien ini diagnosa Luka Bakar derajat II a-b ditegakkan dengan alasan bahwa luka yang
terjadi itu mengenai jaringan dermis, terdapat lepuh, warna luka putih kemerahan, dan sangat
sakit. Luas area luka bakar ditentukan dengan metode Lund dan Browder sebesar 37,5%.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini meliputi resusitasi cairan dengan formula baxter
(Berat Badan x Presentase Luka Bakar x 4 cc dalam 24 jam), pada kasus ini didapatkan
pemberian 9300 cc untuk 24 jam, dibagi menjadi 4650 cc atau 50% pada 8 jam pertama,
kemudian 4650 cc atau 50 % berikutnya dalam 16 jam. Hal yang perlu dipantau dalam
pemberian cairan resusitasi adalah produksi urin karena menggambarkan sirkulasi cairan dan
cukup tidaknya cairan yang diberikan. Nomalnya produksi 0,5 cc/kg/jam. Pemasangan CVP di
indikasikan untuk memonitor sirkulasi sistemik dalam pemberian cairan resusitasi dan akses
cairan yang lain.
Hari Pertama
Pemberian antibiotik pada luka bakar sebenarnya tidak diindakasikan, namun pasien ini
diberikan injeksi co-amoksiklav sebanyak 3 x 1 gram dan pemberian analgetik dianjurkan dalam
luka bakar, dalam kasus ini dipergunakan ketorolac intravena 3 x 300 mg. Indikasi rawat pada
pasien luka bakar ini adalah luka bakar derajat II lebih dari 15% dan terdapat luka di wajah dan
tangan.