Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bencana


Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis dan di luar kemampuan masyarakat dengan segala sumber
dayanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatuyang menyebabkan
atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah
bencana yang disebabkan oleh alam. (Purwadarminta, 2011)
Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupunfaktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,
kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh gejala-gejala alam yang dapatmengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian materi,
maupun korban manusia. (Kamadhis UGM, 2011).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), definisi bencana adalah peristiwa atau kejadian
pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2011) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat

Manajemen Bencana
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat
atau wilayah yang terkena.
Baik individu maupun komunitas mempunyai respon yang berbeda beda terhadap bencana
tergantung pada individu dan komunitas tersebut serta seberapa besarnya bencana yang mereka alami.
Respon perilaku yang pertama muncul pada individu/komunitas yang tergambar dengan munculnya
konflik, ketidak percayaan, masalah pada pekerjaan, berkurangnya keintiman suatu hubungan
interpersonal, penarikan diri, mengasingkan diri, dll. Kemudian dilanjutkan dengan respon
emosional/kognitif seperti terkejut, terpaku, tidak percaya/menyangkal, kalut, putus asa, marah, cemas,
merasa bersalah, kehilangan minat akan kesenangan,dll. Respon psikologikal seperti mimpi buruk,
konsentrasi buruk, menyalahkan diri sendiri, bingung, disorientasi, tidak dapat mengambil keputusan,
kekhawatiran. Namun setiap orang mempunyai tingkat respon yang berbeda-beda.

2.2 pengertian Kesehatan Jiwa (Mental)


Kesehatan jiwa/mental adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak mengalami perasaan
bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat
menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya,
memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. (Pieper
dan Uden, 2012)
Notosoedirjo dan Latipun (2011), mengatakan bahwa orang yang sehat
jiwanya/mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat stressor
(sumber stres).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental (jiwa) adalah:
Suatu kondisi di mana kepribadian, emosional, intelektual dan fisik seseorang tersebut
dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan stressor,
menjalankan kapasitasnya selaras dengan lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman
dengan diri sendiri, menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam budayanya,
terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, dapat menerima kekurangan atau
kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam
kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Manajemen Bencana
2.3 Hubungan Antara Bencana Dan Kesehatan Jiwa/Mental
Bencana atau disaster dapat berpengaruh terhadap aspek psikologis. Banyak korban bencana
yang kehilangan harta benda, tempat tinggal, bahkan sanak saudara. Tentunya tidak mudah untuk
menerima semua kerugian yang ada akibat bencana dengan lapang dada dan perasaan ikhlas. Beban
berat yang harus ditanggung oleh para korban bencana dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan jiwa/mental, terutama bagi orang-orang dengan kemampuan manajemen stress yang kurang
baik. Penting bagi kita, terutama calon tenaga kesehatan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
bencana terhadap aspek kesehatan jiwa/mental.
Jika dilihat dari sudut pandang korban penderita bencana maka ada 3 respon psikososial
terhadap bencana secara umum yang akan tercipta baik secara individu maupun komunitas.
Respon perilaku merupakan respon pertama yang tercipta dimana ini merupakan suatu respon
umum yang dirasakan oleh individu/komunitas yang tergambar dengan munculnya konflik,
ketidak percayaan, masalah pada pekerjaan, berkurangnya keintiman suatu hubungan
interpersonal, penarikan diri, mengasingkan diri, dll.
Respon yang kedua adalah timbulnya respon emosional/kognitif seperti terkejut, terpaku, tidak
percaya/menyangkal, kalut, putus asa, marah, cemas, merasa bersalah, kehilangan minat akan
kesenangan,dll.
Respon lainnya adalah respon psikologikal seperti mimpi buruk, konsentrasi buruk, sering
menyalahkan diri sendiri, bingung, disorientasi, tidak dapat mengambil keputusan,
kekhawatiran, dll.

Dari respon-respon diatas maka dapat diklasifikasikan beberapa fase dalam terjadinya masalah
kesehatan jiwa/mental pada bencana.
a. Predisaster
Fase sebelum bencana dimana digambarkan adanya peringatan-peringatan tentang ancaman
yang akan terjadi,
b. Impact / inventory
Fase saat terjadinya bencana itu sendiri dimana ketakutan dirasakan oleh mayoritas korban
bencana pada waktu yang sama. Emosi yang muncul berupa ketakutan, tidak berdaya, kehilangan,
dislokasi dan kemudian merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang lebih (fase
3

Manajemen Bencana
inventory) kemudian terjadi setelah bencana, dimana muncul gambaran awal kondisi individu dan
masyarakat.
c. Heroic
Fase inisial (heroic) yang berlangsung segera setelah mengalami bencana dimana para
korban menunjukkan perasaan terkumpul seperti tidak percaya (disbelit), terpaku, takut dan
bingung. Dimana semua reaksi itu merupakan respon normal terhadap peristiwa yang luar biasa dan
berlangsung dalam minggu pertama.

d. Disillusionment
Adanya fase krisis (disillusionment) yang berlangsung selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan setelah bencana. Pada fase adaptasi ini terjadi perasaan berubah-rubah antara
penyangkalan dengan gejala-gejala instuktif yang sdisertai keluhan, gejala-gejala somatik seperti
kelelahan, pusing, sakit kepala, mual, gangguan tidur, dan seringya mengalami mimpi buruk. Selain
itu penderita sering menunjukkan perilaku kemarahan, mudah tersinggung, putus asa, dan murung.

e. Recoil

Fase resolusi (recoil) yang berlangsung dalam satu tahun pertama dan ditandai dengan
perasaan sedih, rasa bersalah, dan dapat mengalami depresi. Kekecewaan dan kemarahan mudah
timbul apabila bantuan pertolongan atau pemulihan yang mereka harapkan tidak ada/tidak sesuai.

f. Reconstruction
Pada fase yang terakhir yakni fase rekonstruksi yang berlangsung 2-3 tahun setelah
peristiwa bencana terjadi. Secara bertahap penderita mulai pulih dari gejala-gejala psikologik dan
somatik dimana penderita mulai mau menerima dan memahamai makna peristiwa traumatic dan
mulai membangun kehidupan baru.

2.4 Dampak Bencana terhadap Kesehatan Jiwa Korban Bencana


Dari enam fase diatas terdapat pula penggolongan untuk dampak yang terjadi pada segi
kesehatan mental yaitu :

Mild Psychological Distresses atau Distres Psikologis Ringan

Manajemen Bencana
Terjadi kecemasan, panik berlebihan, dan terlalu waspada : terjadi natural recovery
dalam hitungan hari/minggu.

Moderate Psychological Distresses atau Distres Psikologis Sedang


Moderate psychological distresses atau distres psikologis sedang biasa ditandai dengan
Cemas menyeluruh, menarik diri, gangguan emosi yang butuh waktu penyembuhan yang lebih
lama dapat berkembang menjadi gangguan mental dan berpotensi ke tingkatan yang lebih lanjut
yakni severe psychological distresses atau gangguan tingkah laku dan mental yang berat

Severe Psychological Distresses atau Gangguan Tingkah Laku Dan Mental Yang Berat
Severe psychological distresses biasa ditandai dengan adanya Post Traumatic Syndrome
Distresses, depresi, phobia dan biasanya membutuhkan penanganan langsung dari jasa
pelayanan kesehatan jiwa yang lebih professional. Ketiga fase ini dapat diperburuk oleh 3 faktor
yakni proses kejadian saat trauma/bencana terjadi, kehilangan sesuatu baik itu materi maupun
anggota keluarga, dan kondisi lingkungan diamana para penderita berada setelah terjadinya
bencana itu sendiri.

Faktor yang berkontribusi adalah kejadian trauma dimana jika bencana yang terjadi secara
mendadak dan besar itu bias berakibat pada gangguan mental yang berat. Kehilangan semakin banyak
yang hilang makan akan semakin berat gangguan psikologis yang dialami. Keadaan lingkungan setelah
bencana juga mempunyai keterkaitan dalam gangguan psikologis.

2.5 Prinsip Penanganan Bencana dari Segi Kesehatan Jiwa


WHO telah menetapkan beberapa prinsip penanganan bencana dimulai dari:
Preparation before the emergency atau Persiapan sebelum emergency
Persiapan seperti system koordinasi di daerah bencana, rencana dalam menangani
keadaan gawat darurat, serta pelatihan ketrampilan bagi para relawan yang akan ke daerah
bencana.
Assessment

Manajemen Bencana
Persiapan dilakukan assessment menilai apa saja yang dibutuhkan. penilaian kualitatif
dan kuantitatif terhadap kebutuhan psikososial dan kesehatan mental
Collaborative efforts atau Upaya kolaboratif
Kolaborasi antara setiap bagian di daerah bencana
Integration into primary health care atau integrasi dalam Primary health care.
Access to service for all atau Akses pelayanan untuk semua
Pemberian bantuan yang dapat diakses oleh masyarakat secara merata jadi jangan hanya
di perkotaan.
Training and supervision atau Pelatihan dan pengawasan
Memberi pelatihan pada korban didaerah bencana agar dapat mempercepat pemulihan.
Long-term perspective atau Perspektif jangka panjang
Jadi dalam pemberian bantuan sebaiknya diperhitungkan waktu pemberian, sebaiknya
pemberian bantuan tidak hanya hanya pada saat kecadian bencana baru terjadi, namun secara
berkelanjutan sampai korban dapat pulih dari situasi pasca bencana.
Monitoring indicators atau Indikator pantauan
Kemudian dilanjutkan dengan adanya pengawasan dan pemikiran jangka panjang sesuai
dengan indicator-indikator monitoring yang baik dan sesuai.
Setelah persiapan dilakukan assessment menilai apa saja yang dibutuhkan. Kolaborasi
antara setiap bagian di daerah bencana.Pelayanan primer yang terintegrasi. Pemberian bantuan
yang dapat diakses oleh masyarakat secara merata jadi jangan hanya di perkotaan.Memberi
pelatihan pada korban didaerah bencana agar dapat mempercepat pemulihan.Pemberian bantuan
sebaiknya long term perspective.Langkah selanjutnya adalah monitoring indicators.

2.6 Penanganan Kesehatan Jiwa Korban Bencana

Pada bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat bencana
terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal dimana seseorang akan mengalami
kehilangan yang berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang.
Dalam memberikan intervensi untuk kesehatan jiwa pada penanggulangan bencana terdapat
fasefase seperti berikut, antara lain:

Manajemen Bencana
a. Fase Kedaruratan Akut
Selama Fase kedaruratan akut dianjurkan untuk melakukan intervensi sosial yang tidak
mengganggu kebutuhan akut, seperti pengadaan makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan
puskesmas dan mungkin penanggulangan penyakit menular.

Intervensi sosial dini yang berharga, mencakup :


1) menjamin dan menyebarkan arus informasi yang kredibel tentang;
a) kedaruratan;
b) upaya menjamin keselamatan fisik masyarakat;
c) informasi upaya bantuan; termasuk apa yang dilakukan oleh masingmasing organisasi
kemanusiaan dan dimana lokasinya;
d) keberadaan kerabat untuk mendorong penyatuan keluarga dan jika mungkin menyediakan
akses komunikasi dengan kerabat di tempat jauh.
Informasi harus disebarkan menurut prinsip komunikasi resiko: yaitu informasi
harus sederhana (dapat dimengerti oleh penduduk lokal diatas 12 tahun) dan empatik
(menunjukkan pemahaman akan situasi survivor bencana).
2) mengorganisasi pelacakan keluarga untuk anak yang sendirian, lansia dan kolompok rentan
lain;
3) memberikan pengarahan kepada petugas lapangan dari sektor kesehatan, distribusi pangan,
kesejahteraan sosial dan pendataan tentang halhal yang menyangkut berkabung, disorientasi
dan kebutuhan untuk partisipasi aktif;
4) mengorganisasi penampungan dengan tujuan agar anggota keluarga dan masyarakat tetap
berkumpul bersama;
5) berkonsultasi kepada masyarakat mengenai keputusan dimana akan ditempatkan sarana ibadah,
sekolah dan suplai air di penampungan. Menyediakan ruang untuk kegiatan agama, rekreasi dan
kebudayaan dalam desain kamp;
6) jika dimungkinkan, tidak dianjurkan untuk penguburan jenazah tanpa upacara demi
pengendalian penyakit menular. berlawanan dengan mitor, jenasah tidak atau sedikit berisiko
untuk penyakit menular. Mereka yang berkabung perlu untuk mengadakan upacara pemakaman
dan apabila jenazah tidak termutilasi atau membusuk juga untuk melihat jenazah untuk
mengucapkan selamat jalan. Sertifikat kematian perlu diadakan untuk mencegah adanya akibat
keuangan dan hukum yang tidak perlu dipihak kerabat;
7) mendorong kebali dilakukannya aktifitas budaya dan keagamaan yang normal (termasuk
upacara berkabung dalam kerja sama dengan praktisi spiritual dan agama);
7

Manajemen Bencana
8) mendorong aktifitas yang menfasilitasi masuknya yatimpiatu, janda-duda atau orang yang
sebatang kara kedalam jejaring social;
9) mendorong pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk anakanak. penyedia bantuan
harus berhatihati untuk tidak memberikan keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola,
mainan modern) yang dianggap mewah dalam konteks lokal sebelum kedaruratan;
10) mendorong dimulainya sekolah untuk anakanak, meskipun tidak penuh;
11) melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret, bertujuan dan diminati
bersama (misalnya membangun tempat penampungan, mengorganisasi pelacakan keluarga,
pembagian makanan, mengorganisasi vaksinasi, mengajar anakanak);
12) menyebarkan secara luas informasi yang sederhana, menenteramkan dan empatik tentang reaksi
stress normal kepada masyarakat luas, pertemuan dengan pers, siaran radio, poster dan
selebaran yang singkat dan tidak bersifat sensasional akan berguna untuk menenteramkan
masyarakat.

Intervensi psikologik dalam fase akut :


a) Membuat kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di area setempat.
Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keberbahayaan terhadap diri
sendiri atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania dan epilepsy) di Puskesmas tanpa melihat
apakah puskesmas tersebut dijalankan oleh pemerintah atau LSM. Menjaga ketersediaan obat
psikotropik esensial di Puskesmas. Banyak orang dengan keluhan psikiatrik yang mendesak
mempunyai gangguan psikiatrik yang sudah ada sebelumnya dan terputusnya medikasi harus
dihindari. Sebagai tambahan, sebagian orang mungkin mencari pengobatan karena masalah
kesehatan mental akibat terpapar stressor yang ekstrim. Kebanyakan masalah kesehatan mental
akut selama fase kedaruratan akut paling baik ditangani tanpa medikasi dengan mengikuti
prinsip pertolongan pertama psikologik (yaitu, mendengarkan, menyatakan keprihatinan,
menilai kebutuhan, menjaga terpenuhinya kebutuhan fisik dasar dan tidak memaksa berbicara,
menyediakan atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat, mendorong
tetapi tidak memaksakan dukungan social, melindungi dari cedera lebih lanjut
b) Dengan mengasumsikan adanya pekerja masyarakat relawan/non relawan, mengorganisasikan
dukungan emosional yang tidak bersifat intrusive dan menjangkau masyarakat dengan
menyediakan, jika perlu pertolongan pertama psikologik karena kemungkinan efek negative
tidak dianjurkan untuk mengadakan debriefing psikologik sesi tunggal (single session

Manajemen Bencana
psychological debriefing ) yang memaksa orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi
yang akan dilakukan secara alami.
c) Jika fase akut berkepanjangan, mulai pelatihan dan supervise pekerja Yankes Primer dan
pekerja kemasyarakatan.

b. Fase Rekonsiliasi
1. Berikut ini saran tentang aktivitas intervensi sosial :
a) Melanjutkan intervensi sosial yang relevan,
b) mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi
edukasi tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan mental. dilakukan tidak lebih
awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hatihati tentang
perbedaan psikopatologi dan distress psikologik normal, dengan menghindari sugesti
adanya psikopatologi yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa
stigma,
c) mendorong dilakukannya cara coping yang positif yang sudah ada sebelumnya.
informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah,
d) dengan berlalunya waktu, jika kemiskinan adalah masalah yang berlanjut, dorong upaya
pemulihan ekonomi. Contoh inisiatif semacam ini adalah :
(1) skema kredit mikro;
(2) aktifitas yang mendatangkan penghasilan jika pasar lebih menjanjikan sumber
penghasilan yang berkelanjutan.
2. Dalam hal intervensi psikologik selama fase rekonsolidasi, dianjurkan melakukan aktifitas
berikut :
a) mendidik pekerja kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru,
dll) dalam ketrampilan inti perawatan psikologik, seperti :
(1) pertolongan pertama psikologik;
(2) dukungan emosional;
(3) menyediakan informasi;
(4) penentraman yang simpatik;
(5) pengenalan masalah kesehatan mental utama. Untuk meningkatkan pemahaman dan
dukungan masyarakat dan untuk merujuk orang ke Puskesmas jika diperlukan.
b) melatih dan mensupervisi pekerja Pelayanan Kesehatan Primer dalam pengetahuan dan
ketrampilan dasar kesehatan mental, misalnya :

Manajemen Bencana
(1) pemberian medikasi psikotropik yang tepat;
(2) pertolongan pertama psikologi;
(3) konseling suportif;
(4) bekerja bersama keluarga;
(5) mencegah bunuh diri;
(6) penatalaksanaan keluhan somatic yang tak dapat dijelaskan;
(7) masalah penggunaan zat;
(8) rujukan.
Kurikulum inti yang dianjurkan adalah kesehatan mental pengungsi dari
WHO/UNHCRs(1996) [tersedia dalam bahasa Indonesia].
c) menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai
akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut;
d) melatih dan mensupervisi pekerja komunitas (misalnya pekerja bantuan, konselor) untuk
membantu Yankes Primer yang beban kerjanya berat. Pekerja komunitas dapat terdiri dari
relawan, para professional atau professional, tergantung keadaan. Pekerja komunitas
perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai ketrampilan inti :
o penilaian persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi,
pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan emosional, konseling
perkabungan (grief counseling).
o manajemen stress konseling pemecahan masalah
o memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan.
e) bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers) jika mungkin. dalam
beberapa keadaan dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran;
f) menfasilitasi terbentuknya kelompok dukungan tolong diri yang berbasis komunitas.
Fokus dari kelompok tolong diri ini biasanya berbagi pengalaman dan masalah, curah
pendapat untuk solusi atau cara yang lebih efektif untuk coping (termasuk caracara
tradisional), menimbulkan dukungan emosional timbal balik dan kadang kala
menimbulkan inisiatif di tingkat masyarakat.

Intervensi diatas dianjurkan untuk diterapkan bersamaan dengan prioritas pembangunan


mental yang berjalan yaitu :

10

Manajemen Bencana
a) bekerja kearah pembangunan atau penguatan rencana strategis ke arah yang mungkin
dilakukan bagi program kesehatan mental nasional. Tujuan jangka panjang adalah
mengurangi institusi psikiatri yang ada (asylum), memperkuat pelayanan psikiatrik di
puskesmas dan rumah sakit umum dan memperkuat perawatan komunitas dan keluarga
bagi orang dengan gangguan mental yang kronik dan parah;
b) bekerja kearah legislasi dan kebijakan kesehatan mental nasional yang relevan dan patut.
Tujuan jangka panjang adalah terbentuknya system kesehatan masyarakat yang
fungsional dengan kesehatan mental sebagai elemen inti;
c) intervensi masalah psikososial dini dilakukan bersama dengan tim lain yang terkait
dimulai setelah 48 jam kejadian bencana;
d) intervensi kesehatan jiwa :
menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keadaan yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania, epilepsi) di
pos kesehatan;
melaksanakan prinsip 'pertolongan pertama pada kelainan psikologik akut yaitu,
mendengarkan, menyatakan keprihatinan, menilai kebutuhan, tidak memaksa
berbicara, menyediakan atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang
dekat, melindungi dari cedera lebih lanjut;
tidak dianjurkan untuk memaksa orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi
yang akan dilakukan secara alami.

c. Fase Rekonsolidasi
1) Melanjutkan intervensi sosial yang relevan.
2) Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi
pendidikan tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan jiwa. Dilakukan tidak lebih
awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hatihati tentang
perbedaan psikopatologi dan distres psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya
psikopatologi yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma.
3) Mendorong dilakukannya cara coping mechanism yang positif yang sudah ada sebelumnya.
Informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah.
4) Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru
dll.) dalam ketrampilan inti perawatan psikologik (seperti pertolongan pertama psikologik,
dukungan emosional, menyediakan informasi, penenteraman yang simpatik, pengenalan

11

Manajemen Bencana
masalah kesehatan mental utama) untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan
masyarakat dan untuk merujuk orang ke puskesmas jika diperlukan.
5) Melatih dan mensupervisi petugas pelayanan kesehatan dasar dalam pengetahuan dan
ketrampilan dasar kesehatan jiwa (misalnya pemberian medikasi psikotropik yang tepat,
pertolongan pertama psikologi, konseling suportif, bekerja bersama keluarga, mencegah
bunuh diri, penatalaksanaan keluhan somatik yang tak dapat dijelaskan, masalah
penggunaan zat dan rujukan).
6) Menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai
akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut.
7) Melatih dan mensupervisi petugas masyarakat (misalnya petugas bantuan, konselor) untuk
membantu petugas Pelayanan kesehatan dasar yang beban kerjanya berat. Petugas
masyarakat dapat terdiri dari relawan, paraprofesional, atau profesional, tergantung
keadaan.
8) Petugas masyarakat perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai ketrampilan
inti: penilaian persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi,
pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan emosional, konseling
perkabungan (grief counseling), manajemen stres, 'konseling pemecahan masalah,
memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan.
9) Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers) jika mungkin. Dalam
beberapa keadaan, dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran.

Berikut langkahlangkah intervensi psikososial terhadap mereka yang terkena bencana :


a) Selama fase emergensi (3 minggu pertama),
b) menyediakan informasi yang sederhana dan mudah diakses pada daerah yang banyak
jenazah,
c) tidak mengecilkan arti dari upacara pengurusan jenazah,
d) menyediakan pencarian keluarga untuk yang tinggal sendiri, orang lanjut usia dan
kelompok rentan lainnya,
e) menganjurkan mereka membentuk kelompokkelompok seperti, keagamaan, ritual dan
sosio keagamaan lainnya,
f) menganjurkan anggota tim lapangan untuk secara akif berpartisipasi selama masa duka cita,
g) menganjurkan kegiatan bermain untuk anak,

12

Manajemen Bencana
h) memberikan informasi tentang reaksi psikologi normal yang terjadi setelah bencana.
Yakinkan mereka bahwa ini adalah NORMAL, SEMENTARA, dan DAPAT HILANG
DENGAN SENDIRINYA, dan SEMUA AKAN MERASAKAN HAL YANG SAMA,
i) tokoh agama, guru dan tokoh sosial lainnya harus terlibat secara aktif
j) menganjurkan mereka untuk bekerja bersamasama menjaga apa yang mereka butuhkan,
k) libatkan korban yang sehat dalam pekerjaan bantuan,
l) motivasi tokoh masyarakat and tokoh kunci lainnya untuk mengajak mereka dalam diskusi
kelompok dan berbagi tentang perasaan mereka,
m) jamin distribusi bantuan secara tepat,
n) sediakan layanan cara penyembuhan yang dengan orang dan memperlihatkan sikap
peduli terhadap setiap orang (misalnya, kelemahan atau minoritas) dari masyarakat.

Reaksi psikologis yang timbul pada masyarakat yang tertimpa bencana, antara lain:
a) Reaksi Segera ( dalam 24 Jam);
tegang, cemas dan panik;
kaget, linglung, syok, tidak percaya;
gelisah, bingung;
agitasi, menangis, menarik diri;
rasa bersalah pada korban yang selamat.
Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipertimbangkan
sebagai reaksi alamiah pada situasi abnormal, TIDAK membutuhkan intervensi psikologis
khusus.
b) Reaksi terjadi dalam hari sampai minggu setelah bencana;
ketakutan, waspada, siaga berlebihan;
mudah tersinggung, marah, tidak bisa tidur;
khawatir, sangat sedih;
Flashbacks berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam
pikiran);
Menangis, rasa bersalah;
Kesedihan;
Reaksi positif termasuk pikiran terhadap masa depan;
Menerima bencana sebagai suatu Takdir. Semua itu adalah reaksi alamiah Dan
HANYA membutuhkan intervensi psikososial.
c) Terjadi kirakira 3 minggu setelah bencana;
Reaksi yang sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti:
gelisah;
13

Manajemen Bencana
perasaan panik;
kesedihan yang mendalam dan berlanjut, pikiran pesimistik yang tidak realistik;
tidak melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku menarik diri;
ansietas atau kecemasan dengan manifestasi gejala fiisk seperti palpitasi, pusing,
mual, lelah, sakit kepala.
Reaksi ini TIDAK PERLU diperhitungkan sebagai gangguan jiwa. Gejala ini dapat diatasi
oleh tokoh masyarakat yang telah dilatih agar mampu memberikan intervensi psikologik
dasar.

Respons dari orangorang yang terkena bencana dibagi atas 3 kategori utama:
1) Respon psikologis normal, tidak membutuhkan intevensi khusus;
2) respon psikologis disebabkan distres atau disfungsi sesaat, membutuhkan bantuan
pertama psikososial (psychological first aid);
3) distress atau disfungsi berat yang membutuhkan bantuan profesi kesehatan jiwa.

2.7 Prinsip Dasar Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa Korban Bencana


Sebelum terjadi bencana, perencanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana dan respon terhadap
masalah kesehatan jiwa dan psikososial yang bersifat nasional, propinsi dan kabupaten/kota perlu
dipersiapkan untuk menghadapi bencana yang tidak tahu kapan akan terjadi. Semua pelayanan
kesehatan pada situasi bencana harus dapat menjamin terapi dan perawatan yang memiliki beberapa
prinsip pelayanan yang dapat diakses:
1. Responsif dan menjawab kebutuhan masyarakat pada situasi bencana.
Pelayanan kesehatan jiwa yang diberikan harus dapat menjawab berbagai kebutuhan
semua masyarakat yang terkena bencana yang secara sosio-kultural sensitif. Pelayanan
kesehatan ini harus siap melakukan tindakan yang cepat dengan diikuti pertimbangan cermat
dan akurat, sehingga intervensi dapat dilakukan secara tepat pula.
2. Pemerataan pelayanan bagi semua yang membutuhkan serta mudah diakses.
Tidak dianjurkan melakukan pelayanan kesehatan jiwa terpisah terhadap masyarakat
yang mengalami bencana. Akses terhadap pelayanan kesehatan jiwa sedapat mungkin disiapkan
untuk semua masyarakat dan tidak terbatas pada populasi yang terkena bencana saja.

14

Manajemen Bencana
Program penjangkauan (outreach) dan pelayanan kesehatan jiwa mobilitas merupakan
salah satu upaya yang dikembangkan untuk menjamin semua masyarakat yang terkena bencana
mendapatkan akses pada layanan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa.
Intervensi masalah kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan umum seperti puskesmas
merupakan faktor penting yang memungkinkan banyak orang mendapatkan akses ke pelayanan
kesehatan dengan cepat dan mudah. Oleh karena itu integrasi pelayanan kesehatan jiwa
kedalam pelayanan kesehatan di puskesmas perlu menjadi program prioritas.
3. Intervensi berbasis bukti (Evidence-based intervention)
Intervensi yang diberikan harus berbasis bukti (evidence-based) dan hasil (outcome)
yang dapat terukur. Pelayanan dukungan psikosial dan kesehatan jiwa diarahkan untuk tidak
menyatakan upaya yang diberikan dapat menyembuhkan trauma hanya dengan aktivitas
singkat seperti konseling, trauma konseling atau berbagai istilah penyembuhan trauma
Pelayanan harus dapat memfokuskan pada daya pulih (resilience) dan coping serta tidak
memusatkan perhatian hanya pada penanganan kasus trauma saja tapi juga pada masalah terkait
stres. Karena itu menciptakan pelayanan khusus untuk trauma (trauma center) yang terpisah
dari pelayanan kesehatan yang ada sangat tidak dianjurkan.
Tenaga profesional kesehatan jiwa seperti psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja
sosial perlu dilatih dalam teknis klinis untuk pemulihan yang sudah terbukti efektif misalnya
Cognitive Behavior Therapy (CBT), Eye Movement Decensitization and Reprocessing.(EMDR)
dan lain-lain.
4. Multidisplin
Pelayanan harus dilaksanakan oleh tenaga profesional yang multidisiplin (perawat jiwa,
psikolog, psikiater, pekerja sosial) dengan memiliki kualifikasi pengetahuan dan keterampilan
yang sesuai untuk memberikan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial yang akan disediakan.
Anggota masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, kader
dapat dibekali keterampilan bagaimana menyediakan dukungan psikologis dasar (basic
psychological support) termasuk untuk mengidentifikasi masalah yang berat dan merujuknya
pada tenaga profesional kesehatan jiwa.
5. Menjaga dan menghormati hak asasi manusia

15

Manajemen Bencana
Semua upaya pelayanan kesehatan jiwa dan dukungan psikososial yang diberikan pada
situasi bencana harus dapat menjamin terjaganya dan dihormatinya hak azasi manusia.
Pelayanan kesehatan jiwa diarahkan tanpa membedakan suku, golongan, agama dan status
sosial ekonomi, melainkan semata-mata untuk menjadikan masyarakat akibat bencana dapat
kembali pada kehidupan normal.
6. Komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan
Pelayanan kesehatan jiwa diberikan secara komprehensif, terpadu dan
berkesinambungan mulai dari prabencana, saat bencana dan pasca bencana

16

Manajemen Bencana
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Bencana atau disaster yang terjadi dapat berpengaruh terhadap aspek psikologis. Banyak
korban bencana yang kehilangan harta benda, tempat tinggal, bahkan sanak saudara. Beban berat
yang harus ditanggung oleh para korban bencana dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan jiwa/mental, terutama bagi orang-orang dengan kemampuan manajemen stress yang
kurang baik. Penting bagi kita, terutama calon tenaga kesehatan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh bencana terhadap aspek kesehatan jiwa/mental.
Jika dilihat dari sudut pandang korban penderita bencana maka ada 3 respon psikososial
terhadap bencana secara umum yaitu respon perilaku, emosional, dan psikologikal yang akhirnya
akan menimbulkan dampak terhadap kesehatan jiwa meliputi distres psikologis ringan, sedang, dan
gangguan tingkah laku dan mental yang berat.
Untuk menangani dampak tersebut, WHO telah menetapkan beberapa prinsip penanganan
bencana diantaranya, Persiapan sebelum emergency, Assessment, Upaya kolaboratif,
Integrasi dalam primary health care, Akses pelayanan untuk semua, Pelatihan dan
pengawasan, Perspektif jangka panjang dan Indikator pantauan (monitoring indicator).
Selain itu, upaya intervensi sosial serta intervensi psikologis dan psikiatri juga digunakan
untuk penanganan kesehatan jiwa terhadap korban bencana.
Prinsip dasar upaya kesehatan jiwa korban bencana meliputi : Responsif dan
menjawab kebutuhan masyarakat pada situasi bencana, Pemerataan pelayanan bagi
semua yang membutuhkan serta mudah diakses, Intervensi berbasis bukti (Evidence-
based intervention), Multidisplin, Menjaga dan menghormati hak azasi manusia,
Komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan.

3.2 Saran
Agar pelayanan kesehatan jiwa dapat berlangsung secara optimal, seharusnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan khusus untuk penerapan dan prinsip dasar upaya pelayanan kesehatan jiwa
agar dapat menanggulangi gangguan kesehatan jiwa yang dialami oleh korban bencana.

17

Manajemen Bencana
Untuk kita sebagai calon tenaga kesehatan yang melayani kesehatan masyarakat khususnya
pelayanan dan penanganan kesehatan jiwa korban bencana harus dengan sungguh-sungguh menerapkan
ilmu yang telah dimiliki dalam memberikan pertolongan pada korban-korban bencana alam sehingga
dapat mnegurangi resiko terjadinya gangguan mental/jiwa yang terjadi akibat bencana.

18

Manajemen Bencana

Anda mungkin juga menyukai