Jensen BK, Vendsborg P, Hjorthoj C, Nordentoft M. Attitudes towards people with depression
and schizophrenia among social service workers in Denmark. Nordic Journal of Psychiatry.
2016.
ABSTRAK
Latar Belakang
Stigma tentang kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan publik yang besar dan merupakan
Tujuan
Untuk menguji sikap terhadap penyakit jiwa diantara pegawai pada layanan sosial
Metode
Desain penelitian merupakan bagian dari percobaan acak besar (large randomized trial) dan data
yang disajikan dalam penelitian ini adalah data dasar dari percobaan. Responden melengkapi
Hasil
Perbedaan yang signifikan telah menemukan sikap pribadi pegawai terhadap pasien depresi dan
skizofrenia. Perbedaan signifikan yang sama juga ditemukan pada sikap yang dipersepsikan
pegawai. Dan perbedaan yang signifikan antara sikap pribadi pegawai dan sikap yang
dipersepsikan pegawai juga ditemukan. Perbedaan yang signifikan menemukan antara responden
yang menginginkan jarak sosial pada semua kasus depresi dan skizofrenia, kecuali memiliki
Pegawai pada layanan sosial sebanding dengan khalayak ramai tentang sikap terhadap penyakit
jiwa.
Implikasi
Hasil ini menunjukan bahwa pegawai pada layanan sosial memiliki manfaat yang besar untuk
menambah ilmu tentang penyakit jiwa dan jalur untuk mengenali penyakit jiwa, untuk membantu
dan mengurangi kekosongan terapi pada pasien yang menderita kesehatan jiwa.
Kata kunci
LATAR BELAKANG
Stigma yang berhubungan dengan penyakit jiwa merupakan masalah publik utama. Pada
penelitian yang baru diterbitkan memperkirakan bahwa selama hidup, kira-kira sebanyak satu
pertiga populasi Danish menerima terapi untuk gangguan mental. Jumlah yang relatif tinggi
menunjukan bahwa kelompok orang ini berjuang untuk melawan gejala penyakit jiwa. Namun,
hal ini bukan hanya perjuangan kelompok orang tersebut untuk melawannya. Perjuangan lain
yaitu melawan kesalahpahaman dan kecurigaan terhadap beragam jenis kesehatan jiwa yang
Pengalaman stigmatisasi dan diskriminasi memiliki banyak dampak negatif pada orang
yang menderita penyakit jiwa. Stigma dilihat sebagai salah satu hambatan kesuksesan terapi,
khalayak ramai, maupun tinjauan professional dalam berhubungan dengan orang yang menderita
penyakit jiwa seperti staf perawatan kesehatan jiwa dan dokter jiwa. Penelitian Danish pada
sikap public terhadap orang dengan penyakit jiwa menunjukan stigmatisasi pada orang dengan
penyakit jiwa sangat jelas bila dibandingkan dengan penyakit fisik. Hanya 1% yang ditemukan
lebih menerima menderita penyakit jiwa sedangkan 81% lebih menerima jmenderita penyakit
fisik. Sebagai tambahan, hampir setengah responden mencoba untuk bersembunyi jika mereka
menderita penyakit jiwa. Penelitian tentang sikap professional kesehatan jiwa telah menunjukan
bahwa kepercayaan dari penyedia kesehatan jiwa dalam banyak hal tidak berbeda dengan
masyarakat umum. Penelitian British menunjukan bahwa orang dengan penyakit jiwa merasakan
dipermalukan dan dihukum jika berhubungan dengan pelayanan di tempat umum, bukan hanya
Pada penelitian ini kami melacak sikap pegawai pada layanan sosial publik di Denmark
terhadap orang yang menderita penyakit jiwa. Diantara orang yang menderita penyakit jiwa,
terapi awal seringkali ditunda selama beberapa tahun. Penelitian menunjukan bahwa pegawai
pada layanan sosial dapat menjadi titik pertama kontak dan dapat menjadi titik masuk untuk
orang yang menderita penyakit jiwa agar mendapatkan pertolongan yang tepat. Selanjutnya,
penelitian ini akan menyajikan pengetahuan kesehatan jiwa dan stigma dengan melibatkan
kelompok orang yang merupakan pusat terhadap orang yang menderita penyakit jiwa dan
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melacak sikap pekerja pada layanan sosial Danish
terhadap penyakit jiwa. Sikap ini dilacak melalui dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan
pertama yaitu untuk menilai sikap pribadi responden dan bagaimana perasaan sikap terhadap
penyakit jiwa. Kedua, tujuannya yaitu untuk menilai keinginan responden untuk jarak sosial
terhadap orang yang menderita penyakit jiwa maupun perbedaan sikap antara penyakit yang
berbeda-beda dan untuk menganalisis sikap mana yang lazim pada kelompok orang ini.
Sikap antara pegawai dijelaskan berdasarkan data dari kuesioner elektronik. Kuesioner
merupakan bagian dari percobaan acak kontrol yang menilai dampak pelatihan pertolongan
pertama penyakit jiwa di Denmark. Data yang disajikan pada artikel ini merupakan data dasar
dan tujuannya untuk menilai sikap peserta, yang fokus pada bagian kuesioner yang mengandung
Kuesioner telah dijawab oleh 363 orang yang diikut-sertakan melalui tempat kerjanya.
Responden datang dari lima kotamadya berbeda di Denmark. Mereka bekerja di pusat kerja,
pusat rehabilitasi, perawat rumah dan institusi berbeda pada kotamadya namun tidak
dikhususkan untuk melayani orang dengan masalah kesehatan jiwa. Kuesioner dibuat secara
elektronik dan didistribusi melalui program kuesioner perangkat halus SurveyXact. Responden
dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok fokus pada kasus depresi dan kelompok lainnya
pada kasus skizofrenia. Peserta secara bergantian dibagi menjadi dua kelompok dan divisinya
dilakukan secara acak. Tautan kuesioner elektronik dikirim melalui email. Pengingat untuk
umur, derajat pendidikan, asal negara dan bahasa. Kemudian responden ditanyakan tentang
pengalaman tentang masalah kesehatan jiwa, apakah dalam keluarga terdapat seseorang yang
memiliki pengalaman masalah kesehatan jiwa, apakah dia merupakan seorang yang professional
dalam bidang kesehatan atau sosial, dan apakah dia selama 6 bulan terakhir memiliki hubungan
dengan pasien jiwa. Selanjutnya, skema ini menjelaskan tentang kasus depresi atau skizofrenia
disajikan pada responden. Sesudah itu diikuti dengan skala jarak sosial untuk menilai sikap
stigmatisasi. Kami menggunakan konsep jarak sosial tentang kemauan pasien untuk berinteraksi
dalam kedekatan yang berbeda dengan orang pasien jiwa. Pertanyaan berdasarkan deskripsi
skema. Skala ini menilai kemauan responden untuk: pindah ke sebelah untuk menjelaskan
kerja sendiri dan mengizinkan orang tersebut menikah dengan keluarga responden. Penilaian ini
dijawab dengan tiga skala kategori: tidak menginginkan sama sekali, tidak ingin dan ingin. Skala
jarak sosial diikuti dengan skala stigma perasaan dan skala pribadi (Personal and Perceived
Stigma Scale). Skala pribadi dan skala stigma perasaan terdiri atas 18 pertanyaan. Sembilan
pertanyaan menanyakan tentang responden mengukur seberapa kuat secara pribadi mendukung
pernyataan mengenai depresi atau skizofrenia yang disajikan pada skema. Sembilan pertanyaan
lainnya menanyakan hal yang sama, sekarang berfokus pada bagaimana responden merasakan
sikap orang yang lainnya. Dengan demikian, pada skala pertama responden ditanyakan tentang
status sejauh mana dirimu sendiri dan pada skala kedua tentang apa pendapatmu tentang
yang orang lain sedang pikirkan. Penilaian sikap pribadi dan sikap perasaan dijawab dnegan 5
skala kategori: sangat setuju, setuju, cukup, kurang setuju dan tidak setuju.
Metode Statistik
Pada analisis skala kategori dipadukan dengan kategori setuju dan tidak setuju. Analisis
kasus depresi dan kasus skizofrenia dengan keiginginan jarak sosial maupun karakteristik
dikerjakan dengan menggunakan analisis deskriptif. Hubungan antara data demografik dan
keinginan jarak sosial dikerjakan dengan analisis deskriptif juga. Perbedaan sikap terhadap orang
yang menderita depresi dan skizofrenia dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square.
Perbedaan antara sikap pribadi dan sikap perasaan terhadap hubungannya dengan kasus depresi
dan skizofrenia dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square. Perbedaan antara keinginan jarak
sosial pada depresi dan skizofrenia dianalisis menggunakan uji Chi-square. Data dianalisis
HASIL
Tabel 1 menunjukan hasil tentang sikap pribadi dan sikap perasaan pasien depresi dan
skizofrenia. Sikap perasaan merujuk pada apa pendapat responden tentang pemikiran orang lain.
Hasil menunjukan perbedaan yang signifikan pada sikap pribadi terhadap depresi dan skizofrenia
dalam banyak kasus. Kami menemukan sikap pribadi terhadap pasien depresi secara signifikan
lebih positif daripada sikap perasaan terhadap pasien skizofrenia, kecuali pada dua kasus, jika X
ingin keluar dari sini dan bukan penyakit medis yang sebenarnnya, dimana sikap terhadap
pasien skizofrenia secara signifikan lebih positif. Mengenai sikap perasaa memiliki hasil yang
sama, kecuali pada kasus bukan penyakit medis yang sebenarnya dan hindari X agar tidak
mengembangkan masalah X sendiri, kami menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara depresi dan skizofrenia. Hasil pada table 1 menunjukan kecurigaan terhadap pasien jiwa
bervariasi tergantung penyakitnya. Diantara sikap pribadi negatif terhadap pasien jiwa, satu dari
banyak prevalensi nampaknya tidak dapat diprediksi. Hal ini khusunya pada sikap terhadap
pasien skizofrenia (49,4%) bila dibandingkan dengan pasien depresi (11,9%) (nilai p = 0,000).
Jarang ditemukan pasien jiwa menjadi bahaya namun dalam penelitian ini sulit diprediksi. Pada
kuesioner sebanyak 20% setuju bahwa pasien skizofrenia berbahaya dibandingkan hanya 1,2%
pada kasus depresi (nilai p = 0,000). Mengenai depresi, sebanyak 110 (63,9%) responden
berpikir bahwa pasien ini dapat menjadi lebih baik jika mereka menginginkannya, sedangka
sebanyak 60 (31,6%) responden menunjukan kecurigaan yang sama terhadap pasien skizofrenia
(nilai p = 0,000). Pada Sembilan pertanyaan yang diukur menemukan bahwa sikap perasaan
responden terhadap pasien jiwa secara signifikan lebih negatif daripada sikap pribadi. Sebagai
contoh, kami menemukan perbedaan yang signifikan (nilai p = 0,000) terhadap depresi dan
kecenderungan untuk mengaitkannya dnegan tanda kelemahan pribadi antara sikap pribadi dan
sikap perasaan.
pada kasus depresi dan skizofrenia. Persentase menunjukan respon yang dihimpun pada kategori
kurang suka dan tidak suka pada responden, sebanyak 101 (58,7%) tidak ingin untuk
memberikan pekerjaan pada pasien depresi di tempat kerjanya, sedangkan sebanyak 72 (41,9)
responden tidak ingin pasien depresi menikah dengan keluarganya. Selanjutnya, gambar
menunjukan sebanyak 145 (76,3%) responden tidak ingin pasien skizofrenia menikah dengan
keluarganya dan 113 (59,5%) responden tidak ingin untuk memberikan pekerjaan pada pasien
skizofrenia di tempat kerjanya. Sebanyak 75 (39,5%) responden tidak ingin untuk pindah ke
sebelah dan sebanyak 78 (41,1%) responden tidak ingin berteman dengan pasien skizofrenia.
Sehubungan dengan depresi, sebanyak 21 (12,2%) responden tidak ingin pindah ke sebelah
sedangkan sebanyak 40 (23,3%) tidak ingin berteman dengan pasien depresi. Kami menemukan
perbedaan yang signifikan antara responden yang menginginkan jarak sosial terhadap pasien
depresi dan skizofrenia, kecuali untuk memberikan pekerjaan di tempat kerja sendiri (nilai p =
0,280). Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara karakteristik demografi (usia,
lahir di Denmark, bahasa, pendidikan, memiliki hubungan dengan pasien jiwa minimal 6 bulan,
berhubungan dengan masalah penyakit jiwa, masalah kesehatan jiwa pribadi) dan keinginan
jarak sosial. Akan tetapi, perbedaan yang besar pada persentasi keinginan untuk memberikan
pekerjaan di tempat kerja sendiri yang berhubungan dengan jenis kelamin. Dalam penelitian
sebanyak 91 wanita (61,9%) tidak ingin memberikan pekerjaan pada pasien depresi di tempat
kerjanya, sedangkan sebanyak 10 pria (40%) tidak ingin memberikan pekerjaan. Kami tidak
menemukan perbedaan yang sama antara jenis kelamin tentang keinginan jarak sosial pada kasus
skizofrenia.
Pada tabel 2, data latar belakang pada responden tekah ditunjukan. Angka responden
sebanyak 363, 191 menderita skizofrenia dan 172 kasus menderita depresi. Kebanyakan
responden merupakan wanita berusia 40an tahun dengan pendidikan tinggi. Mereka lahir di
Denmark dan menganggap bahasa Denmark sebagai bahasa mereka. Sebanyak 83% responden
memiliki hubungan dengan pasien jiwa selama minimal 6 bulan. Diantara responden sebanyak
212 (58,4%) memiliki seseorang dalam keluarga yang menderita masalah kesehatan jiwa,
sedangkan sebanyak 76 (20,9%) responden dilaporkan memiliki masalah kesehatan jiwa pribadi.
PEMBAHASAN
Kami menemukan bahwa sikap pribadi pekerja sosial secara signifikan lebih positif
daripada sikap perasaan yang dimiliki orang lain. Bila dibandingkan hasil dengan populasi yang
terdiri dari khalayak ramai, laporan sikap pribadi pada penelitian ini tidak berbeda. Sebagai
contoh, pada penelitian Danish pada sikap terhadap kesehatan jiwa diantara publik, peneliti
menemukan terdapat hirarki penyakit jiwa pada masyarakat Danish secara signifikan, dimana
skizofrenia merupakan penyakit yang paling distigmatisasi. Selanjutnya, hasil tidak berbeda pada
sikap professional kesehatan jiwa. Akan tetapi, tingkat toleransi yang dilaporkan sendiri pada
populasi ini mungkin akan ditanyakan jika dilihat dari hasil antara sikap perasaan dan sikap
pribadi. Kami menemukan perbedaan yang signifikan antara sikap pribadi dan sikap perasaan
dimana sikap pribadi secara keseluruhan selalu lebih positif. Perbedaan sikap dapat menjadi
subyek proyeksi hipotesa, yang berasumsi bahwa responden percaya orang berpikiran yang sama
seperti yang mereka lakukan. Dengan demikian, sikap negatif yang dilaporkan dapat
mengindikasikan aspek kebenaran politik yang muncul dalam sikap pribadi yang dilaporkan.
Lagipula, untuk menunjukan harapan akan sikap negatif diantara orang lain dapat membuat
responden lebih mampu menunjukan sikap negatif yang sama di situasi lain karena responden
Kami menemukan bahwa, diantara responden dengan sikap pribadi negatif terhadap
pasien jiwa, salah satu yang paling umum tampaknya tidak dapat diprediksi. Hal ini terutama
berlaku untuk pasien skizofrenia (49,4%) dibandingkan dengan pasien depresi (11,9%). Jarang
pasien jiwa menjadi berbahaya, namun dalam penelitian ini tidak dapat diprediksi: 20% setuju
bahwa pasien skizofrenia berbahaya, bila dibandingkan dengan pasien depresi hanya 1,2%.
Sebagai perbandingan, kami menemukan sikap pekerja sosial negatif misalnya sikap mahasiswa
kedokteran. Telah dilaporkan sebanyak 78% mahasiswa kedokteran dan mahasiswa keperawatan
menganggap bahwa pasien skizofrenia berbahaya dan melakukan kekerasan. Pertanyaan umum
dalam kuesioner yang ditujukan untuk masyarakat umum yaitu apakah mereka akan terbuka atau
menyingkapkan jika mereka sendiri yang menderita penyakit jiwa. Pada penelitian ini hanya
7,5% yang tidak akan berkata kepada siapapun jika menderita depresi dan sebanyak 12,6% yang
tidak akan berkata kepada siapapun jika menderita skizofrenia. Bila dibandingkan dengan
penelitian lainnya, angka tersebut tampak agak rendah. Beberapa penelitian menemukan
sebanyak 25% menyingkapkan informasi ini pada teman dan keluarga, dan sekitar setengan tidak
Kami menemukan bahwa responden yang menginginkan jarak sosial lebih tinggi pada
skizofrenia bila dibandingkan dengan depresi, dan sikap responden pada umumnya lebih positif
terhadap pasien depresi bila dibandingkan dengan skizofrenia. Hasil yang sama menemukan
ditemukan pada penelitian sebelumnya diantara professional kesehtan jiwa dan masyarakat
umum. Akan tetapi, kami menemukan beberapa jenis ekspresi kecurigaan berdasarkan
medis sebenarnya (3,7% tidak), 12,2% tidak menghitung depresi sebagai penyakit medis
sebenarnya. Lagipula sebanyak 63,9% responden setuju bahwa pasien depresi dapat keluar jika
mereka mau, sedangkan angka kaasus skizofrenia lebih rendah (31,6%). Tidak mengenali depresi
sebagai penyakit adalah stigmatisasi. Penelitian menunjukan bahwa, jika penyakit jiwa dikenali,
keinginan untuk ke dokter jiwa meningkat. Kegagalan mengenali masalah pribadi sebagai
untuk melakukan diskriminasi dalam kaitan dengan peluang kerja dan hubungan kerja.
Kecenderungan ini muncul dalam penelitian lain dimana masyarakat bekerja dengan orang
penyakit jiwa. Pada penelitian di Swedia tentang sikap professional kesehatan mental terhadap
pasien jiwa, sebanyak 75,6% pelamar lulus bekerja daripada pelamar tanpa penyakit jiwa. Dalam
penelitian kami, hal tersebut sangat mengejutkan bahwa responden lebih enggan untuk
memberikan pekerjaan pada pasien depresi (58,7%) daripada mereka yang menikah dengan
keluarganya (41,%). Hal ini diluar dugaan, karena hubungan skala jarak sosial secara bertahap
lebih mendalam dan diharapkan tidak diinginkan. Dengan demikian, hasil ini mengindikasikan
bahwa hubungan ditempat kerja lebih sensitif dalam beberapa hal daripada dengan hubungan
pribadi. Hal ini dapat berarti bawa pasien jiwa menemukan hambatan ketika mengakses lapangan
pekerjaan. Lagipula hasil ini dapat mengindikasikan tempat kerja berarti bagi pekerja sosial dan
dapat dilihat sebagai lapangan pekerjaan dimana perhatian negatif dapat membahayakan
Ketika menganalisis data latar belakang, kami menemukan dalam penelitian inni kejadian
wanita lebih tinggi dan tingginya hubungan dengan pasien jiwa yang sebenarnya tidak
mengejutkan peserta yang direkrut melalui tempat kerjanya (sektor layanan sosial). Angka
responden dengan masalah kesehatan jiwa tampaknya agak tinggi (58,4%). Akan tetapi,
hubungan dengan penelitian terbaru menunjukan prevalensi pasien jiwa telah diobati oleh dokter
jiwa selama hidupnya lebih tinggi sekitar 37% pada wanita dan 32% pada pria, hal ini
merupakan angka yang agak realistis. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan antara
data latar belakang (umur, asal tempat, bahasa, pendidikan atau riwayat penyakit jiwa dalam
keluarga) dan keinginan jarak sosial, seperti yang ditemukan pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Hal ini mengejutkan bahwa tidak ada perbedaan yang ditemukan antara peserta
dengan atau tanpa kontak dan pengetahuan terhadap penyakit jiwa. Hal ini karena faktanya
hampir semua peserta dalam pekerjaannya memiliki hubungan tertutup dengan pasien jiwa. Hasil
kami menunjukan, bahwa wanita lebih enggan memberikan pekerjaan untuk pasien jiwa di
tempat kerjanya daripada pria. Hal ini berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang
kemungkinan pekerjaan dan sikap yang ditunjukan oleh responden dan dapat menjelaskan
tekanan perempuan terhadap pekerjaan mereka yang dapat menjadi alasan mengapa mereka
Menjadi bagian percobaan klinis acak yang besar dengan populasi terpilih dapat menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini. Seringkali populasi pada percobaan klinis menjadi kelompok
terpilih yang kuat. Akan tetapi, hasil dibadingkan dengan populasi umum dan dengan
professional lainnya yang bekerja dengan pasien jiwa. Dengan demikian, bias tidak terlihat
dalam penelitian ini. lagipula, direkrut melalui pekerjaannya terhadap intervensi tersebut dapat
Kekuatan adalah bahwa data latar belakang tentang pengalaman pribadi dengan penyakit
jiwa dalam penelitian ini tidak menyimpang dari masyarakat umum dan oleh karena itu
Akan tetapi, distribusi jenis kelamin dalam penelitian ini yang terdiri dari 306 wanita
(84,3%) dan 57 pria (15,7%) merupakan keterbatasan. Penyebaran jenis kelamin yang lebih adil
diinginkan. Namun, populasi dipilih dari keterikatan pada daerah tertentu di pasar tenaga kerja,
KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melacak sikap pekerja sosial terhadap penyakit jiwa.
Penelitian tentang sikap stigmatisasi diantara populasi pekerja sosial, sejak populasi ini menjadi
titik pertama kontak untuk pasien dengan masalah kesehatan jiwa kedalam terapi dan pemulihan.
Dengan demikian, pengetahuan mengenai sikap terhadap penyakit jiwa dan orang yang
menderitanya diantara pegawai layanan sosial berkumpul untuk penelitian ini dan penting untuk
pemahaman kami selanjutnya tentang kenapa pasien jiwa menjadi ragu-ragu dalam mencari
bantuan kesehatan jiwa mereka. Sebagaimana telah ditunjukan dalam penelitian ini, pegawai
layanan sosial sering gagal mengenali masalah pribadi sebagai penyakit medis yang sebenarnya,
Kami telah menunjukan bahwa pegawai layanan sosial memegang sikap negatif terhadap
kemungkinan pasien jiwa untuk mendapatkan pekerjaan. Sikap ini akhirnya tercermin dalam
pendekatan pekerja sosial untuk pekerjaan mereka sendiri. Dengan demikian, hasil dari
penelitian ini mengindikasikan bahwa sikap pegawai layanan sosial dapat mengurangi ambisi
Lebih lanjut, hasil kami menunjukan bahwa wanita lebih memegang sikap negatif dari
pada pria dalam mendapatkan pekerjaan pada pasien jiwa. Hal ini merupakan konsekuensi yang
Temuan ini mengindikasikan pegawai layanan sosial memiliki manfaat yang besar dalam
menambah pengetahuan tentang penyakit jiwa dan mengenali penyakit jiwa, agar bisa
menawarkan bantuan yang tepat dan mengurangi kesenjangan pengobatan terhadap pasien jiwa.
Sebagai tambahan, hubungan dengan penelitian baru-baru ini, hal ini dapat menarik
perhatian di waktu mendatang untuk meneliti tentang pasien yang menderita penyakit jiwa
menerima bantuan buruk oleh penyedia bantuan yang memiliki sikap negatif dan bila
memungkinkan untuk menghindari hal ini dengan pelatihan dan pendidikan lebih lanjut dari
penyedia bantuan.