Anda di halaman 1dari 14

SIKAP TERHADAP ORANG YANG MENDERITA DEPRESI DAN SKIZOFRENIA

PADA KALANGAN PEKERJA SOSIAL DI DENMARK

Jensen BK, Vendsborg P, Hjorthoj C, Nordentoft M. Attitudes towards people with depression

and schizophrenia among social service workers in Denmark. Nordic Journal of Psychiatry.

2016.

ABSTRAK

Latar Belakang

Stigma tentang kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan publik yang besar dan merupakan

hambatan kemungkinan kesuksesan terapi, penyembuhan dan reintegrasi.

Tujuan

Untuk menguji sikap terhadap penyakit jiwa diantara pegawai pada layanan sosial

Metode

Desain penelitian merupakan bagian dari percobaan acak besar (large randomized trial) dan data

yang disajikan dalam penelitian ini adalah data dasar dari percobaan. Responden melengkapi

kuesioner dasar untuk menilai sikap responden.

Hasil

Perbedaan yang signifikan telah menemukan sikap pribadi pegawai terhadap pasien depresi dan

skizofrenia. Perbedaan signifikan yang sama juga ditemukan pada sikap yang dipersepsikan

pegawai. Dan perbedaan yang signifikan antara sikap pribadi pegawai dan sikap yang

dipersepsikan pegawai juga ditemukan. Perbedaan yang signifikan menemukan antara responden

yang menginginkan jarak sosial pada semua kasus depresi dan skizofrenia, kecuali memiliki

kemauan untuk berada di satu tempat bekerja.


Kesimpulan

Pegawai pada layanan sosial sebanding dengan khalayak ramai tentang sikap terhadap penyakit

jiwa.

Implikasi

Hasil ini menunjukan bahwa pegawai pada layanan sosial memiliki manfaat yang besar untuk

menambah ilmu tentang penyakit jiwa dan jalur untuk mengenali penyakit jiwa, untuk membantu

dan mengurangi kekosongan terapi pada pasien yang menderita kesehatan jiwa.

Kata kunci

Depresi, kesehatan jiwa, skizofrenia, pekerja sosial, stigma.

LATAR BELAKANG

Stigma yang berhubungan dengan penyakit jiwa merupakan masalah publik utama. Pada

penelitian yang baru diterbitkan memperkirakan bahwa selama hidup, kira-kira sebanyak satu

pertiga populasi Danish menerima terapi untuk gangguan mental. Jumlah yang relatif tinggi

menunjukan bahwa kelompok orang ini berjuang untuk melawan gejala penyakit jiwa. Namun,

hal ini bukan hanya perjuangan kelompok orang tersebut untuk melawannya. Perjuangan lain

yaitu melawan kesalahpahaman dan kecurigaan terhadap beragam jenis kesehatan jiwa yang

berakhir dengan stigma.

Pengalaman stigmatisasi dan diskriminasi memiliki banyak dampak negatif pada orang

yang menderita penyakit jiwa. Stigma dilihat sebagai salah satu hambatan kesuksesan terapi,

rehabilitasi dan mengembalikan orang dengan penyakit jiwa kedalam masyarakat.


Bagian besar penelitian sikap terhadap penyakit jiwa fokus pada sikap dan kepercayaan

khalayak ramai, maupun tinjauan professional dalam berhubungan dengan orang yang menderita

penyakit jiwa seperti staf perawatan kesehatan jiwa dan dokter jiwa. Penelitian Danish pada

sikap public terhadap orang dengan penyakit jiwa menunjukan stigmatisasi pada orang dengan

penyakit jiwa sangat jelas bila dibandingkan dengan penyakit fisik. Hanya 1% yang ditemukan

lebih menerima menderita penyakit jiwa sedangkan 81% lebih menerima jmenderita penyakit

fisik. Sebagai tambahan, hampir setengah responden mencoba untuk bersembunyi jika mereka

menderita penyakit jiwa. Penelitian tentang sikap professional kesehatan jiwa telah menunjukan

bahwa kepercayaan dari penyedia kesehatan jiwa dalam banyak hal tidak berbeda dengan

masyarakat umum. Penelitian British menunjukan bahwa orang dengan penyakit jiwa merasakan

dipermalukan dan dihukum jika berhubungan dengan pelayanan di tempat umum, bukan hanya

oleh staf kesehatan jiwa.

Pada penelitian ini kami melacak sikap pegawai pada layanan sosial publik di Denmark

terhadap orang yang menderita penyakit jiwa. Diantara orang yang menderita penyakit jiwa,

terapi awal seringkali ditunda selama beberapa tahun. Penelitian menunjukan bahwa pegawai

pada layanan sosial dapat menjadi titik pertama kontak dan dapat menjadi titik masuk untuk

orang yang menderita penyakit jiwa agar mendapatkan pertolongan yang tepat. Selanjutnya,

penelitian ini akan menyajikan pengetahuan kesehatan jiwa dan stigma dengan melibatkan

kelompok orang yang merupakan pusat terhadap orang yang menderita penyakit jiwa dan

kemungkinan untuk pulih.

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melacak sikap pekerja pada layanan sosial Danish

terhadap penyakit jiwa. Sikap ini dilacak melalui dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan

pertama yaitu untuk menilai sikap pribadi responden dan bagaimana perasaan sikap terhadap

penyakit jiwa. Kedua, tujuannya yaitu untuk menilai keinginan responden untuk jarak sosial

terhadap orang yang menderita penyakit jiwa maupun perbedaan sikap antara penyakit yang

berbeda-beda dan untuk menganalisis sikap mana yang lazim pada kelompok orang ini.

METODE DAN BAHAN

Sikap antara pegawai dijelaskan berdasarkan data dari kuesioner elektronik. Kuesioner

merupakan bagian dari percobaan acak kontrol yang menilai dampak pelatihan pertolongan

pertama penyakit jiwa di Denmark. Data yang disajikan pada artikel ini merupakan data dasar

dan tujuannya untuk menilai sikap peserta, yang fokus pada bagian kuesioner yang mengandung

pertanyaan tentang sikap telah mendapat perhatian.

Kuesioner telah dijawab oleh 363 orang yang diikut-sertakan melalui tempat kerjanya.

Responden datang dari lima kotamadya berbeda di Denmark. Mereka bekerja di pusat kerja,

pusat rehabilitasi, perawat rumah dan institusi berbeda pada kotamadya namun tidak

dikhususkan untuk melayani orang dengan masalah kesehatan jiwa. Kuesioner dibuat secara

elektronik dan didistribusi melalui program kuesioner perangkat halus SurveyXact. Responden

dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok fokus pada kasus depresi dan kelompok lainnya

pada kasus skizofrenia. Peserta secara bergantian dibagi menjadi dua kelompok dan divisinya

dilakukan secara acak. Tautan kuesioner elektronik dikirim melalui email. Pengingat untuk

melengkapi kuesioner juga disediakan.


Bagian pertama kuesioner tentang karakteristik sosio-demografik seperti jenis kelamin,

umur, derajat pendidikan, asal negara dan bahasa. Kemudian responden ditanyakan tentang

pengalaman tentang masalah kesehatan jiwa, apakah dalam keluarga terdapat seseorang yang

memiliki pengalaman masalah kesehatan jiwa, apakah dia merupakan seorang yang professional

dalam bidang kesehatan atau sosial, dan apakah dia selama 6 bulan terakhir memiliki hubungan

dengan pasien jiwa. Selanjutnya, skema ini menjelaskan tentang kasus depresi atau skizofrenia

disajikan pada responden. Sesudah itu diikuti dengan skala jarak sosial untuk menilai sikap

stigmatisasi. Kami menggunakan konsep jarak sosial tentang kemauan pasien untuk berinteraksi

dalam kedekatan yang berbeda dengan orang pasien jiwa. Pertanyaan berdasarkan deskripsi

skema. Skala ini menilai kemauan responden untuk: pindah ke sebelah untuk menjelaskan

pribadinya, mengadakan pertemanan dengan orang tersebut, menyediakan pekerjaan di tempat

kerja sendiri dan mengizinkan orang tersebut menikah dengan keluarga responden. Penilaian ini

dijawab dengan tiga skala kategori: tidak menginginkan sama sekali, tidak ingin dan ingin. Skala

jarak sosial diikuti dengan skala stigma perasaan dan skala pribadi (Personal and Perceived

Stigma Scale). Skala pribadi dan skala stigma perasaan terdiri atas 18 pertanyaan. Sembilan

pertanyaan menanyakan tentang responden mengukur seberapa kuat secara pribadi mendukung

pernyataan mengenai depresi atau skizofrenia yang disajikan pada skema. Sembilan pertanyaan

lainnya menanyakan hal yang sama, sekarang berfokus pada bagaimana responden merasakan

sikap orang yang lainnya. Dengan demikian, pada skala pertama responden ditanyakan tentang

status sejauh mana dirimu sendiri dan pada skala kedua tentang apa pendapatmu tentang

yang orang lain sedang pikirkan. Penilaian sikap pribadi dan sikap perasaan dijawab dnegan 5

skala kategori: sangat setuju, setuju, cukup, kurang setuju dan tidak setuju.
Metode Statistik

Pada analisis skala kategori dipadukan dengan kategori setuju dan tidak setuju. Analisis

kasus depresi dan kasus skizofrenia dengan keiginginan jarak sosial maupun karakteristik

dikerjakan dengan menggunakan analisis deskriptif. Hubungan antara data demografik dan

keinginan jarak sosial dikerjakan dengan analisis deskriptif juga. Perbedaan sikap terhadap orang

yang menderita depresi dan skizofrenia dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square.

Perbedaan antara sikap pribadi dan sikap perasaan terhadap hubungannya dengan kasus depresi

dan skizofrenia dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square. Perbedaan antara keinginan jarak

sosial pada depresi dan skizofrenia dianalisis menggunakan uji Chi-square. Data dianalisis

menggunakan IBM SPSS versi 22.

HASIL

Tabel 1 menunjukan hasil tentang sikap pribadi dan sikap perasaan pasien depresi dan

skizofrenia. Sikap perasaan merujuk pada apa pendapat responden tentang pemikiran orang lain.

Hasil menunjukan perbedaan yang signifikan pada sikap pribadi terhadap depresi dan skizofrenia

dalam banyak kasus. Kami menemukan sikap pribadi terhadap pasien depresi secara signifikan

lebih positif daripada sikap perasaan terhadap pasien skizofrenia, kecuali pada dua kasus, jika X

ingin keluar dari sini dan bukan penyakit medis yang sebenarnnya, dimana sikap terhadap

pasien skizofrenia secara signifikan lebih positif. Mengenai sikap perasaa memiliki hasil yang

sama, kecuali pada kasus bukan penyakit medis yang sebenarnya dan hindari X agar tidak

mengembangkan masalah X sendiri, kami menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan

antara depresi dan skizofrenia. Hasil pada table 1 menunjukan kecurigaan terhadap pasien jiwa

bervariasi tergantung penyakitnya. Diantara sikap pribadi negatif terhadap pasien jiwa, satu dari
banyak prevalensi nampaknya tidak dapat diprediksi. Hal ini khusunya pada sikap terhadap

pasien skizofrenia (49,4%) bila dibandingkan dengan pasien depresi (11,9%) (nilai p = 0,000).

Jarang ditemukan pasien jiwa menjadi bahaya namun dalam penelitian ini sulit diprediksi. Pada

kuesioner sebanyak 20% setuju bahwa pasien skizofrenia berbahaya dibandingkan hanya 1,2%

pada kasus depresi (nilai p = 0,000). Mengenai depresi, sebanyak 110 (63,9%) responden

berpikir bahwa pasien ini dapat menjadi lebih baik jika mereka menginginkannya, sedangka

sebanyak 60 (31,6%) responden menunjukan kecurigaan yang sama terhadap pasien skizofrenia

(nilai p = 0,000). Pada Sembilan pertanyaan yang diukur menemukan bahwa sikap perasaan

responden terhadap pasien jiwa secara signifikan lebih negatif daripada sikap pribadi. Sebagai

contoh, kami menemukan perbedaan yang signifikan (nilai p = 0,000) terhadap depresi dan

kecenderungan untuk mengaitkannya dnegan tanda kelemahan pribadi antara sikap pribadi dan

sikap perasaan.

Gambar 1 menunjukan bagaimana data didistribusikan tentang keinginan jarak sosial

pada kasus depresi dan skizofrenia. Persentase menunjukan respon yang dihimpun pada kategori

kurang suka dan tidak suka pada responden, sebanyak 101 (58,7%) tidak ingin untuk

memberikan pekerjaan pada pasien depresi di tempat kerjanya, sedangkan sebanyak 72 (41,9)

responden tidak ingin pasien depresi menikah dengan keluarganya. Selanjutnya, gambar

menunjukan sebanyak 145 (76,3%) responden tidak ingin pasien skizofrenia menikah dengan

keluarganya dan 113 (59,5%) responden tidak ingin untuk memberikan pekerjaan pada pasien

skizofrenia di tempat kerjanya. Sebanyak 75 (39,5%) responden tidak ingin untuk pindah ke

sebelah dan sebanyak 78 (41,1%) responden tidak ingin berteman dengan pasien skizofrenia.

Sehubungan dengan depresi, sebanyak 21 (12,2%) responden tidak ingin pindah ke sebelah

sedangkan sebanyak 40 (23,3%) tidak ingin berteman dengan pasien depresi. Kami menemukan
perbedaan yang signifikan antara responden yang menginginkan jarak sosial terhadap pasien

depresi dan skizofrenia, kecuali untuk memberikan pekerjaan di tempat kerja sendiri (nilai p =

0,280). Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara karakteristik demografi (usia,

lahir di Denmark, bahasa, pendidikan, memiliki hubungan dengan pasien jiwa minimal 6 bulan,

berhubungan dengan masalah penyakit jiwa, masalah kesehatan jiwa pribadi) dan keinginan

jarak sosial. Akan tetapi, perbedaan yang besar pada persentasi keinginan untuk memberikan

pekerjaan di tempat kerja sendiri yang berhubungan dengan jenis kelamin. Dalam penelitian

sebanyak 91 wanita (61,9%) tidak ingin memberikan pekerjaan pada pasien depresi di tempat

kerjanya, sedangkan sebanyak 10 pria (40%) tidak ingin memberikan pekerjaan. Kami tidak

menemukan perbedaan yang sama antara jenis kelamin tentang keinginan jarak sosial pada kasus

skizofrenia.

Pada tabel 2, data latar belakang pada responden tekah ditunjukan. Angka responden

sebanyak 363, 191 menderita skizofrenia dan 172 kasus menderita depresi. Kebanyakan

responden merupakan wanita berusia 40an tahun dengan pendidikan tinggi. Mereka lahir di

Denmark dan menganggap bahasa Denmark sebagai bahasa mereka. Sebanyak 83% responden

memiliki hubungan dengan pasien jiwa selama minimal 6 bulan. Diantara responden sebanyak

212 (58,4%) memiliki seseorang dalam keluarga yang menderita masalah kesehatan jiwa,

sedangkan sebanyak 76 (20,9%) responden dilaporkan memiliki masalah kesehatan jiwa pribadi.

PEMBAHASAN

Kami menemukan bahwa sikap pribadi pekerja sosial secara signifikan lebih positif

daripada sikap perasaan yang dimiliki orang lain. Bila dibandingkan hasil dengan populasi yang
terdiri dari khalayak ramai, laporan sikap pribadi pada penelitian ini tidak berbeda. Sebagai

contoh, pada penelitian Danish pada sikap terhadap kesehatan jiwa diantara publik, peneliti

menemukan terdapat hirarki penyakit jiwa pada masyarakat Danish secara signifikan, dimana

skizofrenia merupakan penyakit yang paling distigmatisasi. Selanjutnya, hasil tidak berbeda pada

sikap professional kesehatan jiwa. Akan tetapi, tingkat toleransi yang dilaporkan sendiri pada

populasi ini mungkin akan ditanyakan jika dilihat dari hasil antara sikap perasaan dan sikap

pribadi. Kami menemukan perbedaan yang signifikan antara sikap pribadi dan sikap perasaan

dimana sikap pribadi secara keseluruhan selalu lebih positif. Perbedaan sikap dapat menjadi

subyek proyeksi hipotesa, yang berasumsi bahwa responden percaya orang berpikiran yang sama

seperti yang mereka lakukan. Dengan demikian, sikap negatif yang dilaporkan dapat

mengindikasikan aspek kebenaran politik yang muncul dalam sikap pribadi yang dilaporkan.

Lagipula, untuk menunjukan harapan akan sikap negatif diantara orang lain dapat membuat

responden lebih mampu menunjukan sikap negatif yang sama di situasi lain karena responden

sekarang mengharapkan masyarakat awam untuk memiliki sikap yang sama.

Kami menemukan bahwa, diantara responden dengan sikap pribadi negatif terhadap

pasien jiwa, salah satu yang paling umum tampaknya tidak dapat diprediksi. Hal ini terutama

berlaku untuk pasien skizofrenia (49,4%) dibandingkan dengan pasien depresi (11,9%). Jarang

pasien jiwa menjadi berbahaya, namun dalam penelitian ini tidak dapat diprediksi: 20% setuju

bahwa pasien skizofrenia berbahaya, bila dibandingkan dengan pasien depresi hanya 1,2%.

Sebagai perbandingan, kami menemukan sikap pekerja sosial negatif misalnya sikap mahasiswa

kedokteran. Telah dilaporkan sebanyak 78% mahasiswa kedokteran dan mahasiswa keperawatan

menganggap bahwa pasien skizofrenia berbahaya dan melakukan kekerasan. Pertanyaan umum

dalam kuesioner yang ditujukan untuk masyarakat umum yaitu apakah mereka akan terbuka atau
menyingkapkan jika mereka sendiri yang menderita penyakit jiwa. Pada penelitian ini hanya

7,5% yang tidak akan berkata kepada siapapun jika menderita depresi dan sebanyak 12,6% yang

tidak akan berkata kepada siapapun jika menderita skizofrenia. Bila dibandingkan dengan

penelitian lainnya, angka tersebut tampak agak rendah. Beberapa penelitian menemukan

sebanyak 25% menyingkapkan informasi ini pada teman dan keluarga, dan sekitar setengan tidak

akan menyingkapkan informasi ini pada koleganya.

Kami menemukan bahwa responden yang menginginkan jarak sosial lebih tinggi pada

skizofrenia bila dibandingkan dengan depresi, dan sikap responden pada umumnya lebih positif

terhadap pasien depresi bila dibandingkan dengan skizofrenia. Hasil yang sama menemukan

ditemukan pada penelitian sebelumnya diantara professional kesehtan jiwa dan masyarakat

umum. Akan tetapi, kami menemukan beberapa jenis ekspresi kecurigaan berdasarkan

penyakitnya. Sedangkan mayoritas responden tidak menghitung skizofrenia sebagai penyaki

medis sebenarnya (3,7% tidak), 12,2% tidak menghitung depresi sebagai penyakit medis

sebenarnya. Lagipula sebanyak 63,9% responden setuju bahwa pasien depresi dapat keluar jika

mereka mau, sedangkan angka kaasus skizofrenia lebih rendah (31,6%). Tidak mengenali depresi

sebagai penyakit adalah stigmatisasi. Penelitian menunjukan bahwa, jika penyakit jiwa dikenali,

keinginan untuk ke dokter jiwa meningkat. Kegagalan mengenali masalah pribadi sebagai

penyakit jiwa dapat menunda terapi.

Mengenai keinginan responden untuk jarak sosial, kami menemukan kencenderungan

untuk melakukan diskriminasi dalam kaitan dengan peluang kerja dan hubungan kerja.

Kecenderungan ini muncul dalam penelitian lain dimana masyarakat bekerja dengan orang

penyakit jiwa. Pada penelitian di Swedia tentang sikap professional kesehatan mental terhadap

pasien jiwa, sebanyak 75,6% pelamar lulus bekerja daripada pelamar tanpa penyakit jiwa. Dalam
penelitian kami, hal tersebut sangat mengejutkan bahwa responden lebih enggan untuk

memberikan pekerjaan pada pasien depresi (58,7%) daripada mereka yang menikah dengan

keluarganya (41,%). Hal ini diluar dugaan, karena hubungan skala jarak sosial secara bertahap

lebih mendalam dan diharapkan tidak diinginkan. Dengan demikian, hasil ini mengindikasikan

bahwa hubungan ditempat kerja lebih sensitif dalam beberapa hal daripada dengan hubungan

pribadi. Hal ini dapat berarti bawa pasien jiwa menemukan hambatan ketika mengakses lapangan

pekerjaan. Lagipula hasil ini dapat mengindikasikan tempat kerja berarti bagi pekerja sosial dan

dapat dilihat sebagai lapangan pekerjaan dimana perhatian negatif dapat membahayakan

pekerjaan mereka sendiri.

Ketika menganalisis data latar belakang, kami menemukan dalam penelitian inni kejadian

wanita lebih tinggi dan tingginya hubungan dengan pasien jiwa yang sebenarnya tidak

mengejutkan peserta yang direkrut melalui tempat kerjanya (sektor layanan sosial). Angka

responden dengan masalah kesehatan jiwa tampaknya agak tinggi (58,4%). Akan tetapi,

hubungan dengan penelitian terbaru menunjukan prevalensi pasien jiwa telah diobati oleh dokter

jiwa selama hidupnya lebih tinggi sekitar 37% pada wanita dan 32% pada pria, hal ini

merupakan angka yang agak realistis. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan antara

data latar belakang (umur, asal tempat, bahasa, pendidikan atau riwayat penyakit jiwa dalam

keluarga) dan keinginan jarak sosial, seperti yang ditemukan pada penelitian-penelitian

sebelumnya. Hal ini mengejutkan bahwa tidak ada perbedaan yang ditemukan antara peserta

dengan atau tanpa kontak dan pengetahuan terhadap penyakit jiwa. Hal ini karena faktanya

hampir semua peserta dalam pekerjaannya memiliki hubungan tertutup dengan pasien jiwa. Hasil

kami menunjukan, bahwa wanita lebih enggan memberikan pekerjaan untuk pasien jiwa di

tempat kerjanya daripada pria. Hal ini berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang
kemungkinan pekerjaan dan sikap yang ditunjukan oleh responden dan dapat menjelaskan

tekanan perempuan terhadap pekerjaan mereka yang dapat menjadi alasan mengapa mereka

dibawa ke tempat kerjanya.

KEKUATAN DAN KETERBATASAN

Menjadi bagian percobaan klinis acak yang besar dengan populasi terpilih dapat menjadi

keterbatasan dalam penelitian ini. Seringkali populasi pada percobaan klinis menjadi kelompok

terpilih yang kuat. Akan tetapi, hasil dibadingkan dengan populasi umum dan dengan

professional lainnya yang bekerja dengan pasien jiwa. Dengan demikian, bias tidak terlihat

dalam penelitian ini. lagipula, direkrut melalui pekerjaannya terhadap intervensi tersebut dapat

menimbulkan risiko ketertarikan sosial terhadap jawaban responden.

Kekuatan adalah bahwa data latar belakang tentang pengalaman pribadi dengan penyakit

jiwa dalam penelitian ini tidak menyimpang dari masyarakat umum dan oleh karena itu

sebanding dengan populasi yang lebih besar.

Akan tetapi, distribusi jenis kelamin dalam penelitian ini yang terdiri dari 306 wanita

(84,3%) dan 57 pria (15,7%) merupakan keterbatasan. Penyebaran jenis kelamin yang lebih adil

diinginkan. Namun, populasi dipilih dari keterikatan pada daerah tertentu di pasar tenaga kerja,

dan bias jenis kelamin sulit untuk dihindari.

KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melacak sikap pekerja sosial terhadap penyakit jiwa.

Penelitian tentang sikap stigmatisasi diantara populasi pekerja sosial, sejak populasi ini menjadi

titik pertama kontak untuk pasien dengan masalah kesehatan jiwa kedalam terapi dan pemulihan.

Dengan demikian, pengetahuan mengenai sikap terhadap penyakit jiwa dan orang yang

menderitanya diantara pegawai layanan sosial berkumpul untuk penelitian ini dan penting untuk

pemahaman kami selanjutnya tentang kenapa pasien jiwa menjadi ragu-ragu dalam mencari

bantuan kesehatan jiwa mereka. Sebagaimana telah ditunjukan dalam penelitian ini, pegawai

layanan sosial sering gagal mengenali masalah pribadi sebagai penyakit medis yang sebenarnya,

yang dapat menunda terapi.

Kami telah menunjukan bahwa pegawai layanan sosial memegang sikap negatif terhadap

kemungkinan pasien jiwa untuk mendapatkan pekerjaan. Sikap ini akhirnya tercermin dalam

pendekatan pekerja sosial untuk pekerjaan mereka sendiri. Dengan demikian, hasil dari

penelitian ini mengindikasikan bahwa sikap pegawai layanan sosial dapat mengurangi ambisi

untuk menolong klien mendapatkan pekerjaan sebaliknya menimbulkan pesimisme dan

keputusasaan bagi pasien jiwa.

Lebih lanjut, hasil kami menunjukan bahwa wanita lebih memegang sikap negatif dari

pada pria dalam mendapatkan pekerjaan pada pasien jiwa. Hal ini merupakan konsekuensi yang

besar sejak mayoritas pegawai layanan sosial merupakan wanita.

Temuan ini mengindikasikan pegawai layanan sosial memiliki manfaat yang besar dalam

menambah pengetahuan tentang penyakit jiwa dan mengenali penyakit jiwa, agar bisa

menawarkan bantuan yang tepat dan mengurangi kesenjangan pengobatan terhadap pasien jiwa.

Sebagai tambahan, hubungan dengan penelitian baru-baru ini, hal ini dapat menarik

perhatian di waktu mendatang untuk meneliti tentang pasien yang menderita penyakit jiwa
menerima bantuan buruk oleh penyedia bantuan yang memiliki sikap negatif dan bila

memungkinkan untuk menghindari hal ini dengan pelatihan dan pendidikan lebih lanjut dari

penyedia bantuan.

Anda mungkin juga menyukai