Referat TB
Referat TB
PENDAHULUAN
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik
yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi
overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang
dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan
pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan TB pada anak.
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai
literatur.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Definisi
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
<15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan
dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,
rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei
Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan
paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya
terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta
didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika
terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita
TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke
udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman
TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia
sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi
sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh
seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang
sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.
2.2 Epidemiologi
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah
583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah
seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun
(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan
(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-
faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor
risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais,
diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.
2.3 Etiologi
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma
makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat
aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung
oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2
pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya. M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada
medium klasik yang terdiri kuning telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri
ini tumbuh secara lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen
klinis dari media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji
sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu,
pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan medium
cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan
waktu tambahan 3-5 hari. Imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan
oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan
ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai
berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam
fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif
dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,
dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini
berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada
tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura
terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada
tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar
manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan
90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.
BAB IV
DIAGNOSIS
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala
pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan
rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik
yang dapat dialami anak yaitu:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada
pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak
bukan merupakan gejala utama.
TB Asimptomatis
TB Paru Primer
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas
apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe
membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut
kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan
oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran
nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non
produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda
adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.
TB Paru Progresif
TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang
ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai
strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang
lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan
gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan
kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,
penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,
unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan
hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung
cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi
dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung
beberapa minggu.
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang
kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka
akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan
dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap
indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai
negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena
infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada
pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.
4.2.2.Uji interferon
4.2.3.Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif
TB adalah:
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
4.2.4.Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,
Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada
satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
4.2.5.Mikrobiologi
4.2.6.Patologi Anatomik
Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga (BTA
negatif atau
Uji Tuberkulin
Negatif--Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan /
atau
Klinis gizi
buruk
70%
60%-
Demam tanpa
Batuk- 3 minggu--
Pembesaran
kelenjar koli,
aksila, inguinal- 1 cm, jumlah
Pembengkakan
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang-Ada
pembengkakan--
Foto ThorakNormal/kelainan
tidak jelasGambaran
sugestif TB
Catatan:
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7 hari) harus
dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal 13).
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau
terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran
serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.
BAB V
PENATALAKSANAAN
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan
obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain
(second line, lini kedua) adalah para aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif
saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif
(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi
simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100
mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam
1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi
di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat
yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala
dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya
ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin
umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada
saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana
asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid
aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek
samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi
klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat
ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak
dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,
etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan
cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan
pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
**Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase
intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.
Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada
anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,
isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid.
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada
pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya
batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka
pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura
atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1
bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto
rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana
evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa
tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau
resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka
pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang
dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah
pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto
rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering
terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi
10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga 5 kali
tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin
total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun
yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.
Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali
apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan
isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan
pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali
pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan
pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang
kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.
Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak
rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa
MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap
menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di
Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB
mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan
strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya
1,6% saja.
5.2. Nonmedikamentosa
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat
sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan
obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut :
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang
kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan
tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
yaitu uji tuberkulin.
5.3 Pencegahan
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus
tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih
dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang
mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,
jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada
anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,
TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif
telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi
imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat
badan optimal.
5.3.2 Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12
bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan
untuk menilai respon dan efek samping obat.
BAB VI
6.1 Komplikasi
6.2 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon
buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter
meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid)
terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB
milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi
sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang
tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam
1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis
yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare
persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes
serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan
dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB
utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid
(Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat
pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.